Cerita bersambung
Bram mengawasi kemana gadis itu pergi, aduh.. menghilang kemana dia.
Bram melangkah mengitari tuku buku yang sangat luas itu.
Tadi ada anak kecil berlari lari. Tapi Bram kehilangan jejak.
"Aneh, kok wajahnya seperti bu Arum ya?" gumamnya sambil menuju kearah kasir.
Ia keluar dari toko buku itu, tapi sambil berputar sekali lagi, tapi gadis itu tak juga ditemukannya. Dokter Bram pulang dengan rasa penasaran.
"Ibuu.. aku juga mau ini..."
"Angga.. ini sudah banyak, besok lagi ya.. "
"Satu ini, yang gambar pinokio, nanti ibu ndongeng buat Angga..."
Ratih terpaksa mengambil buku itu, sambil menoleh kearah Aryo yang sudah sampai didekatnya. Entahlah tadi dia pergi kemana.
"Ya, baiklah, sudah cukup? Mana bu Ratih, biar saya bawa ke kasir," kata Aryo sambil meminta tas belanjaan berisi buku-buku.
"Waduuh, banyak sekali Angga.."
"Iya, ada buku dongeng bapak, nanti ibu mau mendongeng buat Angga."
"Hm... baiklah."
Aryo membayar semua belanjaan Angga.
"Kita pulang?"
"Boleh minta es krim?" tanya Angga.
"Tuh, kan, sudah beli buku banyak, masih mau minta es krim juga."
"Satu saja bapak..."
"Baiklah, biar bapak bayar dulu belanjaan kamu ini ya.."
***
Dirumah makan itu mereka hanya minum, dan makan makanan ringan.
"Kasihan ibu sudah masak buat makan malam," kata Aryo.
"Iya, tadi eyang masak ayam goreng kesukaan Angga."
Angga yang semula asyik melahap es krimnya, tiba-tiba menggamit Ratih.
"Ibu, Angga pengin pipis.."
"Ayo pipis sama bapak saja ya," kata Aryo sambil berdiri.
"Nggak mau, Angga mau sama ibu."
"Aduuh, Angga mengapa nggak mau sama bapak?"
"Ya sudah nggak apa-apa, ayo ke kamar mandi," kata Ratih sambil menggandeng tangan Angga.
Aryo menatap punggung keduanya dengan menggeleng gelengkan kepalanya.
Angga sudah terlalu bergantung pada Ratih, dan itu membuatnya was-was. Ia ingin Arum segera kembali, dan pengacara sudah berjanji akan mengusahakannya.
Tiba-tiba seseorang menepuk lengannya. Aryo menoleh dan seketika matanya melotot marah.
"Mau apa kamu ?"
"Aduh, pak Aryo galak bener sih kalau sama Rini, nggak ingat ya, kala malam itu kita..."
"Tutup mulut kamu dan pergi dari sini," hardik Aryo.
"Tunggu pak, ada sebuah informasi penting."
"Jangan bohong dan mengada-ada, aku tak butuh informasi apapun dari kamu."
"Ini benar, apa bapak sadar bahwa ada dua Arum dikehidupan bapak?"
"Apa??"
"Saya tau itu."
"Kamu tau darimana?"
"Ada pokoknya, dan informasi ini akurat."
"Kamu tau dimana Arum?"
"Saya butuh uang untuk makan pak."
"Kurangajar, kamu ingin memeras saya?"
"Ya sudah kalau nggak mau."
"Riniiii..." tiba-tiba Angga yang digandeng Ratih berteriak memanggil.
"Pergilah."
"Tapi pak."
"Pergiiii!!" hardiknya penuh amarah.
"Pak.. kalau bapak ingin informasi lebih lengkap, telephone saya. Ini nomornya. Tapi ini tidak gratis, kata Rini sambil meletakkan sesobek kertas bertuliskan nomor ponselnya.
"Pergii!!" hardik Aryo lagi.
Dan Rini pun membalikkan tubuh lalu melangkah pergi.
"Itu yang namanya Rini?" tanya Ratih begitu sampai didekat Aryo.
"Mengapa Rini pergi lagi?" kata Angga sambil menatap punggung Rini yang keluar dari rumah makan itu.
"Rini sudah tidak mau bersama kita. Sudah, habiskan es krim kamu, lalu kita pulang."
Ratih melihat sorot mata dingin yang membuatnya sedikit takut. Ia membantu Angga menyendok es krimnya. Dilihatnya Aryo meremas kertas yang tadi dia lihat diletakkan Rini diatas meja.
"Mengapa diremas-remas?"
"Nomor telepone tidak berguna. Dia hanya ingin memeras saya."
"Jangan pak, biar saya simpan, siapa tau berguna disuatu hari nanti," kata Ratih sambil mengambil remasan kertas itu, lalu dimasukkannya kedalam tasnya.
***
Tapi malam itu Aryo teringat kembali kata-kata Rini, bahwa dia tau ada dua Arum. Dua wanita berwajah sama.
Kalau begitu Rini tau tentang Arum. Jangan-jangan dia tau banyak tentang Arum. Ia harus menghubungi Rini, menanyakan semuanya, tapi nomor telpone itu telah diremasnya dan.. oh tidak.. Aryo ingat .. Ratih telah menyimpan remasan kertas berisi nomor telephone itu.
Lagi-lagi Aryo memuji Rini. Gadis itu luar biasa. Lalu ia ingin menelpone Ratih dan menanyakan tentang nomor telephone itu, tapi sudah malam. Hampir jam duabelas, pasti Ratih telah tertidur.
"Lebih baik besok pagi saja. Pagi-pagi Ratih pasti sudah datang kemari, membantu Angga bersiap kesekolah,"gumamnya.
Aryo mencoba memejamkan matanya, malam sudah larut, tapi alangkah sulitnya terlelap. Bayangan demi bayangan menari dikepalanya. Dan bayangan paling menyakitkan adalah ketika melihat tangan laki-laki ganteng menggandeng tangan Arum, begitu hangat, penuh perhatian. Aduhai, apakah ini balasan dari kelakuan yang pernah dilakukannya bersama Rini? Aryo mencoba mema'afkan laki-laki itu, seperti dia juga berharap agar Arum juga mema'afkan perbuatan tak senonohnya.
"Bapaaaak," teriakan Angga menyadarkannya.
Aryo bangkit dan setengah berlari menuju kamar Angga yang memang bersebelahan dengan kamarnya. Dilihatnya Angga sudah terduduk sambil menangis.
"Angga.. sayang... ayo bobuk lagi ya, biar bapak tidur disini, ayo bobuk."
"Mana ibu peri..."
"Ssh..shh... bobuk ya," kata Aryo sambil menepuk-nepuk pantat Angga.
"Ibu peri..." katanya lirih, sambil kembali memejamkan matanya.
"Ibu peri akan datang kemari, bapak janji.." bisiknya ditelinga Angga yang kembali terlelap.
Trenyuh Aryo, berlinang air matanya sambil mengelus kepala Angga dengan rambut ikalnya.
Aryo teringat, ketika sa'at-sa'at manis bersama Arum, ia suka sekali mempermainkan rambut ikalnya yang tergerai didahi. Mengelusnya kebelakang, lalu kembali lagi, dielusnya lagi..
"Kembalilah Arum, demi anak kamu.. demi aku.. demi cinta kita dan hari-hari yang pernah kita lalui," bisiknya.
***
Pagi itu Aryo bangun kesiangan. Ratih yang penuh pengertian melarang bu Nastiti membangunkannya.
"Bu, tampaknya pak Aryo kecapean, biar saya sama Angga naik taksi saja."
"Kasihan nak Ratih kalau harus buang-buang uang, kalau begitu biar ibu yang membayar taksinya.
"Bu, uang gaji saya hampit utuh, karena setiap hari ketika saya pulang ibu selalu membawakan nasi beserta lauk pauknya buat bapak."
"Ya tidak apa-apa to nak, kan nak Ratih tidak pernah sempat memasak buat bapak, karena sibuk mengurusi Angga."
"Sungguh saya jadi nggak per nah masak bu. Itu sebabnya uang saya hampir utuh. Jafi biar saja saya yang membayar taksinya."
"Angga pengin naik becak saja, boleh?" tiba-tiba Angga berteriak.
"Oh ya, bagus kalau begitu, ibu lihat banyak becak mangjkal dluar sana."
"Horeee... asyiik.."
"Klau begitu kita berangkat sekarang yuk. Ambil tas kamu, dan pamit sama eyang."
Bu Nastiti menatap kepergian mereka dengan rasa terharu. Ratih sangat pintar menyenangkan hati Angga. Ketika ia masuk kerumah setelah mengantarkannya sampai kejalan, dilihatnya Aryo baru keluar dari kamarnya.
"Lho, kok sudah sepi?"
"Baru saja berangkat, Angga ingin naik becak."
"Mengapa Aryo tidak dibangunkan bu?"
"Nak Ratih melarang. Kasihan katanya. Mungkin ia tau kamu sedang banak pikiran."
Aryo menghela nafas, lalu duduk dimeja. Diraihnya cawan minumnya lalu dihirupnya perlahan.
"Sudah dingin."
"Biar ibu buatkan lagi yang hanyat Yo."
"Nggak usah bu.. ini sudah cukup."
"Mandi dan sarapan sana, sudah ibu siapkan dimeja."
"Sebentar bu. Aduh, terlambat ya aku."
"Ini masihpagi, kalau kamu segera mandi dan sarapan tidak akan terlambat."
"Bukan, terlambat ketemu bu Ratih."
"Memangnya ada apa?"
"Dia menyimpan nomor kontaknya Rini."
"Kok bisa?"
Lalu Aryo menceritakan perihal pertemuannya dengan Rini dirumah makan itu, dan catatan nomor ponsel yang nyaris dibuangnya tapi kemudian disimpan oleh Ratih.
"Kamu mau menghubungi Rini? Nanti malah jadi panjang urusannya. Anak itu kan suka bikin heboh."
"Dia tau kalau ada dua orang yang mirip Arum, berarti dia tau tentang Arum, atau mungkin pernah bertemu Arum."
"Pasti ada sesuatu yang diinginkannya."
"Ya bu, uang.. Tapi kalau benar dia bisa memberitahu tentang Arum, Aryo akan membayarnya seperti yang dia minta."
"Tapi mengapa harus tergantung Rini? Beberapa hari lagi ada sidang. Siapa tau dalam sidang nanti Arum akan datang?"
"Masih beberapa hari lagi, Aryo nggak sabar menunggu bu."
"Jadi orang itu harus sabar to Yo, kamu malah membuat senang hati Rini. Nanti dia keterusan membuat berita-berita tentang Arum yang nggak jelas ujung pangkalnya.
***
Tapi Aryo sungguh tidak sabaran. Ie menghubungi Rini yang mengencaninya disebuah rumah makan, setelah mendapatkan nomor ponselnya dari Ratih. Sebel Aryo sebenarnya.
Disebuah rumah makan itu Rini makan dengan lahap. Beberapa porsi makanan dipesannya, dan dilahapnya habis. Aryo muak melihatnya, dan merasa bahwa Rini sedang memperpanjang waktu pertemuan.
"Mengapa pak Aryo tidak makan?" kata Rini dengan mulut penuh makanan.
"Nggak, melihat kamu makan seperti orang kelaparan sudah mual perutku." sahut Aryo tanpa melihat kearahnya.
Aryo makan sama sekali tidak memesan minuman apapun.
"Segera katakan apa yang ingin kamu katakan."
"Saya butuh uang," katanya setelah memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.
"Ya aku tau, tapi jangan mengharpkan uangnya sebelum aku mendengar seberapa berharganya informasi itu."
"Oh, pasti pak Aryo senang mendengarnya."
"Cepat jangan berlama-lama. Waktuku tidak banyak."
"Taukah pak Aryo bahwa bu Arum belum lama ini menjalani operasi dirumah sakit?"
"Apa?"
"Entah yang mana yang bu Arum asli, tapi saya sering melihatnya bersama seorang perempuan yang kelihatannya kaya, tapi galaknya seperti setan. Saya pernah didampratnya."
"Arum operasi dirumah sakit?"
"Iya, tapi sekarang sudah pulang."
"Alamatnya ?"
"Kalau bapak mau bertanya kerumah sakit, pasti bapak akan mengetahui alamatnya."
"Rumah sakit pusat?"
"Ya, dimana lagi? Sekarang saya sudah kenyang, dan saya minta uang yang bapak janjikan."
Aryo mengeluarkan dua lembar uang ratusan. Rini mencibir. Cibiran yang sama sekali tidak mempercantik wajahnya.
"Apa maksudmu?"
"Informasi ini sangat berharga, mengapa hanya duaratus ribu?"
"Berapa?"
"Satu juta."
"Kamu sudah gila !!"
Aryo meletakkan lima lembar ratusan ribu lalu berdiri dan melangkah keluar.
"Hanya itu, dan sekalian buat bayar makananmu itu!!" katanya sambil berlalu.
Rini memunguti uang yang terserak dimeja karena Aryo meletakkannya dengan kasar. Dengan mengomel panjang pandek pergi kearah kasir untuk membayar makanannya.
***
Siang itu juga Aryo pergi kerumah sakit. Dia menghubungi perawat di klinik bedah. Dan mendapat keterangan memang benar Arumsari pernah operasi disana.
"Bisakah saya tau dimana alamatnya?"
"Sebentar saya cari ya pak.."
Aryo menunggu dengan harap-harap cemas. Ia yakin kali ini akan bisa menemui isterinya.
Ia menunggu tak lama karena perawat itu sudah mengatakan dimana alamat Arumsari. Tapi celakanya, alamat yang tercantum adalah alamat rumahnya sendiri. Alamat dimana Arum dan dirinya tinggal.
Aryo mengucapkan terimakasih dengan perasaan kecewa. Informasi dari Rini memang benar, tapi ia tetap belum bisa menemukan alamatnya. Benar kata ibunya, bahwa ia harus bersabar.
Aryo melangkah keluar, dan tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tampan dengan atribut dokter bersimpangan dengannya. Aryo mengingat ingat. Astaga, bukankah dia laki-laki yang menggandeng Arum itu?
Aryo berdiri terpaku.
"Rupanya dia seorang dokter," gumamnya perlahan. Perasaan cemburu kembali mengusik batinnya.
==========
Aryo mengepalkan tangannya. Ingin memburunya lalu menghajarnya. Tapi dokter itu sudah lenyap ditikungan sana.
"Suster, suster.. sebentar, mohon tanya," kata Aryo kepada salah seorang perawat yang tadi berjalan dibelakang dokter itu, walau agak jauh.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?"
"Yang baru saja lewat tadi namanya dokter siapa?"
"Yang mana?"
"Yang barusan lewat tadi, lalu belok kesana."
"O, itu dokter Bramasto, dokter bedah."
"Oh, terimakasih suster."
Dan suster itu berlalu. Aryo melangkah pelan. Ada sedikit perasaan minder mendengar keterangan perawat itu.
"Jadi aku bersaing dengan seorang dokter ahli? Spesialis bedah?"gumamnya lirih sambil terus melangkah.
Pastilah Arum akan memilih dia. Gagah, ganteng, lebih keren, dokter bedah. Dan dia? Hanya sarjana biasa saja yang hanya memiliki jabatan wakil direktur diperusahaan dimana dia bekerja.
Tapi apakah pekerjaanku lebih rendah? Bukankah aku juga ganteng? Aduhai, perasaan galau mengusik hatinya sampai dia kembali lagi ke kantornya.
Tapi sesampainya dikantor, timbul keinginannya akan menemui dokter bedah itu. Ia harus bisa menghilangkan rasa cemburu yang mengusiknya, demi sebuah cinta yang harus diperjuangkannya. Tak perduli dokter bedah atau dokter apapun sekalian, ia harus bisa merebut kembali Arum nya.
Dengan pemikiran itu Aryo kemudian berpamit untuk meninggalkan kantor lagi, kembali ke rumah sakit.
***
"Selamat siang," sebuah sapa terdengar didepan pintu. Bu Suryo yang sedang asyik menyulam diteras depan terkejut.
"Lho, nak dokter, ayo silahkan.. silahkan masuk," kata bu Suryo ramah.
"Ma'af mengganggu bu."
"Tidak, sama sekali tidak, silahkan masuk,"
"Disini saja bu, lebih segar udaranya."
"Baiklah, saya panggil Arum terlebih dulu ya," kata bu Suryo sambil bergegas kebelakang.
Dokter Bram meletakkan bawaannya diatas meja, beberapa buku novel yang akan diberikannya pada Arum.
"Kalau bu Arum tidur jangan dibangunin bu, kasihan."
"Tidak, baru saja dia masuk kedalam setelah omong-omong sama saya disini," kata bu Suryo sambil terus melangkah.
"Arum, ada tamu untuk kamu," terdengar teriakan bu Suryo.
Dokter Bram menunggu. Hal pertama selain memberikan buku novel itu adalah ingin menceriterakan tentang seorang wanita yang mirip dengannya di toko buku itu kemarin sore.
Yu Siti keluar sambil membawa nampan berisi minuman.
"Silahkan diminum pak dokter."
"Terimakasih bu, kok repot-repot sih."
"Nggak pak dokter, sudah ada kok. Silahkan.."
"Terimakasih bu."
Dokter Bram menatap yu Siti, yang walau hanya pembantu tapi selalu berpakaian apik, dan diperlakukan seperti keluarga oleh bu Suryo.
"Selamat siang dokter," sapa Arum ramah.
Dokter Bram menatap Arum lekat-lekat. Benar-benar sama wajah itu.
"Dokter dari rumah sakit?"
"Iya, langsung kemari. So'alnya harus segera menyerahkan buku yang saya janjikan."
Dokter mengangsurkan beberapa buku yang sudaah diletakkannya dimeja.
Arum duduk dan meraih buku-buku itu.
"Ya ampuun, dokter kok sampai bersusah payah begini untuk saya," kata Arum sambil menatap buku-buku itu dan melihat judulnya.
"Tampaknya ini buku-buku tentang cinta semuanya. SEPENGGAL KISAH, SA'AT HATI BICARA, SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA. Wauw.. menarik sekali."
"Bu Arum kan bilang suka buku-buku percintaan."
"Iya benar, saya suka. Terimakasih banyak dokter."
"Asalkan bu Arum suka, saya senang sekali."
"Pastilah saya suka, daripada kesepian tak punya pekerjaan. Habis mau melakukan apa saja dilarang oleh ibu. Padahal saya sudah merasa sehat."
"Sebentar lagi pasti pulih. Bu Arum harus sabar."
"Terimakasih dok, berkat dokter kan. Itu minumannya dokter, silahkan diminum."
"Sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu," kata dokter Bram sambil meneguk minuman yang dihidangkan yu Siti.
Arum berdebar, akan mengatakan apa kira-kira dokter ganteng ini?
"Apa itu dokter."
"Ketika saya beli buku kemarin sore, saya bertemu seseorang. Wanita cantik, bersama seorang anak kecil, yang dipanggilnya dengan nama Angga."
"Apa? "
"Sepertinya anak kecil itu anaknya. Mereka sedang memilih-milih buku."
Wajah Arum muram seketika. Itu Rini dan Angga anaknyakah?"
"Tapi wanita itu wajahnya mirip sekali dengan bu Arum."
"Haa? Masa Rini mirip dengan saya? Ogah aku.." kata Arum keras, dan kesal.
"Rini siapa?"
"Kalau wanita itu Rini, Angga pastilah anak saya."
"Saya tidak sempat menanyakannya. Anak itu tadinya menabrak saya, sehingga buku-buku ini jatuh ke lantai. Wanita itu membantu memungutinya dan meminta ma'af, lalu mengejar anak kecil itu. Yang saya heran, wajah wanita itu mirip sekali dengan bu Arum."
Arum bingung. Jadi anak itu pasti bukan Angga. Masa wajah Rini mirip wajahnya?
"Banyak orang mirip satu sama lain didunia ini," gumam Arum pada akhirnya.
"Mengapa sangat mirip ya, seperti pinang dibelah dua."
"Itu karena dokter membeli buku untuk saya, jadi kebayang wajah saya," canda Arum yang sudah berhasil menghilangkan rasa kesalnya.
"Begitu ya?"
"Nak dokter, mari makan dulu, kebetulan kami juga mau makan siang," tiba-tiba bu Suryo muncul.
"Lho, bu.. kok ada acara makan siang."
"Ada dong, kebetulan kami mau makan, nak dokter datang. Ayo Rum, ajak nak dokter keruang makan, "
***
Aryo sudah tiba dirumah sakit. Sudah jam 3 siang, ia langsung menanyakan, diruang mana dokter Bram praktek.
"Oh, ma'af pak, dokter Bram sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu," kata petugas kantor informasi.
"Waduh, dimana ya dia praktek kalau sore hari, misalnya."
"Saya kira dokter Bram tidak praktek dirumah pak. Hanya dirumah sakit ini."
"Oh ya, bisa tau dimana alamatnya?"
"Kalau tidak salah di jalan Merpati pak, tapi saya tidak tau persisnya."
"Baiklah, terimakasih."
Aryo melangkah lunglai. Masih harus ada perjuangan. Mencari rumah dokter Bram. Kalau dia tidak mampir-mampir pasti sudah ada dirumahnya.
Aryo meluncur kearah jalan Merpati. Menyusuri sepanjang jalan itu, barangkali ada terpampang nama dr. Bramasto spesialis bedah. Tapi tak ada. Ia kembali menyusuri jalan yang sudah dilaluinya. Disebuah warung dia berhenti.
"Mangga mas," sapa penjaga warung.
Aryo harus membeli sesuatu, sungkan kalau hanya bertanya.
"Ada permen?"
"Perman yang mana pak, banyak permen disini."
"Sembarang saja. Yang manis."
Hm.. adakah permen pahit? Asal saja Aryo bicara.
"Ini manis semua. Yang ini ?"
"Ya.. ya.. itu."
Aryo mengulurkan uang dan penjual menyerahkan permen dan kembaliannya."
"Pak, apa bapak tau dimana rumah dokter Bramasto?"
"Dokter Bramasto? Yang ahli bedah itu?"
"Ya..ya.. benar."
"Disana pak, ujung jalan ini, kiri jalan, Rumah kecil, bercat abu-abu."
"Oh, baiklah pak, terimakasih banyak."
Aryo memutar lagi mobilnya. Ujung jalan, rumah kecil bercat abu-abu. Perlahan Aryo mengamati rumah-rumah disepaanjang jalan itu. Oh ya, dari sini kiri jalan.
Lalu Aryo menemukannya. Tapi ia melihat rumah itu tertutup rapat. Ada gerbang yang terkunci dari luar. Berarti dokter itu belum pulang.
Aryo masih duduk dibelakang kemudi, berharap yang empunya rumah segera kembali. Tapi sudah sejam lamanya ia menunggu, sang dokter ganteng belum juga pulang.
"Sebaiknya aku pulang saja dulu, mandi lalu agak malam baru kemari lagi.
Aryo menjalankan lagi mobilnya, menuju pulang. Tak disadarinya mobil dokter Bram datang beberapa menit setelah dia pergi. Barangkali belum sa'atnya untuk bertemu.
***
"Dokter Bram itu besar sekali perhatiannya terhadap kamu Rum." kata bu Suryo setelah dokter itu pulang.
"Iya bu, kan saya itu bekas pasiennya."
"Tapi dia memperlakukanmu dengan sikap yang berbeda. Ibu merasa ada sesuatu dihatinya."
"Sesuatu itu apa ?"
"Sebuah perasaan. Tampaknya cinta."
Arum berdebar mendengarnya. Cinta? Ah, sepertinya masih sangat jauh. Beberapa kali bertemu, sudah merasa jatuh cinta? Tapi cinta pada pandangan pertama itu katanya ada. Ah, Arum ingin segera masuk kekamarnya dan membaca buku-novel yang tadi diterimanya. Tapi bu Suryo masih mengajaknya bicara.
"Arum, kalau seandainya 'iya', bagaimana dengan kamu?"
"Apanya bu?" Arum pura-pura tak tau.
"Perasaan cinta itu, seandainya ada, apakah kamu akan membalasnya?"
Arum termenung beberapa sa'at.
"Dia laki-laki yang baik. Ibu yakin dia akan menjadi suami yang mencintai kamu dengan sepenuh hati. Ibu akan bahagia kalau kamu bisa menjadi isterinya.
"Tapi bu, saya kan masih punya suami."
"Tapi kan pengacara juga sedang membantu memproses perceraian kamu. Setelah kamu bercerai, kamu bebas melakukan apa saja. Mencari suami lagi.. memilih yang terbaik untuk pendamping kamu."
Arum menghela nafas. Ia suka pada dokter Bram, tapi apakah itu cinta? Atau gejala akan tumbuhnya rasa cinta? Tiba-tiba terbayang kembali kenangan bersama suaminya. Suami yang sangat dicintainya. Apakah cinta itu juga masih ada?
"Dia sudah menyakiti kamu Arum." kata bu Suryo lagi.
"Benar bu."
"Kamu harus membangun kembali hidupmu yang porak poranda gara-gara dia. Apalagi dia sudah punya isteri."
Arum masih termenung. Mencari sampai kedasar hatinya, apakah masih ada cinta yang tersisa?
"Mengapa aku merasa sakit hati, dan benci sekali sama Rini? Apa itu pertanda aku masih cinta sama mas Aryo? Aduhai, kalau cinta itu tak ada, tak perlu ada rasa cemburu bukan? " kata hati Arum sambil memeluk buku-buku pemberian dokter Bram.
"Apa kamu menyesal telah mengirimkan gugatan cerai untuk suami kamu?"
"Entahlah bu, Arum bingung."
"Sidang itu akan digelar beberapa hari lagi. Kamu mau hadir nanti?"
"Tidak bu, kan sudah ada pengacara," jawab Arum lalu menghela nafas panjang.
"Baiklah, istirahatlah saja dulu. Kamu belum sempat tidur siang tadi."
Arum mengangguk kemudian berdiri dan melangkah kedalam kamarnya.
"KALAU CINTA ITU TAK ADA LAGI, HARUSNYA TAK ADA RASA CEMBURU" diselaminya kata-kata itu dalam-dalam. Jadi masihkah dia cinta?
Membaringkan tubuhnya dikamar masih dengan memeluk buku-buku itu, Arum mencoba mencerna kata hatinya. Diletakkan buku-buku itu disampingnya, dan dicobanya untuk mengheningkan rasa dan hatinya. Akan dicarinya rasa cinta itu, Kalau tak ketemu juga, berarti akan berakhirlah rumah tangganya. Pasti menyedihkan, lalu titiklah air matanya.
***
Baru saja datang Aryo sudah mandi dan berpakaian rapi. Bu Nastiti yang merasa heran mendekati anaknya.
"Tumben langsung mandi, mau jalan-jalan sama Angga?"
"Tidak bu, Aryo mau menemui dokter Bram."
Bu Nastiti terkejut. Khawatir anaknya akan melakukan hal-hal yang membuatnya takut.
"Apa yang akan kamu lakukan? Bersikaplah dewasa Yo, jangan hanya menuruti kata hati. Kekerasan itu tak akan membuahkan sesuatu yang baik."
"Ibu, Aryo tidak akan melakukan kekerasan."
"Lalu..?"
"Ibu meminta agar Aryo merebut kembali Arum bukan?"
"Benar, tapi dengan cara apa kamu melakukannya?"
"Pokoknya ibu tenang saja.."
"Yo, kamu itu sok grusa-grusu, disuruh sabar saja susahnya bukan main. Ya sudah ibu ikut kalau begitu."
"Nggak usah bu, aduuh.. ibu nggak usah khawatir lah."
Tapi bu Nastiti masih menampakkan wajah khawatir. Aryo tersenyum dan memeluknya erat.
"Ibu tak usah khawatir, do'akan saja agar Aryo berhasil ya."
Aryo mengambil sepatu dan mengenakannya. Ia harus tampil rapi, dan ganteng, harus itu, supaya saingannya tau bahwa dia juga ganteng dan bukan hanya dirinya.
Ahaiii... itu benar, dan memang itulah yang difikirkan Aryo.
Ia pergi kearah cermin besar yang terpampang diruangan tengah. Berputar putar dan meyakinkan bahwa dirinya sudah benar-benar oke.
"Seperti mau ketemu gadis yang baru ditaksir saja," gumam bu Nastiti melihat ulah anaknya.
"Aryo harus tampak ganteng dihadapan dia bu. Bukan hanya dia yang bisa menarik hati Arum, kata Aryo yang tiba-tiba bersikap kekanak-kanakan.
Mau tak mau bu Nastiti tersenyum.
"Bapak mau kemanaa?" teriak Angga yang berlari dari arah depan.
"Mau keluar sebentar."
"Angga ikut ya? Ibuuu... ayo ikut bapak .." teriaknya kepada Ratih.
"Eh, nggak bisa Angga, bapak sedang ada perlu."
"Anak kecil nggak boleh ikut?"
Aryo menggoyang-goyangkan jari telunjuknya.
"Bapak ganteng ya bu?" lagi-lagi Angga memuji bapaknya.
"Ganteng dong, kan anaknya juga ganteng," kata Aryo sambil mengangkat tubuh anaknya tinggi-tinggi. Angga terkekeh senang.
"Baik-baik dirumah sama ibu ya. Bapak hanya sebentar," katanya sambil menurunkan lagi tubuh Angga.
"Sudah hampir gelap, bermainnya jangan dihalaman Angga." pesan Aryo yang kemudian berpamit pada ibunya dan Ratih, yang menggandeng Angga agar tak berlari lagi kehalaman.
***
Aryo menghentikan mobilnya didepan rumah yang sudah didatanginya tadi sore. Ada mobil terparkir dihalaman. Berarti sang pemilik rumah sudah pulang. Syukurlah, kata hati Aryo.
Aryo mematikan mesinnya lalu turun perlahan. Dielusnya kepalanya, khawatir ada rambut yang teracak dan mengurangi ketampanannya. Ehemm.. bener-bener deh.
Namun sebelum ia memencet bel tamu, seseorang keluar dari sana, mengenakan sarung dan kopiah. Aryo mengenal laki-laki itu. Memang dia dokter Bram.
Wajah tampan yang dikenalnya, yang menggandeng tangan isterinya dengan mesra, dan diakui oleh Arum sebegai calon suaminya.
Ada sedikit gelegak marah, eh bukan marah, tapi cemburu.
Mata kedua laki-laki tampan itu bertatapan. Sama-sama tampan dan rupawan. Sama-sama memiliki mata tajam dan penuh pesona. Ada banyak yang dipikirkan keduanya.
Bram menerimanya sebagai kemarahan yang akan dilontarkan seperti ketika pernah dia hampir ditempelengnya. Tapi sedikit lega ketika mata itu tak menyemburkan api seperti dulu. Mau apa dia datang kemari?
Bersambung #13
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel