Cerita bersambung
Maruti tak menjawab apapun. Dipandanginya ibunya yang masih berlinangan air mata. Hanya karena Dita jatuh cinta maka ibunya menangis nangis seperti ini? Maruti tak mengerti. Sekarang, ketika seseorang ingin merenggut Panji darinya, ia merasa, bahwa dirinya memang benar2 jatuh cinta pada Panji.Sungguh Maruti takut kehilangannya. Sakit hatinya ketika ibunya meminta agar ia mengikhlaskan Panji pada Dita. Terbayang wajah tampan yang selalu memandanginya dengan mesra dan membuatnya tersipu malu. Terbayang senyuman menghanyutkan yang selalu terbawa dalam mimpi2nya. Benar, aku jatuh cinta.. pikir Maruti. Ada rasa kesal mendengar kata2 ibunya. Dalam segala hal, ia bersedia mengalah, tapi cinta? Aduhai, jangan sekejam itu.
"Maruti, kamu dengar kata2 ibu?" bu Tarjo membuyarkan lamunan Maruti.
"Apa bu, Ruti tidak mengerti..."
"Ibu minta, ikhlaskan nak Panji untuk Dita," mata bu Tarjo masih berlinangan..
"Mengapa hanya karena Dita lalu ibu harus datang ketempat ini.. dan berbicara begitu pada Maruti? Cinta itu kan masalah perasaan bu, rasanya sulit mengikhlaskan sebuah cinta. Dan nanti biarpun Ruti ikhlas, maukah mas Panji menerimanya? Ini tidak mudah, dan saya kira ibu tidak usah terlalu memikirkannya sampai menangis nangis begini. Biarlah waktu berjalan, dan waktu yang akan menentukan. Jodoh itu kan sudah digariskan oleh Allah."
Bu Tarjo mendengarkan kata2 Maruti, dan kembali air matanya bercucuran. Maruti mengusapnya bingung.
"Ibu, sudahlah bu, jangan menangis lagi."
"Berilah kebahagiaan pada adikmu diakhir kehidupannya," bergetar suara bu Tarjo.
"Apa maksud ibu?" Maruti tiba2 merasa cemas. Ini bukan masalah mengikhlaskan sebuah cinta, pasti ada yang lain.
"Umur adikmu diperkirakan tinggal 6 bulan lagi."
Dan Maruti merasa seakan sebuah palu menghantam kepalanya keras2.
Matanya memandang ibunya tak berkedip.
"Itu benar, kemarin dokter Santi mengatakannya."
"Sebenarnya sakit apa Dita? Katanya hanya sakit perut biasa."
"Ibu tidak bertanya penyakitnya apa, tapi katanya sudah parah dan tidak bisa disembuhkan."
"Nanti Maruti akan menghubungi dokter Santi dan bertanya lebih jauh. Ruti kira Dita baik2 saja."
"Kamu jangan menentang diagnose dokter, dia mengatakan pasti karena sudah melakukan pemeriksaan. Bukankah waktu di rumah sakit sudah dilakukan pemeriksaan macam2?"
"Benar bu, tapi penyakit yang sebenarnya kita belum mengetaahui, Ruti harus ketemu dokter Santi lagi."
"Terserah kamu saja. tapi ibu minta, mengalahlah untuk adikmu."
***
Siang itu juga Maruti meminta ijin pada Agus untuk menemui dokter Santi.
Dan keterangan dokter Santi sama seperti apa yang dikatakan ibunya, hanya saja dokter Santi mengatakannya lebih jelas. Kanker lambung.
"Begitu tiba2?" tanya Maruti.
"Kanker lambung biasanya dikeluhkan ketika sudah pada stadium akhir. Dirumah sakit Dita beberapa kali muntah darah. Itu kamu tidak tau Maruti."
Maruti tercekat. Dita jarang bicara padanya, apakah separah itu?
"Apa tidak ada tindakan yang bisa menyembuhkannya?"
"Ada, nanti pasti ada, kan Dita sudah aku beri obat2 yang harus diminum sampai habis. Itu rekomendasi dari dokter ahli yang menanganinya. Dia hanya berbicara sama aku karen aku yang merawatnya. Nanti apa ada tindakan chemotherapi, atau operasi, bisa jadi.. tapi aku ingin mengatakan terus terang, keadaan penyakitnya sudah sangat parah, sehingga aku tidak bisa menjanjikan apa2. Ma'af ya, aku tidak bisa menutupi apapun supaya keluarganya tidak banyak berharap. Cuma saja jangan sampai Dita mengetahui hal ini."
Keterangan dokter itu membuatnya limbung. Intinya, tak ada harapan untuk kesembuhan Dita. Ya Tuhan.. itu sebabnya ibunya menangis nangis.
***
Hari itu benar2 tak ada yang bisa dikerjakan Maruti.
Kenyataan yang harus dihadapi sungguh membuatnya seperti berada diawang2, terbawa angin, tanpa pegangan.
Seperti mimpi membayangkan dirinya akan kehilangan adiknya.
" Ya Tuhan, akan aku berikan apapun yang bisa aku berikan untuk kamu, Dita," bisik Maruti pilu.
Maruti kemudian teringat, sikap Dita akhir2 ini yang sangat cuek padanya, apakah karena cemburu?
Sungguh Maruti tidak merasakan hal itu.
Kalau Dita tertarik pada Panji, itu Maruti sudah tau, tapi jatuh cinta? Ya ampun.. kalau bisa akan aku berikan mas Panji padamu Dita, agar kau bahagia.
Tapi apakah mas Panji mau?
Maruti masih duduk dikursi kerjanya ketika tiba2 sepasang tangan kecil menepuk pahanya.
Maruti terkejut dan melihat siapa yang datang menggelendot di pangkuannya.
"Sasa?"
"Tante..." sapa mulut mungil itu sambil tersenyum manja.
Maruti mengangkat tubuh Sasa dan mendudukkan di pangkuannya.
"Sasa sama siapa?"
Jari kecil itu menunjuk ke arah pintu, dan suster Sasa memasuki ruangan sambil tangannya melambai kearah Sasa.
"Sasa nggak boleh nakal.."
"Nggak kok mbak, Sasa nggak nakal, ya kan? Sasa mau jemput papa ya?"
"Ayo..ayo.. aku mau ketemu papa..," rengek Sasa sambil melorot turun dari pangkuan, dan menarik tangan Maruti agar mengikutinya.
"Sasa... ketemu papa sama mbak saja ya," tolak Maruti lembut, tapi Sasa menggelengkan kepalanya.
"Mau sama tante... ayo.. ayo.."
"Sasa.. jangan nakal.. ayo sama mbak saja..," tegur perawatnya sambil menaarik tangan Sasa.
"Sama tante.. sama tante.."
Maruti terpaksa menurut, mengikuti langkah2 kaki kecil yang setengah berlari menuju ruangan papanya. Tapi sebelum Maruti mengetuk pintu ternyata Agus sudah keluar dari ruangannya. Wajahnya berseri ketika melihat anaknya.
"Sasa..." Diangkatnya tubuh Sasa tinggi2 dan Sasapun terkekeh senang.
"Saya permisi dulu, " kata Maruti.
"Eh.. Maruti, kamu pulang sama siapa?"
"Saya...." ragu2 Maruti menjawabnya..
"Oh, Panji menjemputmu?" tebah Agus sambil menurunkan anaknya.
"Entahlah, mungkin.."
"Ya sudah.. tungguin saja... aku pulang dulu sama Sasa ya,"
"Silahkan pak.."
"Tante kok nggak ikut?"tiba2 Sasa nyeletuk.
"Tante masih nanti pulangnya...ayo, kasil salam dulu sama tante," kata Agus.
"Tadi kata papah mau jalan2 sama tante .." Sasa protes, tampaknya sa'at menelpon papanya Agus berjanji akan mengajak Maruti jalan2.
"Papah lupa, ternyata tante Maruti tidak bisa ikut bersama kita sekarang. Lain kali ya?"
Sasa menyalami Maruti. Mata kecilnya yang seperti bola mungil berbinar memandangi Maruti, tampaknya kecewa karena Maruti ternyata tidak ikut bersamanya.
Pada sa'at Agus keluar dari pintu depan, datanglah Panji. Keduanya bersalaman tapi Agus segera berlalu. Sasa ingin buru2.
Panji melangkah mendekati Maruti dengan wajah berseri. Dilihatnya Maruti masih berdiri terpaku ketika melihatnya.
"Maruti, ma'af terlambat, tadi janjian sama Laras, omong agak lama."
"Nggak apa2 kok mas," jawab Maruti pelan, yang kemudian mengikuti langkah Panji yang menggandengnya menuju mobil.
Ya Tuhan, apakah ini kebersamaan bersamanya yang terakhir? Apakah ia harus melepaskan bahagia yang seharusnya direngkuhnya? Ribuan pisau seakan menyayat nyayat hatinya, perih tak terhingga, dan berlinanglah air matanya.
Beruntung ketika itu Panji sedang membuka mobil, dan Maruti cepat2 menghapusnya.
Ketika Panji membukakan pintu untuknya, Maruti pura2 menolah kearah lain, sehingga Panji tidak melihat wajahnya.
Maruti duduk disamping kemudi, dan diam tak bergerak.
Bermacam perasaan mengaduk aduk perasaannya.
Antara kehilangan adiknya dan kehilangan cintanya.
"Maruti, apa kamu marah karena aku terlambat menjemputmu?"
"Oh, apa? Tidak... bukan mas... " gugup Maruti menjawabnya.
"Kok diam ?"
"Kepalaku sedikit pusing mas," jawab Maruti sekenanya.
" Lho, sudah minum obat belum?" tanya Panji khawatir.
"Sudah.. sudah mas, nggak apa2 kok, nanti juga sembuh."
"Baiklah, sekarang aku mau sedikit cerita dulu. Aku tadi bicara sama Laras. Dulu aku pernah bilang akan membuka cabang perusahaan diluar kota, ini hampir selesai aku urus. Segala sesuatunya akan beres kira2 bulan depan, dan Laras sudah aku suruh ikutan menata semuanya. Dan seperti janjiku, nanti kamu akan bekerja sama dalam mengurus perusahaan itu, bersama Laras."
Maruti mendengarkan, tapi tak ada reaksi apapun atas semua yang dikatakan Panji. Panji penasaran. Disebuah tempat sepi, dihentikannya mobilnya.
"Ruti, kamu masih pusing?" tanya Panji yang merasa sangat khawatir.
Kini tak tahan lagi Maruti membendung tangisnya. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya, dan tenggelam dalam isak yang menyayat.
Panji kebingungan. Duduknya agak bergeser mendekat kearah Maruti, dirangkulnya Maruti, dan dibiarkannya kepalanya rebah pada bahunya. Panji mengelus punggung Maruti lembut.
"Ada apa sebenarnya? Kamu seperti memendam sesuatu."
"Mas, aku mohon.... penuhilah permintaanku," isaknya.
"Ya, tentu, permintaan apa ?"
"Cintailah Dita.."
Dan serta merta Panji melepaskan rangkulannya.
==========
Panji duduk menjauh dari Maruti, membiarkan gadis yang dicintainya masih menangis sambil menutupi mukanya.
"Kamu bilang apa? Cintai Dita? Kamu pikir cinta itu apa Ruti? Coba ulangi kata2 kamu tadi, apa aku salah mendengarnya?"
"Aku mohon.. mas."
"Kamu tidak tau bagaimana cinta? Kamu tidak bisa mengerti bagaimana cinta? Memangnya cinta bisa dipindah tangankan seperti barang? Ini masalah perasaan Ruti. Aku mencitaimu. Itu sesungguhnya yang ingin aku katakan secara lisan ketika aku akan menjemputmu sore ini. Tapi belum2 kamu merusak segalanya, ada apa Ruti?" kata Panji dengan nada tinggi, ada amarah yang tertahan melihat tangis Maruti.
"Mas...."
"Sekarang aku ingin kamu menjawabnya, jawab yang jujur, apakah kamu mencintai aku?"
Maruti masih terisak.
"Jawab Maruti, apa kamu mencintai aku?"
"Aku... sangat..."
"Sangat apa? Jawab dengan jelas."
"Aku cinta mas.." lalu tangis itu meledak lagi.
"Maruti, sayangku.. kalau begitu tidak ada yang bisa memisahkan kita, tidak ada yang akan merusak kebahagiaan kita, walau itu adikmu sekalipun."
Panji kembali mendekati Maruti dan merengkuhnya dalam pelukan yang sangat erat.
Membiarkan tangis Maruti terbenam didadanya, air matanya membasahi bajunya.
Panji mengelus kepala Maruti lembut.
"Aku tau hatimu sangat baik, kamu menyayangi adikmu, bahkan mungkin akan kamu berikan apapun yang kamu punya kepada siapapun yang memintanya. Tapi ini cinta, rasa, tidak bisa dialihkan begitu saja," kata Panji sambil terus mengelus kepala Maruti.
"Tapi mas.. aku ingin memberikan kebahagiaan pada Dita di akhir hidupnya," kata Maruti disela sela tangisnya.
Panji tertegun.
"Pada akhir hidupnya? Apa maksudmu?"
"Dokter memvonis Dita karena penyakitnya, umurnya hanya kira2 6 bulan lagi."
"Apa? Sebenarnya apa penyakit adikmu sehingga ada vonis seperti itu?"
Maruti menceriterakan semua apa yang dikatakan Santi kepada Panji.
Ibunya memaksa dirinya untuk merelakan Panji kepada Dita, untuk memberikan kebahagiaan pada sisa hidupnya.
Panji mendengarnya tanpa mengucap apapun. Tapi akhirnya..
"Tidaaak, aku tidak bisa."
"Maaas.. tolong mas.," ratap Maruti, tapi Panji tidak bergeming.
Ia menjauh dari Maruti dan bersiap menjalankan lagi mobilnya.
Maruti menubruknya. Membenamkan kepalanya dipangkuan Panji, dan melanjutkan tangisnya disana.
"Mas.. aku harus menyembahmu agar mas mau menurutinya ? Biar itu aku lakukan.."
"Tidak ada yang bisa kamu lakukan. Tidak.. Tidak.. dan Tidak !!"
"Di akhir hidupnya mas.. tolonglah.. Dita mencintai mas... menikahlah sebelum semuanya terlambat dan dia meninggal dengan hati terluka," ratap Maruti.
Mobil itu berjalan perlahan.. Maruti masih menelungkup dipangkuan Panji.
"Maas ... tolong aku mas... "
"Tidak.. Mintalah apapun.. tapi jangan cinta ini kau berikan kepada siapapun.. hanya untuk kamu Maruti... hanya untuk kamu.!" tandas Panji sambil terus menjalankan mobilnya.
Bukan kearah rumahnya, tapi rumah Maruti.
Maruti terus saja menangis, dan Panji tak henti2nya mengatakan tidak.
Sampai mobil itu berhenti, tepat didepan pagar rumah Maruti.
"Maruti, kita sudah sampai, ini rumahmu, turunlah," kata Panji dingin, sedingin air es yang seakan mengguyur ubun2 Maruti, dan membuatnya menggigil.
"Turunlah...," pinta Panji sambil mengangkat kepala Maruti yng masih telungkup dipangkuannya.
Maruti bangkit, mengusap air matanya lalu turun dari atas mobil, dan berlari kearah rumah.
Panji memandangi punggungnya, dengan perasaan pilu.
Tak urung setitik air matapun turun dan membasaki pipinya.
***
"Lho mas, katanya mau menjemput Maruti dan melamarnya," tegur Laras ketika tiba2 Panji nyeloning masuk lalu duduk disofa yang ada di teras itu.
"Mas... kamu kesurupan ya?" seloroh Laras yang dianggapnya tidak lucu oleh sepupunya.
Wajahnya muram. Matanya terpejam dan kepalanya direbahkan pada sandaran kursi.
"Waduh.. bener2 nih.. Kesambet setan mana kamu mas? Kamu sakit?" Laras memegang dahi Panji, tapi tak ada tanda2 bahwa sepupunya sedang sakit.
"Ini tak mungkin Laras, sungguh... ini tak mungkin.." keluh Panji lirih.
"Apanya yang tak mungkin? Apanya mas? Oo... cintamu ditolak ? Iya mas?"
Panji menggeleng.
"Aneh kalau Maruti menolak cintamu, kelihatan kok kalau ia sayang banget sama kamu. Ya kan mas?" Laras menyibakkan rambut Panji yang sedikit tergerai ke dahinya.
Mereka sangat dekat sejak masih kecil, suka ataupun duka, Panji selalu membaginya bersama Laras, demikian pula sebaliknya.
Laras melihat ada bekas air mata dipipi Panji.
"Kamu menangis? Astaga.. ada cowok gagah.. ganteng.. pintar.. pengusaha muda yang sukses.. bisa menangis? O lala... siapa gerangan yang menyakitimu mas, biar aku hajar dia," Laras masih mencoba mencandai kakaknya. Tapi Panji tak bisa tersenyum kali itu.
"Baiklah, aku ambil minuman dulu untuk kamu, supaya hatimu lebih tenang dan bisa menceriterakan apa yang terjadi."
Tapi sebelum beranjak, Panji memegangi tangannya erat. Ia khawatir nanti tantenya bertanya dan ikut terbebani dengan perso'alannya.
"Piye ta mas..." Laras kembali duduk, disebelah Panji.
"Laras, Maruti sudah gila.." keluh Panji lirih.
"Gila? Gila bagaimana ?"
"Masa aku disuruh mencintai Dita..adiknya.."
"Haaa? Lha kenapa? Maruti nggak mau sama mas? Menolak cinta mas ?"
Panji kemudian menceriterakan perihal Dita yang kata dokter umurnya tinggal 6 bulan lagi.
Laras mendengarnya dan terkejut.
"Masa sih mas, kan Dita kelihatannya sehat2 saja? Tapi kalau iya, mengapa Maruti harus minta supaya mas mencintai Dita?"
"Nggak tau juga aku, katanya Dita suka sama aku.."
"Lhah, maksud Maruti, supaya Dita bahagia diakhir hidupnya, begitu..?"
"Nah itulah, tapi mana aku bisa Laras? Ini kan masalah perasaan.. bagaimana bisa aku menikahi wanita yang tidak aku suka, dan apa tidak kasihan dia mendapatkan cinta yang pura2?"
"O.. baiklah, aku mencoba memahami perasaan Maruti. Begini, kalau benar perkiraan dokter itu, Maruti ingin memberikan kebahagiaan bagi adiknya di akhir hidupnya. Dia tau Dita suka sama mas, maka alangkah bahagianya apabila mas bisa mengimbangi perasaannya. Itu maksudnya Maruti.. dia ingin memberikan apa yang diinginkan Dita sebelum dia meninggal."
"Ya mana bisa aku mengimbangi perasaan Dita, sementara aku tidak suka sama dia..?" suara Panji meninggi.
"Benar, tidak suka, berpura2lah mas, demi kebahagiaan Dita di akhir hidupnya."
"Berpura pura? O.. tidak.. tidak.. aku tidak bisa. "
Laras menghela nafas panjang, memang sulit, tapi Laras masih berharap akan ada jalan terbaik untuk sahabatnya, dan juga untuk sepupunya.
***
Maruti menangis dikamarnya. Malam telah raut, tapi tak sedikitpun matanya bisa terpejam. Harapan untuk membahagiakan adiknya kandas, apa yang bisa dilakukannya? Tadi dia memasuki kamar Dita, dilihatnya Dita tertidur pulas, memeluk guling kesayangannya. Wajah polos nan cantik itu akan segera meninggalkannya,
"Ya Tuhan, tolong jangan ambil nyawa adikku.Ambil saja nyawaku untuk menggantikannya.." rintih Maruti sambil mengelus kepala adiknya.
Lembut elusan itu, takut kalau sampai Dita terbangun.
Kemudian dia masuk kekamarnya sendiri, dan tenggelam dalam tangis disana.
"Apa sekarang yang harus aku lakukan? Kebahagiaan mana yang bisa melingkupi kehidupan Dita diakhir hidupnya?"
Ketika tiba2 ia merasa haus, lalu ia keluar kamar dan menuju kearah dapur. Namun dilihatnya Dita juga sedang menuang air dingin dari dalam kulkas.
"Dita, mengapa minum air dingin?" tegus Maruti.
"Haus.." jawab Dita singkat.
"mBak buatkan teh panas ya?"
"Nggak usah, ini cukup."
"Oh ya Dita, mbak lupa bilang, tadi ada salam buat kamu lho," kata Maruti sambil tersenyum.
"Dari siapa?"
"Dari mas Panji," kata Maruti berbohong.
"Oh ya?" mata Dita berbinar. Hati Maruti berdebar, kebohongan ini akan berbahaya apabila nanti Dita mengetahuinya.
"Tadi mbak jalan sama mas Panji?" pertanyaan ini penuh rasa cemburu, dan Maruti bisa menangkapnya.
"Nggak, kan mas Panji teman pak Agus, jadi kadang2 ketemuan disana. Tapi nggaak selalu ketemu mbak kok. Kebetulan saja tadi ketemu," kebohongan berlanjut.
"Oh, kalau ketemu lagi titip salam juga dari aku,"
"Baiklah, memang kamu selalu yang ditanyakan setiap ketemu. Dia juga bilang belum bisa menengok kamu karena kesibukannya."
"Ya, gak papa."
"Sekarang tidurlah lagi, malam telah larut."
Dita menghabiskan air dalam gelas yang tadi dituangnya, lalu keluar dari dapur menuju kekamarnya.
Maruti menghela nafas panjang. Apakah kebohongan itu akan membuat Dita akan bersikap baik padanya? Entahlah.
***
Maruti bangun kesiangan sehingga tak sempat membuat sarapan buat ibu dan Dita. Ia hanya menggoreng telur mata sapi dan membuat sambal kecap kemudian makan beberapa sendik nasi, lalu bersiap pergi.
"Kamu sudah mau berangkat?" tegur ibunya.
"Ya bu, ma'af Ruti nggak sempat memasak apapun kecuali goreng telur dan sambal kecap. Untuk makan siang nanti....." ibunya langsung memotong..
"Untuk makan siang nanti biar ibu yang memasak, Dita minta dibuatkan ca brokoli, jadi ibu bisa menunggu tukang sayur datang nanti."
"Baiklah bu, terimakasih, Dita berangkat sekarang ya.." Maruti mencium tangan ibunya.
Namun tiba2 didengarnya mobil berhenti diluar pagar, itu mobil Panji.
Maruti berdebar debar.
Bersambung #14
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel