Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 05 Januari 2021

Saat Hati Bicara #14

Cerita bersambung

Maruti menghentikan langkahnya dan menunggu pengendara mobil itu mendekat. Tapi Maruti heran, yang keluar dari mobil itu adalah Laras.

"Wah, beruntung kamu belum berangkat."
"Tumben pagi2 sudah sampai sini." sapa Maruti menyambut kedatangan tamunya.
"Ya, dan aku pakai mobil mas Panji."
"Oh, lha mas Panji kemana ?"
"Dia sakit dirumahku."
Maruti terkejut.
"Sakit ? Sakit apa ?"
"Sakit hati lah.." jawab Laras, berbisik.Maruti yakin Panji sudah mengatakan semua yang terjadi sore kemarin.

"Ma'af kalau aku penyebabnya.." jawab Maruti lirih. Ia kemudian menggandeng Laras masuk ke teras.
"Duduklah dulu, tapi aku akan segera berangkat kerja."
"Nanti aku antar kamu, sekarang aku mau ketemu Dita," kata Laras yang kemudian berdiri dan langsung masuk kedalam rumah.
"mBak Laras ?" teriak Dita yang sedang duduk dimeja makan.
"Hai Dita, sudah sehat kah ?" tanya Laras yang kemudian juga duduk didepan Dita.
"Sehat banget mbak, ayo sarapan, cuma telur nih.."
"Aku sudaah sarapan. Mana ibu?"
"Lagi dikamar, tuh.."
"Oh ya, ini, ada titipan buat kamu," kata Laras sambil mengangsurkan sebuah bungkusan.
"Eh.. apa nih? Titipan dari siapa?"
"Dari mas Panji."
"Dari mas Panji? Oh ya.. apa nih..?" Laras melihat sinar mata Dita berbinar. Trenyuh mengingat wajah cantik yang tampaknya sehat itu hanya memiliki beberapa bulan lagi untuk hidup.
"Buka aja, kata mas Panji kamu suka."
"Hm..ayam goreng nih baunya... horeee..." teriak Dita gembira.

Bu Tarjo yang muncul tiba2 terkejut mendengar Dita berteriak.
"Ada apa Dita? Oh.. ada nak Laras? Ayo buatkan minum dulu untuk mbak Laras, Dita.
"Ibu, mas Panji mengirimi aku ayam goreng, aku mau nambah lagi makannya ya." kata Dita gembira.
"Boleh saja. Tapi buatkan minum dulu tamunya."
Tapi Laras menolaknya.
"Nggak usah bu, saya hanya mampir, dan sekalian mau ngantar Maruti berangkat kerja, jadi sekarang juga saya mau pamit ya bu."
"Oh, untunglah Maruti belum berangkat."
***

Diperjalanan Maruti menanyakan keadaan Panji.

"Dia sakit, semalam nggak bisa tidur, pagi ini dia belum bangun, badannya panas, tapi aku sudah memberinya obat."
"Ya ampun, kenapa tidak kamu bawa ke dokter?"
"Nggak mau dia, orang sakitnya tuh sakit hati." jawab Laras sekenanya.
"Kamu membuat aku merasa bersalah Laras," Keluh Maruti.
"Sebenarnya bagaimana penyakit Dita, aku lihat tadi baik2 saja, seger, terlihat sedikit gemuk,"
"Ya, kata dokter Santi obat2nya lebih bayak penghilang rasa sakit, jadi dia tidak kesakitan seperti kemarin2. Tapi Laras, sebentar, darimana kamu dapatkan ayam goreng yang kata kamu kiriman dari mas Panji?"
"Oh, itu karangan aku saja," Laras tertawa.

Maruti tertegun, dirinya semalam juga mengucapkan kata2 bohong tentang perhatian Panji pada Dita, dan sekarang Laras melakukannya. Maruti tersenyum. Sikap ingin menyenangkan itu semoga tidak akan berbuah menyakitkan bagi Dita. Itu do'a Maruti, dan mungkin juga Laras.

"Padahal mas Panji sama sekali tak punya perhatian untuk itu," keluh Maruti.
"Siapa tau nanti hati mas Panji bisa terbuka. Dan sekarang aku mau nanya sama kamu Ruti, maukan kamu menunggu seandainya nanti mas Panji mau?" pertanyaan ini sesungguhnya agak menyakitkan, karena seperti berharap akan kematian Dita. Kalau dijelaskan kan begini kalimatnya, maukah kamu menunggu sampai Dita meninggal dan mas Panji bisa kembali untukmu? Aduh..bagai tersayat hati Maruti mendengarnya.

"Ruti, aku minta ma'af, tapi bukankah ini kenyataannya?" tanya Laras hati2. Sesungguhnya Laras juga tak ingin menyinggung perasaan Maruti. Keputusan itu kan bagai buah simalakama, cuma hanya ada satu titik sasaran. Dijalani Dita mati, tidak dijalani juga Dita mati.

"Tidak, aku mengerti. Kamu tau Laras, aku sangat mencintai mas Panji, aku tak akan berpaling darinya, sampai kapanpun." jawaban ini lebih santun, tidak mengatakan kalau dia meninggal aku tetap akan menunggunya. Laras mengerti dan mengangguk. Hanya saja mereka belum tau, kapan Panji juga akan mengerti.
***

Laras mengantarkan Maruti sampai ketempat meja kerjanya. Sesungguhnya Laras ingin ketemu si ganteng yang berkumis, tapi malu mengakuinya. Semoga ketemu, begitu bisiknya dalam hati.
Dan keinginan Laras terpenuhi. Kedatangan mereka justru bersamaan. Ada gadis mungil yang ikut mengantar ayahnya bersama perawatnya. Berdebar Laras menyambutnya.

"Hai Laras, tumben pagi2 sudah sampai sini."
"Mengantar Maruti nih mas, sekarang mau pamit. Hai Sasa.. masih ingat sama tante?" sapanya pada Sasa.
Namun Sasa berlari mendekati Maruti.
"Tante, ayo jalan2 sama Sasa.." teriaknya.
"Sasa, tante kan lagi bekerja," jawab Maruti sambil memegangi pipi gadis kecil itu.
"Tuh ditanya sama tante Laras, lupa nggak sama tante Laras," lanjut Maruti..
Sasa memandangi Laras dan menggeleng.
"Sasa ingat..."
"Ayo beri salam sama tante Laras," kata Agus
Laras berlari mendekati Laras dan mencium tangannya.
"Sudah, sekarang Sasa pulang ya , dan ingat, nggak boleh nakal," kata Agus.

Sasa berlalu, ada rasa kecewa dihati Laras, karena Sasa lebih perhatian sama Maruti daripada dengan dirinya.

"Laras, duduklah dulu, nggak apa2 menemani Maruti," kata Agus.
"Nggak mas, nanti mengganggu, sekarang saya pamit dulu."
"Baiklah, oh ya.. nggak bersama Panji? Aku melihat mobil Panji didepan, aku kira ada Panji disini."
"Ya, saya pakai mobil mas Panji, kebetulan nggak dipakai. Permisi, saya pamit dulu mas," kata Laras yang kemudian berlalu.
"Hati2 dijalan Laras," teriak Maruti.

Laras melambaikan tangan, dan Agus mengantarkan sampai kedepan.
***

"Aku tadi membawa oleh2 ayam goreng buat Dita," kata Laras kepada Panji setelah sampai dirumah.
Laras memegang dahi Panji, dan merasa lega, tidak terasa panas lagi.
"Dita senang mendapatkan ayam goreng itu. Aku bilang kiriman dari kamu mas," Laras berterus terang.
"Kok kamu bohong begitu, nanti dia banyak berharap dari aku," Panji memprotes apa yang dilakukan Dita.
"Aku hanya ingin menyenangkan dia, dan nyatanya dia senang kok," jawab Laras seenaknya.
"Kamu itu.." keluh Panji."
"Mas, aku tadi bicara sama Maruti."
"Tentang apa?"
"Aku bertanya, apakah Maruti mau menunggu sampai... ya Tuhan.. aku bukan mendo'akan ya mas, tapi ada suatu titik dimana Dita akan... yah.. susah buat kalimatnya yang lebih santun. Begini, kalau perkiraan dokter itu benar, Maruti akan tetap menunggu kamu lho mas."
"Apa ?"
"Maksudku begini, penuhilah permintaan Maruti, menikahi Dita, untuk memberikan kebahagiaan diakhir hidupnya, itu kan tidak lama, ma'af sekali lagi, nanti Maruti akan tetap menunggu kamu. Dia bilang akan tetap mencintai kamu sampai kapanpun."
"Jadi kamu juga memaksa supaya aku menikahi Dita?"
"Bukan memaksa, kalau mas mau berkorban seperti pengorbanan Maruti, bukankah itu perbuatan mulia?"
"Maruti berkorban?"
"Berkorban dong mas, dia juga cinta sama mas, dan dia rela berkorban demi adiknya. "
"Baiklah.."
"Mas mau?Sesungguhnya tidak harus menikahi, cukup kasih dia perhatian, rasa sayang, itu cukup membahagiakan lho."
"Baiklah akan aku pikirkan, tapi aku akan ketemu Santi dulu."

==========

"Untuk apa mas ketemu Santi?" tanya Laras kecewa karena kesanggupan Panji seperti ada syaratnya.
"Aku harus bertanya tentang penyakit Dita terlebih dulu."
"Mas tidak percaya ?"
"Bukan tidak percaya, tapi tiba2 ada vonis seperti itu, aku kan harus tau karena aku dan kamu juga mungkin sangat awam tentang penyakit dan pengobatannya.
"Baiklah, itu tidak apa2, yang penting mas punya perhatian terhadap Dita, maksudku Maruti."
***

"Mas tidak percaya sama keterangan dokter?" kata Santi ketika Panji menemuinya diklinik tempatnya berpraktek.
"Salahkah aku kalau aku ingin mengetahui penyakit Dita?"
"Sebenarnya dokter tidak boleh membeberkan penyakit pasiennya kepada orang lain, ma'af mas."
"Tapi aku bukan orang lain."
"Bukan orang lain? Apa maksud mas?"
"Mereka keluargaku, dan aku calon suami Dita."
"Wauuwww.... " Santi bertepuk tangan.
"Selamat ya mas.." lanjut Santi sambil tersenyum.
?Kamu belum menjawab pertanyaanku Santi," sahut Panji kesal.
"Mas, kalau mas calon isteri Dita, pasti mas telah mengetahui semuanya, pasti keluarganya telah mengatakan sejelas jelasnya, bukan?"
"Tapi aku ingin mendengar sendiri dari kamu."
"Oh, ada hasil2 lab yang bisa aku tunjukkan sama mas.. lihatlah.." kata Santi sambil mengeluarkan sebuah map, yang berisi hasil2 pemeriksaan.
"Ini keterangan hasil lab Dita?" Tanya Panji sambil menerima map itu.
"Kan ada tulisannya didepan itu.. nah.. ini hasil photo rongen.. ini kanker yang menyerang lambung dan sudah menyebar.. ini..ini ..Ini keterangan ketika pemeriksaan darah, laparoscopy dan keterangan2 lainnya. Sudah sangat parah dan dokter sudah angkat tangan."
Panji tak begitu memahami hasil lab itu, ia hanya membaca map berwarna biru yang ada tulisannya Anindita..
"Siapakah dokter ahli yang menangani?"
"Oh, itu dokter Baroto, dia seorang onkolog, pernah dengar?"
"Itu ahli kanker kan?"
"Ya, terkemuka .."
"Boleh aku menemuinya?"
Dokter Santi berdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu, sambil membuka buka catatan, entah catatan apa.
"Oh, sayang sekali pak Baroto sedang pergi keluar negeri. Agak lama karena beliau sedang memperdalam ilmunya."
"Kapan dia kembali?"
"Saya kurang tau mas, tidak ada kontak dengan dia selama keberangkatannya yang baru kemarin. Nanti aku akan kabari setelah bisa terhubung."
Panji keluar dari ruangan dokter Santi dengan rasa tidak puas, apa yang ditunjukkan sungguh membuatnya ngeri. Separah itukah? Sayang ia belum bisa menemui dokter ahli yang katanya menanganinya.
***

Siang hari itu Dita sedang menulis nulis di buku hariannya. Kali itu dengan seri yang tampak cerah. Bu Tarjo memperhatikannya dengan terharu.
"Dita, ibu sudah memasak ca brokoli pesananmu. Mau makan sekarang?"
"Sebentar bu, Dita selesaikan dulu menulisnya," jawab Dita sambil menulis .
"Cerita apa lagi yang kamu tulis nduk?"
"Ah, ibu mau tau ajah, "Dita tersenyum dan menutup buku kecilnya.
"Ayo makan, sudah ibu siapkan dimeja."
"Ibu, mengapa ibu yang harus meladeni Dita? Kan Dita sudah sembuh..?"
"Ya, benar, tapi ibu ingin meladeni kamu karena biarpun sembuh kan kamu habis sakit, ibu khawatir kalau kecapean bisa lebih parah penyakitmu."
"Ah, ibu... ya enggaklah, Dita sudah sehat kok."
Tiba2 telephone Dita berdering.
"Oh.. dari dokter Santi, Dita terima dikamar ya bu?"
"Kok dikamar, disini saja, biar ibu dengar perkembangan penyakitmu."
"Ini pasti bukan karena sakitnya Dita bu, kan Dita sudah nggak sakit lagi. Sebentar ya." jawab Dita sambil kembali masuk kekamarya. Diam2 bu Tarjo yang merasa curiga menempelkan kupingnya dipintu kamar Dita. Ia ingin tau, mungkin dokter Santi berbicara tentang penyakit anaknya.
"Hallo dokter... ya.. baik.. ada.. ada perkembangan.. suka kok.. hehe.. terimakasih dokter.. oh ya.. kapan.. baru saja..? Lalu... waaah.. pintar sekali dokter.. ya.. aku mau.. pastinya.. (tertawa renyah) ooh.. gitu...? Waduuh... ya.. ya.. bisa.. akan Dita lakukan... bisa... terimakasih dokter."
Dita menutup ponselnya sambil berjalan kearah pintu. Terkejut sekali dia melihat ibunya berdiri disana.
"Ibu... ibu mendengarkan pembicaraan dengan dokter Santi?
"Oh, ya.. ma'af nak.. ini tidak sopan ya, tapi sungguh ibu hanya menghawtirkan kesehatanmu." kata bu Tarjo sedikit tersipu karena ketahuan mencuri dengar ketika Dita sedang bertelephone.
"Nggak apa2 bu, ibu jangan khawatir, dokter Santi hanya mengingatkan bahwa kemarin harusnya obat Dita sudah habis."
"Lha harusnya kan kamu kontrol , kok nggak bilang."
"Dita nggak merasakan sakit kok bu."
"Ya sudah nanti ke dokter kontrol, ibu antar ya?"
"Nggak usah bu, besok saja. Sekarang Dita pengin makan ya, ayo ibu juga.."Jawab Dita sambil duduk di kursi makan.
"Baiklah, ibu temani kamu makan ," kata bu Tarjo sambil duduk pula didepan anaknya,
"Ini ayam goreng dari mas Panji masih ada, ayo kita habiskan. hm.. baik bener mas Panji sama Dita ya bu."
"Iya, dia baik, apa kamu suka sama dia?" pancing bu Tarjo.
Dita tampak tersipu, ia tak menjawb kecuali hanya tersenyum, kemudian menyendok nasi serta lauknya dan makan dengan lahap. Bu Tarjo memandanginya dengan terharu. Bisakah Maruti meminta Panji agar bisa mencintai Dita? Dalam hati bu Tarjo bertanya tanya, penuh harapan.
***

"Jadi mas, belum bisa menemui dokter ahli yang menangani penyakit Dita?" tanya Laras ketika siang itu Panji kembali lagi kerumah Laras.
Panji menggeleng.Ada keraguan yang sesungguhnya memenuhi hatinya tentang vonis itu.Ia ingin bertemu dokter Baroto, tapi terhalang karena katanya sedang keluar negri.
"Baiklah, kita tunggu saja keterangan sejelas jelasnya nanti dari dia, tapi maukah selama ini mas Panji bersikap manis sama Dita?"
"Bersikap manis bagaimana ?"
"Ya bersikap baik lah mas, seakan akan mas memang suka sama dia."
"Waduuh.. kamu ada2 saja.. itu tidak gampang Laras, bagaimana mungkin orang bisa berpura pura suka sementara sebenarnya dia tidak suka? Aku baik sama Dita karena dia adik dari Maruti, gadis yang sesungguhnya aku cintai."
"Mas, aku kira tidak berlebihan kalau mas bersikap baik .. ya.. nggak usah harus mesra2 begitu.. pokoknya baik.. yah.. seperti dulu.. ketika belum ada peristiwa ini.
"Hm. kamu itu Laras.. " keluh Panji.
"Cobalah mas, misalnya datang kerumah, menemui dia, bawa oleh2 buat dia, aku kira dengan begitu Dita pasti bahagia. Nggak usah bicara so'al pernikahan dulu lah.. siapa juga suruh cepat2 menikah.. Mungkin mengetahui bahwa mas sangat perhatian sama dia, dia sudah sangat bahagia kok."
Panji hanya terdiam. Dia kasihan pada Maruti, pasti sangat sedih mendengar penolakannya untuk menerima Dita.
Tiba2 telephone Panji berdering.
"Dari Maruti ," bisiknya.
"Ada apa mas, coba diterima, kok malah dipandangi begitu," tegur Laras.
"Takut dia bicara sambil nangis2 kayak kemarin," tapi diangkatnya panggilan telephone itu.
"Hallo Maruti, ya.. ada apa.. jangan menangis lagi Maruti, tenangkan hatimu," kata Panji.
"Mas, datanglah kerumah.." tapi suara dari seberang benar2 sambil menangis.
"Ada apa? Aku sedang memikirkan kata2mu sore kemarin."
"Mas, datanglah sekarang juga. Tiba2 Dita kesakitan luar biasa, baru saja ibu menelpon mas," tangis Maruti semakin keras.
"Tidak dibawa ke dokter?"
"Nggak mau mas, katanya menunggu mas.."
Wadhuh....

Bersambung #15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER