"Bu, apakah ibu tidak suka sama mas Panji?" Laras memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Nak Panji sangat baik, dia menantu yang sempurna," jawab bu Tarjo lirih.
"Tapi, Laras lihat kok sepertinya ibu tidak suka?"
"Suka nak, ibu suka..."
Tapi Laras menangkap keraguan dalam jawaban bu Tarjo.Apa kekurangan mas Panji nya?
***
Maruti melewati hari2nya menunggui Dita dirumah sakit, dengan perasaan tak menentu. Tentang penyakit Dita yang belum ada jawabannya, juga sikap Dita yang selalu dingin terhadapnya. Setiap kali diajaknya bicara, hanya sepatah dua patah kata jawabannya, dan sepertinya enggan diajaknya bicara.
"Dita, mbak merasa Dita enggan berbicara sama mbak. Apa mbak salah sama Dita?" tanya Maruti pada suatu siang ketika sedang berdua.
Tapi Dita kembali menggelengkan kepalanya.
"Tapi sikap Dita aneh, sepertinya benci sama mbak."
"Aku lagi merasakan sakit," jawabnya pendek, kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi kakaknya.
"Oh, gitu ya.. sakit sekali kah perut kamu?"
"Ya..." jawabnya tanpa menoleh.
"Aku mau tidur," lanjut Dita.
Maruti menghela nafas, kemudian mencium kepala adiknya lalu berjalan kearah sofa, menghempaskan tubuhnya disana.
Tiba2 seseorang masuk, dan itu adalah Panji. Berdebar hati Maruti ketika memandangi sosok tegap gagah yang super ganteng itu, dan tersenyum penuh pesona sambil menatapnya mesra. Aduhai.. seandainya Dita tidak sedang sakit, pasti sempurnalah rasa bahagianya melihat kedatangan priya yang dikaguminya.
"Kok sendirian Ruti?"
"Ya, mau sama siapa lagi?"
"Bagaimana Dita?" tanyanya sambil menoleh kearah ranjang, dimana dilihatnya Dita sedang tidur menghadap kearah sana. Panji berjalan mendekati.
"Bagaimana keadaanmu Dita?" tanya Panji pelan, tapi Dita diam saja. Pasti bukan karena tidur karena balum lama masih terjaga. Panji kembali kearah sofa dan duduk disamping Maruti.
"Tidur dia?" tanya Panji..
"Mungkin.. mas tidak kekantor?"
"Ini dari kantor. "
"Kok langsung kemari, apa nggak capek mas?"
"Nggak, kan buru2 pengin ketemu kamu?" goda Panji sambil lagi2 tersenyum sangat manis. Maruti menundukkan muka, tak tahan melihat kilatan senyum yang begitu mempesona.
"Kamu cantik sekali Maruti," kata Panji sambil tak lepas memandangi Maruti.
Maruti tersipu.
Sepasang insan yang saling mengagumi, dan saling jatuh cinta, pastinya. Hanya saja belum saling mengungkapkan isi hati. Tapi bukankah hati juga bisa bicara?
Tiba2 terdengar denting begitu keras, dilantai, dan berserakanlah pecahan gelas.
Maruti dan Panji terkejut, hampir bersamaan mereka mendekati ranjang Dita.
Rupanya Dita telah menjatuhkan gelas yang tadinya terletak dimeja.
"Dita? Kamu mau minum? Harusnya minta saja pada mbak," tegur Maruti sambil memunguti pecahan gelas, lalu dimasukkannnya kedalam kresek plastik yang kebetulan ada disana.
Panji membantunya.
"Hati2 tanganmu terkena pecahan kaca Ruti," Panji mengingatkan.
Ranjang Dita terdengar berderit, Dita memunggungi mereka dengan kasar.
O.. jangan2 Dita memang membanting gelas itu ke lantai, siapa tau? Pembicaraan antara Panji dan Maruti itu pasti terdengar olehnya, walau mereka berbisik bisik.
Ada darah mendidih yang asapnya menguap dari ubun2..
Ada yang ingin dijatuhkannya lagi, Dita berfikir, atau dibantingnya agar suaranya terdengar lebih keras apabila dibanting. Tapi tak ditemukannya barang diatas meja didekatnya kecuali bungkusan plastik berisi roti yang dibawa Laras pagi tadi.
Keduanya masih saja asyik memunguti pecahan gelas.
"Auw..." tiba2 Maruti berteriak lirih, tapi itu membuat Panji meletakkan sekeping kaca yang berhasil dipungutnya.
Dipegangnya tangan Maruti.
"Tuh kan, sampai berdarah," desis Panji yang tiba2 saja tanpa ragu menarik jari tangan itu dan dimasukkannya kemulutnya.
"Maaas..." Maruti terkejut, tapi Panji tanpa sungkan melumat jari itu untuk menghindari infeksi. Itu kata Panji kemudian.
Benarkah itu, atau mitos? Atau memang ia ingin melumatnya? Perlahan Maruti menarik tangannya, wajahnya kemerahan.
"Aku akan minta tensoplast sebentar," kata Panji sambil bangkit berdiri dan mencari suster jaga.
Maruti menghela nafas.
Debaran jantungnya belum berhenti. Juga aliran darah dari luka terkena pecahan gelas itu.
Sementara diatasnya, diranjang tempat tidur, air mata Dita juga menitik pedih.
Gelas yang dijatuhkannya karena kesal, justru membuat bara yang menyala semakin berkobar.
***
Bu Tarjo kembali berada dikamar Dita.
Laras yang menemaninya semalam telah pulang, setelah memasak buat bu Tarjo.
"Nak Laras itu mengapa repot2 segala. ibu itu bisa makan seadanya... lagi pula siang nanti ibu akan kerumah sakit. Maruti berjanji menjemput ibu."
"Nggak apa2 bu, hanya sup ayam, dan perkedel. Semoga ibu suka. Itu juga tadi Laras beli dari tukang sayur yang lewat."
"Terimakasih banyak ya nak, sudah ditemenin, dimasakin enak lezat... bagaimana ibu membalasnya nanti."
"Ibu, ibu tak perlu membalasnya.. kan ini Laras lakukan dengan tulus. Ma'af kalau Laras nggak bisa menemani makan ya, so'alnya ada yang menunggu Laras dirumah. Mungkin mas Panji."
"Nggak apa2 nak, nanti ibu makan masakan nak cantik ini, pasti habis deh."
"Terimakasih ibu."
Bu Tarjo termenung ditepi pembaringan dita. Ia telah selesai sarapan, sup ayam yang tadi dimasak Laras, yang menurutnya sangat enak.
Kembali bu Tarjo membuka bantal Dita, mengambil buku kecil yang kemarin sudah dibacanya.
Bu Tarjo ingin mengulang membacanya, barangkali ada yang salah.
Lembar demi lembar dibukanya, tapi tak ada yang berubah.
Gadis kecilnya jatuh cinta pada Panji, dan itu tembuatnya gelisah.
Sebuah pertarungan cinta memang tak kasatmata, tapi pasti ada yang tersakiti salah satu diantaranya. Dan kini, kedua anak gadisnya lah yang sedang bersabung rasa untuk sebuah cinta.
"Akankah aku berfihak kepada salah satu diantaranya? Mereka adalah anak2ku, dan luka salah satunya adalah lukaku juga,' bisik bu Tarjo sambil menutup kembali buku kecil itu.
Tiba2 ponsel bu Tarjo berdering.
Dari Maruti, apakah dia tak jadi menjemput? Bu Tarjo mengangkat ponselnya.
"Ibu?" suara Maruti dari seberang sana.
"Ya nak, ibu sedang menunggu kamu."
"Bu, Maruti tidak jadi menjemput ibu sekarang."
"Kenapa nduk? Sesuatu terjadi pada adikmu?" tanya bu Tarjo cemas.
"Enggak bu, dokter Santi bilang, mau menemui ibu dirumah, ada yang ingin dikatakannya, katanya, jadi Maruti nanti aja menjemput ibu ya."
"Apa yang akan dikatakan nak dokter sama ibu?"
"Maruti juga belum tau bu, katanya hanya ibu yang boleh tau,Maruti juga cemas, jangan2 tentang penyakit Dita."
"Ya Tuhan.." bisik bu Tarjo lirih.
"Tapi ibu jangan sedih dulu, siapa tau itu berita baik," kata Maruti ragu2, dan bu Tarjo menangkap keraguan itu.
Ditutupnya ponsel dengan perasaan tak enak.
Sudah seminggu Dita dirawat dan hasil pemeriksaan lab itu belum juga usai.
Apakah hari ini akan ada vonis bagi penyakit Dita?
Bu Tarjo mengembalikan buku kecil itu dibawah bantal dan berjalan kearah depan rumah.
Ia duduk disebuah kursi , menunggu kedatangan dokter Santi.
Dipejamkannya matanya, dan bibirnya membisikkan do'a.
"Ya Alloh, sembuhkanlah anakku, angkatlah penyakitnya, biarkanlah dia melanjutkan hidupnya dengan bahagia, dia masih sangat muda ya Alloh," dan menitiklah air matanya.
Mata bu Tarjo yang basah masih terpejam ketika tiba2 seseorang menyentuh lengannya.
Bu Tarjo membuka matanya dan melihat dokter Santi sudah ada dihadapannya.
Dokter cantik itu mengambil tissue dari dalam tasnya dan mengusap air mata bu Tarjo.
"Ibu jangan sedih, bukankah mati hidup manusia itu ada ditangan Alloh Yang Maha kuasa?"
Bu Tarjo tertegun. Mengapa dokter Santi mengucap kata2 seperti itu? Berita burukkah yang dia bawa?
"Duduklah nak," kata bu Tarjo terbata.
"Bu, saya mohon ma'af, kalau berita yang saya bawa tidak menyenangkan hati ibu."
Bibir bu Tarjo bergetar.
Kata2 itu tidak memberikan harapan baik.
"Ada apa dengan anakku?"
"Bagaimanapun beratnya saya harus mengatakan bu, penyakit Dita ternyata sudah parah."
Bu Tarjo bersandar ke sandaran kursi, lemas.
"Memang penyakit Dita tak pernah dirasakan secara serius, tapi itu benar2 serius bu. Dari hasil yang saya baca, Dita tidak akan tertolong."
"Ya Alloh...." kali ini bu Tarjo menjerit, dan meledaklah tangisnya.
Dokter Santi mendekat, merangkul bu Tarjo dan membiarkan wanita setengah tua itu melepaskan tangisnya.
"Kita tidak bisa berbuat apa2 bu, menurut saya, berikanlah kebahagiaan buat Dita pada akhir hidupnya. Turutilah semua kemauannya, dan biarkan tersampai apa yang diinginkannya. Jangan sampai enam bulan terakhir sebelum dia pergi, kekecewaanlah yang dibawanya...Ma'af, saya harus mengatakannya.."
Dan bu Tarjo menangis meraung raung, mengiris hati siapapun yang mendengarnya.
==========
Dokter Santi merangkul bu Tarjo sambil menepuk nepuk bahunya.
Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk menenangkannya.
"Sudahlah bu, ibu serahkan saja semuanya kepada Alloh yang Maha Pemurah, dan mohon mujizatnya ya, karena dokter itu kan juga manusia biasa, sedangkan yang menentukan mati hidup itu ya Sang Pencipta."
Bu Tarjo masih tenggelam dalam sedih yang tak terkira.
"Tapi bu, pesan saya wanti2, jangan sampai Dita mengetahui perihal apa yang saya katakan ini ya, supaya dia bisa memiliki semangat, dan tidak merasa ketakutan."
"Tidak adakah obat yang bisa menyembuhkannya?" terbata akhirnya bu Tarjo berkata.
"Saya mohon ma'af bu, yang ada hanya penghilang rasa sakit, untuk mengurangi penderitaannya. Tapi ibu jangan khawatir, dengan semangat hidup yang besar, barangkali bisa memperpanjang umurnya."
Bu Tarjo masih berlinangan air mata ketika dokter Santi pamit untuk pulang.
"Ibu, hari ini Dita boleh pulang, lakukanlah apa yang saya minta, bahagiakan dia, dan turuti semua kemauannya."
Bu Tarjo mengangguk lemas.
***
Hari itu Dita benar2 boleh pulang.
Maruti yang belum mengetahui keadaan yang sebenarnya menyambutnya dengan suka cita.
Ketika sampai dirumah itu, bu Tarjo telah memasak makanan yang paling disukai Dita.
Ayam goreng dan sup makaroni.
Dita menyantap masakan ibunya dengan lahap, dan itu membuat bu Tarjo sangat terharu.
Namun ditahannya titik air mata dihadapan Dita, seperti pesan dokter Santi.
Dita tak boleh mengetahui apapun tentang penyakitnya.
"Ibu, sudah lama... seperti bertahun tahun lalu baru merasakan masakan selezat ini. terimakasih ibu," kata Dita sambil mengunyah makanannya.
"Syukurlah kalau kamu suka, Dita, habiskan semuanya, dan bilang pada ibu, besok mau dimasakin apa lagi."
"Mmm.. apa ya bu... habis masakan ibu selalu enak sih.. terserah ibu saja lah.. pasti nanti Dita sikat semuanya."
"Baiklah, nanti ibu pikirkan enaknya makan apa."
"Dita, ini obat2mu, mbak taruh disini saja ya, supaya setelah makan kamu tidak lupa meminumnya."
Dita hanya mengangguk.
Sikapnya terhadap Maruti masih kaku, dan tidak bersahabat.
Namun Maruti membiarkannya.
Mungkin nanti kalau Dita benar2 sembuh sikapnya akan berbeda.
"Maruti, tolong bersihkan kamar Dita, ganti dengan seprei dan sarung bantal yang bersih ya," pinta bu Tarjo kepada Maruti.
Tapi Dita buru2 menolaknya.
"Eh... jangan, biar Dita saja yang menggantinya sendiri. Kan Dita sudah tidak sakit lagi," kata Dita sambil meneguk minumannya setelah menghabiskan nasi dipiringnya.
"Tapi kamu baru pulang dari rumah sakit, biar kakakmu saja."
"Tidak bu, biar Dita sendiri, kan Dita sudah sembuh," kata Dita sambil berdiri lalu berjalan kearah kamarnya.
Tak urung titik air mata bu Tarjo setelah menahannya selama ber jam2.
Dita merasa telah sembuh, itu yang membuat nyeri dihati ibunya.
Benarkah umurnya tinggal 6 bulan lagi? Ya Tuhan, jangan ambil nyawa anakku secepat itu. Bisik hati bu Tarjo.
"Ibu menangis ?" tanya Maruti tiba2.
Ketika membersihkan meja makan itu ia melihat air mata ibunya menitik.
"Ada apa bu?"
Bu Tarjo menggeleng.
Maruti merasa, pasti ibunya menangis karena bahagia setelah melihat kesembuhan anaknya.
Maruti melanjutkan membawa piring kotor bekas makan Dita.
"Ibu nggak makan sekalian?"
"Nggak Ruti, ibu sudah kenyang, sebelum Dita pulang ibu sudah makan," kata bu Tarjo berbohong. Mana mungkin bisa tertelan sesuap nasipun ketika mengetahui nasib gadis kecilnya.
"Nanti ibu mau bicara sama kamu. Tapi nanti, atau kapan saja kalau ada kesempatan yang baik", kata bu Tarjo lirih, takut Dita mendengar suaranya.
"Ada apa bu?" tanya Maruti heran.
"Nanti saja..," jawabnya, masih dengan suara pelan.
***
Sampai pagi tiba bu Tarjo belum mengatakan apapun.
Setelah memasak makanan untuk sarapan, Maruti bersiap untuk berangkat kekantor.
Sudah lama dia pamit, karena Agus tak mengijinkan dia masuk kerja.
"Kamu masuk kerja hari ini?" tanya bu Tarjo ketika melihat Maruti sudah bersiap.
"Ya bu, sudah lama meninggalkan pekerjaan, dan Dita kan sudah sembuh, jadi saya bisa mulai bekerja lagi. Ibu tidak usah memasak, untuk pagi dan siang Maruti sudah memasaknya."
"Baiklah, tapi nanti kalau Dita ingin masakan yang lain, ibu akan buatkan."
"Baiklah bu. Dita masih tidur?"
"Biarkan dia tidur, "
"Jangan lupa ibu ingatkan obatnya ya bu," pesan Maruti sambil mencium tangan ibunya.
"Nanti ibu akan menelponmu," kata bu Tarjo
Walau tak mengerti maksudnya, Maruti mengangguk dan berlalu.
***
Maruti senang hari itu bisa masuk kerja kembali.
Agus menyambutnya dengan suka cita.
"Syukurlah kamu sudah bisa masuk Maruti, bagaimana keadaan adikmu?"
"Kemarin sudah boleh pulang kerumah pak, alhamdulillah."
"Aku ikut senang, dan ma'af, aku tidak bisa menengoknya waktu dirumah sakit."
"Tidak apa2 pak, saya mengerti bapak pasti sibuk. Dan lagi tidak apa2, sekarang Dita sudah sembuh."
"Syukurlah."
Tiba2 ponsel Maruti berdering.
Dari Panji, Maruti segan menjawabnya. Rikuh terhadap atasannya.
"Angkatlah, aku tidak apa2," kata Agus yang kemudian berlalu menuju ruangannya.
"Hallo mas.." sapa Maruti
"Maruti, kamu sudah ada dikantor?"
"Ya mas, Dita sudah boleh pulang kemarin."
"Syukurlah, nanti sore sepulang kantor aku akan menjemputmu."
"Tapi...."
"Dulu aku belum sempat mengatakan apapun yang ingin aku katakan sama kamu, nanti harus tersampaikan."
Maruti berdebar. Ia teringat ketika Panji ingin mengatakan sesuatu, lalu tiba2 ibunya menelpon dan mengatakan bahwa Dita sedang sakit.
"Maruti, kamu masih disitu?"
"Oh.. eh.. ya mas... " gugup Maruti menjawabnya.
"Baiklah, jangan lupa aku akan menjemputmu. Selamat bekerja Maruti."
Panji menutup pembicaraan itu, dan Maruti masih menata debar jantungnya.
Ya ampun.. mana minuman hangat yang bisa menenangkan perasaannya? Ia melangkah ke pantry, dan membuat teh hangat itu sendiri.
Maruti merasa tak tenang selama melakukan tugasnya gara2 telepon dari Panji tadi.
Ia menghirup sedikit teh yang selesai dibuatnya ketika tiba2 terdengar seseorang menyapanya.
"Maruti.." Hampir terlepas cawan berisi teh yang dibawanya.
Dilihatnya Agus telah mengambil cawan dan diletakkannya dimeja.
"Pak.. Agus.. mengapa membuat kopi sendiri?"
"Ya... ingin saja.. supaya pas seperti yang saya inginkan," jawab Agus sambil menyendok kopi yang tersedia disana.
"Biar saya yang buatkan pak..," kata Maruti sambil meletakkan cawannya sendiri kemudian melanjutkan menyendok kopi dan gula serta menuanginya dengan air panas.
Agus membiarkannya, dan diam2 mencuri pandang kearah gadis yang dengan cekatan membuatkan kopi untuk dirinya.
Cantik, pintar .. baik hati.. dan ...
"Sudah pak.. biar saya bawa ke ruangan bapak,"
"Jangan, biar aku bawa sendiri saja," kata Agus sambil mengambil cawan berisi kopi yang harumnya mulai menusuk hidungnya.
"Hm... cantik.." gumamnya ..
"Kopinya cantik...?"
"Oh eh... keliru.. maksudku harum..." katanya lalu berjalan mendahului Maruti, meninggalkan gadis yang kemudian tersenyum senyum sendiri.
Dalam berjalan itu Agus diam2 menyesali nasibnya.
Nasib buruknya karena Maruti telah menjadi pilihan sabahatnya.
***
Jam istirahat siang tiba, Maruti sedang membuka bekal makan siangnya, ketika kemudian ibunya menelpon.
"Maruti," kata bu Tarjo dari seberang sana.
"Ibu ada di warung soto pak Maman, datanglah menemui ibu ya."
"Lhoh.. ada apa bu? Tak biasanya ibu makan siang diluar, lagipula Maruti kan sudah memasak buat makan siang ibu dan Dita.." jawab Maruti terheran heran.Hatinya mulai dirayapi perasaan tak enak.
"Datang saja sekarang, ada yang ingin ibu katakan."
Dan tanpa menunggu Maruti menjawab, bu Tarjo sudah menutup pembicaraan itu.
Maruti menyimpan kembali bekal makan siangnya.
Lalu bergegas keluar, memanggil ojek on line menuju kewarung pak Maman, warung soto langganan keluarganya, disa'at mereka sedang ingin makan diluar.
Warung sederhana, tapi nikmat masakannya.
Ketika maruti memasuki warung itu, dilihatnya ibunya sudah duduk disebuah bangku disudut warung.
Maruti mendekat dan duduk dihadapan ibunya.
Dilihatnya wajah ibunya muram, dan ada gurat kesedihan yang seakan ditahannya.
Hati Maruti tercekat.
"Ada apa bu?"
Bu Tarjo tak sanggup menahan jatuhnya air mata, membuat Maruti bertambah bingung.
"Bu, kalau ibu harus menangis, mengapa tidak dirumah saja? Disini banyak orang, nanti kita jadi tontonan," bisik Maruti sambil mengusap air mata ibunya.
"Tidak bisa dirumah, nanti Dita mendengarnya," jawabnya terbata.
"Sebenarnya ada apa bu?"
"Maruti, adikmu mencintai nak Panji,"
Maruti tertegun.
Hanya karena itu, mengapa ibunya sampai menangis? Bahwa Dita suka sama panji, Maruti sudah tau, tapi kalau sampai ibunya kemudian mengatakannya sambil menangis, Maruti benar2 bingung.
"Ibu tau nak Panji suka sama kamu, ibu minta, iklaskan dia untuk adikmu ya?"
Maruti terperangah. Bagaimana cinta bisa dialihkan ke lain hati?
Bersambung #13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel