Cerita bersambung
Bramasto memegangi ponselnya dengan tangan gemetar. Tampak geram membacanya. Ia kemudian mengulurkan ponsel itu kepada Aryo.
"Coba pak Aryo baca ini."
Aryo menerima dan membacanya. Wajahnya merah padam menahan amarah.
"Apa-apaan ini? Saya akan laporkan pada polisi," kata Aryo geram.
"Sebentar pak, lebih baik kita berfikir jernih. "
"Ini sudah keterlaluan. Dia seperti menculik isteri saya. Biar saya telephone Arum."
"Jangan sekarang pak, Ini masih sore.
Kalau bu Suryo mendengarnya kita justru akan gagal berbicara dengan bu Arum."
Aryo menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Tangannya mengepal menahan amarah.
"Saya akan kesana, tolong pak Bram kasih alamatnya."
"Pak Aryo, sabar dulu."
Bramasto menulis pesan singkat membalas pesan Arum.
"Bu Arum, kalau waktu mengijinkan, bisa telephone saya ya."
Pesan itu terkirim, lalu ada balasan singkat.
"Belum sekarang."
Lalu ponsel itu dimatikan. Bram tau bahwa pasti karena ada bu Suryo mendekati Arum. Dan itu memang benar.
"Pak Aryo sabar ya, bagaimanapun bu Suryolah yang telah menolong bu Arum ketika dia dalam keadaan sedih, bimbang dan bahkan sakit. Walau kesal kita juga harus mengingat kebaikannya. Barangkali yang harus kita lakukan hanyalah mengingatkan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak benar. "
"Bukankah pak Bram sudah mengatakan apa yang terjadi sebenarnya? Dan dia tak mau mendengar juga?"
"Benar, saya sedang memikirkan cara untuk menyadarkan bu Suryo. Kalau dia sadar, pasti semuanya bisa dibicarakan dengan baik.
***
Arum menghapus semua pesan ketika dilihatnya bu Suryo mendekat.
"Mau menelpon siapa Rum?"
"Ini bu.. mau menelpon... ibu saya.. dari tadi tidak bisa nyambung.."
"Mungkin sedang tidak aktif."
"Mungkin bu.. nanti akan saya coba lagi. Beruntung mas Bram sudah mengirimi saya pulsa."
"Iya, dia memang sangat baik.Itu sebabnya saya selalu bilang bahwa kamu harus memikirkan tawaran ibu tentang nak Bram."
"Belum saya pikirkan bu."
"Ajakan ibu untuk kita pergi keluar negeri itu serius lho Rum, besok saya akan suruh Pono untuk mengurus semuanya."
"Mengapa harus keluar negeri bu?"
"Kamu kan habis sakit, harus banyak istirahat, harus lebih tenang, harus banyak bersenang-senang, ya kan? Dengan begitu kamu bisa segera pulih."
Kata-kata yang penuh berisi perhatian seakan sangat menyayanginya, bukan membuatnya bahagia tapi membuatnya teriris sedih. Bu Suryo seperti sedang menjauhkannya dari suaminya. Tidak, Arum harus berjuang untuk bisa kembali. Tapi rasa sungkan menolak menyelubungi perasaannya.
"Tapi saya sudah merasa tenang, saya kira berlebihan kalau harus istirahat diluar negri," kata Arum pelan, sedikit takut kalau melukai hati bu Suryo.
"Arum, kamu kan belum pernah keluar negri. Nggak usah jauh-jauh lah, ke Singgapur dulu, atau ke Jepang? Ini musim sakura berkembang. Kalau musim semi semuanya tampak lebih indah. Bagaimana?"
Arum terdiam. Tak ada yang menarik hatinya, kalau itu benar-benar ditawarkan. Bukankah tawaran bisa ditolak?
"Ibu, bukankah proses perceraian saya sedang berlangsung?"
"Mengapa kamu memikirkan itu, semuanya sudah ibu serahkan ke pengacara.. Kita tau beres lah. Intinya kan surat cerai akan sampai ditangan kamu."
Arum teriris mendengarnya. Ia hampir menjerit karena kesal yang tak tersalurkan.
Bagaimana harus menentang orang yang bahkan seakan membuatnya berhutang nyawa?
"Tapi apakah dengan itu aku harus pasrah? Tidak, aku harus menolakny,". Jerit batin Arum.
"Arum, tak ada yang harus dikhawatirkan."
"Tapi bu, ijinkan saya ... bertemu mas Aryo terlebih dulu."
"Untuk apa Arum? Memeluknya yang terakhir kali? Apa itu ada gunanya?"
Sekarang Arum ingin menangis. Ia merasa telah menjadi seorang tawanan yang tak berhak keluar dari jeruji besi yang dibuat oleh penolongnya.
Tangis itu tumpah ketika dimalam hari hanya berdua saja bersama yu Siti dikamarnya. Teriris hati yu Siti mendengar tangis Arum yang disembunyikan dibalik bantalnya.
"Nak Arum, sudahlah, jangan menangis lagi. Lebih baik kita memikirkan jalan terbaik untuk bisa keluar dari masalah ini," kata yu Siti sambil mengelus kepala Arum, lembut.
"Saya harus bagaimana bu, saya tidak berani menentang kata-kata bu Suryo. Saya sungkan bu, saya kan seperti berhutang nyawa sama ibu."
"Itulah, rasa berhutang itu memang bisa menjerat kita untuk tidak berani melangkah. Tapi nak, ingatlah bahwa ini hidupnya nak Arum. Harus nak Arum sendiri yang menentukannya."
"Saya harus mengatakan apa?"
"Bilang ingin ketemu pak Aryo."
"Saya sudah bilang bu, ibu malah mengejek saya, katanya apa saya ingin memberikan pelukan terakhir? Sakit hati saya bu." kata Arum kembali terisak.
"Sabar ya nak, coba pelan-pelan nanti yu Siti akan mencoba bicara."
"Jangan bu, nanti ibu malah mendapat marah. Saya akan mengatakannya sendiri."
"Bagus nak, lebih baik memang begitu. Nak Arum harus berani menentang. Apalagi nak Arum mau diajak keluar negri segala. Saya kira ibu cuma ingin menjauhkan nak Arum dari pak Aryo."
"Oh iya bu, sudah malam begitu, tadi saya janji mau menelpone mas Bram."
"Mungkin sudah tidur, tapi ada baiknya nak Arum mencoba. Apalagi kalau masalahnya penting."
"Tolong dikunci pintunya bu, takutnya ibu tiba-tiba masuk."
"Sudah, sudah saya kunci begitu masuk kekamar."
"Terimakasih bu."
Arum memutar nomor dokter Bram. Agak lama tak ada jawaban. Arum mematikannya.
"Aduh, pasti sudah tidur bu, sungkan Arum."
"Iya nak, habisnya ini sudah malam."
Tapi tiba-tiba ponsel Arum bergetar. Dia memang men silent bunyi panggilan di ponselnya, khawatir bu Suryo mendengarnya. Dari dokter Bramasto, Arum segera mengangkatnya.
"Hallo, ma'af saya mengganggu," kata Arum pelan.
"Tidak apa-apa bu Arum, saya sedang menunggu telephone dari bu Arum." kata Bram dari seberang sana.
"Saya dikamar sama bu Siti, ibu mungkin sudah tidur. Ma'af baru bisa menghubungi. Apa yang ingin mas Bram katakan?"
"Pak Aryo masih ada disini."
"Masih disini? Selarut ini?"
"Tadi pamit sebentar untuk mengantarkan bu Ratih, lalu kembali lagi kemari. "
"Siapa bu Ratih ?"
"Bu Ratih itu ibu gurunya Angga. "
"Oh... "
"Setiap hari bu Ratih melayani Angga, karena Angga merasa dia adalah ibunya."
"Oh... bagaimana bisa begitu?"
"Saya belum sempat cerita, bu Ratih itu wajahnya persis dengan bu Arum. Itu sebabnya Angga menganggapnya ibu."
"Masa?"
"Saya hampir keliru .. baru tadi ketemu. Tapi tidak sempat mengatakan pada bu Arum karena terburu waktu."
"Oh.. ya ampuun... persis saya sampai Angga menganggapnya ibu? Itukah sebabnya dia mengatakan 'mengapa ibuku ada dua' waktu itu?"
"Benar, ini pak Aryo, silahkan bicara. Beliau kemari sampai malam karena saya yang memintanya. Bukankah bu Arum janji mau menelpone?"
"Arum ?" sapa Aryo dari seberang.
"Mas Aryo... mas Aryo...," belum-belum Arum sudah terisak.
"Arum, kami merindukan kamu. Mengapa kamu meminta cerai dari aku? Setahun aku mencarimu dan hampir tertutup kemungkinan untuk bertemu, ketika tiba-tiba saja kamu menggugat cerai."
"Ma'af mas, aku mengira kamu menikahi Rini."
"Ya sudah, aku sudah tau semuanya, dan bukankah pak Bram juga sudah menceritakan semuanya?"
"Sekarang aku bingung. Harus bagaimana aku mas."
"Kamu harus berani menentangnya Arum, katakan bahwa kamu mau kembali bersama aku."
"Aku berhutang nyawa mas."
"Apa karena itu kamu harus menuruti semua keinginannya?"
Tiba-tiba terdengar ketukan dipintu.
"Arum.. Arum.. !!
Arum terkejut, lalu mematikan ponselnya, dan disembunyikannya dibawah bantal.
"Arum.. sudah malam, kamu bicara sama siapa?" suara bu Suryo dari balik pintu.
"Bicara sama saya bu," yu Siti berteriak.
"Sudah malam mengapa belum tidur?"
"Iya bu, nak Arum banyak bertanya tentang.. tentang bumbu-bumbu masakan," jawab yu Siti sekenanya.
"Ya sudah, tidurlah, ini sudah malam."
Terdengar langkah menjauh, yu Siti dan Arum merasa lega. Tapi Arum tidak berani lagi menelpon. Rupanya tadi karena emosi lalu Arum bicara agak keras, sehingga bu Suryo dari kamar sebelah mendengarnya. Namun ada kekuatan yang kemudian merambati hatinya. Bisa berbicara dengan suaminya, yang ternyata masih mencintainya. Arum bertanya kepada hatinya, masihkah dia mencintai Aryo? Jawabnya adalah masih. Cinta tersisa yang dikaisnya dari dasar hati ternyata masih utuh, gemerlap bagai mutiara. Aduhai cinta. Padahal tadi Arum ingin menanyakan tentang Ratih. Kalau dia mirip dirinya, masa Aryo tak tertarik padanya? Nah, cinta selalu menjinjing rasa cemburu bukan?
***
Pagi itu wajah Arum tampak lebih cerah. Minum secangkir teh hangat didapur bersama yu Siti, sangat terasa nikmat. Yu Siti menyajikan jagung rebus sisa kemarin yang masih disimpannya di kulkas.
Arum memungutnya, mengigit biji-biji manis yang sangat dinikmatinya.
"Ini seperti main harmonika ya bu?" katanya sambil tertawa.
"Senang melihat nak Arum tertawa. "
"Iya bu, so'alnya jagungnya enak sekali."
"Karena hati nak Arum juga sudah terasa lebih enak bukan?"
"Iya bu, semalam sudah bicara sama mas Aryo. Saya rindu sekali bu, bagaimana caranya supaya bisa ketemu dia?"
"Wah, agak susah nak..bu Suryo pasti menolaknya."
"Ssssh..." Arum menutupkan jari telunjuknya ke bibirnya. Takut bu Suryo mendengarnya.
"Dia masih tidur," bisik yu Siti sambil tersenyum.
"Gimana caranya ketemu mas Aryo?" tanya Arum masih dengan berbisik.
"Minta pergi kerumah ibu, ketemuan disana.."jawab bu Siti masih dengan berbisik.
"Haaa... benaaar... " yang ini Arum agak berteriak.
"Sssh..." yu Siti gantian menutupkan jari telunjuknya dibibir.
Dan benar, teriakan itu membangunkan bu Suryo. Dengan rambut masih awut-awutan bu Suryo memasuki dapur.
"Ada apa ini? Arum sampai teriak-teriak."
"Ah, ma'af membangunkan ibu," kata Arum masih dengan memegangi jagungnya.
"Nggak apa-apa, mengapa tadi berteriak?"
"Iya, saya bilang jagungnya enak, manis.."
"Hm, namanya juga jagung manis, ya pasti manis lah.." kata bu Suryo sambil membalikkan badan, menuju kamar mandi.
***
Pagi itu juga Aryo tampak gembira. Walau pembiracaan tak tuntas, tapi ada seberkas harap yang akan memenuhi impiannya. Masih ada cinta dihati Arum.
Dengan senandung kecil ia keluar dari kamarnya, sudah dengan pakaian rapi.
Angga yang sudah selesai sarapan memasang tas sekolah dipundaknya, dibantu bu Ratih.
"Bapak, bolehkah setelah pulang nanti Angga bermain bersama bu Ratih?"
"Oh, mau bermain kemana?"
"Jalan jalan saja, beli es krim."
"Kok nggak nungguin bapak pulang saja."
"Bapak kelamaan sih.. pulang sore."
"Iya sih, bapak lagi mau ketemu ibu peri," jawab Aryo sambil tersenyum.
Angga mendekati ayahnya, memegangi tangannya dan mendongak menatap ayahnya.
"Bapak mau ketemu ibu peri?"
"Iya, memangnya cuma kamu yang punya ibu peri?"
"Apa ibu peri punya bapak juga cantik seperti ibu?"
"Iya lah, dimana-mana yang namanya ibu peri itu pasti cantik, iya kan bu Ratih?"
Bu Ratih mengangguk sambil tersenyum. Direngkuhnya Angga dalam pelukannya. Pembicaraan tentang ibu peri oleh Arya seperti menyiratkan bahwa dia akan segera berpisah dengan si ganteng kecil kesayangannya.
"Sudah selesai ya urusannya?" Tanya Ratih lirih.
"Baru limapuluh persen."
"Kok.."
Baru bisa bicara sebentar di telephone, belum tuntas."
"Lho..
"Ibunya keburu datang."
"Aduhh.."
"Ya lah, sabar dulu, aku sedang berfikir bagaimana caranya supaya bisa ketemu dan bicara lebih lebar.
Ponsel Aryo berdering.
"Sebentar, dari pengacara saya." lalu Aryo membuka ponselnya.
"Hallo pak, bagaimana? Apa? Tetap menuntut cerai? Katakan sama dia, saya juga tetap tak akan menceraikan. Itu saja. Nggak akan, . bapak tau bagaimana caranya. Ya.. begitu saja. Terimakasih banyak pak."
"Bapaak, ayo kita berangkat," teriak Angga.
"Ya baiklah." kata Aryo sambil berjalan kedepan.
"Itu dari pengacara saya, besok sidang akan digelar, kata pengacaranya Arum, atau tepatnya pengacara bu Suryo, bilang akan tetap minta cerai. Tapi saya bilang tetap tak akan menceraikan dia."
"Bagus pak. Saya dukung bapak."
"Bapaaaaak.." teriak Angga yang sudah berada didepan mobil. Dilihatnya bu Nastiti membantu membuka pintu mobil dan Angga melompat kedalamnya.
Aryo memberikan beberapa lembar ratusan ribu kepada Ratih.
"Bu Ratih, ini buat naik taksi, dan buat beli sesuatu, barangkali nanti Angga memintanya."
"Banyak sekali."
"Nggak apa-apa, Angga kan sukanya minta yang aneh-aneh."
Ratih mengangguk, memasukkan uang kedalam dompetnya dan masuk kedalam mobil.
***
"Ibu, hari ini saya mau kerumah ibu. Boleh kan?" tanya Arum yang sudah berpakaian rapi.
"Boleh saja, mau saya antar?"
"Jangan bu, saya harus cerita-cerita dulu sama ibu, suatu hari nanti pasti ibu akan saya kenalkan dengan ibu saya."
"Yu Siti, panggil Pono, suruh mengantar Arum kerumah ibunya."
Tak perlu diulang dua kali yu Siti sudah bergegas keluar menemui Pono. Banyak harapan dalam hatinya ketika nanti Arum menemui ibunya. Semoga sejoli yang masih saling mencinta itu bisa bersatu kembali.
"Hati-hati ya, ini uang, kalau mau beli oleh-oleh buat ibu."
"Saya masih punya bu, ibu kan sering memberi uang saku untuk Arum."
"Nggak apa-apa, bawa saja, barangkali kurang. Beli oleh-oleh yang pantas, makanan yang enak, supaya ibu kamu mengerti bahwa kamu hidup tidak kekurangan."
Arum mengangguk sambil menerima uang pemberian bu Suryo.
***
Angga ternyata tidak hanya minta beli es krim, ia menarik tangan Ratih untuk masuk kesebuah mal. Hm, untung pak Aryo memberi uang banyak, kalau tidak, lalu Angga minta yang mahal-mahal, bisa repot dia.
"Ibu, minum es krimnya nanti didalam situ saja, ayo lihat-lihat mainan dulu," kata Angga sambil menarik-narik tangan Ratih.
Ratih terpaksa mengikutinya, Karena setiap kali ada maunya, pasti dia berlarian kesana kemari mencari apa yang diinginkannya.
Tiba-tiba seseorang menangkap tubuh kecil itu dan menggendongnya.
"Rini ?" teriak Angga.
Tak pernah ada rasa benci dihati Angga terhadap Rini karena ia tak memiliki alasannya. Gembira sekali digendong Rini.
"Rini kemana saja?"
"Rini sekarang jauh, kangen sama Angga. Mana bapak?"
"Bapak nggak ikut." jawab Angga sambil mempermainkan rambut Rini.
Tiba-tiba Ratih mendekat. Wajahnya muram, dan meminta Angga untuk turun.
"Angga, mau beli apa, ayo kita cari," kata Ratih sambil matanya menatap tajam Rini.
Tapi Rini tak bergeming. Ia tau itu bukan Arum, dan dia berani menghardiknya.
"Memangnya ibu ini siapa? Paling-paling kan cuma perawat penjaganya Angga? Ibu tak berhak melarang saya .Dia momongan saya." katanya kethus sambil membelalakkan matanya.
Ratih sangat marah. Perempuan itu benar-benar kurangajar.
"Kamu tidak berhak membenci saya, karena kamu bukan bu Arum."
"Saya bu Arum!! " suara keras itu seperti membentak, dan membuat Rini surut beberapa langkah.
==========
Mata licik itu menyipit, memandangi wajah dua wanita dihadapannya yang nyaris tak ada bedanya. Tapi yang bersama Angga, Rini yakit itu bukan Arum, karena Arum berada ditempat lain. Makanya Rini berani berkata kasar dan mengejeknya. Namun ia surut ketika seorang lagi datang dan menghardiknya.
Ratih terpaku seperti melihat bayangan dirinya di cermin. Angga menatap heran tanpa ber-kata-kata. Ia menempel dipinggang Ratih.
"Mau apa kamu? Haa? Katakan kamu mau apa?"
"Mm... ma'af, tapi ingat, saya kan.. isterinya pak.. Aryo?" kata Rini yang masih ingat bahwa Arum mengatakan bahwa dirinya telah dinikahi Aryo. Tapi sambil mendekat dan menuding kearah wajahnya, Arum menghardiknya.
Apa? Kamu isterinya pak Aryo? Kamu mimpi bukan? Kamu yang tergila-gila pada suamiku, lalu kamu mkenggodanya, sekarang kamu ingin mengatakan bahwa kamu sudah jadi isterinya? Mana sudi suamiku punya isteri macam kamu. Perempuan murahan !!"
"Tt..tapi...kan.. bu Arum...yang..sudah tau bahwa.."
"Pergi dari sini atau aku menyeret kamu keluar!!"
Rini benar-benar pucat, ia mundur lalu membalikkan tubuhnya.
"Jangan sekali lagi mendekati keluargaku !!" teriak Arum.
Ratih masih terpana melihat kejadian itu. Ia sadar ketika Arum menatapnya lembut, sambil tersenyum.
Dan tiba-tiba juga Angga berteriak.
"Ibu peri ???"
Arum merengkuh Angga dan mendekapnya erat didadanya. Air matanya berlinang. Dengan gemas diciuminya Angga.
"Ibu peri sudah datang lagi," kata Angga.
Beberapa sa'at lamanya Arum baru melepaskan anaknya. Kedua wanita kembar itu berpandangan. Apakah saya kembar? Pikir kedua wanita itu. Tapi tak seorangpun merasa kembar karena memang mereka bukan kembar.
"Bu Arum?" akhirnya Ratih mengulurkan tangannya.
"Ini bu Ratih bukan?"
Ratih tidak heran. Aryo sudah bertemu Arum di telephone, pasti sudah mengatakan siapa dirinya.
"Bukankah itu ibu peri bu?"
"Ibu peri?" Arum menatap Ratih dengan lucu, tapi Ratih mengerjapkan sebelah matanya. Arum tau ada yang disembunyikannya
"Ayo kita bicara sambil makan," kata Arum sambil menarik tangan Ratih dan juga menggandeng Angga dengan sebelah tangannya lagi.
"Ibu .. benar kata ibu, kalau aku nggak nakal, ibu peri akan datang lagi," celoteh Angga sambil memandangi Ratih.
Arum menatap Ratih, lalu sekali lagi Ratih mengerjapkan sebelah matanya.
Apa sih, Arum tidak mengerti, Tapi kemudian keduanya tersenyum lucu. Pertemuan itu sangat membahagiakan. Arum tak menyangka bisa ketemu Angga. Ratih tak menyangka bisa bertemu Arum.
Mereka sudah duduk disebuah meja dirumah makan yang ada di mal itu. Arum memesan makan dan minum, dan Angga minta es krim dan nasi ayam.
Sebelum pesanan datang, Arum menelpone Pono.
"Pono, sabar ya, saya lagi pesen makanan dan lagi dimasak, agak lama jadinya."
"Ibu bersama sopir?"
"Sopirnya bu Suryo. Sebenarnya dia akan mengantarkan saya kerumah ibu, tapi saya harus membeli oleh=oleh dulu. Nah, ini malah ketemu anak ganteng."
"Apa ibu peri doyan makanan manusia?"
"Ratih menutup mulutnya. Ia harus mengatakan sesuatu pada Arum, tapi jangan sampai Angga mendengarnya. Lalu dibukanya tasnya, ada buku catatan kecil yang kemudian diambilnya. Ia menuliskan sesuatu. Tentang mengapa Angga menganggapnya ibu peri. Singkat tapi semoga Arum bisa mengeri.
"Ibu peri itu, kata ibu makanannya bunga," lanjut Angga sambil tak henti-hentinya menatap ibu peri.
"Enakkah rasanya bunga?" lanjut Angga.
"Oh, iya,enak, tapi sekarang lagi pengin makanan seperti makanan manusia," jawab Arum yang tanggap, bahwa pastinya dirinya dianggap ibu peri, walau Ratih belum menceritakannya.
"Makanan manusia itu enak, ibu peri. Angga suka telur ceplok, ayam goreng, lalu buah-buahan juga suka. Kata ibu, kalau suka makan buah, kita akan sehat."
Arum mengangguk angguk. Dia senang Ratih mengajarkan yang baik-baik pada anaknya. Sementara itu Ratih sudah selesai menulis, lalu disodorkannya pada Arum.
"ketika bu Arum datang ke sekolah, Angga bingung mengapa ibunya ada dua. Lalu saya bilang bahwa yang datang adalah ibu peri yang mirip dengan ibunya, karena dia anak baik."
Aaah.. Arum tersenyum, gadis ini sungguh pintar.
"Apakah mas Aryo tidak pernah tertarik padanya? Dengan wajah yang mirip diriku pula?" Batin Arum. Tuh kan, walau sedikit ada juga rasa cemburu dihatinya.
Makanan yang dipesan telah datang, ketika Angga asyik makan, dengan berbisik-bisik Ratih menceritakan bagaimana ketemu Angga yang kemudian menganggapnya sebagai ibunya karena kemiripan wajah. Dia juga bilang pernah ketemu Aryo yang sambil memohon mohon menganggapnya Arum. Itu sebelum ketemu Angga.
"Jadi selama ini bu Ratih selalu datang kerumah pagi hari dan pulang ketika Angga sudah tidur di malam harinya?"
"Iya benar."
"Angga pasti bertanya-tanya karena ibunya tidak selalu tinggal dirumah."
"Saya bilang harus bekerja dan tidak bisa diam dirumah.
Arum mengangguk senang. Lega rasanya anak semata wayangnya tidak merasa kehilangan ibu.
"Apa hari ini bu Arum akan pulang kerumah?"
"Tidak, belum dulu, saya akan kerumah ibu."
"Saya bisa menelpone pak Aryo supaya datang kemari."
"Tidak, saya akan menelponnya nanti dari rumah ibu. Saya tidak bisa lama karena takut ibu curiga."
Mereka menghabiskan makan dan minumnya, lalu berpisah. Tapi sebelumnya Arum memesan sekotak es krim untuk diberikan kepada Angga.
"Belum sa'atnya kami bersatu, karena saya harus membuat bu Suryo mengerti," bisik Arum ketika mereka berpisah.
"Ibu peri akan datang lagi?" tanya Angga.
"Iya sayang, ibu peri pasti akan datang lagi. Sini, peluk ibu peri dulu."
"Bilang terimakasih pada ibu peri karena sudah membelikan es krim," kata Ratih kepada Angga.
"Ibu peri, terimakasih ya."
Arum memeluk Angga erat-erat. Rasa haru membuatnya tak bisa menyembunyikan air matanya.
"Mengapa ibu peri selalu menangis ketika memeluk Angga?' tanya Angga dalam perjalanan pulang.
"Itu karena ibu peri sayang sama Angga, dan sedih karena harus meninggalkan Angga."
"Ibu peri akan mengunjungi anak-anak baik lainnya bukan?"
"Benar Angga. sekarang pulang ya, kan sudah dapat es krimnya tadi?"
"Iya, Angga segera ingin bilang sama eyang kalau ketemu ibu peri."
***
Bu Martono sangat gembira melihat anaknya datang. Ia memeluk dan lama sekali tak ingin melepaskannya. Setahun mereka berpisan dan Arum hanya mengirimkan pesan-pesan singkat serta tak bersedia dihubunginya.
"Mengapa kamu tidak mau ibu menghubungi kamu Rum? Kamu tau nggak, ibu sangat sedih karena kehilangan kamu. Hanya sja untunglah Aryo sering kemari bersama Angga, jadi ibu agak terhibur."
"Ma'af bu, Arum belum ingin ketemu ibu bukan karena tak sayang. Ada hal-hal yang Arum sembunyikan dari ibu. Tapi sekarang sa'atnya Arum akan kembali bu."
"Akan kembali? Jadi bukan sekarang?"
"Belum bu, ceritanya panjang. Ibu masak apa?" kata Arum sambil melangkah kebelakang. Rumah itu masih seperti dulu ketika dia pergi dari rumah Aryo. Walau hidup sendirian, rumahnya selalu tampak bersih dan rapi. Ada kamar yang dulu adalah kamarnya, masih tertata rapi, walau dia sudah menikah. Ia dan Angga sering tidur dirumah itu setiap kangen pada ibunya.
"Ibu tidak masak banyak, hanya sayur lodeh masakan kemarin, dan ikan bandeng preto yang ibu goreng. Ibu hidup sendiri, mau masak apa dan untuk siapa..kamu lapar?"
"Sebetulnya tidak, hanya ingin makan masakan ibu saja. Arum mau sayur lodehnya bu. Tapi biar Arum ambil sendiri ya."
Keduanya masuk kedalam ruang makan. Bu Martono mengambil sayur lodeh diatas panci yang masih berada diatas kompor, lalu diletakkannya dimeja. Bandeng goreng dikeluarkannya dari dalam lemari makan.
"Hanya ini, dana kerupuk."
"Hm, Arum suka. Tapi ini Arum membawa makanan untuk ibu. Nanti boleh ibu pakai untuk makan malam atau sama besok paginya."
"Apa ini?"
"Pokoknya lauk pauk. Ada rendang, ada daging terik, pokoknya semua kesukaan ibu."
"Ya sudah ayo dimakan sekarang sama-sama."
"Enggak bu, Arum ini saja. Sebentar ya bu, Arum mau menelpone mas Atyo dulu. Barangkali dia bisa datang kemari. Arum ingin bicara."
"Sebenarnya apa yang terjadi? Ibu bingung sama kalian.
"Sebentar bu, Arum akan menceritakan semuanya. Tapi Arum mengirimkan dulu pesan untuk mas Aryo."
Arum menuliskan pesan singkat untuk suaminya.
"Kamu tau nggak, ada gadis yang sangat mirip kamu, yang membuat Angga menganggapnya sebagai ibunya."
"Ibu pernah melihatnya?"
"Kalau Angga datang kemari bersama ayahnya, dia pasti ikut, karena Angga tak mau berpisah dengannya. Ibu heran, bagaimana bisa ada wajah persis seperti itu."
"Arum bukan anak kembar kan bu?"
"Bukan.. kamu anak ibu satu-satunya."
"Tadi Arum ketemu dia dan Angga, sedang jalan-jalan."
"Oh, bagus sekali,mengapa kamu tidak mengajaknya kemari?"
"Belum sa'atnya bu, ini nanti Arum juga harus segera kembali. Membutuhkan waktu untuk membuat bu Suryo mengerti."
"Siapa bu Suryo?"
"Wanita baik hati yang menolong Arum," kata Arum sambil menikmati nasi dan sayur lodeh masakan ibunya. Walau tadi sudah makan bersama Ratih, tapi rasa rindu akan masakan ibunya membuatnya tak merasa kenyang.
Arum menceritakan perjalanan hidupnya sejak pergi dari rumah suaminya, sampai kemudian dianggap anak oleh wanita kaya bernama Bu Suryo Winoto. Tapi ada kekecewaan dihati Arum karena bu Suryo menghalangi kembalinya disisi suaminya.
"Sebenarnya dia tak berhak menghalangi. Mengapa kamu diam saja?"
"Bukan diam bu, Arum masih sungkan. Arum merasa berhutang budi, bahkan berhutang nyawa karena dia telah menyelamatkan Arum dari kematian."
"Tapi ini adalah hidupmu Rum."
"Benar bu, Arum butuh waktu untuk memberinya pengertian. Sekarang ini bahkan dia akan mengajak Arum keluar negri."
"Waduh..kamu mau?"
"Tidak bu, Arum sedang mau bicara sama bu Suryo. Dia sangat menyayangi Arum bu, Arum tak sampai hati menolaknya. Tapi Arum akan mengatakannya pelan-pelan agar tidak melukainya."
"Sebetulnya apa maksudnya menghalangi kamu kembali sama suami kamu?"
"Bu Suryo menghendaki Arum menikah dengan seorang dokter. Dia yang mengoperasi Arum bu."
"Mengapa begitu memaksakan kehendak?"
"Menurut Arum, bu Suryo merasa bahwa dokter Bram itu baik, dan bu Suryo berharap Arum akan bahagia bersamanya."
Bu Martono menghela nafas. Tak disangkanya peristiwa menjadi sepelik ini. Seorang isteri yang ingin kembali kepada suaminya, terjerat budi baik seseorang. Aduhai..
***
"Mengapa Arum lama sekali ya yu?" keluh bu Suryo ketika menjelang sore Arum belum pulang juga.
"Namanya ketemu orang tua, mungkin tidak cukup hanya sebentar bu," jawab yu Siti sedikit kesal.
"Tapi aku butuh Pono yu."
"Kalau begitu ibu panggil Pono saja suruh pulang, nanti kalau nak Arum mau pulang Pono disuruh jemput."
"Oh, gitu ya?"
"Sebaiknya begitu bu.."
Bu Suryo memutar nomor ponsel Pono.
"Ya bu," suara Pono dari seberang sana..
"Kamu dimana?"
"Masih di ibunya bu Arum bu.. ini lagi makan."
"Wah, enak bener disuguhin makan segala No."
"Iya bu,habisnya dipaksa -paksa.. Ada apa bu?"
"Apa Arum masih lama?"
"Waduh .. saya nggak tau bu, akan saya tanyakan dulu."
"Kalau kamu sudah selesai makan, dan Arum masih akan lama, tolong pulang dulu No, aku butuh kamu."
"Baik bu, ini hampir selesai makannya. Saya tanyakan ke bu Arum."
Bu Suryo menutup ponselnya, duduk didepan meja makan, wajahnya muram.
"Pantesan lama, pakai disuguhin makan segala."
"Iya lah bu, kan sudah waktunya makan. Lagian dirumah orang tua sendiri mana mungkin sebentar. Mereka pasti juga kangen-kangenan, sudah setahun tidak ketemu."
"Iya sih. Kamu tau yu, aku tuh sudah merasa bahwa Arum itu anakku sendiri. Aku sangat menyayangi dia."
"Iya bu, yu Siti juga sangat sayang pada nak Arum. Dan saya yakin nak Arum juga menyayangi ibu, juga saya."
"Anak baik. Harusnya dia mendapatkan suami yang bisa membahagiakannya, bukan melukainya."
"Terkadang manusia bisa khilaf bu."
"Khilaf itu bisa keterusan."
"Saya kira tidak selalu begitu bu, orang bersalah bisa saja bertobat, kemudian bisa menjalani hidupnya dengan lebih baik."
"Bagaimana menurut pendapatmu yu, apakah salah kalau saya menjodohkan Arum dengan dokter Bramasto?"
"Menurut saya tidak salah, karena ibu memilihkan yang terbaik untuk nak Arum. Cuma saja, apakah nak Arum mau, dan apakah pak dokter juga mau? Sa'at ini nak Arum baru dalam proses perceraian yang hasilnya entah bagaimana. Lalu apakah pak dokter belum punya calon? Selama ini ibu belum pernah menanyakannya bukan?"
Bu Suryo termenung.
"Iya juga ya, apa nak Bram sudah punya calon? Seorang dokter sebaik itu, seganteng itu, mas belum punya calon ya yu?"
"Baiknya ibu tanyakan dulu, karena dengan belum menjawab tawaran ibu, mungkin dia sungkan mengatakannya."
"Ya, aku lupa itu. Aku hanya menilai perhatiannya yang besar sama Arum."
"Itu Pono kelihatannya sudah datang bu," kata yu Siti ketika mendengar suara mobil masuk ke halaman.
"Iya, baiklah, saya akan bertanya ke petugas imigrasi bagaimana mendapatkan paspor bagi Arum, kalau masih bersuami kan diminta surat nikahnya kalau tidak salah. Jadi harus menunggu statusnya apa ya. Setelah surat cerai itu keluar mungkin."
Waduh, masih nekat mau membawa keluar negeri? Keluh yu Siti dalam hati.
***
Aryo masih dikantornya, dia tidak segera pulang karena ada yang dicari-carinya.
"Dimana ponselku? Dari tadi tidak mempergunakannya," keluhn ya bingung.
Ia bertanya kepada sekretarisnya, tapi jawabannya adalah gelengan kepala.
"Tidak tau pak, saya juga tidak melihat bapak mempergunakannya sejak tadi.
Aryo menelpone ibunya yang ada dirumah dengan telephone kantor.
"Nggak ada Yo, mana.. dikamarmu, dimeja yang biasa kamu meletakkan ponselmu, kok nggak ada semua. Tadi pagi sepertinya kamu telpone-telpone sama siapa gitu."
"Iya bu, tapi Aryo cari di saku nggak ada, di tas kerja juga nggak ada."
"Jatuh di mobil barangkali.."
"Kok nak Aryo belum datang juga?" tanya bu Martono yang menemani Arum duduk di teras, sementara Pono sudah pulang duluan.
"Iya bu, pesannya kayaknya juga belum terbaca, apa mungkin dia masih sibuk di kantornya ya?"
"Mungkin Rum, kamu tungguin saja dulu, kamu tidak tergesa pengin kembali ke rumah bu Suryo kan?"
"Tunggu kalau sudah bertemu mas Aryo bu."
"Bagus, yang terbaik adalah bicara, agar semua segera selesai."
Arum mencoba menelpone, tapi tak ada jawaban.
Bersambung #17
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel