"Bu Arum, sudah ketemu pak Aryo?" tanya dokter Bram.
"Apa?"
Tiba-tiba bu Suryo keluar, mengikuti orang-orang desa yang berjumlah empat orang. Rupanya pembicaraan sudah selesai. Barangkali tentang pembelian pupuk, atau bagi hasil yang harus dirembug lagi.
"Itu nak dokter masih ngomong? Mana saya tadi belum sempat bicara. Ponsel yang dipegang Arum diminta oleh bu Suryo. Arum mengulurkannya sambil bertanya dalam hati, mengapa dokter Bram bertanya tentang Aryo? Apa Aryo bilang mau ketemu dia? Untuk apa ketemu? Ah, paling tentang perceraian itu.
Perceraian yang ditolak Aryo. Entahlah, Arum tiba-tiba merasa bingung sendiri. Tapi ia harus memastikan tentang apa yang dimaksud dokter Bram. Ganjalan yang utama yang membuatnya ragu adalah karena adanya Rini yang dianggapnya telah menjadi isteri Aryo.
"Iya nak dokter, itu benar, kami sedng berlibur."
Terdengar tawa renyah bu Suryo ketika bicara dengan dokter Bram.
Arum dan yu Siti masih duduk didepan rumah. Yu Siti melihat wajah Arum murung, tapi segan menanyakannya. Ia hanya merasa iba. Tanpa sadar sebelah tangannya menggenggam tangan Arum yang diletakkan dipangkuannya. Arum menoleh, menatap yu Siti sambil tersenyum. Arum tau yu Siti sangat memperhatikannya. Barangkali yu Siti juga bisa merasakan gundah yang dirasakannya.
"Tadi ada yang mau membawakan jagung muda kemari. Nanti kita bisa membakarnya sebagian, atau untuk campuran sayur asem besok, atau .. ah ya.. nak Arum suka bakwan jagung?" kata yu Siti, mungkin untuk mengalihkan rasa gundah yang tampak diwajah Arum.
"Oh, bahwan jagung? Suka bu, suka, besok Arum bantuin masaknya ya.."
"Iya, baguslah..'
Didengar oleh Arum, suara bu Suryo terdengar semakin jauh, mungkin masuk kedalam, sehingga tak ada yang tau apa yang dibicarakannya. Arum juga tak ingin mengetahui, apakah itu.
"Oh, iya.. besok kan hari libur, saya tunggu nak dokter, pasti enak makan makanan orang dusun. Iya, itu alamatnya sudah saya sebutkan tadi. Baiklah, ini Arum. Tapi ingat pesan saya tadi ya nak dokter.." kata bu Suryo, seperti menyembunikan sesuatu.
Bu Suryo mengulurkan ponsel kearah Arum.
"Ini, nak dokter ingin bicara sama kamu."
Bu Suryo duduk disamping yu Siti. Duduk berderet bertiga. Tampak sekali bu Suryo ingin mendengar apa yang dibicarakan Arum dan dokter Bram.
"Ya, dokter, bagaimana?" sapa Arum.
"Saya sudah bicara sama ibu. Besok boleh menyusul kemari kan?"
"Tentu saja boleh, sudah tau tempatnya?"
"Sudah, ibu sudah memberi tau tadi."
"Baguslah dokter. Sebetulnya ada yang ingin saya tanyakan."
Bu Suryo menatap Arum, tatapan itu membuat Arum sungkan melanjutkan kata-katanya.
"Tentang apa bu Arum?"
"Ooh, itu.. tentang obat yang harus saya minum.." kata Arum meralat kata-katanya. Ia tahu bahwa bu Suryo tak menyukai pembicaraan tentang Aryo, padahal Arum ingin bertanya tentang apa yang dikatakan dokter Bram tadi. Tepatnya pertanyaannya tentang apakah dia bertemu Aryo. Mengapa dokter Bram bertanya begitu? Tapi Arum berjanji akan menanyakannya besok pagi kalau dokter ganteng itu datang.
"Obat? Bukankah sudah saya terangkan semuanya?"
"Besok saya akan menanyakannya lagi. Ada yang terasa nggak enak kalau diminum." lagi-lagi Arum berbohong.
"Baiklah bu Arum, sampai besok ya."
"Terimakasih banyak dokter, selamat sore."
***
Malam itu, dirumahnya, dokter Bram merenung sendirian. Tadi ia bicara dengan bu Suryo, tapi sebenarnya dia kurang suka atas sikap bu Suryo terhadap hubungan Arum dan suaminya. Tampak sekali bu Suryo menghalangi kalau Arum kembali bersatu dengan suaminya, padahal jalan itu sudah ada.
Dokter Bram menyesal tadi menceritakan pertemuannya dengan Aryo. Dia mengira bu Suryo akan senang karena sesungguhnya Arum salah sangka, mengira suaminya menikah dengan Rini, padahal tidak. Tapi sikap yang dilihatnya adalah bu Suryo menentang rujuknya kedua pasangan itu. Bram tidak setuju.
Masih terngiang ditelinganya ketika ia mengatakan bahwa Aryo sesungguhnya tidak menikahi Rini.
"Nak dokter jangan percaya. Dia bilang begitu karena ingin agar Arum kembali. Kasihan Arum kalau nanti disakiti lagi."
"Tapi pak Aryo berkata dengan sungguh-sungguh bu."
"Mengapa kita harus percaya kepada kata-katanya? Dia sudah menghianati isterinya, berarti apa yang dikatakannya tidak bisa dipercaya. Laki-laki memang mau menang sendiri."
Aduh, waktu itu Bram juga merasa tersinggung. Dia kan juga laki-laki?
"Nak Bram menyusul saja kesini, nanti kita bicara lebih banyak. Dan ingat, jangan sampai Arum tau bahwa nak dokter ketemu suami Arum."
"Oh, hanya itu jawaban Bram, bingung."
"Tadi pagi si Aryo itu datang kerumah, tapi saya bilang bahwa Arum tak ada. Jangan sampai ketemu, lalu dia akan menyakiti hatinya lagi. Kasihan Arum."
Dokter Bram akhirnya sudah bisa menangkap, jadi kepergian bu Suryo kerumahnya yang didesa, adalah untuk mencegah Arum bertemu suaminya. Sungguh kejam bu Suryo, tapi bagaimana aku harus bersikap? kata hati dokter Bram.
Lalu bu Suryo memberikan alamat dimana mereka sekarang berada. Tapi kemudian ia minta bicara sama Arum, tapi tampaknya Arum juga ragu-ragu untuk bicara. Seperti ada perasaan yang tertahan. Tapi Bram berjanji, besok kalau bertemu akan dicarinya kesempatan untuk bicara.
Tiba-tiba dokter Bram terkejut. Sebuah mobil berhenti dijalan depan rumahnya.
"Aduh, itu kan mobilnya pak Aryo. Bagaimana aku harus menjawabnya nanti," gumam Bram yang kemudian berdiri menyambut tamunya.
"Selamat malam," sapa Aryo.
"Selamat malam, ayo silahkan masuk."
"Terimakasih dokter."
"Sebenarnya jangan memanggil saya begitu, panggil saja nama saya, Bram, begitu."
"Ah, baiklah pak Bram."
Keduanya duduk berhadapan. Bram menata batinnya, dan memikirkan apa yang harus dijawabnya nanti, karena dia tau apa yang akan ditanyakan Aryo . Pasti karena tidak ketemu Arum, lalu bertanya kepadanya, mungkin nomor ponselnya, atau kira-kira dia ada dimana.
Bram berdiri untuk mengambilkan minuman untuk tamunya.
Aryo menunggu. Ia berharap akan mendapatkan sesuatu dari dokter Bram.
"Silahkan diminum. Ma'af pak Aryo, ini rumah bujangan, jadi tak ada tersedia teh hangat atau semacamnya. Semua tinggal minum, nggak ingin terlalu repot."
"Tidak apa-apa pak Bram, apalagi kan pak Bram sudah capek melayani pasien."
"Benar, tapi terkadang saya suka masak sendiri. Masak yang gampang-gampang saja. Misalnya ca sayur, bakso kuah, bukan yang rumit-rumit."
"Baguslah kalau masih sempat memasak."
Lalu keduanya diam sejenak. Masing-masing sedang berfikir, satunya bagaimana mulai bertanya, satunya kalau bertanya akan dijawab bagaimana.
"Oh ya, tadi pagi saya sudah kerumah bu Suryo," kata Aryo pada akhirnya.
"Oh, benarkah? Tidak kesasar?"
"Tidak, alamatnya kan jelas dan rumahnya gampa ng ditemukan."
"Mm... sudah.. sudah.. ketemu?" tuh, pertanyaan itu yang terlontar padahal dia sudah tau kalau tidaak ketemu.
"Tidak."
"Oh..."
"Dia pergi, tapi tampaknya bu Suryo menghalangi saya ketemu Arum," kata Aryo pilu.
"Oh... mengapa ya?"
"Pak Bram, apakah pak Bram tau kemana mereka pergi?"
"Oh..." tiba-tiba dokter Bram merasa bahwa dia kebanyakan bilang 'oh'.
"Taukah?"
"Ma'af, saya... tidak tau.."
"Kalau nomor telephone Arum? Kemarin saya lupa menanyakannya."
"Oh...." lagi-lagi.. 'oh'..
"nomor telephone.... tidak.." lanjut dokter Bram.
"Tidak punya?"
"Setau saya, bu Arum tidak punya nomor.. eh.. ponsel... eh.. maksud saya.. tidak .. saya tidak punya.. biasanya saya .. menelphone bu Suryo." jawab Bram terbata. Tapi itu benar, karena Arum tidak pernah menerima telephone. Ponsel yang diberi oleh bu Suryo tidsk pernah digunakan, jadi kalau Bram menelpone, itu adalah nomor bu Suryo.
"Adanya nomor bu Suryo?"
Bram mengangguk.
Aryo putus asa. Kalau itu nomornya bu Suryo, sama saja dia tak akan bisa menghbungi Arum. Lalu apa yang harus dilakukannya? Bram yang menatap Aryo merasa iba. Laki-laki gagah suaminya Arum ini sebenarnya patut dikasihani, tapi Bram agak segan melangkah. Ia harus mencari kesempatan baik untuk menolong sepasang seami isteri ini.
"Pak Aryo, bersabar dulu ya, saya akan mencari informasi tentang bu Arum. Tapi nomor kontaknya bu Suryo ini akan saya berikan. Mungkin ... . siapa tau tiba-tiba bu Arum yang menerima."
"Terimakasih banyak pak Bram."
"Saya akan membantu pak Aryo, sebisa saya, agar bisa bersatu lagi dengan bu Arum."
"Terimakasih pak Bram," kata Aryo, sedikit bergetar karena haru. Ia mencatat nomor ponsel bu Suryo yang diberikan dokter Bram.
"Tapi... tunggu pak Aryo," tiba-tiba dokter Bram teringat sesuatu.
"Ya pak Bram?"
"Tadi siang saya melihat pak Aryo dirumah sakit."
"Oh, iya, mengantarkan saudara periksa. Mau menemui pak Bram sekaliyan takut mengganggu."
"Tidak, waktu pak Bram pulang, saya juga sudah mau pulang, saya melihat pak Aryo diparkiran, tapi saya merasa aneh."
"Ya, aneh bagaimana ?"
"Waktu itu pak Aryo bersama seorang wanita, yang wajahnya persis sekali sama bu Arum. Saya pernah melihat wanita itu disebuah toko buku, dia sedang bersama seorang anak kecil."
"Oh, itu namanya Rtaih, gurunya Angga anak saya. Saya juga heran, wajahnya persis seperti Arum. Dan itu sebabnya Angga menganggap bahwa dia itu ibunya."
"Ya Tuhan..."
"Karena gurunya itulah Angga tidak terlalu rewel, karena bu Ratih sangat bisa menghiburnya. Pokoknya dia bisa bersikap seperti ibunya."
"Aneh ya. Bukan saudara kembar?"
"Bukan, Arum anak tunggal, tidak punya saudara kembar."
"Aneh, seperti pinang dibelah dua."
"Baiklah pak Bram, saya mohon pamit.
Aryo pulang hanya membawa nomor kontak bu Suryo, perempuan yang dianggapnya nyinyir tak berperasaan itu. Baiklah, mungkin ada gunanya, gumam Aryo sambil mengendarai mobilnya, pulang.
***
Malam itu entah mengapa Arum tidak bisa tidur. Ia selalu teringat tentang pertanyaan dokter Bram. Apakah Aryo memang ingin menemuinya? Ada perasaan tak perduli, tapi ada perasaan ingin tau, untuk apa menemuinya.
Bayangan masa lalu, ketika hari-harinya masih dipenuhi dengan suasana manis, penuh kasih sayang dan cinta, kembali menghiasi angan-angannya.
"Benarkahkamu mencintai aku?" tanya Aryo ketika itu.
"Ah, pertanyaan macam apa itu?"
"Jawab saja, apa susahnya sih?" kata Aryo sambil memainkan anak rambut yang melingkar-lingkar dikeningnya.
"Apa sikapku selama ini tidak menunjukkan bagaimana isi hatiku?"
"Ingin mendengar saja, agar aku yakin. So'alnya aku mendapatkanmu tidak mudah, banyak saingan."
"Iih, ngaco ah !!"
"Benar kan?"
"Buktinya aku memilih mas Aryo, itu tandanya bahwa aku cinta sama mas Aryo."
Aryo merasa senang, didekapnya kepala Arum didadanya. Lalu dielusnya rambut ikalnya.
Arum tersenyum membayangkannya. Itu sa'at manis ketika baru beberapa hari menikah. Tak pernah dibayangkannya, kalau sa'at ini dia berada jauh dari suaminya, terpisah oleh amarah yang tak terkendali. Lalu penghianatan berlanjut. Arum terisak.
Yu Siti yang tidur diranjang sebelahnya mendengar isak itu, mengangkat sedikit kepalanya, memandangi Arum yang kemudian memeluk guling. Pasti ia menyembunyikan tangisnya disana.
Yu Siti bangkit, mendekati ranjang Arum, memegang tangannya yang erat memeluk guling.
Arum mengangkat guling itu, matanya yang sembab menatap yu Siti yang memandanginya penuh iba.
"Bu Siti belum tidur?" bisiknya pelan.
"Nak Arum mengapa? Sedih ya?"
"Saya bingung bu, tak tau apa yang harus saya lakukan."
"Tenangkan pikiranmu nak, "
"Salahkah saya kalau menuntut cerai dari mas Aryo?"
"Saya dengan suami nak Arum tidak mau menceraikan nak Arum."
"Katanya juga begitu."
"Berarti dia masih mencintai nak Arum."
"Tapi dia kan sudah punya isteri?"
Menurut yu Siti, sebaiknya nak Arum bertemu nak Aryo. Bukankah selama ini kalian belum pernah bertemu, apalagi bicara? Barangkali disitu nanti nak Arum bisa mengerti semuanya, alasan dia menikah, alasan dia tak mau menceraikan nak Arum, atau mungkin masih banyak hal lainnya yang bisa dibicarakan."
"Tadi dokter Bram bertanya, apakah saya sudah bertemu mas Aryo. Itu menjadi pikiran saya, apa mas Aryo ingin menemui saya? Kok dokter Bram yang bilang, apa mas Aryo ketemu dokter Bram?"
"Tadi kan dokter Bram menelpon, mengapa nak Arum tidak menanyakannya?"
"Saya merasa ibu menghalangi saya untuk bicara banyak. Tampaknya ibu tidak setuju kalau saya kembali pada mas Aryo."
"Tampaknya begitu."
"Ibu ingin nak Arum menikah dengan dokter Bram."
Arum menghela nafas.
"Mudahkah menikah dengan seseorang walau nanti saya sudah bercerai dengan mas Aryo sekalipun? Saya suka dokter itu, karena dia baik, karena dia menjaga saya, memperhatikan saya lebih dari pasien yang lain. Tapi cinta... barangkali saya harus memikirkannya. Lagipula maukan dokter Bram menikah dengan perempuan yang sudah memiliki anak seperti saya? Ibu berpikir terlalu sempit."
"Saya juga berfikir begitu."
"Ini jam berapa bu?"
"Sudah jam sepuluh malam. Mau ke kamar mandi?"
"Tidak, mumpung tidak ada ibu, saya ingin menelpon dokter Bram, tapi bu Siti jangan bilang sama ibu ya."
"Ya nak, silahkan. Tapi sudah jam sepuluh, apakah pak dokter belum tidur?"
Arum yang sudah memegang ponselnya kembali meletakkannya dimeja. Ponsel itu jarang atau hampir tak pernah digunakan.
Yu Siti benar, ini sudah malam. Pasti dokter Bram sudah tidur.
"Besok katanya dokter Bram mau kemari, nanti nak Arum kan bisa bicara banyak."
"Kalau ada ibu?"
"Nanti yu Siti akan buat supaya nak Arum bisa berduaan."
"Bagaimana caranya?"
"Belum tau, yang penting sekarang tidurlah, semoga besok ada waktu yang baik untuk berbincang."
***
Pagi itu hari Minggu. Dengan berharap Angga tak rewel Ratih berjalan kepasar karena harus membelikan kebutuhan-kebutuhan untuk dirinya dan juga untuk ayahnya. Pak Kardi yang sudah merasa lebih baik, sebetulnya meminta Ratih agar menemui Angga, tapi Ratih harus belanja terlebih dulu.
Disebuah toko, ia membeli sabun, handuk yang dipakai bapaknya sudah usang, oh ya, kaos, celana dalam, harus diganti dengan yang baru. Ratih agak kurang memperhatikan ayahnya karena sibuk merawat Angga. Sekarang, ketika bisa agak lama dirumah karena ayahnya sakit, baru kelihatan barang-barang yang sudah harus diganti yang baru.
Lalu ia mampir kesebuah toko roti. Harus ada camilan untuk ayahnya.
Sangat banyak bawaan Ratih.
Tadi pak Kardi berpesan agar perginya jangan terlalu lama.
"Nanti Angga rewel karena kamu kan sudah janji akan datang pagi-pagi," kata pak Kardi
"Iya, hanya belanja beberapa barang."
Ratih sedang menunggu taksi, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat didepannya. nRatih melangkah menjauhi mobil itu, karena ada taksi kosong sedang mendekat kearahnya. Tapi tiba-tiba...
"Bu Ratih..?" seseorang menyapanya.
Ratih meletakkan bawaannya yang terasa berat. Ia menatap laki-laki ganteng yang baru turun dari mobil. Ia belum pernah mengenalnya.
==========
Ratih menatap laki-laki ganteng itu. Berwajah bersih bermata tajam, dan memandanginya tanpa berkedip. Bagaimana si ganteng ini bisa tau namanya? Ayah salah satu muridnya?
"Benar bu Ratih bukan?" laki-laki itu semakin dekat.
Ratih hanya mengangguk, tapi terus memandanginya dengan penuh tanda tanya.
"Kenalkan, nama saya Bramasto," kata dokter Bram sambil mengulurkan tangannya.
Ragu Ratih mengangkat tangannya menyambut tangan laki-laki itu.
"Anak bapak menjadi murid saya?" tanya Ratih pelan.
"Bukan, saya masih bujangan," kata Bram sambil tertawa tipis.
"Oh.. lalu..."
"Apa saya tampak seperti bapak-bapak?" kata Bram sambil tersenyum.
Ratih terdiam, ia masih bingung bagaimana dia bisa mengenal namanya. Tapi ia harus buru-buru, diambilnya belanjaan yang tadi diletakkannya begitu saja.
"Ma'af, saya harus buru-buru. Saya sedang menunggu taksi."
"Tunggu bu Ratih, kalau boleh tau bu Ratih mau kemana? Saya sedang akan bepergian, barangkali kita bisa bersama-sama."
Hm, lancang sekali laki-laki tampan ini. Baru ketemu sudah mau main antar? Pasti dia golongan laki-laki mata keranjang yang mengandalkan wajah tampannya. No way. Ratih tak menjawab, ia melongok kesana kemari, mencari taksi. Taksi yang tadi sudah lewat ketika dia disapa laki-laki ganteng ini.
"Bu Arum... eh.. bu Ratih.. mengapa bu Ratih tidak menanyakan bagaimana saya mengetahui nama bu Ratih?"
Ratih menatap laki-laki itu lagi. Oh ya, namanya Bramasto, memang dia belum pernah melihatnya, bagaimana dia bisa mengetahui namanya? Lalu mengapa tadi keliru menyebut nama Arum?
"Saya sahabatnya pak Aryo," kata Bram sambil tersenyum. Agak kecut senyum itu karena merasa Ratih mencurigainya.
Ratih menatap Bram.
"Saya tau tentang bu Arum, dan juga tau tentang bu Ratih yang gurunya Angga."
"Oh, ma'af, saya tidak tau."
"Apa sekarang bu Ratih percaya? Atau mau menelpone pak Aryo dulu untuk meyakinkan?"
Ratih melongok lagi kearah jalan, tak ada taksi melintas. Laki-laki ini sedikit nekat, entah mengapa Ratih mempercayainya, dan merasa tak enak untuk menolaknya.
"Kalau bu Ratih percaya saya akan mengantar bu Ratih, tapi kalau tidak, saya tidak memaksa. Bu Ratih mau pulang, atau kerumah pak Aryo?"
"Saya mau pulang dulu."
"Dimana?"
"Kampung sewu, nggak jauh sebenarnya."
"Baiklah, kebetulan saya mau keluar kota. Jadi bisa lewat sana. Bagaimana?"
Akhirnya Ratih mengangguk. Melihat matanya memang dia bukan orang jahat. Kalau dia melakukan hal yang tidak baik ia bisa berteriak. Yang menarik dia juga mengenal Arum. Tiba-tiba terbersit keinginannya untuk mengetahui tentang Arum.
Bram membukakan pintu, dan mempersilahkan Ratih masuk.
***
"Bapak mengenal bu Arum?" tanya Ratih.
"Dia pasien saya. Saya mengoperasi tumor yang ada dirahimnya."
Oh, jadi si ganteng ini dokter? Dia tidak bohong.bu Nastiti pernah bilang tentang penyakit bu Arum. Kata batin Ratih.
"Oh.. " hanya itu yang bisa diucapkannya.
"Kemarin siang saya melihat bu Ratih dirumah sakit, bersama pak Aryo juga."
"Iya, ayah saya sakit."
"Pak Aryo mengatakan nama bu Ratih, ketika saya menanyakannya kemarin. Bu Ratih gurunya Angga bukan?"
"Iya.. benar."
"Kita pernah bertemu ditoko buku, ketika Angga menabrak saya lalu bu Ratih membantu memunguti buku yang terjatuh."
"Oooo itu pak Bram? Aduh.. saya kurang memperhatikan waktu itu, habisnya Angga lari kesana kemari."
"Waktu itu saya ingin ketemu bu Ratih, karena wajah bu Ratih mirip pasien saya, bu Arum. Tapi tidak ketemu."
"Mungkin karena Angga lari kesana kemari."
"Salut kepada bu Ratih yang bisa menggantikan peran bu Arum. Nanti akan saya sampaikan semuanya kepada bu Arum."
"Berarti pak Bram tau dimana bu Arum?"
"Bu Ratih bersama ibunya, eh, ibu angkatnya. Sa'at ini pak Aryo sedang berusaha menghubunginya. Agak susah karena ibu angkatnya tampaknya mencegah bersatunya kembali antara pak Aryo dan bu Ratih."
"Oh, kasihan pak Aryo. Dia sangat sedih."
"Semoga saya bisa membantunya."
Pembicaraan itu terputus karena Ratih minta berhenti disebuah gang yang menuju kearah rumahnya.
"Terimakasih banyak, pak Bram."
"Sama-sama bu Ratih, sampaikan salam saya kepada pak Aryo."
"Nanti akan saya sampaikan."
Ketika Ratih sudah turun, tak henti-hentinya dokter Bram mengagumi kemiripan wajah antara Arum dan Ratih. Nyaris tak ada bedanya. Hanya tahi lalat kecil diatas bibir itu yang membedakannya. Bagaimana mungkin, bukan saudara kembar tapi sangat mirip?
"Nanti akan saya katakan semua ini kepada bu Arum. Tapi jangan sampai bu Suryo mendengarnya. Semoga ada kesempatan untuk bicara." gumam dokter Bram sambil memacu mobilnya, kearah rumah peristirahatan bu Suryo.
***
Aryo senang ketika Ratih mengatakan bahwa tadi bertemu dokter Bram.
"Kebetulaan yang menyenangkan. Ia tiba-tiba menjadi sangat dekat, ia baik dan ramah. Saya menyesal dulu hampir menghajarnya."
"Tadinya saya mengira dia laki-laki yang suka mengganggu perempuan."
"Bagaimana tiba-tiba bu Ratih mempercayainya?"
"Dia mengatakan bahwa sahabatnya pak Aryo. Dia juga semula memanggil saya Arum, jadi saya mengira dia bukan orang asing bagi pak Aryo. Ternyata dia dokter yang telah mengoperasi bu Arum."
"Benar. Mudah-mudahan dia berjodoh dengan bu Ratih."
"Apa?" kata Ratih terkejut. Tapi Aryo hanya tertawa.
"Apa dia tidak menerik? Ganteng, pintar, baik hati. "
"Pak Aryo ada-ada saja," jawab Ratih tersipu, tapi dalah hati dia meng'iya'kan kata Aryo tadi. Ganteng, menarik, baik hati. ..hm..
"Oh ya, bagaimana dengan bapak? Sudah baikan?"
"Sudah pak Aryo, tekanan darahnya sudah normal tampaknya, sudah tidak merasa pusing, malah menyuruh saya cepat-cepat kemari, katanya nanti Angga rewel."
"Bapak seperti bu Ratih, sangat perhatian kepada Angga."
"Suatu hari nanti akan saya ajak Angga menemui bapak. Tapi tidak sekarang, nanti Angga bingung. Semoga bu Arum segera kembali ya pak."
"Do'akan ya bu Ratih, itu harapan kita semua bukan?"
Ratih mengangguk. Tapi ada rasa sedih sih, kalau Arum kembali, ia tak akan bisa bertemu Angga setiap hari.
"Ada apa bu?" tanya Aryo karena melihat wajah Ratih tiba-tiba tampak murung.
"Kalau bu Arum pulang, saya akan tidak bisa bertemu Angga lagi. Saya terlanjur menyayangi dia," katanya sendu.
"Mengapa begitu bu Ratih, walau ada Arum, tapi bu Ratih akan tetap menjadi ibunya Angga, dan boleh saja setiap sa'at datang kemari."
"Benarkah?"
"Benar bu Ratih, bu Ratih sudah menjadi bagian dari keluarga ini."
"Terimakasih pak Aryo."
"Tapi untuk meminta Arum kembali, tampaknya masih harus ada perjuangan."
"Maksudnya?"
"Bu Suryo seakan menghalangi saya bertemu Arum. Entah karena apa."
"Mun gkin karena sudah menganggap bu Arum sebagai anaknya, jadi takut kehilangan bu Arum."
"Mungkin juga.." kata Aryo yang kemudian matanya menerawang jauh.
Tiba-tiba Aryo teringat nomor ponsel itu. Ia ingin mencoba menelponnya. Laludiambilnya ponsel itu.
"Hallo, ma'af ini siapa ya?" suara dari seberang menyapanya, tapi Aryo mengenali suara itu. Suara ketus yang terdengar sangat mengiris kembali perasaannya. Ia menutup ponselnya dengan wajah kecewa.
"Dia lagi.." keluhnya.
"Siapa pak?"
"Pak Bram memberikan saya nomor ponsel bu Suryo, katanya Arum tidak pernah mempergunakan ponselnya sendiri."
"Itu tadi bu Suryo?"
"Saya berharap bu Suryo sedang tidak ada didekat ponselnya, lalu Arum yang menerimanya."
"Bu Suryo yang menerimanya?"
Aryo mengangguk.
"Barangkali bisa diulang lagi nanti, siapa tau bisa nyambung.
"Bapaaak, mengapa mobil Aryo tidak bisa berjalan?"
"Oh, masa sih?"
"Iya bapak, lihat tuh, mogok.."
"Baiklah, akan bapak lihat dulu, barangkali baterynya mati," kata Aryo sambil mendekat.
***
"Sudah bu... ini sudah dibumbui kan? Biar saya goreng sekarang. ya bu?" kata Arum didapur ketika memasak bersama yu Siti.
"Iya, goremg saja dulu, sementara saya bumbui dulu ikannya."
"Hm, kayaknya enak .. sudah lama saya tidak makan bakwan jagung."
"Iya, selama dirumah kok yu Siti nggak bikin ya. "
"Iya bu, tapi dulu drumah saya sering bikin, so'alnya mas Aryo suka banget bakwan jagung. "
"Oh ya? Waah, gara-gara bakwan jagung jadi ingat suami ya nak."
Arum menghela nafas.
Entah mengapa, semakin dekat sidang perceraian itu, rasa ragu dihati Arum selalu mengganggunya. Rupanya perceraian bukan hal mudah untuk diterima. Rasa cemburu dan ditambah lagi anjuran bu Suryo yang bertubi-tubi, membuat Arum menyetujui gugatan cerai diajukan kepada suaminya. Pertimbangan bahwa suaminya sudah memiliki isteri lagi, memang membuatnya menyetujui saran bu Suryo. Tapi sekarang Arum seperti terganggu dengan gugatan itu.
"Nak, cepat dibalik, gosong tuh!!" tegur yu Siti yang telah selesai membumbui ikan tuna yang siap digoreng setelahnya.
"Oh..!" pekik Arum yang segera membalikkan bakwan yang nyaris hangus.
"Nak Arum menggorengnya sambil melamun bukan?"
Arum tersipu.
"Ma'af bu tidak lagi," katanya lirih.
Yu Siti bisa menangkap bahwa akhir-akhir ini Arum tampak sangat gelisah.
"Nak Arum, kalau nak Arum tidak ingin bercerai, bilang saja pada ibu," kata yu Siti berbisik ditelinga Arum.
Bilang pada ibu? Begitu mudahkah? Arum tiba-tiba merasa bahwa kebaikan bu Suryo selama ini telah menjeratnya untuk tidak bisa berbuat banyak, walau itu untuk hidupnya.
"Bilang saja begitu," bisiknya lagi sambil meletakkan piring yang akan dipakai untuk mengentas gorengan yang sudah matang.
"Saya bingung bu."
"Bersikaplah seperti apa kata hati nak Arum."
"Tapi alasan menggugat cerai itu sangat kuat bu, mas Aryo sudah menikah."
"Kalau nak Arum bisa bertemu pak Aryo, barangkali akan ada jalan yang lebih baik. Terbukti kata pak pengacara yang mengatakan bahwa katanya pak Aryo akan menolak gugatan itu, pasti ada sesuatu yang membuatnya berbuat begitu."kata yu Siti masih dengan suara lirih, takut bu Suryo mendengarnya.
" Misalnya apa?"
"Mungkin pak Aryo akan menceraikan perempuan itu, atau malah sudah dilakukannya. Sebuah peristiwa tanpa ada komunikasi itu menjadi rumit, karena satu sama lain akan berfikir sendiri-sendiri, tanpa tau apa yang sesungguhnya terjadi.
"Aduh baunya, sudah matang bakwannya?" tiba-tiba bu Suryo masuk kedapur.
Yu Siti terkejut, lalu menjauh dari Arum, dan mencuci sayuran yang sudah disiapkan.
"Ada apa kok bicaranya berbisik-bisik?"
"Oh, itu bu, nak Arum minta saya mencicipi bakwannya dulu, tapi masih panas," jawab yu Siti sekenanya.
"Baunya sudah enak, aku juga ingin mencicipi, tapi karena masih panas ya nanti saja."
"Saya ambilkan dipiring kecil ya bu."
"Iya, tapi taruh dulu disitu, aku sama Pono mau keluar sebentar, Sayurnya apa tuh yu?"
Tapi ibu bilang ingin sayur bobor. Saya sudah memetik bayam dari kebun, dan juga ada kates muda untuk ditambahkan."
"Hm, iya, sudah lama juga tidak makan pakai sayur bobor. Ya sudah, aku mau pergi sebentar ya."
"Oh, ibu mau kerumah pak Kromo?"
"Bukan, mau cari toko kue-kue, nanti kan nak dokter mau kemari, rasanya kok kurang lengkap makanan yang disuguhkan."
"Sudah ada nogosari sama pis pohung bu," kata Arum.
"Iya, ibu mau nambahin makanan lagi, belum tau apa, mungkin keripik garut, atau apalah, coba ibu lihat nanti." kata bu Suryo sambil menjauh.
Yu Siti mengangkat bahu sambil tersenyum.
"Untung ibu tidak mendengar apa yang saya katakan. Kalau mendengar bisa dimaki-maki saya," kata yu Siti sambil mengentas bayam yang tadi dipethiknya dikebun belakang.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel dari arah depan.
"Lho, ibu lupa membawa ponselnya ," kata Arum.
"Iya nak, coba terima saja, biar yu Siti melanjutkan menggoreng.
Arum berlari kedepan, ponsel itu masih berdering. Dilihatnya nomor penelpon yang tak ada namanya. Arum mengangkatnya.
"Hallo.." sapanya.
"Hallo, ini Arum?" suara bergetar dari seberang.
Arum terkejut. Itu suara yang sangat dikenalnya.
"Mas Aryo?"
"Arum, susah sekali menemui kamu."
"Mas Aryo..."
Tiba-tiba terdengar suara orang berlari mendekat.
"Bu Arum.. ponsel ibu ketinggalan. Oh, itu ya."
Arum terkejut, ia harus bicara dengan Aryo, tapi Pono meminta ponsel itu.
"Ibu menunggu disana, saya disuruh cepat."
Arum menutup pembicaraan itu dan mengulurkan ponselnya kepada Pono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel