Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 08 Desember 2020

Setangkai Mawar Buat Ibu #17

Cerita bersambung

Namun beberapa kali Arum menelpone tetap tak ada jawaban.
"Apakah mas Aryo masih sibuk? Ingin rasanya Arum menelphone kekantor Aryo, tapi agak sungkan. Selama menjadi isterinya ia tak pernah mengganggu pekerjaan suaminya.
"Adakah telephone kantornya?" tanya bu Martono.
"Ada sih bu, tapi sungkan, kalau mas Aryo masih sibuk nanti mengganggu."
"Tapi kan ini penting, Saya kira tidak apa-apa kalau kamu mau menelpone."
"Gitu ya bu?"
"Iya, kalau memang lagi sibuk kan pasti dijawab sibuk, gitu."

Arum menelpone ke nomor kantor, tapi yang menjawab sekretarisnya.
"Ma'af bu, pak Aryo sudah pulang dari tadi."
"Sudah pulang?"
"Iya, so'alnya beliau kebingungan mencari ponselnya tadi."
"Oh, jadi... pak Aryo nggak bawa ponsel?"
"Saya lihat seharian pak Aryo tidak mempergunakan ponselnya, baru sore ini tadi kebingungan karena ternyata ponselnya nggak ada."
"Oh ya mbak, terimakasih banyak."
"Ini siapa kalau boleh tau, supaya saya besok bisa melapor pada pak Aryo."
"Saya Arum."
"Oh, bu Arum? Isterinya pak Aryo? Ma'af bu, saya tidak tau."
"Nggak apa-apa, terimakasih mbak."
Arum mengeluh.
"Bagaimana Rum?"
"Mas Aryo sudah pulang, tampaknya dia kehilangan ponselnya."
"Waduh, pantesan dia tidak membaca pesan kamu, tidak menerima panggilan telephone kamu."

Arum tampak gelisah.  Ia menyesal tadi tidak menerima tawaran Ratih untuk menelponenya, kalau tadi Ratih menelponnya pasti sudah sejak awal dia tau bahwa Aryo tidak bisa dihubungi, dan mungkin di kantor masih bisa. Sekarang Aryo sudah pulang, tapi bagaimana menghubunginya? Arum tak bisa berbuat lain kecuali menelpone dokter Bram. Barangkali dia bisa menolongnya.
"Apa aku pulang saja kerumah? Tapi tidak, banyak hal yang harus diselesaikannya, nanti Angga akan bingung dan bertanya-tanya," pikir Arum.
Lalu ditelponenya dr Bram.
"Ya bu Arum?"
"Mas Bram sudah dirumah?"
"Sudah dari tadi, bagaimana? Bu Arum dimana?"
"Saya dirumah ibu dari tadi siang."
"Ibu.....
"Ibu saya sendiri...bu Martono.. bukan bu Suryo.."
"Oh, berarti bisa ketemuan sama pak Aryo? Atau bu Arum mau pulang kerumah?"
"Tidak mas Bram, belum waktunya, saya tidak mau Angga bingung. Saya harus bicara pelan-pelan sama bu Suryo."
"Lalu bu Arum mau minta agar pak Aryo datang kemari?"
"Itulah, saya ingin menemuinya, berkali-kali saya hubunginya tidak bisa, setelah saya menelpone ke kantor dia sudah nggak ada dikantornya. Kata sekretarisnya hp nya hilang."
"Waduh...  tapi kalau tidak bisa ketemu sayang sekali, bu Arum sudah kesini. Tunggu sebentar, saya akan mencarinya."
"Mencari kemana mas, aduh.. jangan merepotkan lho."
"Tidak, tenang saja, yang penting hari ini bu Arum harus ketemu pak Aryo."
"Terimakasih banyak mas Bram."
"Bagaimana?" tanya bu Martono setelah telephone ditutup.
"Mas Bram mau mencari mas Aryo. Nggak enak sebenarnya, bikin repot. Tapi dia sangat bersungguh-sungguh membantu Arum."
"Dia sangat baik, itu sebabnya ibu angkatmu ingin dia menjadi isterinya."
Arum menghela nafas.
"Tidak mudah bagi dia untuk memilih isteri, apalagi dia tau kalau Arum masih punya suami."
***

Dokter Bram meluncur kearah rumah Aryo. Ketika bertemu Aryo sudah mengatakan dimana alamatnya. Kasihan Arum kalau sampai tidak bisa bertemu suaminya.
Didepan sebuah rumah yang dikatakan Aryo, Bramasto berhenti. Ia melihat seorang anak kecil berlarian dibawah pohon mangga, seorang gadis mengejarnya. Bram tau, dia adalah Ratih, dan Angga.

Bramasto turun dari mobil, perlahan memasuki halaman.
"Selamat sore.." sapa Bramasto.
  Ratih berhenti mengejar Angga. Melihat siapa yang datang, Ratih terkejut.
"Pak Bram?"
"Ya bu Ratih, terimakasih masih mengingat saya."
"Ah, sudah diantar sampai kerumah, masa saya bisa lupa? Silahkan masuk."
"Pak Aryo ada?"
"Oh, pak Aryo belum pulang. "
Angga mendekati Ratih. Menatap laki-laki asing didepannya.
"Angga, ayo kasih salam sama om dokter."
"Dokter? Siapa yang sakit?" tanya Angga lugu.
Ratih tertawa
"Tidak ada yang sakit, pak dokter ini temannya bapak, ayo kasih salam."
Angga mengulurkan tangannya dan disambut dokter Bram dengan senyum ramah. Senang rasanya ketika Bram mencium tangannya.
"Anak baik, anak ganteng," kata dokter Bram.
"Mau menunggu?"
"Tidak, saya sedang ter-buru-buru."
"Oh.."
"Jam berapa biasanya pak Aryo pulang?"
"Biasanya juga sudah pulang, atau terkadang juga agak malam. Sebaiknya pak Bram menelpon dulu."
"Itulah bu Ratih, saya tidak akan bisa menelpone nya karena ponselnya hilang."
"Oh iya, saya lupa, tadi ibu bilang pak Aryo sedang mencari ponselnya, tapi dirumah tidak ada."
"Aduh, lalu kemana dia? Sa'at ini bu Arum ada dirumah ibunya."
"Iya, tadi ketemu di toko."
"Tadi ketemu?"
"Iya, katanya mau menelpone pak Aryo ketika sudah dirumah bu Martono, saya pikir sudah ketemu."
"Belum   ketemu bu, karena tidak bisa berhubungan dengan adanya ponsel hilang itu."
"Bagaimana ya, kasihan bu Arum menunggu."
"Begini saja, saya pulang dulu, nanti kalau pak Aryo datang, tolong bilang kalau ditunggu bu Arum dirumah ibunya."
"Baiklah. Tidak duduk dulu?"
"Saya harus segera mengabari bu Arum."
"Baiklah, semoga bu Arum segera bisa ketemu pak Aryo."
Bram mengangguk dan berpamitan. Sekilas ditatapnya wajah cantik yang   sedikit berkeringat itu dengan debar yang aneh. Biar wajah berkeringat, tapi tidak hilang kecantikannya. Ia mengangguk tersipu ketika Ratih juga sedang menatapnya. Saling tatap yang hanya sekilas itu memercikkan nyala api yang tidak diketahui dari mana asalnya. Aduhai..
***

Aryo ternyata pergi kerumah Bramasto. Dilihatnya pagar tidak terkunci, tapi tak ada mobil dihalaman. Rumah juga tampak tertutup rapat. Tapi Aryo mencoba masuk dan mengetuk pintunya.
Tak ada jawaban, tentu saja karena Bram justru pergi kerumahnya. Aryo bingung, ia ingin menghubungi Arum dengan meminjam ponselnya Bramasto, karena ponselnya belum ketemu. Lamakah Bramasto pergi, atau belum pulang dari rumah sakit? Aryo masuk kedalam mobilnya, menunggu.
Tanpa ponsel seakan tak bisa melakukan apa-apa. Ia harus membelinya lagi, tapi mungkin nanti, atau besok, sedangkan ia tak hafal semua nomor kontak yang tercatat disana,.Hanya Bramasto yang bisa menolongnya..

Aryo menghela nafas kesal. Kesal kepada dirinya mengapa begitu ceroboh. Jatuh dimana ponselku? Itu terus yang dipikirkannya.
 Ketika Aryo menstarter mobilnya karena lelah menunggu, tiba-tiba dilihatnya mobil Bramasto. Aryo mematikan mesinnya. Bersamaan turun dari mobil masing-masing, keduanya merasa lega.
"Pak Aryo, saya dari rumah pak Aryo, katanya ponsel pak Aryo hilang?"
"Itulah sebabnya saya kemari, saya ingin menghubungi Arum. Hanya pak Bram yang bisa menolong saya.
"Pak Aryo, saya mencari pak Aryo karena saya tau ponsel pak Aryo hilang, sehingga tak bisa dihubungi. Bu Arum ada dirumah ibunya, pak Aryo ditunggu. disana."
"Benarkah?"
"Dari siang bu Arum menghubungi pak Aryo."
"Aduh, ma'af, apa dia masih disana?"
"Dia menunggu sampai pak Aryo datang."
"Aku kesana sekarang."
"Hati-hati pak Aryo, saya akan menelpon bu Arum dan mengatakan bahwa pak Aryo sedang menuju kesitu."
"Terimakasih pak Bram."
Tanpa basa basi Aryo masuk kemobilnya dan memacunya kerumah mertuanya.
Bram menggeleng-gelengkan kepalanya. Begitu ya kekuatan cinta?
"Semoga segera bisa bersatu kembali," bisik Bram penuh harap. Pelan ia memasukkan mobilnya ke halaman.
***

"Pono, ini jam berapa?" tanya bu Suryo ketika sudah selesai dengan urusannya.
"Jam setengah lima kurang bu."
"Bu Arum belum menghubungi kamu?"
"Belum bu, mungkin masih kerasan dirumah ibunya."
"Bagaimana kalau kita menyusulnya? Jangan-jangan dia mau menghubungi kamu, tapi sungkan karena tadi aku bilang memerlukan kamu."
"Mungkin juga bu."
"Ya sudah kita kesana saja No, sekalian ingin berkenalan sama ibunya Arum."
"Ya bu.."
"Bagaimana ibunya Arum? Apa dia baik?"
"Baik sekali bu, baik dan ramah."
"Syukurlah, ayo kita kesana."
"Baiklah bu, tapi isi bensin dulu ya bu."
"O iya, aku lupa, baiklah, isi bensin dulu saja. Atau nanti saja pulangnya No, masih cukup kan?"
"Ya masih bu, cuma agak mepet."
"Ya sudah nanti saja, sekalian mengajak Arum belanja nanti."
Pono menjalankan mobilnya kearah rumah bu Martono.
***

Arum gelisah menunggu, ia berjalan mondar mandir keluar masuk rumah, membuat bu Martono ikut gelisah.
"Duduklah dulu disini dan bersabar nduk, nanti juga dia pasti datang kemari."
"Iya bu, so'alnya Arum khawatir bu Suryo menunggu, lalu curiga saya menghubungi mas Aryo. Dia kan tidak suka bu."
"Kamu itu aneh, disini rumah ibumu, Aryo itu suami kamu, mengapa kamu seperti orang ketakutan begitu?"
"Arum hanya sungkan bu. Arum tau bu Suryo tidak suka sama mas Aryo."
"Dia tidak bisa begitu Rum, ini hidup kamu. Biar dia sudah menanam kebaikan yang tak terhingga sama kamu, tapi kamu berhak menentukan hidup kamu. Tidak harus selalu patuh lalu ketakutan seperti ini,"omel bu Martono kesal.
"Nanti setelah ketemu mas Aryo, Arum akan bicara sama bu Suryo."
Ponsel Arum berdering, Arum segera membukanya. Berdebar diangkatnya, telephone dari Bramasto.
"Ya mas."
"Bu Arum, saya sudah ketemu pak Aryo dirumah saya."
"Oh ya, dia mau kemari?"
"Iya, jangan pulang dulu, pak Aryo mau kesini."
"Saya menunggunya mas Bram, terimakasih banyak, saya selalu merepotkan."
"Tidak bu Arum, saya berharap semua nya segera menjadi baik.. Selamat bertemu pak Aryo ya."
"Sekali lagi terimakasih mas Bram."
Arum menutup ponselnya dengan wajah berseri.
"Siapa? Nak Aryo ?"
"Bukan bu, mas Bram, katanya mas Aryo sedang menuju kesini... Arum kebelakang dulu menyiapkan teh panas untuk mas Aryo ya bu."
Bu Martono mengangguk. Senang melihat anaknya begitu gembira menyambut suaminya. 
"Bu, gulanya dimana?" Teriak Arum dari arah dapur.
Bu Martono berdiri menyusul kebelakang.
"Kamu ini gimana, lama tidak kemari lalu lupa dimana ibu meletakkan gula," gerutu bu Martono, tapi sambil mengunggah senyuman.
"Iya bu, biasanya disini."
"Ini, didekat wadah teh kan, "
"Lho, tempat gulanya ganti, pantesan Arum tidak menemukannya."
Bu Martono membiarkan Arum sibuk melayani suaminya.  Ia kembali kearah depan, menunggu menantunya datang. Ada harapan yang hampir menjadi kenyataan, kembalinya sang anak ke pangkuan suaminya. Ini sangat membahagiakan.
***

"Lha ini apa, jatuh dibawah meja.." bu Nastiti berteriak dari dalam rumah. Ratih yang mendengarnya segera mendekat.
"Apa yang jatuh bu?"
"Ini, ponselnya Aryo."
"Waduh, bagaimana cara memberitau ya, supaya pak Aryo tidak bingung mencari?"
"Ya sudah biarkan saja, nanti kan dia pasti pulang. Mungkin juga sudah membeli yang baru."
"Sepertinya bu Arum sedang menunggu, tapi pak Aryo tidak tau ketika bu Arum mengirimkan pesan, lalu menelpon."
"Iya benar nak, ini.. ada beberapa pesan masuk, dan telephone yang tidak terjawab. Hm, Aryo kadang-kadang begitu. Suka ter buru-buru, dan sedikit teledor."
"Apakah disitu ada nomor kontaknya dokter Bram?"
"Nggak tau deh, coba nak Ratih lihat."
"Kalau ada, biar saya menelpon dokter Bram, barangkali saja pak Aryo ketemu dia."
"Coba deh."
"Ada bu, biar saya menelpone ya?"
"Iya nak, coba saja, kasihan Aryo kalau tidak bisa ketemu isterinya."
Ada nama Bramasto disitu, Ratih memutarnya.
"Hallo. .."
"Selamat sore, pak Bram?"
"Lho, ini siapa? Ini nomornya pak Aryo kan.?"
"Iya, saya Ratih."
"Haa.. bu Ratih," suara Bramasto mendadak terdengar sumringah renyah seperti kerupuk baru digoreng.
"Ini ponselnya pak Aryo sudah ketemu, apa pak Bram ketemu pak Aryo?"
"Oh iya, tadi pak Aryo kesini, sekarang sudah pergi."
"Aduh, menuju pulang?"
"Tidak, kerumah ibunya bu Arum."
"Oh, syukurlah, maksud saya mau memberi tau pak Aryo bahwa ponselnya sudah ketemu."
"Ketemu dimana bu?"
Ratih ingin segera menutup ponselnya tapi Bram seperti ingin bicara panjang. Ehem..
"Dikolong kursi ruang tengah."
"Siapa yang menemukannya?"
"Ibu.."
"Oh.. ibu.. mm.." aduh Bram mau ngomong apa lagi ya..
"Ya sudah pak Bram, nanti kalau bisa nyambung pak Aryo, pak Bram bilang saja kalau ponselnya sudah ketemu."
"Baik, nanti saya sampaikan bu.."
Bram masih ingin bicara tapi Ratih sudah menutup pembicaraan itu.
"Aduuh.. mengapa sih bu Ratih terburu-buru.." gumamnya pelan, tapi dia segera tertawa sendiri memikirkan perasaannya.
"Ada apa aku ini?"
Lalu dia menghubungi Arum lagi.
"Bu Arum, pak Aryo sudah sampai?"
"Belum mas, saya sedang menunggu."
"Baiklah, saya hanya ingin memberi tau, bahwa ponselnya pak Aryo sudah ketemu, nanti tolong disampaikan ya?"
"Oh, ketemu dimana mas?"
"Kata bu Ratih, terjatuh dibawah meja diruang tengah."
"Baiklah, terimakasih mas, nanti saya sampaikan. Oh itu tampaknya dia datang, ada mobil berhenti disana." kata Arum yang segera menutup pembicaraan itu.
Bergegas ia turun ke halaman, menunggu, tapi mobil itu tidak masuk. Ketika seseorang turun, Arum merasa kecewa. Bu Suryo melenggang masuk memasuki halaman.

==========

Arum tertegun. Seketika menghentikan langkahnya.. Orang yang diharapkan belum datang, yang tidak diharapkan malah nongol, menebar senyum manisnya, yang sama sekali tak enak untuk dinikmati. Arum tau bu Suryo akan segera mengajaknya pulang.
"Arum.." panggil bu Suryo sambil mendekat.
"Kok ibu sampai kemari?"
"Iya,  sekalian pulang, sekalian nyamperin kamu. Dan sekalian juga ingin kenalan sama ibu kamu."
"Oh, silahkan masuk bu. Silahkan masuk kedalam saja."

Bu Suryo mengikuti langkah Arum yang bergegas menuju rumah. Dalam hati terus bertanya, mengapa Aryo tidak segera datang.
"Silahkan duduk bu," kata Arum sambil masuk kedalam,,, setelah mempersilahkan bu Suryo duduk.
Bu Suryo mengamati rumah bu Martono. Rumah sederhana, jauh sekali bedanya dengan rumahnya yang mewah, yang dikamar tamunya penuh perabotan antik yang mahal harganya. Namun bu Suryo mengakui, perabotan sederhana yang terpajang ditata dengan apik oleh pemiliknya. Sofa kuna yang masih tampak utuh, almari berisi cangkir-cangkir dan gelas yang ditata manis. Ada foto perempuan cantik bersama seorang gadis kecil, yang pastinya Arum.

Tak lama Arum keluar, menghidangkan secawan teh, dan segelas yang lebih besar untuk diberikannya kepada Pono yang menunggu didepan.
"Silahkan diminum bu, hanya teh."
"Itu foto kamu sama ibu ya?" tanya bu Suryo sambil menunjuk kearah pigura ukuran 10 R yang tergantung didinding.
"Iya, itu Arum. Ketika Arum baru masuk SD. Masih culun ya bu."
"Kmu dari kecil sudah tampak cantik."
"Ah, ibu..." kata Arum sambil duduk dehadapan bu Suryo.
"Ibu membawa oleh-oleh untuk ibu kamu," kata bu Suryo sambil meletakkan bungkusan yang agak besar, dimeja didepannya."
"Ibu repot-repot, tadi saya sudah membelikan ibu macam-macam."
"Nggak apa-apa Rum, itu kan dari kamu, sekarang ini dari aku. Ibu mana?"
"Baru mandi bu, sebentar lagi akan keluar. Ibu dari mana?"
"Tadi dari kantor imigrasi , sudah tutup sih, tapi ibu ketemu kenalan yang juga pegawai disana. Menanyakan tentang pembuatan paspor untuk kamu."
"Oh, ibu kok sudah memikirkan paspor," kata Arum dengan wajah tak senang.
"Itu penting Rum, jadi atau tidak, atau kapanpun  mau berangkat, kalau sudah punya paspornya lebih gampang."
Arum menghela nafas berat, agak kesal yang sesungguhnya tak ingin diperlihatkannya.

"Kalau status kamu menikah, mereka minta salinan buku nikahnya. Cuma menurut ibu, menunggu kalau surat cerai itu sudah keluar." kata bu Suryo yang oleh Arum dirasakannya sangat mengiris perasaannya.
"Ya Tuhan," jerit Arum dalam hati. Ia memalingkan wajah untuk menutupi kekesalannya yang tak bisa ditahan, pura-pura menunggu ibunya.
"Ibu mana ya, lama benar."
"Biarkan saja,  kita tidak usah tergesa. Ibu minum tehnya ya?" kata bu Suryo yang langsung mengambil cawan berisi teh yang disuguhkan Arum.
Arum menoleh kearah jalan, berharap Aryo segera datang. Tak apa seandainya ketemu bu Surya  sekalian. Sesak dadanya memikirkan bagaimana nanti.. dan  bagaimana nanti... karena ada bu Suryo disini. Arum memantapkan hatinya. Barangkali sekaranglah sa'atnya memberi pengertian kepada bu Suryo bahwa dirinya masih mencintai suaminya.
Tiba-tiba dilihatnya sebuah taksi berhenti didepan pagar. Arum melongok keluar.
"Ada tamu? Sepertinya ada taksi berhenti," kata bu Suryo.
Arum berdiri, lalu melangkah keluar. Seseorang dilihatnya turun dari dalam taksi, Laki-laki tegap yang melangkah dengan mantap memasuki halaman. Dada Arum berdebar kencang. Laki-laki itu, adalah orang yang sangat ditunggunya. Ia menyunggingkan senyum, senyum yang masih menawan seperti dulu, yang membuatnya jatuh cinta ketika pertama kali melihatnya. Aryo mendekat, sambil mengembangkan kedua tangannya, lalu memeluknya erat.
"Arum, Arum... ma'afkanlah aku..."
"Mas Aryo, isak Arum didada Aryo."
"Seandainya aku harus bersujud kepadamu, aku akan melakukannya Rum, asalkan kamu mema'afkan aku," bisik Aryo masih dengan pelukan eratnya. Bertahun rindu dipendamnya, tak malu seandainya ada yang melihatnya. Beberapa sa'at mereka berpelukan. Arumpun berurai air mata.
"Aku yang harus minta ma'af mas, meninggalkan kamu, meninggalkan anak kita."
"Aku sudah tau semuanya."
Sesa'at terbuai dalam rindu yang sudah lama dipendamnya, Aryo tak memperhatikan bawa dua pasang mata memperhatikannya dari dalam rumah. Bu Suryo dan bu Martono yang sudah selesai mandi dan menemui tamunya.
Arum yang kemudian tersadar, mendorong tubuh Aryo pelan.
"Ada bu Suryo didalam," bisiknya.
Aryo mengusap air mata Arum dengan telapak tangannya.
"Kamu datang bersama dia? "
"Tidak, baru saja dia datang, menyusul aku. Mas Aryo kok lama sekali datangnya. Hampir sejam sejak mas Bram mengabari saya.
"Iya, mendadak banku kempes dijalan, aku tinggalkan saja, lalu aku naik taksi."
"Oh, pantesan."
Keduanya melangkah perlahan memasuki rumah. Bu Suryo menatap tak senang, sedang bu Martono berdiri, lalu Aryo mencium tangannya. Aryo juga menghampiri bu Suryo, memegang tangannya dan menciumnya. Bu Suryo memalingkan muka.
Arum sedih melihatnya.
"Duduk Aryo. Ini bu, ini suaminya Arum," kata bu Martono memperkenalkan.
"Iya, saya pernah melihatnya, waktu dia mencari Arum tapi tidak ketemu."
"Saya berterimakasih karena ibu telah membantu Arum, melindunginya dan menyayanginya," kata Aryo pelan sambil menatap bu Suryo.
"O, iya, saya ini kan kasihan melihat perempuan disakiti, dikhianati.." kata bu Suryo sinis.
"Saya minta ma'af, saya khilaf."
"Kalau saja sebuah kata ma'af bisa menghapus sebuah dosa, maka tak akan ada orang yang sengsara." kata bu Suryo masih dengan nada sinis.
Aryo terdiam. Arum yang keluar sambil membawa secangkir teh untuk suaminya, sempat mendengar kata-kata bu Suryo yang menyakitkan. Tampaknya susah meredakan kemarahan bu Suryo terhadap Aryo.
"Diminum mas, tehnya.."
"Ya, duduklah disini," kata Aryo sambil menunjuk kearah tempat duduk disampingnya. Arum menurutinya.
Aryo menyeruput tehnya dengan nikmat. Tampaknya kemarahan bu Suryo tak berpengaruh baginya.
"Sepertinya aku harus segera kembali. Bu Martono, kami kan masih tinggal didesa karena masih ada keperluan, jadi takut kemalaman, saya pamit dulu."
"Mengapa tergesa bu, belum banyak kita bercerita."
"Masih ada waktu lain yang lebih baik bu, saya minta ma'af, bolehkah Arum saya ajak serta sekarang?"
"Tapi bu..." kata Arum ragu dan takut-takut.
"Ini sudah malam, yu Siti pasti menunggu."
"Saya masih ingin bicara sama Arum bu."
"Arum, kamu mau ikut ibu, atau tetap akan berada disini?" kata bu Suryo ini seperti sebuah pisau tajam yang diacungkan kedadanya. Ada terbersit arti, bahwa perempuan baya itu memaksanya.
"Mas Aryo, intinya mas sudah tau, nanti aku akan segera menyelesaikannya." kata Arum sambil mencium tangan Aryo, dan meneteskan setetes air mata disana. Aryo mengelus kepala Arum lembut. Rupanya Arum ingin mengendapkan hati bu Suryo terlebih dulu.

Bu Suryo sudah berjalan kearah luar. Sekali lagi Aryo memeluknya erat.
"Aku akan kembali mas," bisik Arum.
Aryo dan bu Martono melepas kepergian bu Suryo dengan perasaan tak menentu.
"Arum merasa berhutang budi, tak bisa memaksa begitu saja. Semoga perlahan lahan Arum bisa mengendapkan hatinya."
Aryo mengangguk. Walau kecewa, ada sedikit lega yang membuncah karena Arum ternyata masih mencintainya. Rasa lega yang kemudian membuatnya bahagia.
"Sabar ya nak Aryo.." kata bu Martono sambil memeluk Aryo.
"Iya bu, mohon dido'akan agar semua baik-baik saja."
"Pasti ibu akan mendo'akan kalian nak."
***

Memasuki rumah kemudian melihat Angga menyambutnya, Aryo merengkuh dan mengangkat tubuh Angga tinggi-tinggi, membuat anak kecil itu berteriak-teriak kesenangan.
"Bapaaaak....  " teriak Angga kesenangan.
Angga terkekeh, Aryo menurunkannya setelah menciuminya bertubi-tubi.
"Dengar, coba tebak.. tadi bapak ketemu siapa..?"
"Mm.. ketemu pak dokter bukan? Itu temannya bapak tadi kemari."
"Benar, tapi ada lagi yang lebih menyenangkan."
"Apa bapak?"
"Tebak dulu, bapak ketemu siapa lagi?"
"Ibu peri ?"
"Benaaaar, dan karena benar.. Angga boleh dapat hadiah.."
"Hadiah apa bapak?"
"Hadiah peluuuk...." teriak Aryo sambil memeluk Angga kembali dan menciuminya tanpa henti.
  Ratih menyaksikan kegembiraan Aryo dengan rasa syukur. Berarti tadi sudah ketemu bu Arum, dan itu sebabnya pak Aryo sangat gembira, kata batin Ratih. Iapun ikut tersenyum bahagia.
"Biar saya tebak... ketemu kan?" kata Ratih ketika mendekat.
"Benar, tapi sayangnya ada bu Suryo disana, jadi belum leluasa berbicara."
"Lhoh, tadi bukannya dia pergi sendiri hanya bersama sopir?"
"Bu Suryo menyusulnya kesana. Kata-katanya sangat menyakitkan saya. Tapi saya tak perduli, bagi saya, yang penting adalah isteri saya bisa kembali."
"Mengapa tidak sekalian pulang?"
"Tidak, tadi karena sungkan dia ikut bu Suryo pulang. Biar saja, saya sudah menemukannya, dan tak lama lagi dia akan kembali."
"Syukurlah, saya ikut senang," lalu direngkuhnya Angga dengan segenap perasaannya.
"Apakah nanti akan bisa seperti ini?" bisiknya dalam hati, sambil mencium pipi Angga.
***

Bu Suryo diam disepanjang perjalanan pulang. Dia tak mengira Arum akan bertemu suaminya dirumah ibunya. Mungkin sudah kencan sebelumnya, masa sih kebetulan? Dan bu Suryo merasa dikhianati. Sudah tau dirinya benci sama Aryo, mengapa Arum justru ketemuan disana, berpelukan dengan mesra..
"Ibu..." Arum yang merasa bu Suryo sedang marah merangkul pundak bu Suryo, meletakkan kepalanya dibahu orang yang sudah sangat baik kepada dirinya.
"Kalau ibu diam saja, Arum sedih lho... "
Bu Suryo masih terdiam.
"Ibu tau, Arum sangat menyayangi ibu.." kata Arum sambil mempererat pelukannya.
Bu Suryo terdiam, tapi perlahan rasa haru merayapi hatinya. Ia tak pernah melahirkan seorang anak, tapi mendengar seseorang mengatakan sayang pada dirinya, tiba-tiba luluh perlahan segala kesal yang tadi melandanya. Luluh perlahan, sampai ketika masuk kedalam rumah desanya, lalu memasuki kamarnya.
Yu Siti yang menyambutnya tak jadi mengikutinya masuk, melihat Arum yang kemudian memeluknya.
"Ibu ada apa? Seperti marah, atau sakit?" tanya yu Siti pelan.
"Tidak apa-apa, ayo bu.. Arum minta teh panasnya , didapur saja, kata Arum sambil menarik tubuh yu Siti diajaknya kedapur. Sementara yu Siti membuat teh yang diminta, Arum membersihkan dirinya di kamar mandi. Ada senandung kecil terdengar dari sana. Senang yu Siti mendengarnya. Senandung itu masih terdengar, ketika Arum duduk dikursi didepan meja dapur, menunggu teh hangat dihidangkan.
"Tampaknya lagi senang nih," sapa yu Siti sambil meletakkan teh yang diminta.
Arum mengangguk, menyeruput teh perlahan, dengan nikmat.
Yu Siti ikut duduk didepannya. Menatap wajah cantik yang tampak berseri walau belum mandi dan pakaian juga belum berganti.
" Berita bagus? Jadi berangkat keluar negeri?" goda yu Siti.
Arum cemberut, memelototi yu Siti dengan tatapan lucu.
"Lhah, kan tadi ibu bilang mau nyari paspor buat nak Arum?"
"Nggak nyari, baru tanya-tanya. Siapa sih yang mau keluar negri?" Arum menghirup lagi tehnya, sampai habis. Enak sih.
"Mau ditambahin?"
"Nggak bu, sudah cukup."
"Ada berita apa? Seneng benar, jadi ketemu pak Aryo? Tapi kok pulangnya bisa barengan sama ibu?"
"Iya, ibu nyusul kerumah ibu saya, aduuh.. deg-degan aku bu.."pelan kata Arum.
"Kenapa deg-degan?"
Arum menutupkan jari telunjuk dibibir..
"Ketemu mas Aryo.." kata Arum berbisik.
"Oh, bagaimana ibu ?"
"Tampak kurang suka, lalu mengajak saya kembali kemari."
"Oh.. ya ampuun.. ibu kok gitu ya."
"Tapi saya senang, sudah ketemu mas Aryo, walau bicara sedikit tapi penuh makna. Kami selalu saling mencintai bu. Dan saya akan segera kembali."
"Syukurlah, yu Siti ikut senang. Tapi sedih kalau nak Arum nanti kembali kesana, yu Siti akan kehilangan..." kata bu Siti sendu.
"Tidak bu, bu Siti tetap akan menjadi ibu saya, yang akan selalu saya kunjungi setiap sa'at.
"Benarkah?"
Arum mengangguk lalu merangkul yu Siti erat.
"Anakku...." bisiknya lirih, seakan menemukan anaknya kembali.
"Mau mandi dulu ya bu, ceritanya nanti malam saja."
"Ya, mandi sana nak, biar seger. Yu Siti mau menyiapkan makan malam dulu."
***

Malam itu bu Suryo hampir tak keluar kamar. Ia hanya makan sedikit tanpa banyak bicara, lalu kembali masuk kedalam kamarnya.
Arum memasuki kamar bu Suryo setelah mengetuknya pelan. Bu Suryo terbaring dira njang, kedua matanya tertutup, tapi Arum yakin bu Suryo tidak sedang tidur. Ia mendekati ranjang, dan berbaring disisinya. Sedikit merapat karena bu Suryo berbaring agak kepinggir. Sebelah tangan Arum memeluk bu Suryo.
"Ibu, belum begitu malam, ibu sudah ingin tidur? Ibu ingin saya memijitin kaki ibu?"
Bu Suryo tidak menjawab. Arum bangkit, bersimpuh disisi sebelah .. lalu mulai memijit kakinya pelan, sambil sesekali melirik kearah wajah bu Suryo.
"Bu.. enak kah? Biasanya kalau dipijit begini, kantuk segera datang. Dulu waktu Arum sakit, ibu sering memijitnya, lembuuuut sekali, sampai Arum tertidur."
Mengoceh tak henti--henti tidak membuat Arum lelah. Ia harus bisa menundukkan hati bu Suryo. Harus bisa meluluhkan rasa bencinya kepada Aryo. Kalau bisa malam itu juga.
"Bu, taukah ibu.. baru sekali ini Arum menemukan kasih sayang begitu besar. Hanya dari ibu, walau ibu bukan wanita yang melahirkan Arum. Arum berhutang nyawa pada ibu. Kalau saja nyawa Arum bisa untuk menukar semua kebaikan ibu, Arum akan memberikannya."
Bu Suryo tiba-tiba membuka matanya. Menatap wajah cantik yang memijit kakinya sambil ter-kantuk-kantuk, sementara bibirnya terus bergumam seakan tak butuh jawaban.
"Itu benar bu, sungguh membebani perasaan berhutang itu. Arum rela seandainya itu yang bisa menebusnya."
Tangan bu Suryo bergerak, menangkap tangan Arum yang masih memijit kakinya, lalu menariknya kedalam pelukannya.
"Ibu..." bisik Arum lirih.
"Benarkah kamu menyayangi ibu.."
"Kalau ibu tidak percaya, belahlah dada Arum ini," kata Arum bercanda.
Bu Suryo mengelus kepala Arum, air matanya mengambang.
Tak mengira mendapat reaksi, Arum menjatuhkan kepalanya didada bu Suryo, sebelah tangan merangkulnya erat.
"Sesungguhnya ibu takut kehilangan kamu..." bisiknya lirih.
"Bagaimana ibu bisa kehilangan saya? Kalau ibu kehilangan saya, berarti saya juga kehilangan ibu. Kita saling memiliki, saling menyayangi, tak akan ada yang kehilangan bu.."
"Benarkah?"
Arum mengangguk-angguk, bu Suryo masih mengelus kepalanya.
"Ibu ingin yang terbaik untuk kamu. Ibu ingin kamu berada disisi laki-laki yang baik, yang bisa melindungi kamu, bukan yang menyakiti kamu."
"Ya bu, Arum tau."
"Itu sebabnya, ibu memilih dokter sebagai suami kamu nanti."
Aduuh, kok kembali kesitu lagi?

Bersambung #18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER