Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 06 Januari 2021

Saat Hati Bicara #15

Cerita bersambung

"Ada apa?" tanya Laras ketika dilihatnya wajah Panji tampak tegang.
"Maruti barusan ditilphone ibunya, katanya Dita kesakitan."
"Sudah dibawa kerumah sakit?"
"Nggak mau, katanya menunggu aku,"
 "Ya ampuun... ya sudah mas, ayo aku ikut," kata Laras yang kemudian cepat2 berganti pakaian dan ikut bersama Pandu.
***

Diantara rasa kasihan dan khawatir, Maruti juga kesal terhadap sikap adiknya. Sudah kesakitan tapi susah dibawa kedokter dan harus menunggu Panji datang. Sementara Maruti tidak yakin Panji akan mau datang walau dia telah menelponnya.

"Dita, ayo kerumah sakit saja, nggak usah menunggu siapapun."
"Aku sudah menelpon dokter Santi." kata Dita sambil menggosok perutnya dengan minyak kayu putih.

"Lalu bagaimana, dokter Santi mau kemari? Atau kita kesana?"
"Dia mau datang kemari." jawab Dita singkat.
Dan ternyata Dokter Santi datang bersama dengan Panji. Wajah Santi  berseri menyambut kedatangan Panji.

"Hai mas, kok bisa bareng ya, sebenarnya kita itu jodoh lho," candanya yang ternyata tidak membuat seorangpun tertawa..
"Bagaimana dengan Dita?" tanya Panji tanpa memperdulikan gurauan Santi.
"Ya, hanya karena terlambat makan obat. Harusnya kemarin dia kontrol, tapi entah mengapa tidak Dita lakukan. Ya begini ini jadinya. Tapi ini aku sudah bawakan obatnya kok. Cuma aku sekali lagi memperingatkan, sesungguhnya Dita itu sudah parah. Sangat parah."kata Santi sambil melangkah masuk kerumah.

Bu Tarjo dan Maruti menyambutnya, dengan wajah cemas.
"Nggak apa2 bu, salahnya kemarin nggak kontrol lagi. Memang demikian kalau terlambat minum obatnya., dia akan merasa kesakitan. Ini sudah saya bawakan." kata Santi sambil mengulurkan sejumlah kapsul didalam plastik klip.
"Diminumkan sekarang ya dok?" tanya Maruti.
"Ya, sekarang saja, sudah makan kan?
"Sudah dokter, ya setelah makan itu tadi tiba2 dia sesambat perutnya sakit." sela bu Tarjo.
"Baiklah, kalau begitu bisa diminumkan sekarang."

Santi ikut masuk kedalam kamar Santi, sementara Panji dan Laras masih duduk dikursi didepan kamar.
"Nak Panji, terimakasih sudah mau datang kemari."
"Ya bu, tadi Maruti menelpon.Syukurlah kalau tidak apa2."
" Marilah masuk dan ketemu Dita nak.. dia pasti senang."
"Ya bu, nanti saja, masih ada dokter Santi disana."
"Dokter, saya mendengar suara mas Panji diluar," bisik Dita setelah Maruti keluar dari kamarnya. Memang tadi masuk kekamar Dita, hanya untuk meminumkan obat. Setelah ada dokter Santi Maruti keluar lagi, menemui Panji yang masih menunggu bersama Laras.

"Iya, dia ada, maka bersenanglah hatimu," jawab Santi sambil berbisik juga.

Tak seorangpun tau apa yang mereka bicarakan dengan suara lirih, bahkan ketika mereka tertawa gembira. Juga dengan suara yang dipelankan. Tapi tak lama sesudah itu dokter Santipun berpamit.

"Aku pulang dulu, supaya mas Panjimu bisa segera menemui kamu."
Dita mengangguk, ia menata letak tidurnya seakan sedang menahan  rasa sakit, ketika Panji dan Laras memasuki kamarnya.

Dipintu sebelum dia keluar, Santi membisikkan sesuatu ketelinga Panji.

"Penyakitnya sudah parah, mungkin dia tak akan bertahan selama itu." kemudian Santi berlalu, dan Panji bersama Laras memasuki kamar Dita.
"Apa kabar Dita," sapa Laras..
"Baik mbak," jawab Dita sambil membetulkan letak selimutnya.
"Masih sakitkah?"
"Sudah berkurang mbak, kan barusan minum obat dari dokter, aku merasa sehat dan tak memperhatikan kalau obatku habis."
"Lain kali kamu harus memperhatikan kesehatan kamu," lanjut Laras.
"Ya.. mm.. ada mas Panji..," sapa Dita sambil tersenyum. Ia mencoba menyembunyikan rasa senangnya yang menggelora begitu memandangi wajah ganteng yang sejak awal pertemuannya telah menjatuhkan hatinya.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik, sudah nggak sakit lagi."
"Besok kalau kamu sudah sembuh, mas Panji akan mengajak kamu jalan2 lho." sela Laras, yang kemudian menahan sakit dikakinya karena Panji menginjaknya dengan sengaja.
"Adduh..." bisiknya lirih.
"Ada apa mbak?"
"Ini.. mm.. tadi .. tadi agak terkilir ketika memasuki rumah, tiba2 nyeri." jawab Laras terbata, dan Panji menahan senyumnya.
"Oh, ada obat gosok di kamar ibu," kata Dita
"Nggak apa2, cuma sedikit.. Oh ya, mas Panji membawa buah2an tadi, masih diletakkan dimeja sana. Mau saya ambilkan?" ujar Laras sambil menjauh dari tempat Panji berdiri, takut kakinya kena pijak lagi.
"Biar disana mbak, nanti kalau sudah berkurang sakitnya aku akan keluar. Terimakasih mas Panji telah memperhatikan aku."
"Lha mas Panji kan memang penuh perhatian sama kamu," Laras masih ingin membuat Panji kesal. Kakinya sudah jauh dari kaki Panji, yang pasti tak akan sampai seandainya Panji ingin menginjaknya lagi.

Kata2 Laras ini membuat Dita tersipu, dan diucapkannya rasa terimakasih dengan lirih.
"Terimakasih mas.."

Panji hanya mengangguk dengan tersenyum. Sejak Maruti mengungkapkan keinginannya agar dia mencintai Dita, sikapnya pada Dita jadi berubah sedikit kaku. Ia ingin menuruti kata2 Laras agar bersikap baik seperti biasanya, tapi tetap susah dilakukannya.
Mereka tak lama disana, dan dengan alasan harus segera kembali kekantor, maka Panji dan Laras segera berpamit.

Maruti mengantarkan mereka, dengan linangan air mata.
Panji memandangnya trenyuh.

"Sudah, jangan menangis lagi," ucapnya lirih sebelum memasuki mobilnya. Maruti tak mengerti, apa maksud kata2nya tadi, tapi ia melihat senyuman manis yang selalu dirindukannya. Apakah Panji akan memenuhi keinginnnya?
***

"Kamu tadi menginjak kakiku mas, sakit tau?!"
"Kamu sih, bicara nggak karuan, itu memberi harapan kosong, apa tidak kasihan nantinya?"
"Memberi harapan kosong bagaimana, bukankah mas sudah berjanji akan menyenangkannya? Berusaha menyayanginya?"
"Bohong, aku nggak bicara seperti itu."
"Lho, mas kok ingkar.."
"Kamu yang minta supaya aku bersikap baik, pura2 menyayangi, tapi aku kan tidak bilang mau?"
"Mas itu  bagaimana, namanya menolong orang jangan setengah hati donk."
"Menolong dengan memberikan cinta padahal sebenarnya tidak, apakah itu mudah?" Mintalah apa saja, asal jangan cintaku."
"Wah, mas Panji bener2 kejam deh."
"Kejam bagaimana ?"
"Maruti meminta tolong, dia sudah berkorban, kan aku sudah bilang begitu.Kalau Maruti mau berkorban kenapa mas tidak ?"
Panji tak menjawab sepatah katapun.
"Iya kan mas?"
"Aku harus bertemu dokter Baroto dulu."
"Mas nggak percaya sama Santi?"
"Nggak jelas.."
"Nggak jelas bagaimana?"

Tiba2 Panji teringat kata2 Santi sebelum berpisah tadi, bahwa mungkin Dita tak akan tahan selama itu. Maksudnya bisa meninggal sebelum 6 bulan yang dikatakannya? Diam2 ada rasa ngilu dihati Panji.
***

Agus tak menduga kalau siang itu Santi tiba2 masuk keruang kerjanya.Wajahnya langsung muram begitu melihatnya tiba2 duduk dihadapannya.

"Mau apa lagi kamu kemari?" tegurnya kesal.
"Mas, Maruti mana?" tanya Santi pura2 tak tau bahwa Maruti sedang berada dirumah karena mendengar Dita kesakitan.
"Mau apa kamu nanya2? Dia sedang ijin, dan itu bukan urusan kamu."
"Mas, sekarang aku merasa bahwa memang aku bukan isteri yang baik, sehingga mas kecewa kemudian menceraikan aku."
"Kamu ini bicara apa?Itu masalah yang sudah usang dan kamu tidak perlu mengungkitnya lagi."
"Tunggu dulu mas, jangan marah dulu.. aku mengatakan itu karena aku merasa bahwa mas pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari aku, aku senang kalau mas bahagia, sungguh."
"Apa maksudmu?
"Aku tau Maruti gadis yang baik.mBak Endang (perawat Sasa) bilang kalau Sasa suka juga sama Maruti."

Agus ingin mendampratnya lagi, tapi Santi menutup mulutnya dengan jari telunjuknya, memberi isyarat agar Agus tidak ngomong dulu.

"Dengar dulu mas, dulu itu sepertinya mas Panji suka sama Maruti, dan mas kecewa kan?"
"Santi !!" meninggi suara Agus karena menahan kesal yang amat sangat. Ia merasa Santi masih ingin mengurusi kehidupannya.
"Mas, sekarang ini mas boleh berharap banyak pada dia, sungguh, ini pilihan yang bagus."
"Apa maksudmu, selesaikan kata2mu dan segera pergi dari sini !"
"Mas harus tau, mas Panji tidak memilih Maruti tapi adiknya. Jadi mas masih banyak peluang untuk mendekatinya." kata Santi sambil berdiri kemudian keluar dari ruang kerja bekas suaminya sambil tersenyum.

Agus terpaku ditempat duduknya.

==========

Agus masih termenung dikantornya. Entah mengapa, kata2 Santi yang diucapkannya selalu dipikirkannya. Panji ternyata tidak suka pada Maruti? Kalau Panji menginginkan Maruti Agus akan mengalah karena Panji adalah sahabatnya. Tapi kalau tidak, bisakah aku mengambil hatinya? Dan Aguspun kemudian keluar ruangan, melihat apakah Maruti sudah kembali ke kantor, ataukah belum. Ternyata tidak ada Maruti disana. Agus kembali memasuki ruangannya dengan kecewa. Ada harapan yang berkembang dihatinya, siapa tau itu adalah mungkin.
***

"mBak, duduklah disini" kata Dita kepada Maruti, ketika sore itu Dita sudah keluar dari kamarnya. Bu Tarjo dan Maruti senang melihatnya tidak kesakitan seperti siang tadi. Dan sikap Dita pada Maruti sudah seperti biasa, apalagi ketika Panji kelihatan memiliki perhatian pada dirinya.

"Ada apa Dit?" Maruti pun duduk disebelah adiknya.
"Benarkah mas Panji menyukai aku?" dikatakannya itu tanpa dosa, sementara Maruti merasa sebuah sembilu tajam mengiris jantungnya. Berdarah darah. Dita tampaknya sengaja menanyakannya, atau sengaja menyakiti hati kakaknya. Entahlah.

"Benarkah?" Dita mengulang pertanyaannya.
"Oh, mas Panji? Tampaknya.. tampaknya ya...," jawab Maruti sambil mengusap luka berdarah yang menggenangi isi hatinya. Ditahannya air mata yang ingin menitik keluar.

"Benarkah?"
"Tampaknya begitu, kamu suka?"
"Kok tampaknya sih mbak.."
"Kan mbak nggak tau kalau belum menanyakannya, tapi kan dari sikapnya.. kamu pasti bisa merasakannya."
"Iya sih..." kemudian Dita diam sejenak.
"Apa mbak suka kalau mas Panji menjadi suami aku?"
"Dita, apapun yang akan membuatmu bahagia, mbak pasti suka," dan meneteslah air mata kemudian membasahi pipinya. Tak tertahankan. Dita memandanginya dan mengusapnya lembut.

"Mengapa mbak menangis?"
"Aku menangis bahagia," kemudian dipeluknya Dita dengan kasih sayang yang setulus tulusnya. Akan diberikannya apapun demi Dita, dan itu adalah janjinya.

"Bolehkah seorang adik menikah lebih dulu dari kakaknya?" lanjut Dita dalam pelukan Maruti. Maruti mengangguk angguk, dan air matanya teruslah mengalir.

"Apa mbak tidak menyesal?"
"Jodoh itu hanya Tuhan yang menentukan. Kalau kamu diberinya jodoh lebih dahulu, itu memang kehendakNya. Tak ada seorangpun yang bisa menghalanginya.

"Apa mbak juga suka sama mas Panji?"

Menjerit batin Maruti, sekeras kerasnya. Ya iyalah bukan cuma suka.. tapi cintaaaa banget. Ya Tuhan, mengapa ini semua harus terjadi..

"mBak.."
"Apa?"
"mBak suka sama mas Panji?"

Maruti melepaskan pelukannya. Dipandanginya Dita dengan linangan air mata. Wajah cantik manja yang sebentar lagi meninggalkannya, mata bening yang sering mengganggunya, bibir tipis yang sering mengolok oloknya, tak lama lagi semuanya hanya akan tinggal kenangan. Maruti menangis lagi.

"Dita, sayangku, kalau aku suka sama mas Panji, itu karena dia baik sama kita, terutama sama kamu."
Dita menghela nafas panjang.
"Mungkin aku hanya berkhayal, mungkinkah mas Panji mau memperisteri aku?mBak, jangan bilang sama mas Panji tentang apa yang aku tanyakan ya."
Maruti tersenyum.
 "Yang jelas mas Panji penuh perhatian sama kamu. Kalau Tuhan mengijinkan akan menjadi jodoh kamu, pasti akan terjadi."
***

"Mas, simbok masak enak hari ini, kesukaan mas Panji. Makan ya.." kata simbok sambil mendekati momongannya, yang sa'at itu sedang melamun ditaman belakang rumahnya.
"Nanti saja mbok.." jawab Panji ogah2an.
"Mas kok nggak nanya simbok masak apa.. gitu sih.." simbok kecewa merasa tidak diperhatikan.
"Aku lagi nggak pengin apa2 mbok," Panji menepuk punggung simbok untuk mengurangi kekecewaannya.
"Mas Panji sakit?"
"Enggak.."
"Wajahnya pucat begitu, kalau sakit bilang sakit, simbok kerokin ya?"
"Aku nggak lagi sakit mbok, cuma lagi aras2en.."
"Pasti ada sebabnya kan?"
"Sini mbok, duduk didekat aku sini, jangan ndeprok dibawah begitu," kata Panji ketika melihat simbok bersimpuh didepannya.
"Biar simbok disini saja, diatas rumput, dingin," jawab simbok ngeyel.
"Duduklah, aku mau ngomong sama simbok, penting nih," kata Panji sambil menarik simbok agar dudu disebelahnya.
"Ada apa ta?"
"mBok,ada seorang gadis.."
"O, yang mas Panji ajak kerumah itu, mbak Maruti?" simbok menyela.
"Dengar dulu mbok, jangan ngomong apa2 dulu sebelum aku selesai bicara."
Simbok mengangguk angguk
"Ada seorang gadis, yang divonis ..mm.. diperkirakan akan meninggal tidak lama lagi."
"Lhah...."
"Ssst... Gadis itu suka sama aku, bolehkah aku menikahi dia? Aduh.. piye ini aku bicaranya. Begini mbok, gadis itu suka sama aku, tapi dia itu sakit, dan diperkirakan sudah mau meninggal beberapa bulan lagi. Menurut simbok, bisakah aku menikahinya untuk memberikan kebahagiaan disa'at terakhirnya?"
"Lho.. apa dia itu mbak Maruti?"
"Bukan, adiknya Maruti."
"Bukankah mas Panji suka sama mbak Maruti?"
"Aku mencintainya mbok, aku ingin menjadikannya isteriku, tapi dia minta aku mau mencintai adiknya untuk memberinya kebahagiaan disa'at terakhirnya."
"Waduh, ya berat ya mas.. "
"Berat sekali mbok, tapi Maruti menangis nangis begitu. Aku nggak tega mbok, dan itu membuat aku sedih. Apa yang harus aku lakukan ?" Panji menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, membuat simbok jadi trenyuh. Dielusnya punggung Panji penuh kasih sayang.

"Sabar ya mas, cah bagus.. simbok tau bagaimana perasaan mas, tapi coba mas timbang baik buruknya, dengan hati tenang."
"Bagaimana menurutmu mbok?"
"Bagaimana simbok? Kalau menurut simbok, ya kasihan sama mbak Maruti, harus berkorban demi adiknya, tapi nggak ada salahnya memberi kebahagiaan bagi orang yang sudah mau meninggal. Maksudnya, nanti kalau adiknya sudah meninggal, mas kan bisa kembali lagi sama mbak Maruti?" lugas sekali kata2 simbok, dan hampir sama dengan yang dikatakan Laras, ia juga harus mau berkorban.
 ***

Sepedih apapun, Maruti haus menjalaninya. Ia lebih tak tega lagi melihat adik semata wayangnya harus pergi dengan membawa luka karena cinta tak tersampai.

"Mudah2an mas Panji mau memenhuhi permintaanku," bisik Maruti dalam hati. Ia kemudian menenggelamkan dirinya dengan pekerjaannya, berharap bisa melupakan semuanya.

Dering telephone itu mengejutkannya. Dari Panji. Maruti menerimanya dengan hati berdebar.

"Hallo mas."
"Maruti, kamu jangan menangis lagi ya, tak tahan aku melihat tangismu," suara serak Panji dari seberang sana.
"Mas, aku sangat sedih.. aku harap mas bisa memahaminya. Bagaimana dengan permohonanku mas, aku bersedia menunggumu, sampai kapanpun."
"Aku akan mencobanya Ruti, aku akan mendekati Dita."
"Menikahlah dengannya."
"Apa aku harus menikahinya?"
"Agar kebahagiannya sempurna mas..." isak Maruti.
"Ya sudahlah, nanti kita bicara lagi, kamu jangan menangis lagi Ruti."

Sampai kemudian telephone ditutup, Maruti masih memegangi ponsel itu dengan linangan air mata. Maruti terkejut dan segera mengusap air matanya ketika mendengar Agus memanggilnya.

"Maruti," dan laki2 itu tiba2 sudah berdiri dihadapannya.
"Ya.."
"Kamu menangis ?"
"Nggak apa2 pak, sedih kalau ingat adik saya sakit."
"Ya, aku bisa mengerti, aku ikut berdo'a ya, demi adik kamu."
"Terima kasih pak."
"Oh ya Maruti, maukah sepulang dari kantor nanti menemani Sasa jalan2?"
"Jalan2 ? Ke mana pak?"
"Kemana saja, yang penting Sasa senang. Beberapa hari yang lalu kan dia pernah minta, agar mengajak kamu jalan2. Dulu belum jadi karena kamu dijemput Panji. Sore ini bisa ya? Dia sudah jalan kemari kok."

Maruti terdiam, Sasa.. gadis lucu nan mungil.. yah, barangkali dengan berjalan bersama Sasa akan sedikit menghibur hatinya, mengapa tidak?

"Bagaimana Ruti? Ini jam kantor sudah selesai, sudah sa'atnya pulang."
"Baiklah pak, saya mau."

Dan begitu Maruti selesai menjawab, Sasa sudah tiba didepan pintu kemudian berlari kearahnya.

"Tante, kita akan jalan2 bukan?"
Maruti tersenyum, dipangkunya gadis kecil yang menggemaskan itu dan diciuminya.

"Anak manis, baiklah."
"Ayo papa.."
"Maruti, ayo pulang," ajak Agus.

Agus tersenyum senang. Apalagi melihat Sasa menarik narik tangan Maruti dan diajaknya keluar.
Mereka sudah menaiki mobil Agus ketika tiba2 Panji datang, dan melihatnya meluncur keluar dari kantor. Panji tertegun. Serasa ada yang hilang dari hatinya.

Bersambung #16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER