Cerita bersambung
Panji mendorong tubuh Santi pelan kemudian berdiri menjauh.
"Santi, jaga sikapmu," tegur Panji kesal.
"Ma'af ya bu Tarjo, so'alnya kami itu kan sebenarnya dijodohkan.. tapi..."
"Santi, ada pasien menunggu kamu didalam, jangan bicara yang tidak2," Panji memotong dengan kesal.
"Maruti, antarkan Santi ke kamar Dita," katanya pada Maruti.
"Mari dokter, silahkan," Maruti mendahului masuk kedalam, diikuti dokter Santi.
"Ma'af dokter kalau kami merepotkan," kata Maruti sambil berjalan kearah kamar Dita.
"Nggak apa2. Keluarga ini sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri, jadi nggak usah sungkan."
Marruti tak menjawab. Ada perasaan tak enak pada Santi, tapi Dita memaksa harus dia yang memeriksanya.
"Dita, ini dokter Santi sudah datang. Kamu merepotkan saja," tegur Maruti pada adiknya setelah mereka memasuki kamar Dita.
"Hallo Dita, sakit apa?" tegur Santi ramah.
Santi tersenyum, ada bekas air mata membasah dipelupuk matanya.
"Sakit sekali,dokter..." bisik Dita lirih..
"Maruti, boleh meninggalkan kami berdua saja? Aku akan memeriksa adikmu," kata Santi kepada Maruti.
Maruti mengangguk, lalu keluar dari kamar Dita. Tak lupa ia juga menutup pintunya.
***
Bu Tarjo masih duduk terpaku, ditemani Panji yang sebenarnya merasa kesal dengan sikap Santi tadi.
Maruti kemudian duduk didekat ibunya. Ditepuknya tangan ibunya lembut.
"Ibu jangan cemas, Dita tak apa2 kok," hibur Maruti.
"Apa kata dokternya tadi?"
"Belum bilang apa2, masih diperiksa, kita tunggu saja ya."
Bu Tarjo mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di sandaran kursi.
"Maruti, aku minta ma'af atas sikap Santi tadi. Dia memang keterlaluan,' kata Panji tiba2.
"Oh, dokter Santi itu tunangan nak Panji?" tanya bu Tarjo.
"Bukan bu, Santi yang salah terima. Saya tidak ada hubungan apa2 sama dia. Ma'af klau sikapnya mengganggu. Saya sudah kesal terhadapnya." keluh Panji.
"Nggak apa2 nak, jangan dipikirkan."
Maruti tertunduk lesu. Bahwa Santi mengejar kejar Panji, dia sudah tau, dan bahwa Panji tidak suka, dia juga sudah tau. Sa'at ini pikirannya masih tertuju pada sakitnya Dita. Selama ini Dita tak pernah mengeluh sakit apapun, mengapa tiba2 dia kesakitan seperti itu?
Tiba2 dilihatnya Santi keluar dan kemudian duduk disebelah Panji. Panji memalingkan mukanya, memandang kearah kebun.
"Bagaimana anak saya , dokter?" tanya bu Tarjo cemas.
"Bu, saya melihat ada benjolan diperut Dita, tapi ibu tidak usah khawatir. Sekarang juga saya akan membawa Dita kerumah sakit."
Maruti dan bu Tarjo terhenyak. Dipandanginya dokter Santi lekat2.
"Mengapa harus dibawa kerumah sakit dok?" tanya bu Tarjo cemas.
"Ibu tenang saja, saya bawa Dita kerumah sakit, supaya bisa diperiksa keadaan yang sesungguhnya disana. Kalau sudah ketahuan penyakitnya, akan lebih mudah mengobatinya."
"Tt..tapi.. apakah itu berbahaya?"
"Mari kita berdo'a supaya Dita baik2 saja yaq bu. Sekarang juga saya akan membawanya. Boleh minta tolong mas Panji untuk membopongnya?" pinta Santi kepada Panji.
"Ya.. tentu," jawab Panji sambil cepat2 masuk kedalam, diikuti Maruti dan ibunya.
Dilihatnya Dita sudah duduk sambil memegangi perutnya.
"Dita, bisa berjalan?" tanya Panji sesampainya dikamar
Dita menggeleng sambil menundukkan kepalanya. Sumpah sesunguhnya hatinya berdebar debar.
"Mari, biar aku gendong kamu," kata Panji sambil mendekat, kemudian mengangkat tubuh Dita. Dita dengan senang hati merangkul pinggang Panji dan menyandarkan kepalanya kedadanya. Kapan lagi bisa begini. Pikir Dita.
Panji membawanya keluar dari kamar, menuju kearah mobil Santi, kemudian mendudukkannya dikursi depan disamping Santi yang sudah lebih dulu duduk dibelakang kemudi.
"Terimakasih mas Panji," Santi tersenyum, barangkali senyum paling memikat yang pernah disuguhkannya kepada pria yang dicintainya itu. Tapi Panji memandangpun tidak, ia bahkan menutup pintu mobil Santi, lalu berjalan kearah rumah.
Dilihatnya Maruti dan bu Tarjo sudah bersiap akan pergi.
"Ibu, biar saya antar kalau mau kerumah sakit juga" kata Panji sambil mengambil kunci mobilnya yang tadi diletakkannya diatas meja.
"Apa tidak merepotkan nak? Kami bisa memanggil taksi," jawab bu Tarjo yang merasa sungkan.
"Nggak bisa bu, nanti kelamaan, biar saya antar saja."
Dan mau tak mau Maruti dan bu Tarjo mengikuti Panji dan masuk kedalam mobilnya.
***
Dirumah sakit itu Dita langsung dimasukkan kedalam bangsal pasien, bukan ke ruang UGD atau tempat pemeriksaan awal. Santi yang memesankan kamar ketika membawa Dita sambil menyetir, sehingga begitu sampai ternyata kamar sudah disiapkan. Sebuah kamar yang nyaman, tidak tercampur pasien lain, dan ada sofa untuk penunggu. Ini kelas yang tidak murah, pikir Maruti, dan tentu saja juga pikir bu Tarjo.
"Ini kamar Dita selama harus dirawat bu, jangan khawatir tentang biaya, saya yang akan menanggungnya," kata dokter Santi sambil tersenyum.
Bu Tarjo menghela nafas, ada rasa lega, tapi juga merasa sungkan terhadap dokter Santi.
"Nanti saya akan mengganti berapa biayanya dok, meskipun tidak bisa sekaligus, tapi saya bisa mencicilnya," sela Maruti.
"Tidak Ruti, sayalah yang akan membayarnya. Sudahlah, sa'at ini jangan memikirkan apapun, yang penting Dita segera sembuh," kata Panji sambil memandang kearah Dita.
Diam2 Dita berpikir, begitu besar perhatian Panji kepadanya, apakah itu bukan karena cinta? Dita tak bisa berfikir bahwa Panji memperhatikannya karena dia adalah adik Maruti, gadis yang dicintainya.
Dokter Santi tersenyum, entah apa arti senyum itu. Ia mendekati ranjang Dita dan mengelus perutnya.
"Kamu tenang saja disini, jangan berfikir apapun. Besok perawat akan mengambil darahmu dan kamu akan diperiksa semuanya.. semoga semua baik2 saja,' kata Santi.
Dita mengangguk. Ia tak henti2nya mengelus perutnya. Maruti mendekat dan mngeluarkan minyak kayu putih yang sejak tadi dibawanya.
"Perlu digosok pakai ini?"
"Nggak usah... biar disini saja, nanti aku menggosoknya sendiri."
Malam itu Maruti dan ibunya menginap dirumah sakit. Tak tega rasanya membiarkan Dita tidur sendiri disana. Mereka memaksa, walau dokter Santi melarangnya.
"Baiklah, nanti saya akan memintakan selimut untuk ibu." kata dokter Santi.
"Jangan dokter, saya bisa mengambilnya kerumah, sekaliyan mengambil pakaian Dita untuk ganti nanti.
"Ya, biar ibu istirahat di sofa itu dulu, saya mengantar Maruti pulang untuk mengambil selimut dan apa saja yang diperlukan," kata Panji tiba2.
"Tapi mas..."
"Sudah, jangan membantah, kami permisi dulu ya bu," Panji berpamit pada bu Tarjo, sambil menggandeng lengan Maruti.
Dokter Santi memandangnya dengan mata berkilat. Ada api menyala disana, namun tak sepatah katapun diucapkannya.
***
Pagi itu Maruti kekantor hanya untuk minta ijin agar boleh menunggui adiknya dirumah sakit. Setiba disana ternyata Laras sedang menunggunya..
"Laras? Kamu sudah disini pagi2?" teriak Maruti.
"Mas Panji bilang, kamu akan kekantor pagi untuk minta ijin tidak masuk kerja. Jadi aku menunggu kamu disini. Bagaimana Dita? Sakit apa dia, kok begitu tiba2?"
"Entahlah, hari ini dia akan diperiksa. Baru nanti hasilnya akan ketahuan."
"Ya ampuun.. si cerewet itu, mudah2an tidak apa2."
"Aamiin, terimakasih Laras. Sekarang aku ke ruang pak Agus dulu ya, aku harus minta ijin, paling tidak hari ini, supaya bisa menemani ibu dirumah sakit."
"Ibu tidur dirumah sakit?"
"Ya, mau bagaimana lagi, kalau aku saja yang dirumah sakit, ibu nggak ada temannya, ya kan?"
"Begini saja, biar nanti ibu pulang, aku yang akan menemani bu Tarjo dirumah. Kasihan kalau dirumah sakit terus."
"Ya ampun Laras, jadi merepotkan kamu."
"Nggak, sudah sana, pamit dulu, aku menunggu disini."
***
"Aku sudah mendengarnya, Panji sudah menelpon aku, jadi sesungguhnya kamu tidak usah datang kemari juga nggak apa2," kata Agus ketika Maruti berpamitan.
"Tapi kan saya juga harus datang sendiri pak, nggak enak,"
"Baiklah, aku beri kamu ijin sampai adikmu sembuh ya," kata Agus.
"Terimakasih banyak pak, sekarang saya permisi dulu.'
"Kamu sama siapa?"
"Ada Laras menunggu didepan pak."
"Oh, baiklah. Nanti seusai kantor aku akan melihat keadaan adikmu dirumah sakit. Berikan nanti melalui WA dikamar apa dan nomor berapa dia dirawat."
"Baiklah, terimakasih pak."
Maruti berlalu, tapi kemudian Agus tak membiarkan Maruti keluar sendiri. Ia mengikuti sampai Maruti ketemu Laras.
"Selamat pagi mas, njemput Maruti nih," kata Laras.
"Ya, aku tau, hati2 dijalan ya."
"Terimakasih mas, titip salam buat Sasa ya,"
Agus mengangguk, ada rasa senang ketika Laras memperhatikan anaknya.
***
Ketika tiba dirumah sakit, Maruti merasa heran karena dilihatnya ibunya tak ada disana. Ia heran melihat dari kejauhan Dita sedang bercanda dengan dokter Santi.Ia mendengar Dita terkekeh senang, dan mereka berbicara seperti dua orang sahabat. Apa Dita sudah sembuh?
==========
Maruti tertegun didepan pintu, dalam hati bertanya tanya, begitu cerianya meeka bercanda, seakan Dita tidak sedang sakit. Apakah tiba2 Dita telah sembuh? Kalau itu yang terjadi Maruti pastilah senang. Maruti dan Laras belum beranjak dari tempatnya berdiri, ketika tiba2 Dita melihatnya lalu menudingkan tangannya kearah pintu. Dokter Santi menoleh, lalu mempersilahkannya masuk.
"Maruti, Laras, mengapa berdiri dipintu?"
"Eh.. iya... senang melihat Dita sudah bisa bercanda."
Maruti dan Laras mendekati ranjang dimana Dita terbaring. Tiba2 saja senyumnya telah menghilang entah kemana.
"Hai Dita, sakit apa ?" tanya Laras.
"Tadi kamu sudah bisa bercanda, mbak senang melihatnya. Semoga kamu baik2 saja," kata Maruti sambil mengelus kepala adiknya.
"Itu karena aku sudah memberinya obat penghilang rasa sakit," sela dokter Santi.
"Oh..." Maruti mengeluh kecewa. Berarti sendau gurau itu bukan karena dita sembuh.
"Baru saja dia diperiksa, lengkap.. hasilnya mudah2n nanti sore sudah terlihat," lanjut dokter Santi.
"Semoga2 baik2 saja, ya Dit?" Laras juga berusaha menyemangati Dita.
"Dimana ibu?"
"Ibu pulang, baru diantar mas Panji yang memaksanya pulang, takut ibu kecapean," jawab dokter Santi.
"Oh.. ," Maruti lega karena ibunya menurut diminta pulang.
"Itu benar, biar ibu bisa benar2 istiahat," sambung Laras.
Tak lama kemudian dokter Santi berpamit karena ada tugas lain yang harus diselesaikan, sedangkan Maruti dan Laras masih menunggui Dita, yang sikapnya sungguh membuat Maruti merasa aneh. Dia seperti enggan berbicara dengan kakaknya, dan lebih banyak memejamkan mata untuk menghindari pertanyaan Maruti dan Laras. Padahal tadi bersama dokter Santi bercanda dengan sangat gembira.
"Dita, apa kamu marah sama mbak?"
Dita menggeleng, tapi matanya masih terpejam.
"Kamu aneh, sejak kemarin... bukan karena marah sama kakak?" Maruti masih mendesak.
Dita menggeleng lagi, dan mata itu tetap saja terpejam. Laras menggamit lengan Maruti, mengajaknya duduk disofa, agak jauh dari ranjang tempat Dita berbaring.
***
Panji mengantar bu Tarjo sampai bu Tarjo memasuki rumah.
"Ibu tidak apa2 kan, sendirian siang ini?" tanya Panji sebelum meninggalkannya.
"Tidak nak, tinggalkan saja ibu. Jadi nggak enak lho, merepotkan nak Panji terus dari kemarin."
"Nggak apa2 bu, ibu kan keluaga saya juga," jawab Panji sambil menepuk nepuk tangan bu Tarjo, yang diterima bu Tarjo dengan senyuman penuh haru.
"Terimakasih banyak nak, bahagia sekali dianggap keluarga oleh nak Panji. Do'akan Dita segera sembuh ya nak."
"Tentu bu, saya akan mendo'akan kesembuhan buat Dita. Ibu jangan khawatir karena dita sudah dirawat dengan baik."
"Iya nak," bu Tarjo mengangguk.
Panji kemudian mencium tangan bu Tarjo untuk berpamitan.
"Saya tinggal ya bu, kalau ada apa2 ibu bisa menelpon saya atau Maruti," pesan Panji.
Bu Tarjo mengangguk, lalu mengantar Panji sampai Panji masuk kedalam mobilnya.
Siang itu bu Tarjo ingin bersih2 kamar Dita, yang kemarin ditinggalkannya begitu saja. Selimut masih berserak belum sempat dilipat, bantal dan guling yang tidak beraturan tempatnya, Bu Tarjo merapikan semuanya, sehingga tempat tidur itu lebih enak dipandang mata. Tiba2 dilihatnya sesuatu jatuh dari bawah bantal. Bu Tarjo memungutnya, sebuah buku kecil. Ini adalah buku yang kata Dita adalah buku harian yang sesungguhnya bu Tarjo sudah lama ingin mengetahui apa saja yang ditulis anak gadisnya. Bu Tarjo duduk dikursi yang ada dikamar itu, dan mulai membuka buka buku kecil yang baru saja ditemukannya. Banyak catatan catatan tentang hal2 yang dilakukannya, yang kadang2 dibacanya sambil tersenyum lucu. Tapi dari lembar ke sekian.. yang bercerita tentang pertemuannya dengan si ganteng pengendara mobil yang nyaris menabraknya, bu Tarjo mengerutkan keningnya. Lembar demi lembar yang dibaca sesudahnya adalah ungkapan perasaan Dita terhadap laki2 ganteng itu.. yang ternyata adalah Panji.
"Dita jatuh cinta pada nak Panji?" bisiknya pelan.
Bu Tarjo meletakkan buku kecil itu kembali ditempatnya semula, dibawah bantal.
"Nak Panji lelaki baik, kalau bisa menjadi menantuku, aku pasti senang sekali. Tapi menurut pengamatanku, nak Panji itu suka sama Maruti, bagaimana ini?" bu Tarjo bergumam sendiri sambil menyandarkan kepalanya disandaran kursi. Kepalanya mendadak berdenyut memikirkan kisah cinta anak2 gadisnya. Apakah Maruti tau perasaan Dita kepada nak Panji?
***
Ternyata sore itu hasil lab yang ditunggu belum juga keluar. Dokter Santi memberi tau bahwa ada yang harus diperiksa di Jakarta.
"Apakah penyakitnya gawat?" tanya Maruti penuh khawatir.
"Berdo'alah saja Maruti, agar semua baik2 saja. Tapi menurutku tidak. Penyakitnya terlambat dirasakannya, mungkin sudah parah.Tolong jangan kasih tau Dita tentang apa yang aku katakan ini," pesan Santi yang membuat Maruti tiba2 merasa cemas.Isyarat2 yang diungkapkan menunjukkan bahwa ada hal buruk tentang penyakit Dita. Ya Tuhan, selamatkan adikku. Kata hati Maruti sedih. Dipandanginya dokter Santi yang menatapnya sambil menyilangkan kedua tangannya didada.
"Apakah bisa disembuhkan?" terbata ketika Maruti mengatakan ini.
"Lho, belum2 kok sudah sedih, kan belum tentu, ya kita tunggu saja hasilnya, mungkin tiga atau empat hari sudah keluar, dan baik2 saja."
Tapi Maruti tetap merasakan cemas, pasti ada sesuatu yang menghawatirkan. Ya Tuhan, tolong Dita...
***
"Maruti, kan hasilnya belum keluar, mengapa kamu sedih begitu? Ayo dong senyum, Dita pasti baik2 saja," kata Panji ketika mereka berdua sedang makan malam di kantin rumah sakit itu.
"Entahlah mas, perasaanku kok nggak enak begini.Aku sudah mengatakan apa yang di isyaratkan dokter Santi tadi, aku takut mas."
Panji menepuk nepuk tangan Maruti untuk menenangkannya. Hatinya juga ikut sedih melihat keadaan Maruti. Ingin dipeluknya gadis yang dicintainya itu erat2, dan mengelus kepalanya lembut.. Ah.. Panji jadi teringat bahwa ia belum berhasil mengungkapkan peasaannya ketika sore hari mengajaknya kerumah, karena tiba2 bu Tarjo mengabarkan bahwa Dita sakit. Sekarangkah waktunya? Wah..kayaknya kurang tepat ya. Baiklah.. aku akan sabar menunggu sampai ada waktu baik untuk mengungkapkannya. Bisik batin Panji.
Dipandanginya wajah Maruti yang tertunduk, sambil mengaduk aduk teh hangat yang dipesannya. Panji menatapnya kagum. Biar sedang tidak tersenyum pun wajah itu tetap saja cantik. Bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tipis kemerahan.. ya ampun, Panji harus menahan debar jantungnya. Pemandangan itu begitu indah, dan tak tahan ia mengelus pipi yang tiba2 basah oleh air mata.
"Maruti..," bisik Panji.
Maruti membiarkan jari2 Panji mengusap air matanya. Ada rasa nyaman menjalari perasaannya, namun air matanya terus saja mengalir.
"Jangan menangis lagi. Percayalah semua akan baik2 saja. Mengapa belum2 kamu sedih begini?" bisik Panji lembut.
Sesungguhnya Maruti ingin menghambur ke pelukan Panji, dan membenamkan kepalanya didada kekar yang sangat dikaguminya. Kata2 dokter Santi sungguh seperti tak memberikan harapan baik, walau dikatakannya ia harus menunggu hasilnya beberapa hari lagi.
***
Malam itu seperti janjinya, Laras tidur dirumah bu Tarjo. Kasihan kalau harus selalu ikut tidur dirumah sakit.
"Nak Laras kok ya repot2 menemani ibu, ibu berani kok tidur sendiri," kata bu Tarjo.
"Nggak apa2 bu, Laras sudah janji sama Maruti bahwa akan menemani ibu sementara Maruti harus menunggui Dita dirumah sakit."
"Kasihan nak Laras, kan ibunya juga sendirian dirumah?"
"Ibu kan ada pembantu dua orang dirumah, jadi nggak apa2 kalau Laras tidur disini. Sekarang ibu istirahat saja, kan ini sudah malam."
"Ya, sebentar lagi. Tapi kok ibu belum dikabari tentang hasil lab nya Dita ya?"
"O, iya bu.. kata dokternya, masih ada yang harus diperiksa lagi, nanti hasilnya beberapa hari mendatang baru selesai,"
"O, begitu. Semoga hasilnya baik ya nak."
"Iya bu, kita sama2 berdo'a supaya dita bisa segera sembuh."
Bu Tarjo mengangguk.
"Nak, bolehkah ibu menanyakan sesuatu?"
"Ya bu, tanyakan saja, ada apa?"
"Ibu ingin tau, apakah diantara nak Panji dan Maruti itu ada... mm.. perasaan.. suka.. begitu? Ibu tanyakan ini karena ibu tau bahwa nak Laras dan nak Panji itu saudara sepupu."
"Oh.. iya bu.. sesungguhnya memang mas Panji itu suka sama Maruti, mungkin sebentar lagi dia mau melamarnya."
Tuh kan... bisik batin bu Tarjo.
Bersambung #12
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel