Cerita bersambung
Ratih diam, benarkah apa yang didengarnya? Aryo akan menjadikannya ibunya Angga? Ibu yang sesungguhnya dan itu berarti Aryo melamarnya? Aduhai. Memang benar Ratih suka, atau memang memendam rasa suka kepada laki-laki ganteng disampingnya, tapi ucapan yang serta merta itu sama sekali tidak membuatnya bahagia. Belum lama Aryo mengatakan bahwa dia masih mencintai Arum, dan beberapa menit kemudiaan melamarnya menjadi isteri? Tidak, Ratih tidak suka itu. Cinta akan indah apabila didasari saling suka yang tulus. Ia yakin Aryo tidak tulus. Artinya dirinya hanyalah sebagai pelarian dari kegagalaan rumah tangganya bersama Arum.
"Ma'af, kalau saya terlalu lancang, "
Ratih menoleh kearah Aryo. Dilihatnya wajah penuh luka yang membuatnya iba.
"Anggap saja saya tak pernah mengucapkannya. Sekali lagi ma'af.." kata Aryo penuh sesal.
"Tidak apa-apa. Permasalahannya bukan saya mau atau tidak, berkenan atau tidak. Saya hanya minta agar pak Aryo tidak terburu nafsu. Kegagalan dan kesedihan yang bapak rasakan harus dituntaskan terlebih dulu. Jalan untuk mencapai kebahagiaan itu pasti ada. Endapkan pikiran pak Aryo, biar Angga saya yang tangani."
Aryo terpana mendengar kata-kata Ratih. Ratih benar-benar perempuan yang luar biasa. Ia sempurna untuk menjadi ibu, sempurna menjadi sahabat, dan sempurna menjadi ibu guru.
"Ma'afkan saya."
"Sudah, tidak ada yang perlu dima'afkan. Yang penting pak Aryo harus bisa menenangkan pikiran, dan menghadapinya dengan hati yang bersih."
"Terimakasih bu Ratih, terimakasih banyak."
"Ma'af kalau saya lancang."
"Tidak, saya justru merasa seperti seorang murid yang sedang menerima petuah guru." kata Aryo sambil tersenyum.
"Nyindir ya, mentang-mentang saya guru."
"Itu benar, saya tidak bercanda. Dan saya juga merasa menemukan sahabat yang benar-benar sahabat. Yang mengerti akan saya, anak saya, keluarga saya dan semua situasi yang melingkupinya."
"Itu karena saya 'ibunya Angga' bukan?"
"Semoga ibunya Angga yang sejati bisa berfikir seperti bu Ratih."
"Pasti dia juga punya pikiran yang sama. Situasilah yang menyebabkan dia seperti itu. Menurut saya, coba temuilah bu Arum dan ajak dia bicara."
"Dimana saya bisa menemuinya? Saya menyesal kemarin tidak mengikutinya. Semuanya jadi seperti kacau."
"Tenang pak Aryo. Pasti nanti ada jalan yang terbaik untuk semuanya."
***
"Nak Arum, kok sudah bangun?" kata yu Siti yang sedang membuat teh pagi haru itu.
"Saya ingin minum teh disini bu, dimeja dapur." kata Arum sambil duduk didepan meja.
"Oh, ya nggak apa-apa nak, ini sudah saya buatkan. Tampaknya ibu belum bangun."
"Iya bu."
"Ini tehnya, yu Siti juga membuat singkong rebus lho, baru saja diangkat, masih panas."
"Wah, enak sekali itu bu, saya suka."
"Ya sudah, tehnya diminum dulu, ini singkongnya, ditunggu kalau sudah dingin."
"Baunya sedap benar."
'Itu saya kasih daun salam sama sedikit garam, rasanya jadi gurih."
"Iya, sudah kelihatan dari aromanya."
"Bagaimana lukanya, sudah kering nak, beberapa hari nak Arum mengganti sendiri verbannya, sehingga yu Siti tidak tau bagaimana perkembangannya."
"Sudah kering bu, agak gatal-gatal sedikit. Tapi lambat laun rasa gatal itu ilang sendiri."
"Biasanya luka itu kalau mau sembuh pasti terasa gatal-gatal begitu. Tapi awas ya, jangan digaruk."
"Nggak bu, saya sudah tau kok. Sini, bu Siti duduk didekat Arum sini."
"Baiklah, yu Siti matikan kompornya dulu. Nanti kalau ibu bangun simbok mau ke pasar dulu."
"Kan masih nanti bu, duduk dulu disini menemani makan singkong rebusnya."
Yu Siti duduk dihadapan Arum. Dipandanginya wajah cantik yang sudah tidak begitu pucat seperti kemarin. Berdesir hati yu Siti. Wajah itu seperti sangat dikenalnya.
"Mengapa bu Siti memandangi saya seperti itu?" Ada yang aneh? Bedak celemotan ya?"
Yu Siti tersenyum.
"Tidak nak, nak Arum cantik."
"Ah, sudah sering bu Siti mengatakan itu. Pasti ada sesuatu yang bu Siti pikirkan, tentang saya?"
"Saya teringat anak saya nak."
"Oh, ya Tuhan," kata Arum iba, lalu ditepuk-tepuknya tangan yu Siti yang terletak diatas meja.
"Kalau dia masih hidup, pasti sudah seumur nak Arum."
"Jangan sedih bu, anggap saja Arum ini anaknya bu Siti. Ya?"
Yu Siti mengangguk, batinnya teriris.
"Sebenarnya saya melahirkan anak kembar,"kata yu Siti pelan, ia menoleh kearah dalam rumah, seperti takut ada yang mendengarnya.
"Kembar?" hampir berteriak Arum mengatakannya, dan bu Siti menutupkan jari telunjuknya kemulut, memberi isyarat agar Arum tak berisik.
"Mengapa?" tanya Arum lirih.
"Saya tidak bilang kepada bu Suryo bahwa anak saya kembar."
"Mengapa?"
"Saya bilang anak saya diambil orang saja bu Suryo sudah memarahi saya, apalagi kalau anak saya ada dua."
Arum mengangguk-angguk, ikut menyayangkan mengapa yu Siti harus melepaskan kedua anaknya.
Yu Siti tercenung dengan menopangkan kedua tangan dikepalanya. Ia teringat kejadian puluhan tahun lalu, ketika ia harus melepaskan anaknya karena keadaan.
Ketika itu ia baru keluar dari rumah sakit, suaminya meninggal karena kecelakaan.
Terpaku karena tak bisa membayar beaya persalinan. Ia meminta waktu kepada pengurus rumah sakit agar memberinya waktu untuk mengambil bayinya. Ia diijinkan membawa salah satu dari bayinya.
Sambil menggendong bayi, yu Siti termenung ditepi jalan. Darimana ia harus membayar beaya persalinan itu? Ia hanya buruh kecil yang bekerja apa saja asalkan dapat uang. Suaminya tak meninggalkan apapun yang berharga. Rumah yang ditempatinya ha nyalah bilik kecil yang disewa setiap minggu, karena suaminya buruh kasar yang mendapat gaji setiap akhir minggu. Lalu ketika suaminya meninggal, apa yang harus diandalkan? Ia tak mungkin meminjam dari tetangga. Mana mungkin orang mau memberi pinjaman kepada orang miskin yang tak jelas kapan bisa mengembalikannya?
"Ia duduk dibawah sebuah pohon, sambil merangkul bayinya. Karena pikirannya kemana-mana ia tak memperhatikan bayinya yang menangis keras. Seorang ibu yang ketika itu lewat, berhenti dan mengingatkannya.
"mBak, anakmu menngis, kok didiamkan saja?"
"Oh, iya.. " lalu terburu-buru yu Siti menyusukan bayinya. Tak perduli dijalan dan dilihat banyak orang,, ia terus menyusukannya.
"Anakmu cantik, itu perempuan kan?" kata seorang wanita yang rupanya memperhatikannya.
"Iya bu."
"Senangnya bisa punya anak. Sudah lama saya menikah, belum diberikan keturunan. Kata dokter saya mandul. " kata wanita itu yang kemudian duduk disampung yu Siti, memperhatikan betapa lahap bayi itu menyusu.
"Rumahnya dimana mbak?"
"Dikampung sebelah bu, tapi itu bukan rumah saya, hanya menyewa saja belum sempat saya bayar sewanya." keluh yu Siti sambil berlinangan air mata.
Wanita itu merasa kasihan, lalu memberikan dua lembar puluhan ribu untuk yu Siti.
"Tidak bu, terimakasih."
"Kasihan anak kamu itu mbak, udara begini panas, kamu ajak dia duduk disini."
"Habis mau duduk dimana bu, saya juga sedang bingung. "
"Terimalah uang ini, tak seberapa, tapi bisa untuk membeli sesuatu."
"Tidak bu, kalau ibu mau menerima anak ini dan merawatnya dengan baik, saya akan sangat berterimakasih," kata yu Siti dengan berlinangan air mata.
"Ya Tuhan, benarkah?" wanita itu melonjak kegirangan.
Yu Siti mengangguk. Pilu rasanya bisa mengucapkan kata-kata itu. Barangkali itu yang terbaik, agar anaknya mendapat perawatan yang layak. Ia menyadari tak akan mampu, lalu dia juga membayangkan, bagaimana nanti bayi yang satunya lagi, yang masih ditinggalkannnya di klinik bersalin itu.
"Benarkah mbak? Boleh saya minta anak mbak?"
"Saya hanya berharap, anak saya mendapat perawatan yang layak. Saya tak berdaya bu," isak yu Siti.
"Saya senang sekali, saya akan mengasihi seperti anak kandung saya sendiri mbak, yakinlah. Saya ini seorang janda, ditinggalkan suami karena tidak bisa melahirkan anak mbak," ucap wanita itu dengan wajah sedih.
"Dengan adanya anak ini saya tidak akan kesepian, terimakasih banyak ya mbak.. akhirnya aku dapat anak..Lalu.. berapa saya harus membayarnya mbak? Saya bukan janda kaya yang punya uang berlimpah, tapi saya punya uang dari warisan orang tua yang cukup untuk hidup layak. Anak mbak akan melengkapi hidup saya dengan kebahagiaan. Saya janji akan merawatnya dengan tanpa kekurangan."
"Terimakasih bu," jawab yu Siti pilu.
"Katakan berapa saya harus membayarnya mbak?"
"Saya tidak menjual anak saya. Saya hanya butuh uang untuk membayar biaya persalinan."
"Baiklah, saya akan membayarnya. Katakan berapa mbak."
Yu Siti mengeluarkan catatan yang diberikan rumah sakit. Catatan yang berisi jumlah uang yang harus dibayae.Perih hati yu Siti membayangkan bahwa catatan itu akan menjadi lantaran perpisahannya dengan bayi yang baru beberapa hari dilahirkannya.
"Baiklah mbak, tunggu sebentar, saya harus mengambilnya di bank. Atau mbak ikut saya saja ke bank, itu didepan, disana kan hawanya dingin, kasihan anak mbak ini."
Yu Siti mengikuti wanita itu kearah bank yang ditunjuk, menunggu disana, Termenung sedih sambil menciumi anaknya, karena tak lama lagi harus berpisah.
Akhirnya bayi itu diberikan Uang yang diterimanya hanya cukup untuk membayar beaya persalinan, yu Siti tak mau lebih, agar dia tak dianggap menjual bayinya.
" Waduh, kok sudah pada enak-enakan makan singkong rebus disini?" tiba-tiba bu Suryo muncul, membuyarkan lamunan yu Siti.
"Ibu, ini singkongnya, masih hangat, gurih dan harum." kata Arum sambil mencomot seiris singkong.
"Kamu suka? Kemarin aku menyuruh yu Siti membeli singkong."
"Suka sekali bu, yu Siti memasaknya dengan sangat nikmat."
"Iya, dengan daun salam kan?" kata bu Suryo sambil ikut duduk diantara mereka.
"Lho, mengapa yu Siti menangis?"
Yu Siti tersenyum sambil berdiri.
"Saya kalau melihat nak Arum, jadi teringat anak saya bu."
"Ya sudah, tak usah disesali, semoga suatu haru nanti kamu bisa ketemu anakmu. Lha kok malah berdiri, duduk saja disini."
"Saya ambilkah dulu teh untuk ibu."
Arum mengunyah singkong rebusnya dengan nikmat, tapi pikirannya melayang kearah kata-kata bu Siti. Benarkah anak yu Siti yang diberikan kepada orang itu kembar? Arum penasaran dan ingin mendengar ceritanya. Namun mengingat tampaknya yu Siti menyembunyikan perihal anak kembar itu, Arum mencari waktu agar yu Siti mau menceritakannya.
Rasa iba kembali merebak ketika melihat yu Siti membawa baki berisi teh hangat untuk bu Suryo. Tampak ada duka yang terpendam diwajah setengah tua yang masih tetap cantik itu. Baru kali ini Arum memperhatikannya.
***
"Aryo, saya pikir kamu sudah tidur," sapa bu Nastiti ketika melihat Aryo duduk sendirian diteras malam itu.
"Belum mengantuk bu."
"Kamu terlalu banyak pikiran, makanya susah tidur."
Aryo menghela nafas. Kata-kata Ratih ketika diantarkannya pulang tadi terus membekas dibenaknya. Hatinya gundah, tidak mengendap, lalu memutuskan sesuatu yang ditolaak oleh Ratih. Iya sih, masa tiba-tiba melamarnya?
"Saya tadi melamar Ratih.." katanya seperti bergumam pada dirinya sendiri.
"Kamu? Melamar Ratih? Diterima?"
"Tidak bu..."
"Tuh kan, tidak gampang melamar orang. Lagipula kamu terburu-buru."
"Hati saya panas bu, teringat bagaimana laki-laki itu menggandeng Arum."
"Ibu bisa mengerti.."
"Aryo masih mencintainya bu, Aryo masih berharap dia kembali. Tapi mengapa dia sudah punya calon suami? Ketika itu Aryo hampir menghajarnya."
"Ya ampun Aryo, jangan sampai hal itu terjadi. Bisa beda urusan itu kalau sampai kamu melakukannya."
"Hati Aryo panas bu."
"Salah kamu adalah, ketika itu mengapa kamu tidak membuntutinya. Kalau kamu membuntutinya, kamu kan bisa tau dimana dia tinggal."
"Aryo begitu terpukul. Ketika sadar mobil yang membawanya sudah tidak kelihatan lagi."
"Ya sudah, tenangkan saja pikiranmu, besok kita cari jalan terbaik agar semuanya menjadi seperti harapan kita."
Aryo berdiri diikuti bu Nastiti masuk kerumah. Tiba-tiba terdengar Angga menangis. Spontan keduanya lari kekamar Angga. Dilihatnya tangan Angga melambai-lambai sambil berteriak.
"Ibu peri.. ibu peri... aku mau ibu peri..." rupanya Angga bermimpi. Aryo merebahkan tubuhnya merangkul Angga.
"Angga...ssh..shh... bobuk lagi ya."
"Ibu peri mana, aku mau ibu peri..."
Aryo menepuk nepuk pantat anaknya, berharap Angga tertidur kembali.
***
Pagi harinya ketika Ratih datang, Angga bercerita tentang mimpinya.
"Ibu tau nggak, semalam Angga didatangi ibu peri."
"Oh ya?"
"Ibu peri selalu datang seperti ibu ini. Aku dipeluk, diajaknya berlari-lari dihalaman."
"Hm, senangnya...."
"Mengapa ibu peri pergi lagi?"
"Angga lupa ya. ibu kan pernah bilang, didunia ini banyak sekali anak baik yang harus didatangi dan disayang ibu peri. Nah.. karena anaknya banyaaak... bngeeet.. jadi lama ibu peri bisanya datang lagi kemari."
"Tapi nanti akan datang kan?"
"Iya dong, asalkan Angga selalu jadi anak baik, pintar dan penurut."
"Berapa jumlahnya anak baik itu bu?"
"Banyak sekali Angga, dunia ini kan luas.. jadi ya banyak anak-anak baik.."
"Segini ya bu.." kata Angga sambil membentangkan tangannya..."
"Waah.. iya.. lebih banyak lagi. Sudah, ayo makan paginya dihabiskan, nanti keburu telat masuk sekolahnya."
Aryo menatap keakrapan itu dengan trenyuh. Seandainya Angga tau bahwa Ratih bukan ibunya, bagaimana ia harus bersikap? Ratih masih gadis, tapi cara dia mengemong anak kecil sungguh memuatnya kagum. Barangkali karena Ratih adalah seorang guru. Atau karena memang dia penyayang anak Entahlah, Aryo segera mandi karena ada yang ingin dilakukannya pagi itu.
"Tumben kamu sudah mandi, biasanya mandinya setelah mengantarkan Angga," tegur bu Nastiti.
"Aryo mau menemui pengacara bu."
"Yang akan mengurus perceraian kalian?"
"Menurut ibu bagaimana?"
"Pikirkanlah lagi, apa benar kamu ingin menceraikan dia."
"Sudah Aryo pikirkan bu, pengacara nanti akan menolak gugatan cerai itu, Aryo yang memintanya."
==========
Bu Nastiti menatap anaknya, ada rasa syukur tersirat disana. Ia berharap perpisahan itu tak terjadi.
"Iya Yo, ibu setuju.. Angga harus mendapatkan ibunya kembali. Tidak baik perpisahan itu."
"Tapi bagaimana kalau Arum tetep minta cerai bu, so'alnya dia sudah punya calon, gagah, ganteng, mobilnya lebih bagus dari mobil Aryo.," kata Aryo sedih.
"Usahakan untuk bertemu. Atau sebaiknya ketika persidangan nanti kamu ikut hadir, disana kalian bisa berkomunikasi dengan baik. Ingatkan dia akan Angga. Tak mungkin dia bisa melupakan Angga begitu saja."
Aryo termenung. Begitu mudahkah? . Tapi ia masih teringat ketika bertemu, Arum menatapnya penuh kebencian. Dan lagi-lagi Aryo merasa kemarahannya memuncak setiap kali ia teringat akan tangan laki-laki yang menggandeng Arum dengan mesra. Menggandengnya sejak turun dari mobil sampai berjalan ditrotoar yang kemudian Aryo mengejar dan hampir menempeleng pelipisnya.
"Laki-laki setan itu akan merebut isteriku," gumamnya dengan geram.
"Sudah Yo, nggak usah diingat ingat lagi. Selama ini kalian belum pernah bertemu, apalagi bicara. Ibu masih berharap kalian bisa berbaikan. Kalau saja ibu bisa bertemu dia, barangkali ibu bisa membantu untuk bicara.Semangat Aryo, Rebut lagi isterimu !!!."
"Aryo akan menemui pengacara itu dulu bu, do'akan semoga semuanya menjadi baik."
"Ibu selalu mendo'akan demi kebaikan kalian Yo. Jangan patah semangat hanya karena ada laki-laki yang melebihi semuanya denganmu. Siapa tau masih ada cinta yang tersisa dihati Arum, demi anak semata wayangnuya."
"Bapaaaak, ayo kita berangkaat," teriak Angga dari arah depan."
Aryo tersenyum melihat jagoan kecilnya sudah rapi dan berjalan sambil menarik tas kecil dengan roda dibawahnya.
***
"Bu Siti... lagi masak apa?" kata Arum yang tiba-tiba masuk kedapur.
"Lho, nak Arum ini bagaimana, wong disuruh banyak istirahat kok malah masuk kedapur."
"Ya capek bu, masa disuruh tiduran terus, aku kan sudah tidak apa-apa."
"Kalau capek tiduran ya duduk didepan teve, nanti yu Siti buatkan camilan.."
"Saya ingin membantu masak bu Siti."
"Jangan nak, sudah, biar yu Siti menyelesaikan sendiri, ini sudah hampir selesai."
"Masak apa sih bu?"
"Cuma sayur asem, pecel, ceplok terur, tahu tempe bacem. Ini sudah hampir selesai, tinggal goreng telurnya."
"Kalau begitu biar saya duduk disini saja.. Haa.. tahu bacemnya sudah matang, boleh ngicipin?"
"Boleh.. boleh.. rasakan.. barangkali kurang manis atau asin.."
"Hm, sudah enak kok bu, bu Siti ini memang jago memasak."
"Walaah, kok mujinya kebangeten begitu.. ya. Semua perempuan pasti bisa masak. Nak Arum kalau dirumah sendiri kan juga masak? Atau ada pembantu?"
"Nggak punya bu, saya masak sendiri, tapi masakan dari lain tangan itu beda rasanya lho bu, biar bumbunya sama."
"Ah, nak Arum ada-ada saja. Pasti memang pengin buat hati yu Siti senang kan?"
"Bu Siti tuh, beneran bu, enak kok."
"Syukurlah kalau nak Arum suka."
"Bu, kira-kira ibu perginya lama nggak ya?"
"Ibu tadi bilang mau ke bank. Biasanya lama, apalagi kalau mampir-mampir, beli ini.. beli itu.."
"Saya ingin bu Siti cerita."
"Cerita apa nak?"
"Cerita tentang anak ibu itu."
"Ah, susah ngomongnya nak, namanya orang lagi kepepet, bingung, nggak tau harus bagaimana, ya itulah yang terjadi nak. Anak sendiri dikasihkan ke orang."
"Jadi kedua anak kembar itu ibu kasihkan ke satu orang?"
"Tidak begitu nak, tapi janji ya, nak Arum jangan cerita ini sama bu Suryo, nanti saya dimarah-marahi lagi."
"Iya, janji bu.."
"Saya ini memang bodoh, atau keterlaluan, atau gampang putus asa, entahlah.. Keadaan ketika itu membuat saya bingung. Saya mencintai anak-anak saya, tapi terpaksa melepaskannya. Tak lain karena ingin anak-anak itu hidup layak. Kalau masih bersama ibunya, entah bagaimana anak-anak itu. Pasti kurus, sakit-sakitan, kurang makan..sedangkan saya saja kadang bisa makan kadang tidak. Dengan kedua anak kembar, bagaimana saya bisa mencari uang untuk hidup?"
Wajah itu mendadak redup. Telur yang digoreng sudah siap lalu diletakkannya diatas meja. Setelah mematikan kompor dan mencuci tangan, yu Siti duduk dihadapan Arum yang mendengarkan kata-katanya penuh perhatian.
"Saya tidak membuang anak itu, sungguh, saya hanya ingin mereka hidup layak," katanya setengah terisak.
Arum menepuk nepuk tangan yu Siti.
"Iya bu, saya bisa mengerti."
"Ketika itu, keadaan sangat membingungkan saya. Saya tak tau harus berbuat apa. Saya miskin, janda yang ditinggal mati suami. Tak berdaya..."
Arum mengangguk angguk sambil terus menepuk-nepuk tangan yu Siti.
Lalu ia menceritakan bagaimana ia menyerahkan anaknya kepada seorang wanita, untuk membayar biaya persalinan.
"Apakah bu Siti tau dimana rumah wanita itu?"
"Awalnya saya diajak kerumahnya, diberinya makan dan uang untuk membayar beaya persalinan."
"Berarti bu Siti tau dimana rumahnya kan? Kalau ingin bertemu anak bu Siti kan tidak susah?"
"Ketika itu dia mengatakan bahwa bayi itu sudah menjadi anaknya, dan saya tak boleh menemuinya. Beberapa bulan kemudian ketika saya lewat dirumah itu, dia sudah pindah entah kemana."
"Oh, ya ampuun.."
"Ya sudah, saya iklaskan, karena tampaknya dia wanita yang baik."
"Bagaimana dengan bayi satunya?"
"Setelah saya bayarkan beaya rumah sakit itu, mereka mengijinkan saya membawa anak saya. Tapi saya tidak punya rumah lagi karena tidak kuat membayar sewanya.Ketika itu saya jatuh sakit, terkulai ditepi jalan, dengan bayi masih dalam gendongan. Dan lagi-lagi seorang wanita mendekati saya.
"mBak, anakmu menangis, mungkin lapar.."
"Tangan lemah saya menarik kepala bayi saya dan menyusuinya, dengan bersandar pada tembok dan mata terpejam.
"Sampeyan sakit?"
Saya hanya mengangguk lemah.
Wanita itu pergi, tapi tak lama dia kembali membawa bungkusan.
"Ini nasi, makanlah mbak. Anaknya cantik, biar saya menggendongnya sebentar," kata wanita itu, yang lalu meraih bayi saya dan digendongnya. Ketika itu bayi itu sudah tidak lagi menangis, pulas dalam gendomgan wanita itu.
"Makanlah mbak, biar saya bawakan dulu anak ini."
"Terimakasih banyak."
Lalu saya memakan beberapa suap nasi yang dibawakannya. Tidak tertelan, badan saya gemetar.
"Kamu sakit mbak? Mau saya antar ke dokter?"
"Tidak bu, maukah ibu merawat anak saya?"
"Maksudnya?"
"Saya tak kuat lagi bu, saya tak akan bisa merawatnya, kasihanilah dia."
"Ya Tuhan, saya tidak punya anak seorangpun, suami saya pasti senang. Saya akan membayarnya mbak."
"Tidak.. tidak.. saya tidak menjualnya, tolong rawat dia dengan baik."
"Saya janji, saya akan merawatnya seperti anak kandung saya mbak. Tapi mbak sakit, saya antar ke dokter."
"Tidak usah, jangan pikirkan saya."
Tapi wanita itu meletakkan beberapa uang ratusan, diletakkan didekat saya.
"Pergilah berobat mbak, pakai uang ini."
"Saya tak mampu menolak, dia pergi dengan membawa buah hati saya."
Lalu yu Siti menangis terisak isak.
Arum ikut berlinangan air mata mendengar kisah menyedihkan itu. Digenggamnya erat tangan yu Siti.
Ketika itulah saya bertemu bu Suryo. Ketika saya berdiri tertatih dan ingin membeli obat, bu Suryo sedang berjalan sendirian. Saya berjalan sempoyongan, lalu bu Suryo menangkap tubuh saya. Ia wanita yang baik. Dengan mobilnya saya dibawa kerumah sakit. Saya mendapat obat dan dirawat dirumahnya, sampai sembuh, dan sampai sekarang ini saya masih mengabdi kepada penolong saya.
Arum yang berilinangan air mata sangat terharu mendengar kisah memilukan itu. Rupanya ada yang lebih menderita daripada dirinya. Bu Siti, memendam duka selamapuluhan tahun karena harus melepaskan kedua anak kembarnya.
"Saya tak tau siapa yang membawa anak-anak saya, dimana rumahnya..entahlah."
"Bu Siti, sudahlah, anggap saya sebagai anak bu Siti yang hilang ya. Saya suka bisa menjadi anak bu Siti. Ini membahagiakan saya."
Yu Siti menatap Arum lekat-lekat, lalu ia teringat tahi lalat didekat pusar Arum, yang mengingatkan dia akan anaknya. Ada getaran yang tak dimengertinya ketika mereka bertatapan, seperti ada ikatan yang tak disadari oleh keduanya.
***
"Rupanya dia sudah pulang," gumam Rini ketika sedang melakukan tugasnya.
"Dia siapa?"
"Bu Arum.."
"Itu lagi...? Nggak bosan kamu memata-matai dia terus ?"
"Bukan memata-matai, aku pas lewat, katanya sudah pulang."
"Kalau ada yang jawab berarti kamu bertanya dong."
"Kamu itu nggak tau ya Wur, mengapa aku selalu mengamati dia. Dia itu ada kembarannya, tau."
"Memangnya dia anak kembar?"
"Setauku tidak."
"Mengapa kamu bilang ada kembarannya?"
"Aku melihat wanita yang wajahnya seperti bu Arum, dirumah pak Aryo. Kamu selalu memarahi aku kalau aku bicara tentang hal itu. Tapi keanehan itu belum terjawab dan aku terus penasaran."
"Ya kalau penasaran memangnya kamu itu kenapa, bukan urusanmu kan?"
"Bukan sih... tapi aku kangen sama dia."
"Tuh kan, kumat gilanya.."
"Kamu itu tidak pernah tertarik sama orang ganteng ya?"
"Kalau aku tertarik ya pasti bukan suami orang lah.. beda sama kamu."
Rini termenung, dia sedang mencari jalan untuk bertemu Aryo dan menanyakan adanya wanita kembar itu. Sekaligus berharap, barangkali ia bisa mendapatkan uang.
"Bagaimana ya caranya?" gumamnya lirih.
"Cara untuk apa?" rupanya Wuri mendengarnya.
"Nggak.. nggak apa-apa.."
"Awas ya, jangan berulah macam-macam kamu."
***
"Bu Ratih, maukan menemani Angga beli tas sore ini?"tanya Aryo sepulang dari kantor. Ia pulang agak sorean karena tak banyak yang dikerjakannya.
"Terserah pak Aryo saja. Angga juga sudah mandi."
"Kalau begitu bu Ratih juga sudah mandi?"
"Ya sudah lah pak, saya itu disini kan malah seperti dirumah sendiri, datang, makan,mandi.. main-main."
"Ya iyalah bu, saya senang kalau bu Ratih bisa menganggap rumah ini rumah sendiri. Kalau begitu saya juga mau mandi sebentar," kata Aryo sambil masuk kekamarnya.
"Angga, sini," teriak Ratih memanggil Angga.
"Jadi mau beli tas sekolah tidak?"
"Iya dong bu? Kapan?"
"Bagaimana kalau sekarang?"
"Sekarang? Horeeee... Angga mau..." teriak Angga kegirangan.
"Kalau begitu ayo ganti baju kamu dulu."
Angga ber;lari masuk kekamar, membuka baju dan memilih-milih mana yang akan dikenakannya.
"Ibu mau ikut tidak?" tanya Ratih pada bu Nastiti.
"Kemana?"
"Pak Aryo mengajak beli tas sekolah buat Angga, mungkin karena sedang tak banyak pekerjaan dikantornya."
"Oh, baguslah. Tapi ibu nggak usah ikut saja. Capek nanti ngikutin Angga lari-lari kemana-mana."
"Iya ibu benar. Saya menggantikn bajunya dulu ya bu."
"Ya baiklah, ibu mau bersih-bersih kamar ibu saja, dari kemarin belum sempat,"
Begitu selesai ganti pakaian, Angga sudah berteriak-teriak.
"Bapaaak, Angga sudah selesai.. "
"Ya, bapak tinggal ganti baju."
"Angga ganteng sekali nih, pinter milih bajunya.." kata Ratih sambil mencium pipi Angga.
Alangkah senangnya hati Angga, karena bisa belanja keperluannya sendiri bersama ayah dan 'ibunya'.
"Nanti Angga mau minta tas sekolah, buku-buku gambar, buku-buku yang ada ceritanya, ya kan bu?"
"Iya sayang, banyak buku yang bisa Angga pilih nanti. Duuh... senengnya..."
"Kata bapak, nanti kalau Angga sudah pindah sekolah, ibu tidak lagi mengajari Angga, apa benar bu?"
"Iya sayang. Kalau Angga sudah pindah sekolah, berarti Angga sudah lebih besar. Berarti juga gurunya berbeda."
"Kalau begitu Angga nggak jadi saja.."
"Lho, nggak jadi apa?"
"Nggak jadi pindah sekolah saja. Biar ada ibu terus."
"Tidak sayang, kalau kamu tetap disekolah yang lama, kamu tidak akan bertambah pintar. Nanti disekolah baru Angga akan dijarin menulis, membaca. Jadi lebih banyak yang bisa Angga ketahui. Kalau disekolah lama, Angga akan tetap seperti anak kecil. Mau pintar nggak?"
Angga mengangguk.
"Nah, kalau mau pintar harus pindah sekolah, tapi kan sekolahnya tidak jauh-jauh dari ibu. Kalau istirahat, ibu bisa kesekolah Angga yang baru."
"Benar?"
Ratih mengangguk sambil tersenyum.
"Sudah siap? Kita berangkat?" tiba-tiba Aryo sudah berada diantara mereka, dengan pakaian rapi dan siap untuk pergi.
"Eh.. bapak sudah siap, bapak ganteng juga kan bu?" celoteh Angga sambil menatap bapaknya.
Ratih tersenyum, sambil melirik sekilas kearah Aryo.
Aryo tertawa senang.
"Ganteng dong, bapaknya siapa dulu."
"Bapaknya Anggaaaa," kata Angga sambil berjingkrak.
"Bu, kami pergi dulu ya,"
***
Angga berlari kesana kemari ditoko buku itu. Ia sudah memilih tas merah bersetrip biru, ada gambar-gambar bintang-bintang kartun kesayangannya. Ia melihat-lihat buku, menuding dan minta agar Ratih mengambilnya lalu ditaruh didalam tas belanjaan.
Angga masih berlari kesana kemarin, sementara Aryo hanya melangkah perlahan sambil mengikuti mereka tapi terkadang berhenti apabila ada yang menarik hatinya.
Disudut yang lain, dokter Bram sedang mmilih-milih buku novel yang akan diberikannya pada Arum. Ia ingat, Arum minta novel dengan cerita-cerita ringan. Kisah percintaan. Ia sedang memilih-milih lalu mengambil beberapa buku ketika seorang anak kecil menabraknya.
Dokter Bram terkejut, buku yang baru saja diambilnya jatuh kelantai. Serta merta Ratih berteriak.
"Eeh.. ma'af.. ma'af ya pak. Aduuh... Angga nakal ya?"
Ratih membantu mengambil buku dokter Bram yang terserak.
"Ma'af ya pak.." Kemudian dia melangkah cepat memburu Angga yang sudah berlari kearah lain.
Dokter Bram terpana. Ia sempat menatap wajah cantik itu, wajah yang sangat dikenalnya.
Bersambung #12
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel