Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 06 Desember 2020

Setangkai Mawar Buat Ibu #15

Cerita Bersambung

Arum terpaku ditempatnya bertdiri. Suara Aryo begitu bersemangat ketika tau bahwa dia yang mengangkatnya. Karena gembira bisa menyapanya?
Belum sempat mengatakan sesuatu, kecuali hanya sulit menghubungimu. kata Aryo di telephone itu.
Arum kebingungan. Nomor telephone yang menghubungi tadi belum sempat dicatatnya. Mana mungkin mencatat, baru kata sepatah diucapkan, lalu ponsel itu diambil.
Arum setengah berlari masuk kekamarnya. Dipegangnya ponselnya. Aduh, baterynya mati. Diambilnya charger. Tapi ia akan menelpon siapa? Nomor Aryo sudah dibuangnya sejak dia pergi. Dan tadi itu benar nomor Aryo atau bukan? Arum sudah lupa semuanya.

Ketika ponsel itu menyala, dia membaca semua kontak yang ada. Tak ada .. hanya dua nomor. Nomor bu Suryo, dan nomor ibunya. Yaaa.. mengapa tidak menelpon ibunya saja? Arum mencobanya,.
Tapi.. ya Tuhan, pulsa dalam masa tenggang... mana mungkin bisa menelpone?" Arum melangkah kebelakang.
"Dari siapa nak?" tanya simbok ketika melihat Arum datang dengan wajah keruh.
"Sebetulnya tadi dari mas Aryo."
"Waduh, kok bisa tau nomornya ibu?"
"Saya juga bingung bu.."
"Lha nak Arum bicara apa? "
"Nggak sempat bicara bu. Dia baru mengatakan kalau susah sekali menghubungi saya, lalu tiba-tiba Pono datang dan meminta ponsel itu. "
"O, rupanya ibu sadar kalau ponselnya ketinggalan lalu suruhan Pono untuk mengambilnya?"
"Iya bu, sekarang saya bingung.. Terpikir oleh saya untuk menghubungi ibu saya, tapi saya tidak lagi punya pulsa. Dimana saya bisa beli pulsa bu?"
"O.. agak jauh nak, dekat pasar sana.. mari saya belikan, tapi nanti kalau ibu datang lalu masakan belum selesai bagaimana?"
"Jangan bu, biar saya beli sendiri saja, dimana pasarnya?" Dari rumah ini kearah kiri atau kanan?"
"Kearah kiri nak, tapi agak jauh lho.. "
"Nggak apa-apa bu, saya kan bisa bertanya-tanya."
"Ya sudah, tapi hati-hati ya nak.. kalau saja masaknya sudah selesai pasti yu Siti yang akan membelikan. Ini sayurnya baru mendidih, goreng nila belum selesai. Masih harus buat trancam segala. Ibu itu banyak bangat pesen masaknya."
"Ya sudah nggak apa-apa bu, biar saya beli sendiri saja."
***

"Kanapa pak?" tanya Ratih ketika melihat Aryo murung setelah menelpon.
"Susah sekali."
"Bu Suryo lagi yang menerima?"
"Kebetu;an Arum sendiri."
"Bagus dong, mengapa pak Aryo kelihatan murung?"
"Baru sepatah kata dia menjawab, memanggil sama saya, lalu terputus. Tampaknya ponselnya diambil lagi oleh bu Suryo."
"Ah, sayang sekali ya, apa bu Arum tidak punya ponsel sendiri?"
"Kata dokter Bram Arum tidak pernah membuka ponselnya."
Ratih merasa kasihan melihat wajah tampan itu tampak murung. Ingin ia mneghiburnya, tapi dengan cara apa? Aryo bukanlah Angga yang kalau rewel bisa dibujuk dengan mainan atau cerita-cerita singan.
"Ada satu cara," tiba-tiba kata Ratih.
Aryo menatap Ratih, menunggu apa yang akan dikatakanny.
"Kalau pak Aryo kebetulan ada bersama pak Bram, minta saja agar pak Bram menelpon bu Suryo, tapi kemudian minta bertemu dengan bu Arum. Setelah bu Arum bicara, suruh pak Bram memberikan ponselnya pada pak Aryo."
Mata Aryo berkejap.
"Itu masuk akal juga bu Ratih.Kalau begitu sekarang saja saya menelpon pak Bram. Kalau dia lagi dirumah saya akan kesana.
Ratih tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Hallo, ini pak Aryo?"
"Ya pak Bram, ini saya."
Oh, ada apa pak Aryo?"
"Apa pak Bram sedang dirumah?"
"Tidak pak, saya lagi.. bepergian. "
"Oh, ya sudah, nanti sore kalau pak Bram sudah ada dirumah saya akan kesana."
"Oh, baiklah, mudah-mudahan sore nanti sudah pulang. Nanti saya kabari pak Aryo."
***

Bramasto masih dalam perjalanan menuju kerumah bu Suryo yang ada didesa. Sebentar lagi sampai. Tapi telephone dari Aryo tiba-tiba mengganggunya. Ada apa pak Aryo ingin menemui dia/ Apa lagi yang akan ditanyakan?
Dokter Bram sudah berjanji akan berusaha bicara dengan Arum. Ia tau bu Suryo akan menghalanginya, tapi dia tak bisa membiarkan sejoli ini tak bisa bersatu.
Dokter Bram sudah sampai didesa yang dimaksud, tapi ia belum menemukan persisnya rumah yang ditunjukkan bu Suryo ketika menelpone kemarin. Ia terus menjalankan mobilnya, menyusuri jalan berdebu yang kiri kanannya ditumbuhi pohon-pohon jagung yang siap dipanen.
Bram tidak menyangka, rasa ketertarikannya pada Arum yang pernah menjadi pasiennya, membuatnya terlibat dalam kemelut rumah tangganya. Memang benar, dia suka, lebih daripada sukanya seorang teman, atau sahabat, tapi melihat situasi seperti ini ia justru ingin membantunya.
"Mungkin  bu Arum juga masih mencintai suaminya," gumam Bram.

Mobil Bram hampir memasuki kerumunan orang yang tampaknya pasar, ketika dilihatnya seseorang sedang berjalan.
"Itu kan bu Arum?"
Bram menghentikan mobilnya tepat dihadapan Arum berjalan, membuat perempuan cantik itu terkejut.
"Ya ampun, aku hampir ketabrak, " omelnya kesal.
Tapi ketika seseorang turun dari mobil itu, wajah kesal itu berubah semringah.
"Dokter?" pekiknya.
"Terkejut ya?"
"Iya lah, dokter hampir menabrak saya."
"Darimana kok jalan sendiri?"
"Dari mencari yang jualan pulsa, "
"Mau beli pulsa? Sudah dapat?"
"Toko yang biasanya jual, tutup, sedang mau mencari kearah sana," katanya sambil menun juk kesatu arah.
"Ayo naik dulu, saya antar, saya juga mau bicara," kata dokter  Bram sambil membukakan pintu untuk Arum.
Arum naik kedalam. Keinginan untuk beli pulsa itu sirna, karena sudah bertemu dokter Bram. Banyak yang ingin ditanyakannya.
Mobil Aryo berjalan erlahan.
"Dimana harus beli pulsa?"
"Nggak jadi."
"Mengapa nggak jadi?"
"Sudah ketemu dokter."
"Lho, memang tadinya mau menelpon saya?"
"Diantaranya .. ya."
"Diantaranya?"
"Oh ya, kemana kita harus pergi? Lurus kedepan, atau harus balik kesana?"
"Lurus saja dok..."
"Oh, baiklah."
Arum menghela nafas lega. Tapi darimana dia harus memulainya?"
"Sebelum kita bicara, bagaimana kalau tidak memanggil saya dokter?"
"Lalu..?"
"Panggil saya Bramasto, itu nama saya."
"Nggak enak ah."
"Kok nggak enak, panggilan 'dokter' itu terasa seakan ada jarak diantara kita."
"Oh, baiklah.. mas Bram."
"Haaa.. itu terdengar lebih manis."
Arum tersenyum. Menatap laki-laki ganteng yang duduk menyetir disampingnya. Wajah itu tampak teduh dan membuat hatinya tenang.
"Kita lurus?" tanya Bram ketika didepan ada perempatan.
"Ya, lurus saja. Eh bukan, belok kiri saja."
Bram tertawa.
"Sebenarnya hafal jalannya nggak sih?"
"Enggak..." jawab Arum sekenanya.
Bram menoleh kearah perempuan disampingnya. Wajah itu tampak lugas, tanpa make up sama sekali. Dia juga hanya berpakaian seadanya. Mungkin karena ada didesa jadi tak perlu bersolek seperti apabila bepergian dikota, walau tujuannya dekat sekalipun.
Tapi wajah lugas itu tetap menampakkan kecantikannya. Wajah bersih,  hidung mancung.. mata bening, bibir tipis... Bram menikmatinya ketika Arum menoleh kearahnya.
"Kita nyasar tidak?" tanya Bram.
"Entahlah, sesungguhnya saya lupa jalan." jawab Arum seenaknya.
Bram terkejut.
"Bu Arum bagaimana sih?"
"Biar nyasar, biar jauh, supaya saya bisa bertanya banyak."
Lalu Bram tersenyum. Bagaimana kalau nyasarnya keujung dunia? Dulu ia tertarik pada Arum. Ia merasa Arum sangat menarik. Cantiksederhana, tidak dandan  berlebihan. Kata-katanya selalu lembut. Pada awalnya selalu gugup setiap berhadapan dengannya. Tapi rasa itu tidak berlanjut. Ia sadar tak berhak memilikinya. Ada Aryo yang mengharapkannya. Tapi rasa suka itu berubah menjadi simpati, lalu ada rasa trenyuh, lalu ingin membuatnya bahagia. Apa sebenarnya Arum masih mencintai suaminya? Masih atau tidak, Bram tak ingin berharap. Lalu angannya kembali kearah Ratih. Aduh.. kemiripan yang menakjubkan padahal bukan kembar.

Bram sudah hampir membuka mulutnya untuk mengatakan bahwa tadi bertemu gadis yang sangat mirip dengannya, ketika tiba-tiba Arum lebih dulu membuka pembicaraan yang semula terdiam beberapa sa'at lamanya.
Mm.. mas Bram.."
"Ya."
"Mengapa mas Bram kemarin menanyakan apakah saya sudah bertemu mas Aryo?"
"Oh, itu..."
"Kapan mas Bram ketemu mas Aryo ?"
Bram terdiam sejenak. Sebenarnya kemarin dia sudah mengatakan semuanya pada bu Suryo, taoi rupanya bu Suryo melarang  mengatakannya pada Arum. Bram bingung, apa sekarang harus mengatakannya, atau harus menutupinya?
"Pernah ketemu? Dia masih kasar sama mas Bram?"
"Begini...."
Arum menunggu, tapi dokter muda itu tidak segera mengatakan apapun. Arum merasa tidak sabar.
"Apa mas Aryo melarang mengatakannya pada saya?"
"Bukan, bukan pak Aryo melarang saya."
Mobil Bram terus menyusuri jalanan desa yang berkelok-kelok.
"Ini masih jauhkah?"
"Entahlah, saya juga bingung."
Bram menatap Arum, Arum juga sedang menatapnya, lalu tersenyum lucu. Sekarang Bram merasa bahwa mereka benar-benar tersesat. Mobil itu sudah berjalan jauh, dan tadi Arum mengatakan bahwa mau membeli pulsa, tak mungkin ia berjalan sejauh ini.
"Ini benar-benar tersesat?"
"Saya sengaja menyesatkan diri," kata Arum seenaknya.
"Serius?"
"Kan tadi saya sudah mengatakannya."
"Oh..." Bram tersenyum.
"Mas Bram belum menjawab pertanyaan saya."
Aduh, apakah sebaiknya saya berterus terang saja? Masa saya harus membela bu Suryo? Pendapat yang salah, keinginan yang keliru, mengapa ia harus meneurutinya? Pikira Bramasto.
 "Mas Bram.. kalau tidak mau jawab, turunkan saja saya disini." kata Arum kesal karena Bram tampak tak mau menjawab.,
Bram menghela nafas. Ia merasa harus mengatakannya.
***

Pono menghentikan mobilnya tepat didepan rumah, karena bu Suryo membawa banyak belanjaan.
"Kok masih sepi, rupanya dokter Bram belum datang," gumamnya sambil turun dari mobil.
"No, bawa belanjaan kebelakang ya," perintahnya kepada Pono, lalu ia masuk kedalam rumah.
"Yu Siti, aduuh.. bau masakannya membuat aku lapar nih," teriaknya sambil melangkah kedapur.
Yu Siti sedang menata semua makanan dimeja. Berdebar hatinya karena bu Suryo sudah pulang, sedangkan Arum belum juga kembali.
"Hm.. sudah siap semuanya. Nak dokter kok belum datang ya," celetuknya sambil mencomot sepotong bakwan jagung.
"Arruum.." teriaknya.
"Bu, nak Arum sedang keluar," kata yu Siti sambil menuangkan air putih dalam gelas-gelas, lalu ditatanya juga diatas meja makan.
"Keluar? Keluar kemana? Sendirian? Atau sama nak Bram?"
"Tadi... sendirian bu."
"Kemana? Memangnya dia tau jalan? Mau apa dia keluar sendirian. Kamu tidak mengantarnya kalau dia ingin beli sesuatu?"
"Tadi saya masih memasak bu, lagian dia cuma mau beli pulsa."
Bu Suryo berhenti mengunyah bakwannya.
"Belu pulsa? Untuk apa?"
Yu Siti kebingungan. Ia tak tau harus berkata apa.
"Dia bilang tidak yu, tadi mau menelpon siapa?"
"Tadi.... sepertinya... oh.. mungkin ingin menelpon ibunya.. nak Arum bilang kangen tadi," akhirnya yu Siti menemukan jawaban.
"Mengapa tidak menunggu aku, biasanya pakai ponselku."
"Kangen sekali kayaknya. Ini bu, sudah siap, ada yang kurang?"
"Sudah yu. Bagus, tapi kok nak Bram belum datang ya? "
"Masih dijalan barangkali."
"Arum perginya sudah lama?"
"Mm.. belum lama bu, saya tunjukkan toko yang menjual pulsa. Dekat situ."
Tapi yu Siti juga merasa was-was. Kepergian Arum sudah sangat lama. Kalau hanya kedekat pasar pasti sudah kembali. Jangan-jangan dia pergi ketempat lain.
"Kemana ya Arum perginya?"
"Tadi cuma saya kasih tau toko terdekat bu. Lagian nak Arum tidak ganti baju, saya kira tidak akan lama."
"No, ayo antarkan aku lagi No," kata bu Suryo ketika Pono meletakkan belanjaan.
"Baik bu," jawab Pono sambil berjalan keluar.
"Yu, ini tolong ditata dipiring. Di almari ada toples, keripik ini masukkan dalam toples saja. Aku mau menyusul Arum. Bagaimana kalau dia tersesat?"
Yu Siti mendekati bungkusan-bungkusan dan membongkarnya, sementara bu Suryo keluar menuju ke mobilnya.
"Nanti kalau nak Bram datang, segera buatkan minuman dan keluarkan semua makanan ya yu?" teriak bu Suryo dari luar.
"Baik bu."
Tapi yu Sitipun juga berdebar-debar. Sesungguhnya Arum pergi sudah sangat lama.
***

Mobil Aryo terus menyusuri jalanan perdesaan. Ia sudah mengatakan bagaimana bertemu Aryo, lalu Aro mengatakan semuanya. Arum gemetar mendengarnya.
"Jadi mas Aryo tidak menikahi Rini?"
"Pak Aryo mengusirnya malam itu juga."
"Aku tidak tau, aku tidak mengira," bisiknya terisak.
"Darimana bu Arum tau bahwa pak Aryo menikahi Rini? Rini mengatakannya?"
"Tidak."
"Lalu, mengapa bu Arum mengira begitu?"
"Hanya asumsi saya saja."
"Bagaimana urusan sebesar ini dipastikan hanya karena asumsi?"
"Waktu itu saya mau ketemu ibu, diantar Pono. Tapi ketika hampir tiba, saya melihat mas Aryo tuun, lalu Angga, dan ada seorang perempuan yang baru saya lihat kakinya juga turun dari sana. Saya sakit hati, mengira itu Rini."
"Belum jelas siapa, tapi sudah mengira itu Rini?"
"Ketika saya menemui Angga disekolah, dia berteriak, mengapa ibuku ada dua?"
Saya sakit hati, lalu menangis disepanjang jalan.
Bram menghentikan mobilnya, lalu memutar arah.
"Kembali?"
"Kita sudah terlalu jauh, nanti bisa menar-benar kesasar. Masih banyak yang bisa dibocarakan sambil pulang.
"Tapi saya mohon, jangan bilang bu Suryo bahwa saya telah mengatakan semua ini pada bu Arum. Karena dia melarangnya.
"Ya Tuhan, mengapa ibu sekejam itu?"
Mobilnya terus berjalan, beruntung Bram tidak lupa dari mana tadi dia berbelok, dan arah mana yang harus dilalui untuk sampai ketempat dimana dia bertemu Arum tadi.
Arum  masih terisak pelan.
"Bukankah bu Arum masih mencintai pak Aryo?"
Sekarang Arum mengangguk dengan rasa sangat yakin. Ini kesalah fahaman yang sangat fatal. Hanya karena tak pernah ada pembicaraan.
"Bu Arum ingin bicara dengan pak Aryo?"
"Bisakah?"
"Saya punya nomornya."
Angga memutar nomor tilpun Aryo. Berdebar hati Arum.
Tapi tiba-tiba sebuah klakson bertalu terdengar, dan Arum serta Bram melihat mobil bu Suryo dari arah depan.

==========

Hati Arum mencelos. Baru mau nyambung dengan suaminya, bu Suryo muncul.
Bram menutup kembali ponselnya.
"Sabar ya bu Arum."
Arum menghela nafas sedih.
"Jangan bilang kita omong-omong tentang pak Aryo ya. Nanti kita pikirkan lagi langkah selanjutnya. Saya akan membantu sebisa saya."
Sementara itu mobil bu Suryo sudah berhenti. Bram turun dan mendekati.
"Ternyata sudah ketemu Arum?"
"Ketemu dijalan, lalu kami jalan-jalan  menyusuri jalanan desa bu."
"Nak Bram nggak ngomong apa-apa kan?"
"Nggak bu, ibu duluan, saya ngikutin dari belakang."
Bram  berharap dalam perjalanan sampai kerumah masih bisa menelpon Arya, lalu menyambungkannya dengan Arum. Tapi tiba-tiba..
"TUnggu, saya ikut di mobilnya nak Bram ya, keburu ingin ngobrol," kata bu Suryo sambil turun dari mobil..
Yaah, gagal lagi deh. Keluh Branasto dalam hati.
Bram membukakan pintu untuk bu Suryo.
"Kamu beli pulsa mau menelpon siapa?" tanya bu Suryo begitu duduk.
"Mau menelpon... ibu saya," kata Arum. Beruntung, tidak kencan tapi jawabannya cocog dengan jawaban yu Siti.
"Sudah dapat pulsanya?"
"Belum. Keburu ketemu dokter Bram, lalu diajak jalan-jalan.
"Hm, baguslah, tapi kamu itu gimana, keluar rumah pakai pakaian seperti itu. Itu kan pakaian rumahan," tegur bu Suryo.
"Sedianya cuma jalan sedikit, kan dekat bu."
Mobil Bram meluncur tenang. Tapi tidak begitu dengan hatinya. Rasa kecewa karena gagal mempertemukan Arum dan suaminya terus menghantuinya. Mungkin demikian juga yang dirasakan Arum.
"Kalau mau menelpon ibu kamu, tunggu saya kan bisa."
"Iya bu, nanti saja."
"Ibu jadi ingat, dari kemarin ada telephone berkali-kali menelpone, tapi begitu saya jawab, lalu ditutup kembali. Siapa orang itu, mengganggu saja."
Bram yang mendengarnya hanya diam. Dia tau siapa yang menelpone, tapi tak perlu dia mengatakannya. Bram justru berfikir, bagaimana melepaskan Arum dari ikatan hutang budi ini dari bu Suryo. Ia tau Arum segan karena merasa berhutang budi.
***

Begitu ssmpai, Bramasto langsung dibawa keruang makan oleh bu Suryo.
Bram sangat kagum. Ini rumah kecil didesa, tapi ditata apik dengan perabotan yang mahal. Diruang tamu tadi Bram melihat sofa cantik , disudut ada jam dinding yang walau tidak begitu besar tapi tergantung didinding, yang mengeluarkan dentang setiap seperempat jam. Ruang makan dengan meja yang tidak terlalu besar, dengan kursi ukir berjumlah empat mengelilinginya. Meja makan itu sudah dipenuhi dengan nasi dengan lauk yang bermacam-macam.
"Ayo nak, silahkan..." kata bu Suryo mempersilahkan Bram duduk disebuah kursi.
"Arum kamu disitu, dekat nak BRam, saya sama yu Siti disini," kata bu Suryo mengatur, dan tak seorangpun membantahnya.
"Rumah ini bagus sekali," gumam Bram sambil  duduk.
"Hanya rumah dusun."
"Kalau ibu tidak pulang, siapa yang menunggui?"
"Saya banyak punya orang-orang disini. Mereka mengerjakan sawah-sawah saya, mengurusnya, dan menjaga serta membersihkan rumah ini setiap dua haru sekali."
Bramasto mengangguk angguk. Tak heran bu Suryo bisa hidup layak, ia banyak punya sawah didesa ini, entah berapa hektar, Bram tak ingin menanyakannya.
"Ayo silahkan, aduh Arum, mengapa diam saja, layani tamu kita dong."
Arum menyendokkan nasi dipiring Bram, menawarkan lauk mana yang dia pilih.
"Biar bu Arum, biar saya mengambilnya sendiri. Bingung saya, begitu banyak lauk disini.
"Ini lauknya orang desa. Sayur bobor.. ini bakwan jagung, tadi Arum yang menggorengnya, ikan nila goreng, sambel bajak ya yu, lalu terancam. Cuma itu nak Bram."
"Ini makanan mewah, bukan makanan desa."
"Dikota jarang menemukan sayur bobor. Dari daun bayam, kates muda... cobain deh.."
"Arum, mengapa diam saja, ayo ambilkan lauknya."
"Sudah bu, saya ambil sendiri saja. Hm, sayur bobornya enak kayaknya."
Arum tak banyak bicara, ia hanya menjawab apabila bu Suryo mengajaknya bicara. Hatinya masih dipenuhi rasa sesal karena gagal bisa menelpone Aryo. Ia bingung bagaimana harus bersikap.  Kalau harus berterus terang pada bu Suryo, ia tak berani, atau lebih tepatnya sungkan. Rasa berhutang itu alangkah berat.
"Hm, sayur bobor ini enak, Boleh tau bu Siti, bumbunya apa?"
"Wah.. itu gampang pak dokter. Tapi masa pak dokter mau masak sendiri sih?"tanya bu Siti.
"Benar bu, saya sering masak sendiri kalau lagi pengin. Ini saya ingin buat, sungguh.
"BUmbunya itu bawang merah, bawang putih, kencur salam laos, lalu ada tempe bosok, dikasih santan juga nanti setelah sayurnya empuk.
"Tempe bosok itu apa?"
"Tempe bosok itu tempe yang sudah kelewat jadi, kalau orang Jawa bilang sudah besem-besem gitu, tapi cuma sedikit saja tempe bosoknya. Na kalau untuk sambal tumbang, tempe bosoknya banyak, nyaris semua dari tembe bosok."
"Hm, namanya bosok itu busuk kan bu, tapi enak buat bumbu ya.?
"Begitulah pak dokter."
"Makanya, nak Bram, segera cari isteri, supaya nggak ribet mikir bumbu masak," kata bu Suryo sambil melirik kearah Arum. Arum pura-pura tak mendengar, menyibukkan diri dengan menyendok nasi yang sesungguhnya terasa berat ditelannya.
"Iya bu, besok kalau ada yang mau sama saya."
"Bagaimana kalau ibu carikan?" kata bu Suryo lagi sambil melirik Arum.
Bu Siti agak kesal mendengar candaan bu Suryo.  Pasti maksudnya adalah Arum. Dilihatnya Arum tak bergeming. Mengunyah bakwan yang baru saja digigitnya seperti tanpa perasaan. Dokter Bram asyik menikmati sayur bobor yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
"Enak bu Siti, suatu hari nanti saya akan bikin sendiri."
Bu Siti tak menjawab, tapi mengacungkan jempolnya, karena mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.
***

"Nak dokter, dengar.. saya mau bicara." kata bu Suryo setengah berbisik, ketika Arum tidak ada didekatnya.
"Ya bu, ada apa?"
"Nak dokter tau, mengapa saya menghalangi Arum kembali sama suaminya? Pertama saya tidak percaya, karena sekali dia berkhianat maka nanti di lain hari pasti akan melakukannya. Kedua, saya ingin nak dokter bisa menjadi jodohnya Arum."
Bramasto terpaku ditempat duduknya. Dipandanginya bu Suryo seakan tak percaya.
"Memang sih, nantinya Arum akan menjadi janda. Tapi dia wanita yang baik. Dia akan menjadi pendamping yang tidak akan mengecewakan."
Bram menyandarkan tubuhnya disofa.
"Bukan masalah saya tidak bisa menerima seorang janda bu, tapi bu Arum kan masih menjadi isterinya pak Aryo."
"Bukankah proses perceraian sedang berjalan?"
"Saya kira mereka masih saling mencintai."
"Ah, masa? Arum sudah tidakperduli kok sama suaminya."
Bisa saja bu Suryo ini, bagaimana dia bisa mengetahui isi hatinya Arum? Itu kan yang punya mau bu Suryo sendiri. Kata Bramasto dalam hati.
"Tapi nak Bram boelh berpikir-pikir dulu kok. Jawabannya tidak harus sekarang. Lagi pula proses perceraian juga sedang berjalan. "
"Tapi saya dengar pak Aryo menolak menceraikan bu Arum. Itu tandanya dia masih mencintai isterinya."
"Lha cinta macam apa kalau Arum itu cuma dijadikan permainan?"
"Satu kesalahan kan tidak bisa dipakai untuk menuduh betapa buruknya dia bu. Kalau dia sudah bertobat, bukankah kita juga harus mema'afkan?"
"Boleh saja mema'afkan, tapi jangan harap kata ma'af itu bisa menyatukan mereka."
Rupanya Bram tak ingin berdebat terlampau jauh.  Ia tak menjawab. Diteguknya setengah gelas minuman yang tersisa.
"Bu, bolehkah saya mengajak bu Arum jalan-jalan?"
"Jalan-jalan kemana?"
"Saya ingin melihat-lihat disekitar desa ini. Saya ingin bu Arum menemani saya." kata Bramasto dengan harapan akan bisa melanjutkan perbincangannya dengan Arum, dan menyambungkannya dengan Aryo agar bisa bicara.
"Bagus nak, tampaknya nak Bram sudah ingin memulai pendekatan yang lebih dalam dengan Arum."
Bramasto tersenyum.
"Sebentar saya panggilkan Arum. Tapi saya juga mau ikut ya nak dokter," kata bu Suryo sambil menjauh.
Lhaaahh? Ikut? Aduuh.. Bram menghempaskan lagi tubuhnya ke sandaran sofa. Kecewa. Belum terpikirkan lagi harus melakukan apa.
***

Hari sudah sore, Aryo tampak menunggu sesuatu, gelisah sambil memegangi ponselnya, berjalan kesana kemari. Ratih yang sedang menunggui Angga bermain memperhatikannya. Gerah oleh tanda tanya yang memenuhi benaknya, da mendekati Aryo.
"Pak Aryo.. "
Aryo menoleh kearah Ratih. Ia tau Ratih ingin menanyakan sesuatu tentang sikapnya.
"Kelihatan ya kalau saya lagi bingung?" tanya Aryo.
"Mengapa bingung pak?"
"Dokter Bram mengatakan bahwa kalau sudaah sampai dirumah akan menelpon, tapi kok belum menelpone juga ya."
"Berarti dia belum sampai rumah. Sepertinya tadi mau keluar kota."
"Oh iya, bu Ratih tadi ketemu ya?"
"Iya, kan saya sudah bilang tadi sama pak Aryo."
"Benar. Mungkin dia belum sampai rumah."
"Coba saja pak Aryo menelpone. jadi bisa tau dia sampai dimana. Kalau hanya ditunggu pasti pak Aryo  bin gung."
Benar juga, pikir Aryo. Hati yang bingung membuat semua pikiran jadi mampet.
"Hallo.." telephone Aryo segera bersambut. Bram menerimanya dengan cepat.
"Pak Bram sudah dirumah?"
"Oh, belum, mun gkin sebentar lagi, kira-kira sejam atau lebih, saya akan mengabari ya."
"Baiklah, terimakasih, ma'af saya mengganggu."
"Tidak apa-apa, ini sedang mengantarkan saudara."
Aryo menghela nafas lega. Semua selalu Ratih yang mengingatkan. Dipandanginya Ratih yang menatapnya dengan iba.
"Terimakasih bu Ratih. Memang benar, belum sampai rumah."
"Tampaknya semua akan segera selesai dengan baik, karena ada dokter Bram yang akan membantu."
Ya bu Ratih. Saya sangat gelisah setelah mengerti perso'alannya. Arum  mengira saya menikahi Rini. Apa saya sudah gila?"
"Sangat disesalkan kenapa bu Arum tidak mau komunikasi dengan pak Aryo ya, semuanya jadi kacau. "
" Benar, susah menghubungi dia. Bagaimana bisa klarifikasi? "
"Ya sudah, ini sudah terlanjur, yang penting bu Arum segera bisa mengetahui kejadian sebenarnya, sehingga bisa menerima pak Aryo kembali."
"Aamiin. Sekarang saya mau mandi dulu, jadi se-waktu-waktu pak Bram mengabari, saya siap berangkat kesana."
"Silahkan pak."
"Nitip ponsel saya ya bu, nanti kalau dokter Bram menelpone bu Ratih bisa menjawabnya. Katakan saya sedang bersiap kerumahnya."
"Baiklah pak."
Ratih memasukkan ponselnya ke saku bajunya, lalu mendekati Angga.
"Ayo, bermainnya sudah ya, sa'atnya mandi," teriak Ratih sambil mendekati Angga.
"Apa kita mau oergi?"
"Tidak, pergi kemana?"
"Tadi bapak bilang mau mandi."
Ratih tertawa.
"Memangnya kita mandi hanya kalau mau  pergi? Kan ini sudah sore, sa'atnya bersih-bersih badan."
"Baiklah, Angga simpan dulu mobilnya."
"Bagus, simpan di 'garasi' ya.."
Angga membawa mobilnya. Ada tempat disudut teras yang mereka namakan garasi. Itu tempat mobil kecil Angga  setiap tidak sedang digunakan.
Angga berlri kebelakang, mendahului Ratih. Ratih menghela nafas, tak lama lagi dia tak akan bisa berbagi ceria dengan si kecil ganteng yang menggemaskan ini. Sekilas ada air mengembang dipelupuk matanya. Bagaimanapun Angga seperti sudah menjadi bagian dari hari-harinya, dan perpisahan pasti akan menyedihkan.
"Ibu peri akan segera tiba", gumam Ratih pelan.
"Ibu bilang apa?" ternyata Angga mendengar bisikan itu.
"Apa sih? Ibu nggak bilang ala-apa."
"Tadi ibu bilang ibu peri. Angga mendengar kok."
"O, maksud ibu, kalau Angga selalu menurut, nanti ibu peri akan segera datang."
"Benar ?"
Ratih mengangguk sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak ingin air matanya titip dan Angga melihatnya.
***

Ketika Bramasto menerima telephone dari Aryo, bu Suryo yang duduk dibelakang memperhatikannya. Mereka hanya berputar-putar disekitar desa, dan bu Suryo mengatakan, yang mana saja sawah-sawah miliknya. Ternyata sangat luas, berpuluh hektare. Tapi dengan tak bisa berkomunikasi dengan Arum hanya berdua saja, membuat Bram segera memutar mobilnya kembali.
"Kita pulang? Sebelah sana, diujung, masih ada kebun buah milik saya. Ada mangga dan rambutan."
"Mungkin lain kali saya akan kemari lagi dan melihat desa ini lebih tenang. Hari sudah sore dan saya harus segera pulang."
"Oh, nak Bram praktek sore hari? Ini kan Minggu?" tanya bu Suryo.
"Tidak bu, bukan masalah praktek, saya tidak praktek dirumah, sudah capek."
"Lalu mengapa sepertinya tergesa pulang?"
"Saya ada janji dengan teman," kata Bram sambil melirik Arum disebelahnya.
Arum menatapnya, dan melihat dokter Bram mengedipkan sebelah matanya. Apakah dokter Bram berkencan dengan suaminya?
"Oh, yang tadi menelpon itu ya nak?"
"Iya bu, yang tadi menelpone."
"Oh, baiklah. Kapan nak Bram kemari lagi?"
"Kalau ada waktu senggang bu."
"Ma'af lho, kalau banyak yang mengecewakan dalam ibu menyambut nak Bram, maklumlah, sambutan orang desa."
"Ibu, saya senang sekali. Saya merasa menjadi tamu istimewa. Terimakasih banyak bu.Sama sekali tak ada yang mengecewakan. Lain kali saya pasti datang kemari."
"Terimakasih ya nak, semoga kita benar-benar bisa menjadi keluarga."
Ucapan terakhir ini tidak dijawab oleh Bramasto. Permintaan yang dianggap mengada-ada, sementara Arum masih ada suaminya.
"Arum dari tadi kok diam saja? Kamu sakit?" tanya bu Suryo karena dari tadi tidak bicara.
"Tidak apa-apa bu, kan mas Bram sudah banyak bicara. Takut saingan," kata Arum mencoba bercanda.
"Iya, nanti saya mendapat saingan kalau bu Arum ikut bicara."
"Ya sudah kalau tidak apa-apa, ibu takut kamu merasa pusing atau apa."
"Arum hanya lelah bu."
"Nanti sampai dirumah harus langsung beristirahat."
"Baiklah bu," memang itulah maksud Arum, supaya nanti bu Suryo tidak lagi mengajaknya bicara yang macam-macam.
"Bolehkah saya mengetahui nomor ponsel bu Arum?" tanya BRam.
"Boleh mas saya akan catatkan."
"Lha apa itu perlu, nak Bram bisa menghubungi Arum lewat nomor saya kan?" sanggah bu Suryo.
"Tapi kalau kelamaan nomor bu Arum mati bisa hangus bu, nanti saya bantu mengisinya kalau sudah sampai dirumah."
Bram mengulurkan ponselnya kepada Arum, dan meminta agar Arum menuliskan nomor ponselnya.  Bu Suryo diam, tak bisa membantah kata-kata Bramsasto.
***

Bramasto sudah mandi dan sudah wangi ketika menyambut Aryo dirumahnya. Kedua laki-laki ganteng yang sudah menjadi sahabat walau baru sekali dua kali ketemu itu tampak sangat akrab.
Ia menceritakan pertemuannya dengan Arum, dan mengapa Arum mengira Aryo sudak menikahi Rini. Hanya asumsi, hanya perkiraan dan dijadikan alasan untuk bercerai. Aryo sedih mendengarnya.
"Tapi saya bersyukur pak Bram sudah mengatakan semuanya. Semua kebenaran itu."
"Saya malah belum sempat menceritakan pertemuan saya dengan bu Ratih, karena cerita tentang pak Aryo belum selesai, dan saya hampir menelpon pak Aryo agar bisa bicara dengan bu Arum, tapi bu Suryo keburu datang.
"Apa sebabnya dia menghalangi kami untuk bersatu?"
"Pak Aryo, ma'af, ini bukan kemauan saya. Rupanya bu Suryo ingin agar saya menikahi bu Arum."
Aryo tertegun.
"Tampaknya dia menghalangi pak Aryo untuk bersatu kembali dengan bu Arum, walau saya sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Dia malah melarang saya mengatakannya pada bu Arum. Tapi saya sudah menceritakan semuanya pada bu Arum."
"Saya baru saja  mengisi pulsanya, sehingga kita bisa berkomunikasi langsung. Tapi  pak Aryo harus hati-hati, kalau bu Suryo mendengar dering telepone bu Arum pasti akan curiga.dan seribu cara akan dilakukan bu Suryo untuk menghalanginya."
Bramasti segera memberikan nomor ponsel Arum.
"Barangkali kalau tengah malam saya bisa menghubunginya, semoga kamarnya berbeda dengan kamar bu Suryo."
Bram mengangguk setuju.
Tapi tiba-tiba ponsel Bramasto berdering. Bukan telpone tapi sebuah pesan singkta, dari Arum.
"Mas Bram, tolong saya, ibu berencana mau mengajak Arum keluar negri."

Bersambung #16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER