Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 04 Desember 2020

Setangkai Mawar Buat Ibu #13

Cerita bersambung

Tatapan itu masih terlekat. Tak seorangpun mendahului menyapa, karena sedang bergolak beribu rasa yang ada dikepala mereka. Tapi Aryo segera bisa menguasai dirinya.
"Selamat sore," sapanya pelan.
"Selamat sore," akhirnya dokter Bram menjawa juga
"Saya ingin bertemu dokter."
"Baiklah, tapi saya mau ke masjid dulu, sudah sa'atnya sholat maghrib. Kalau anda  mau menunggu, saya akan bukakan pintu dan silahkan duduk dulu."
Aryo merasa terpukul. Karena gelisah ia justru melupakan ibadah.

"Bolehkah saya ikut?"
"Silahkan, masjidnya tidak jauh."
Pembicaraan itu mulai lancar. Segala rasa yang entah apa, sedikit mencair. Barangkali setelah merunduk dan memohon pertolonganNya, semua kemelut akan berakhir.
Ada do'a ketika bersujud, ada pinta ketika bersembah. Pastilah Allah mendengarkannya. Apalagi ketika air mata sempat titik ketika memujaNya.
***

Aryo duduk dikursi tamu, sedikit sungkan merasakan kehangatan yang disuguhkan oleh 'pesaing' nya.
"Kita belum berkenalan bukan? Nama saya Bramasto," kata dokter Bram sambil mengulurkan tangannya.
Aryo menyambutnya. Pasti dokter Bram  merasa bahwa telapak tangan tamunya sedikit berkeringat.
"Aryo," kata Aryo singkat.
"Kita pernah bertemu bukan?"
"Ma'af, dalam situasi yang tidak menyenangkan. "
"Saya bisa mengerti."
"Arum masih isteri saya."
"Ya, saya juga tau."
"Apakah.. dokter adalah... calon suaminya?"
Dokter Bram ragu untuk menjawabnya. Ia tau ketika Arum mengatakan itu, adalah hanya untuk menghentikan pertikaian, atau lebih tepatnya mencegah kemarahan Bram yang kelewat batas. Tapi kalau dia mengatakan 'bukan', apakah Arum tidak akan memarahinya?
"Benarkah dokter adalah...?" Aryo mengulang pertanyaannya dengan menyimpan cemburu yang membakarnya.
"Sebenarnya begini," dokter Bram menyandarkan tubuhnya disandaran sofa, tampak sedang menata apa yang harus dikatakannya. Aryo menunggu dengan hati berdebar.
"Saya kenal dengan bu Arum karena dia pasien saya. Belum lama ini dia dioperasi karena ada tumor di rahimnya."
"Tumor? " Aryo tampak terkejut. Ia tak menyangka Arum memiliki penyakit itu.
"Tapi tidak ganas, sudah diangkat dan hasilnya baik."
Aryo bernafas lega.
"Syukurlah, menyesal saya sampai tidak mengerti akan hal itu," keluh Aryo.
"Saya banyak mendengar dari bu Suryo tentang bu Arum."
"Bu Suryo?"
"Ibunya bu Arum?"
"Ibunya Arum itu bu Martono, mertua saya."
"Oh, saya tidak tau, mungkin bu Suryo itu ibu angkatnya  yang kemudian menganggapnya sebagai puterinya, entahlah."
"Dia pergi dari rumah, karena saya melakukan kesalahan yang kemudian saya sangat menyesalinya," kata Aryo lirih,
"Ya, bu Suryo sudah mengatakannya pada saya."
"Saya ingin dia kembali kerumah, demi Angga, tapi...." Aryo tak melanjutkan kata-katanya. Ia ingin berkata bahwa 'tapi Arum telah memilih calon suami baru'.
"Tapi apa? Karena anda menjadikan wanita itu sebagai isteri anda?"
Aryo terperanjat.
"Apa maksud dokter?" meninggi suara Aryo ketika mengucapkannya.
"Anda menikahi perempuan penggoda itu bukan?"
"Tidak. Siapa mengatakan itu?" Aryo mengangkat tubuhnya dari yang semula bersandar di sandaran sofa.
"Saya mendengar dari bu Suryo."
"Bohong !!" kata Aryo hampir berteriak.
Dokter Bram membelalakkan matanya.
"Bohong?"
"Itu tidak benar. Ada yang memfitnah saya !!"
"Tidak benar?"
"Saya mengusir perempuan itu malam itu juga."
Sekarang dokter Bram terkejut.  Mengapa beritanya berbeda dengan kenyataannya?"
"Sebentar, saya akan mengambilkan minum," kata dokter Bram. Bukan hanya karena lupa menyuguhkan minum kepada tamunya, tapi ia juga merasa tiba-tiba tenggorokannya merasa kering.
Aryo ingin menolaknya, tapi dokter Bram keburu menghilang dibalik pintu, lalu keluar lagi sambil membawa dua botol minuman dingin.
"Silahkan pak," katanya sambil membukakan botolnya dan mengangsurkannya pada tamunya, dan menyerahkan sedotan yang dibawa bersama minuman itu.
"Terimakasih," sambut Aryo sambil meraih botol itu dan meminumnya pelan.
"Saya tidak mengerti," gumam Aryo.
"Saya juga tidak mengerti, mengapa bisa ada cerita tersebut."
"Itu sebabnya dia menggugat cerai saya?"
"Mungkin, saya tidak begitu menyelami situasi yang menimpa bu Arum."
Aryo sedikit lega, mendengar dokter Bram menyebut Arum dengan sebutan 'bu", bukan panggilan akrab seorang calon suami. Atau kerena sungkan kepada dirinya?
"Dan karena akan segera menikah dengan dokter?"
Dokter Bram tercengang. Kalau demikian halnya dia harus mengatakan yang sebenarnya. Dia tak ingin menjadi penyebab terburainya rumah tangga Arum, wanita yang dikaguminya.
"Itu tidak benar.."
"Apa yang tidak benar?"
"Saya bukan calon suami bu Arum."
Dada yang semula menyesak tiba-tiba menjadi longgar. Nafas yang tersengal dipicu kecemburuan perlahan melemah. Aryo kembali menyandarkan tubuhnya.
"Mengapa Arum mengatakan itu ketika bertemu saya."
"Mungkin dia ingin menghindar dari anda. Atau agar tak terjadi keributan disana."
"Oh.. " lalu Aryo menyadari bahwa kalau tidak dicegah pastilah akan ada 'pertarungan' disana, karena hatinya kelewat panas.
"Ketika itu bu Arum ingin membeli buku bacaan, karena merasa kesepian dirumah. Dia ingin membelinya sendiri, lalu saya mengantarkannya. Ibunya takut kenapa-kenapa, karena sesungguhnya dia belum sembuh benar."
Aryo merasa telah jatuh tersungkur dilantai. Tangan laki-laki yang menggandeng isterinya bukanlah gandengan mesra seorang calon suami, tapi gandengan seorang dokter yang menjaganya agar tidak terjatuh.
"Saya minta ma'af."
"Lupakanlah, saya bisa memahami perasaan anda."
"Bolehkah saya menemui Arum?"
"Lho, kok minta ijin kepada saya? Anda suaminya, bebas dong kalau mau menemui dia."
"Maksud saya, alamat dimana Arum tinggal. Selama ini sangat susah menghubungi dia."
"Oh, baiklah. "
Hari sudah malam ketika Aryo menuju pulang dengan menggenggam alamat dimana Arum tinggal. Ada mimpi-mimpi dan harapan yang memenuhi benaknya. Yaitu kembalinya ibu peri di kehidupan Angga. Walau didalam hati ia masih bertanya-tanya, siapa mengatakan bahwa dirinya telah menikahi Rini? Jangan-jangan perempuan gila itu. Pikirnya.
***

Ketika Aryo memasukkan mobilnya kehalaman, dilihatnya ibunya  duduk sendirian di teras. Pasti bu Nastiti khawatir, bahwa kepergian Aryo kerumah dokter Bram akan membawa permasalahan baru apabila Aryo bersikap kasar.
Tapi begitu masuk rumah lalu mencium tangan ibunya, Aryo menampakkan wajah cerah.Walau begitu bu Nastiti masih merasa curiga.
"Bagaimana ?"
"Baik bu."
"Baik bagaimana? Kamu apakan dia?"
"Ibu, apa ibu merasa bahwa Aryo ini seorang tukang pukul?" katanya sambil tersenyum.
"Lalu...?"
"Aryo sudah mendapatkan alamat Arum. Besok Aryo akan menemui dia. Kalau sekarang sudah malam, nggak enak, dia kan habis sakit."
"Sakit? Sakit apa?"
"Aryo bicara banyak sama dia. Dia baik, menerima Aryo dengan baik juga."
"Mereka akan menikah?"
"Tidak. Arum hanya pasiennya. Dia kan dokter yang merawat Arum."
"Arum sakit apa?"
"Belum lama ini dia operasi tumor."
"Tumor?" bu Nastiti terbelalak.
"Tapi tumor jinak dan sudah diangkat. Sekarang Aryo sudah menemukan jawaban mengapa Arum menggugat cerai."
"Lha iya, karena mau menikah sama dokter itu?"
"Bukan bu, karena dia mengira Aryo menikahi Rini, apa Aryo sudah gila?"
"Darimana berita itu?"
"Aryo belum tahu, mungkin Rini sendiri, besok Aryo akan memaki-maki dia."
"Perempuan gendeng itu.."
"Tapi Aryo akan menemui Arum dulu, besok pagi."
"Baiklah, semoga  Arum segera kembali."
Lalu Aryo melangkah kedalam rumah, dengan langkah yang lebih ringan.
Ketika melongok kearah kamar Angga, dilihatnya Angga sedang mendengarkan dongeng yang diceritakan Ratih. Aryo mendekat.
"Apakah itu dongeng tentang ibu peri ? tanya Aryo.
"Bapak sudah pulang ?" teriak Angga.
"Iya, sudah.. bobuk saja, kasihan ibu, pasti capek."
"Ibu sedang mendongeng tentang pinokio. Bapak tau nggak, kalau kita berbohong, hidung kita akan bertambah panjang."
"Iya benar, jadi Angga tidak boleh berbohong ya?"
"Iya. Lanjutin bu.."
Aryo kembali kekamarnya, membersihkan diri lalu berganti baju yang lebih santai. Setelah Angga tidur ia harus mengantar Ratih pulang. Semoga ibu perinya Angga segera kembali sehingga tak perlu terlalu merepotkan Ratih lagi.
***

Arum mulai membaca novel kiriman dari dr. Bram. Ada yang ikhlas kehilangan cinta demi kesehatan saudaranya. Aduhai. Mudahkah mengikhlaskan cinta?
Arum meletakkan bukunya, lalu berbaring diranjang. Kata-kata bu Suryo terngiang kembali ditelinganya. Kalau dokter Bram cinta, bisakah dia menyambutnya? Entahlah. Dokter Bram itu cakep, ganteng, pintar, baik, penuh perhatian, apa yang kurang? Ia suka, tapi cinta? Rasanya harus ditimbang-timbang dulu, karena rasa suka berbeda dengan cinta.
"Arum," tiba-tiba bu Suryo masuk kekamar.
"Ya ibu," kata Arum sambil bangkit.
"Pengacara kamu menelpone ibu."
"Ada apa bu?"
"Katanya pengacaranya Aryo menemui dia. Intinya Aryo menolak menceraikan kamu."
Arum terdiam.
"Mengapa mas Aryo menolak bu? Arum tidak mau  punya madu, apalagi Rini."
"Ibu juga heran, apa maksudnya dia menolak? Enak saja, sudah punya isteri lagi, masih tidak mau menceraikan kamu."
"Lalu Arum harus bagaimana bu?"
"Sebaiknya kalian bercerai. ada dokter Bram yang lebih baik dari suami kamu."
Arum terdiam. Apakah kebaikan seseorang boleh dilihat hanya dari awal pertemuan? Dulu Aryo juga sangat baik, sangat penuh cinta, sangat perhatian, seperti tak ada celanya. Tapi sesuatu juga bisa menggelincirkannya kearah perbuatan yang tidak terpuji.
"Mengapa kamu tampak ragu Arum?"
"Arum bingung bu."
"Apa kamu masih mencintai suami kamu?"
Arum menggeleng lemah, gelengan yang tidak diyakininya sebagai kebenaran. Ia terus mencari barangkali ada cinta yang tersisa, karena tiba-tiba ia merasa ragu dengan keputusannya. Tapi kalau dia tidak bercerai, lalu sebagai apa dirinya ini? Isteri tua? Aduhai... tidak..
"Kalau begitu jangan lagi memikirkan suami kamu. Teruslah menuntut cerai."
Bu Suryo meninggalkan kamar Arum dengan wajah kurang senang ketika melihat keraguannya. Arum menghela nafas, lalu kembali membaringkan tubuhnya. Matanya menerawang kearah langit-langit kamar,
Malam itu entah mengapa ia teringat Aryo suaminya. Ketika bertemu itu, dilihatnya Aryo agak sedikit kurus, tapi masih tetap gagah dan ganteng. Matanya tajam, tapi ketika itu Arum melihat api menyala disana. Ada kemarahan yang tak terbendung. Arum tidak mengerti, dia bisa mengambil isteri lagi, mengapa dia marah ketika melihat dirinya sedang bersama dokter Bram? Apakah dia masih mencintainya? Ini sungguh rumit  untuk dicerna. Ada rindu yang tiba-tiba melintas. Tapi segera dikibaskannya. Seandainya tidak ada perempuan murahan itu.. akan sempurnalah rindu mendekap kalbu.
***

Pagi itu Aryo menelpone ke kantor, ia akan datang lebih siang karena ada yang harus dikerjakannya. Ia sudah pulang dari mengantarkan Angga ke sekolah.
"Kamu mau kesana?"
"Iya bu, Aryo harus ketemu Arum dan mengajaknya bicara."
"Ibu boleh ikut?"
"Jangan dulu bu, nanti akan tiba sa'atnya akan bertemu ibu juga. Aryo harus bicara banyak. Meluruskan hal-hal yang tidak benar. Arum harus mengerti semuanya."
"Ya sudah, hati-hati bicaranya, takutnya dia masih marah sama kamu, lalu suasana jadi tambah panas."
"Nggak bu, nanti Aryo akan bicara maniis... Ibu tidak perlu khawatir. Kalaupaun dia masih marah, Aryo tetap akan menanggapinya dengan senyum.
Bu Nastiti mengangguk sambil tersenyum. Senyum yang penuh harapan baik.
Aryo masuk kekamarnya, ia membuka almari dan memilih kemeja yang akan dikenakannya. Nah, ini dia, kemeja warna kuning muda ini dulu Arum yang membelikannya. Lalu celana abu-abu muda  sepertinya ini  dulu Arum juga  yang memilihkan warnanya. Aryo mengambilnya dari gantungan. diletakkannya diatas pembaringan.
"Hm, bagus," gumamnya.
Selesai dikenakan, Aryo mematut dirinya didepan cermin.
"Bukankah aku ganteng?" gumamnya lagi, lalu berputar didepan kaca. Ia bergaya seperti seorang peragawan, memasukkan kedua tangannya kedalam saku, lalu tersenyum-senyum sendiri.
"Kayak orang lagi mau pacaran saja," akhirnya Aryo merasa cukup, lalu dikenakannya sepatu. Kembali kedepan cermin untuk memastikan penampilannya sudah sempurna. Baru kemudian ia keluar kamar dan mencari ibunya.
"Ibu, Aryo berangkat dulu ya," lalu diciumnya tangan ibunya.
"Anakku ganteng bener.." katanya sambil memegangi kedua lengan Aryo.
"Do'akan Aryo ya  bu."
"Ibu selalu mendo'akan kamu Yo."
Aryo menuju kearah mobilnya. Kembali menatap wajahnya didepan spion, aduh, lebay sekali tampaknya.
Mobil Aryo melaju pelan. Ada senandung lirih terdengar dari bibirnya. Sebuah lagu cinta, ketika pertama kali ia akan melamar Arum. Kali ini suasananya kok mirip seperti itu ya. pikir Aryo.
Sekarang dia sudah sampai di alamat yang diberikan dokter Bram. Jalan Tanjung nomor 15. Aryo menghentikan mobilnya.
Dihalaman seorang laki-laki sedang mencuci mobil. Aryo turun dan mendekat. Dadanya berdebar kencang. Ia mendekati laki-laki itu. Tapi sebelum bertanya sesuatu, seorang wanita keluar dari pintu depan.
"No, antarkan yu Siti dulu kepasar ya," kata wanita itu.
"Baik bu."
Aryo mendekati rumah. Wanita itu menatap Aryo tak berkedip,
Aryo merasa, pastilah ini wanita yang disebut dokter Bram sebagai ibunya Arum. Kalau tidak salah namanya bu Suryo.
"Selamat pagi," sapa Aryo sambil mengangguk hormat.
"Anda siapa?" tanya wanita itu.
"Nama saya Aryo."
Bu Suryo menatap Aryo lekat-lekat. Jadi ini suaminya Arum?
"Ada perlu apa ya?"
"Saya mau ketemu Arum, saya suaminya."
Wajah wanita itu mendadak gelap, seperti langit tertutup mendung.
"Dia tidak ada." jawab bu Suryo dingin.
Aryo tertegun.

==========

"Ibu, saya suaminya Arum." kata Aryo kembali menerangkan.
"Iya, saya sudah mendengar ketika anda mengatakannya," kata bu Suryo dingin.
"Ijinkan saya bertemu dia."
"Tapi dia tidak ada."
"Kemana?"
"Saya tidak tau," kata Bu Suryo lalu kembali berteriak kepada Pono, sopirnya.
"No, kalau sudah selesai bilang ya.  Setelah yu Siti nanti kamu harus mengantarkan aku juga."
"Ya bu."
Aryo merasa kesal. Bu Suryo tidak menggubrisnya.
"Bu..." Aryo mencoba memanggil ketika dilihatnya bu Suryo mau masuk kedalam rumah.
"Ma'af ya nak, sudah saya katakan kalau Arum tidak ada, coba datang lain kali saja. Saya sedang terburu-buru," kata bu Suryo sambil menghentikan langkahnya, hanya sebentar, lalu masuk kedalam rumah.
Aryo menghela nafas. Dia membalikkan tubuhnya, mencoba bertanya kepada laki-laki yang tampaknya sopir bu Suryo, tapi dia sudah tak ada disana. Setelah celingukan kesana kemari seperti anak hilang, Aryo segera melangkah keluar.
Kalau menurutkan kata hatinya, ia ingin berteriak memanggil Arum, tapi Aryo masih bisa menahan diri. Ia tak mengerti mengapa bu Suryo menghalanginya bertemu Arum.
Aryo memasuki mobilnya, tapi tidak langsung pergi. Ia masih berada disitu sampai sejam lebih, lalu dilihatnya mobil yang tadi dibersihkan keluar, dengan membawa entah siapa, karena tidak tampak dari luar. Ia juga melihat ketika sang sopir menggembok  gerbang besi, lalu kembali masuk ke mobilnya dan pergi.
Aryo membuntutinya. Ia harus tau kemana Arum, dan mengapa bu Suryo menghalanginya untuk bertemu. Kaca mobil itu gelap, sama sekali tak tampak ada siapa didalam mobil itu. Gemas atas perlakuan bu Suryo, Aryo terus membuntutinya. Bahkan ia sekali menerjang lampu merah karena takut kehilangan buruannya. Aryo menyadari dirinya sangat sembrono, untunglah tak ada polisi melihatnya.
Tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Aduh, ada apa sekretarisnya menelpone.Aryo mengangkatnya dengan kesal.
"Ya, ada apa?"
"Bapak dimana?" kata sang sekretaris dari seberang sana.
"Dijalan, masih belum bisa kekantor nih," katanya sambil terus mengawasi mobil bu Suryo. Agak terselip beberapa mobil dibelakangnya, karena sa'at menelpon ia memperlambat laju mobilnya.
"Bapak ditunggu meeting sekarang juga,, kata bapak sangat penting."
Bapak yang dimaksud adalah sang direktur utama. Aryo menghela nafas.
"Pak, bisakah bapak segera kekantor?"
"Ya..ya, sebentar, lalu ditutupnya ponselnya. Didepan ada lampu merah dan ia tak bisa lagi menerobosnya karena ada beberapa mobil didepannya.
Mobil bu Suryo tak tampak lagi. Ketika lampu hijau menyala, Aryo terus memacu mobilnya, tapi setiba diperempatan berikutnya dia bingung, apakah mobil itu terus, atau belok kekiri, atau kekanan.  Aryo memukul-mukul kemudinya dengan putus asa.
Ponselnya berdering lagi. Aryo tak mengangkatnya.  Tapi ia kembali dan mengarahkan mobilnya kekantor. Apa boleh buat.
***

"Ibu, sebenarnya kita mau kemana? Mengapa tiba-tiba kita harus pergi dari rumah?" tanya Arum yang keheranan karena tanpa berbicara sebelumnya, bu Suryo mengajaknya pergi, bersama yu Siti juga.
Bu Suryo tersenyum.
"Arum, ini memang disengaja oleh ibu. Ibu ingin membuat kejutan untuk kamu."
"Kejutan bagaimana bu?"
"Ibu punya sebuah rumah kecil yang ada didesa. Ibu punya sawah disana, yang dikerjakan oleh orang-orang desa. Kalau lagi senggang, ibu sering pergi kesana, menikmati udara dusun yang sejuk."
"Oh, pasti menyenangkan."
"Kamu pasti senang. Ibu sudah setahun tidak pergi kesana."
"Sejak ada Arum ya bu?"
"Benar. Ibu sibuk mengurus kamu. Tapi sekarang ibu ingin mengajak kamu kesana."
"Jauhkah?"
"Tidak, dekat saja, tapi agak dipinggiran kota. Tanya yu Siti, dia sudah sering ikut kesana, ya kan yu?"
"Benar nak, udaranya segar, banyak pohon sawo disana. Tapi sekarang kan belum musimnya ya bu," tukas yu Siti yang duduk disebelah Pono.
"Iya, tapi ada pohon jagung yang sedang berbuah. Sore nanti kita membakar jagung dihalaman."
Arum tersenyum senang. Barangkali ditempat teduh nyaman akan lebih menenangkan hatinya. Ia tak tau bahwa bu Suryo sedang menjauhkannya dari Aryo..
***

Dalam meeting itu Aryo sama sekali tidak konsentrasi dengan apa yang dibicarakan pimpinannya. Ia hanya mengangguk-angguk untuk melegakan. Ia ingin cepat-cepat selesai dan pergi. Hal pertama yang akan dilakukannya setelah meeting adalah menemui dokter Bram, o tidak, barangkali dokter Bram masih sibuk dengan pasien-pasiennya dirumah sakit. Ia harus menemui Rini.
"Pasti dia yang mengatakan pada Arum bahwa aku telah menikahi dirinya," gumamnya dalam hati. Rasa geram karena merasa bahwa Rini tidak cukup membuat isterinya pergi, tapi masih ditambah menghalangi bersatunya kembali keluarganya, membuatnya sangat geram.
"Bapak sakit?" tiba-tiba suara lembut menyadarkannya. Sekretarisnya berdiri didekatnya, dan arena meeting sudah kosong.
"Oh, sudah selesai?" tanyanya dengan bingung. Tak ada siapapun diruang meeting itu kecuali dirinya dan sekretarisnya yang menyapanya.
"Sudah. Bapak sedari tadi tidak memperhatikan apapun."
"Oh, ma'af," lalu Aryo mengangkat tubuhnya yang semula bersandar.
"Bapak sakit?" tanya sang sekretaris lagi.
"Tidak, terimakasih."
Aryo berdiri dan kembali keruangannya, masih dengan hati gundah.
Ia membuka ponselnya dan membaca beberapa pesan singkat. Salah satunya dari Ratih. Ada apa Ratih ? Terjadi sesuatu dengan Angga?
"Pak Aryo, saya minta ma'af, barusan bapak saya menelpon, agak kurang enak badan, jadi saya terpaksa pulang. Ibu Nastiti yang menjemput Angga." bunyi pesan itu.
Aryo melihat kearah jam tangannya, sudah jam dua, pasti Angga dan neneknya sudah sampai dirumah.
Aryo merasa lemas, banyak yang membebaninya hari ini. Ia pamit pada sekretarisnya lalu meninggalkan kantor.
Semoga Angga tidak rewel karena Ratih harus pergi.  Sakit apakah pak Kardi?
Aryo merasa tak enak kalau harus mendiamkannya. Ia menelpon Ratih untuk menanyakan perihal sakit bapaknya.
"Hallo, bu Ratih?" sapanya
"Ya pak, " jawab Ratih dari seberang sana.
"Bu Ratih dimana?"
"Dirumah sakit pak, masih menunggu antrian. Mungkin sebentar lagi baru dapat giliran."
"Bapak sakit apa?"
"Tadi pagi memang bilang agak pusing, saya sudah memintanya untuk istirahat setelah makan, tapi agak siang bapak menelpon, katanya merasa mual dan muntah, jadi saya terpaksa pulang. Ma'af ya pak."
"Tidak apa-apa bu Ratih, saya akan menyusul bu Ratih kerumah sakit, setelah melihat keadaan Angga. Saya baru selesai meeting jadi baru membuka pesan bu Ratih."
"Apakah Angga rewel?"
"Semoga saja tidak, saya baru akan pulang sebentar."
"Bapak tidak usah menyusul kerumah sakit, bapak sudah bersama saya dan tampaknya baik-baik saja."
"Nggak apa-apa bu, saya ingin melihat keadaan bapak."
Aryo menutup pembicaraan itu lalu bergegas pulang.
***

Tapi sampai dirumah dilihatnya Angga sudah tertidur.
"Nak Ratih pulang karena ayahnya sakit," kata bu Nastiti.
"Iya, tadi sudah mengabari Aryo. Angga rewel?"
"Nggak, nak Ratih bilang ada pekerjaan lain dan janji akan datang besok pagi-pagi."
"Syukurlah, Aryo akan menyusul bu Ratih kerumah sakit, kasihan, kita selalu merepotkannya, jadi saya juga harus perduli ketika dia kerepotan."
"Betul Yo, itu bagus. Tapi bagaimana dengan Arum? Sudah ketemu dan bicara banyak?"
"Belum bu, nanti saya cerita lagi."
"Belum ketemu?"
"Arum pergi, itu kata ibunya, atau ibu angkatnya. Jadi saya belum bisa bertemu dia."
"Pergi kemana sepagi itu?"
"Entahlah, nanti Aryo akan cerita banyak, sekarang kerumah sakit dulu ya bu, keburu pak Kardi sudah pulang.
"Baiklah Yo, mudah-mudahan tidak sakit yang serius."
"Semoga bu."
Aryo menyusul kerumah sakit. Ditelponnya Ratih, sedang berada dimana.
"Saya di poli umum pak. Aduh, mengapa pak Aryo susah-susah datang kemari?"
Aryo bergegas menuju poli yang ditunjuk, dan menemukan Ratih dan bapaknya ada disana.
"Bagaimana keadaan bapak?"
"Nak Aryo kok susah-susah sampai kemari. Bapak tidak apa-apa,"
"Saya sudah pulang dari kantor pak, jadi waktu saya luang. Saya khawatir bapak kenapa-kenapa."
"Tidak, mungkin sebelumnya bapak tidur terlalu larut, "
Ketika nama pak Kardi dipanggil, Ratih mengantarkannya masuk. Aryo masih menunggu diruang tunggu. Tiba-tiba ia teringat ingin memaki-maki Rini. Tapi baru saja ia mengambil ponselnya, sebuah teguran mengejutkannya.
"Pak Aryo kok disini ? Kangen sama Rini ya?" katanya sambil tertawa cekikikan.
Aryo yang merasa kesal menarik tangan Rini, diajaknya keluar halaman, yang agak jauh dari orang-orang. Rini mengikuti sambil tersenyum-senyum sendiri, senang tangannya digandeng laki-laki ganteng yang digandrunginya.
Tapi ia terkejut ketika setiba ditempat yang agak lapang itu Aryo melepaskan tangannya dengan keras, membuatnya hampir terjengkang.
"Aduh, pak Aryo kok gitu, kirain pak Aryo kangen sama Rini," katanya sambil cemberut.
"Katakan, mengapa kamu bilang sama Arum bahwa aku menikahi kamu!!" hardiknya.
Rini tercengang.
"Saya? Enggaaaak.. siapa yang bilang begitu?"
"Arum menuduh aku menikahi kamu, apa mataku sudah buta menjadikan kamu sebagai isteri?"
"Tunggu pak, aduh, jangan melotot begitu dong pak, Rini jadi takut."
"Katakan mengapa!!"
"Bukan, ya ampun pak.. Rini tidak pernah mengatakan itu. Justru Rini sendiri yang dimaki-maki bu Arum dan menuduh Rini sudah menjadi isteri bapak."
"Apa katamu?"
"Ketika bu Arum opname disini, saya mencoba mendatangi kamarnya, karena saya merasa ada yang aneh. Yang aneh itu adalah saya melihat wajah seperti bu Arum dirumah, tapi dirumah sakit Rini melihat wajah yang sama. Nah ketika saya masuk kekamarnya itulah bu Arum mengatakan bahwa mentang-mentang saya sudah jadi isterinya bapak. Saya juga terkejut, tapi senang sih," katanya sambil cengar cengir.
"Kamu bohong kan?"
"Sumpah  berani disambar geledeg deh pak ! Bukan saya mengatakannya, tapi bu Arum sendiri ."
Aryo menggaruk garuk kepalanya. Ia pergi meninggalkan Rini dan kembali ke poli. Dilihatnya Ratih dan ayahnya sudah keluar dari ruang pemeriksaan.
Rini yang semula mengikuti Aryo terkejut melihat Ratih. Langkahnya terhenti.
"Kok sekarang bu Arum bersama laki-laki tua itu?" gumamnya bingung.
Ratih yang melihat Rini menatapnya tajam. Tak ada keramahan dalam tatapan itu, karena Ratih juga jengkel atas kelakukan Rini.
Rini surut kebelakang dan pergi dari sana.
"Itu kan Rini?" katanya kepada Aryo.
"Ya, biarkan saja. Bagaimana kata dokter?"
"Tekanan bapak agak tinggi. Mual dan muntah disebabkan pusing yang amat sangat. Tadi mendapat suntikan, dan juga resep."
"Mana resepnya?"
"Biar saya ambil di apotik."
"Jangan, biar saya saja. Menunggu dirumah sakit terlalu lama, kasihan bapak. KIta beli di apotik saja."
Ratih mengulurkan resepnya.
"Saya akan mengantarkan bapak dan kamu pulang. Nanti obatnya saya yang belikan."
"Aduh, mengapa jadi merepotkan."
"Bu Ratih jangan bilang begitu. Mari pak, mobil saya ada disana," kata Aryo sambil menuntun pak Kardi dari sisi kiri, sedangkan Ratih dari sisi kanan.
Rini menatapnya dari kejauhan dengan heran.
"Siapa sebenarnya dia? Benarkah bu Arum itu kembar?"
Aryo membuka mobil untuk pak Kardi dibelakang, Ratih duduk didepan. Tapi ketika Aryo mau masuk kedalam mobil, seseorang menatapnya dengan tajam. Dokter Bram yang juga mau pulang, melihat Arum sudah bersama suaminya. Tapi siapa laki-laki setengah tua itu?
"Mungkin ayahnya bu Arum. Tapi aku bersyukur kalau mereka sudah berbaikan."
Ada do'a dipanjatkan oleh dokter ganteng itu. Do'a dan harapan, semoga pasangan itu berbahagia.
***

Arum duduk didepan rumah kecil yang asri itu dengan perasaan nyaman. Bu Suryo sedang menemui orang-orang yang dipercaya, dan berkumpul didalam rumah.
Arum memandang ke sekeliling kebun. Benar yu Siti, ada beberapa pohon sawo di pelataran itu.
"Dulu pernah datang kemari, ketika pohon sawo itu sedang berbuah lebat," tiba-tiba yu Siti sudah duduk disampingnya sambil membawakan secangkir wedang jahe.
"Senang sekali, pulang kekota membawa dua bakul penuh, yang kemudian dibagikan para tetangga."
"Sayang sa'at ini tidak sedang berbuah ya bu."
"Iya nak. Entah mengapa tiba-tiba ibu mengajak kita kemari. Tapi tampaknya ibu ada perlu bicara dengan petani-petani itu."
"Tapi hawanya segar, dan tenang ya bu, jauh dari hiruk pikuk kota."
"Benar, tapi kalau mau kemana-mana jauh nak. Belanja jauh. Tidak ada supermarket disini, adanya pasar tradisional."
"Bu Siti mau belanja ke pasar?"
"Entahlah nak, tapi ibu sudah belanja banyak sebelum kita sampai disini tadi kan? Ikan, sayur mayur, bumbu-bumbu."
"Apa kita akan lama tinggal disini?"
"Entahlah. Biasanya hanya sehari sih, tapi melihat belanjaan yang begitu banyak, tampaknya akan agak lama. Nak Arum tidak suka?"
"Suka. Terserah ibu saja. Bagi Arum dimanapun tak ada bedanya."
Tapi dari sinar matanya tampak bahwa ada sesuatu yang dipikirkannya. Urusan perceraian itu. Bukankah sebentar lagi sidang akan digelar? Tapi bukankah pengacara suaminya sudah mengatakan bahwa Aryo tak mau menceraikannya?
"Nak Arum memikirkan apa?"
"Tidak ada apa-apa bu," katanya sambil meraih cawan berisi wedang buatan yu Siti, lalu diteguknya perlahan.
"Ini rasa jahe, tapi sepertinya ada bumbunya yang lain ya bu."
"Itu dari jahe, sereh, daun jeruk, cengkeh dan kapulaga."
"Wah, banyak sekali bumbunya."
"Disini kalau malam udaranya dingin. Ibu selalu minta dibuatkan wedang seperti itu, agar badan menjadi hangat."
"Iya benar, terasa hangat."
Tiba-tiba bu Suryo keluar sambil mengulurkan ponsel.
"Arum, ini ada telephone dari dokter Bram, ibu lagi bicara sama mereka."
"Oh, terimakasih bu."
"Hallo, selamat sore dokter." sapa Arum ramah.
"Selamat sore, saya tadi kerumah, tapi rumah kosong, gerbangnya digembok."
"Iya dok, ceritanya ibu lagi mengajak saya beristirahat ditempat yang lebih tenang."
"Syukurlah. Bukunya sudah dibaca?"
"Sudah satu buku selesai. Ini juga saya bawa semua. Bagus ceritanya."
"Syukurlah kalau bu Arum senang."
"Terimakasih banyak dok, sudah susah-susah membeli buku untuk saya."
"Terimakasihnya sudah banyak diucapkan oleh bu Arum, jadi sudah saja, nanti saya kebanyakan makan ucapan terimakasih," canda dokter Bram.
Arum tertawa.
"Bu Arum, saya  ingin bicara banyak. Saya agak heran melihat kejadian ini."
"Ada apa dokter?"
"Ini tentang pak Aryo. Bu Arum sudah bertemu?"
Arum menggeleng. Lupa bahwa gelengan kepalanya tentu saja tak akan dilihat oleh dokter Bram karena mereka bicara ditelephone.

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER