Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 17 Januari 2021

Saat Hati Bicara #26

Cerita Bersambung

Agus mendekati Dita perlahan, tak sampai hati ia mengatakannya.Ia kembali menelpon Endang untuk memastikan bawa perawat itu sudah berangkat.

"Dita, aku titip Sasa sebentar ya, aku akan mengurus kekantor tentang keberadaan Sasa disini. "
"Baiklah pak," jawab Dita sambil mengangguk.

Agus menyelesaikan segala sesuatunya, dan kembali kekamar Sasa sambil menunggu Endang. Begitu Endang datang, Agus segera mengajak Dita pergi.

"Papaaa, jangan pergi.." Sasa merengek lagi.
"Sasa.. sayang, papa hanya mengantarkan tante Dita, nanti papa akan kembali kemari, Sasa sama mbak dulu ya."


Tiba2 Laras datang dengan membawa boneka besar. Boneka Hallo Kitty yang dulu diberikan Agus untuk dirinya.

"Hallo Sasa, tante punya...,"

Sasa menerima boneka besar itu dengan wajah berseri, sementara Agus memandanginya tanpa berkedip.

"Ma'af, aku pinjamkan dulu buat Sasa," kata Laras, dan Agus mengangguk mengerti.
"Bagus sekali.. terimakasih tante."
"Kok kamu kembali lagi kemari?"
"Aku sudah ketemu dokter, dan aku sudah diijinkan pulang hari ini."
"Benarkah?"
"Ya, terimakasih mas sudah mengurus semuanya. Nanti aku ganti setelah pulang."
"Eiitt, aku tidak meminjamkan apapun, dengar dan camkan itu."
"Mas..."

Agus menarik tangan Laras agak menjauh dari Dita, membisikkan sesuatu, dan membuat Laras pucat.

"Ya ampuun.. Ya sudah mas, selesaikan dulu urusannya, aku akan bersama Sasa disini."
"Benarkah, apa kamu nggak pengin pulang dulu? Aku jadi menyusahkan."
"Jangan bilang begitu mas, maalah yang terjadi ini, ijinkan aku ikut memikulnya, dan jangan anggap aku orang asing. Sekarang pergilah bersama Dita."
"Aku diusir ?" tanya Dita sambil tersenyum, dia tak tau apa yang sedang menunggunya.
"Dita, ayo kita pergi dari sini, aku akan mengatakan sesuatu."
***

"Apa? Jadi dokter Santi melaporkan saya juga?"teriak Dita didalam mobil ketika Agus menceriterakan bahwa Dita juga harus diperiksa karena Santi membawa namanya.
"Dita, kamu harus tenang, kami tak akan membiarkan kamu dipenjara."
"Tapi dia membawa bawa saya, kalau dia dihukum, saya pasti juga dihukum, itu yang dia katakan pada saya," kata Dita setengah menangis.
"Dita, tenanglah, kamu tidak sendiri, Panji sedang mencari pengacara yang bagus untuk kamu."
"Jadi ini aku mau dibawa kekantor polisi juga?"
"Ya, tapi kami ada disana, aku, Panji, dan Maruti juga."
"Ya Tuhan... aku tidak tahu kalau akan begini jadinya," Dita terisak.
"Dita... Dita... kamu tidak akan sendiri... jangan sedih.. kamu tak akan apa2."
"Bukankah aku akan ditahan?"
"Nggak akan, sudahlah Dita, kamu harus percaya sama aku, diam dan jangan menangis. Dikantor polisi kamu hanya harus menceriterakan semuanya, dari Santi membuatmu pura2 sakit, sampai kemudian terbongkar semua kebohongannya."
***

Dita menangis ketika bertemu Maruti yang ternyata sudah menungguinya disana bersama Panji. Maruti menghiburnya, seperti apa yang dikatakan Agus.
Dan Dita memang menceriterakan semuanya ketika polisi bertanya, tapi Dita tidak ditahan. Dia hanya dianggap sebagai saksi yang diperlukan sa'at persidangan nanti. Ada sedikit rasa kasihan ketika dia melihat Santi menangis, dan menuding nuding dirinya sebagai penyebab terjadinya kebohongan itu.

"Kamu penyebabnya Dita, kamu penyebab semua ini," teriaknya.
Dita ingin menjawab, tapi Panji dan Maruti menariknya menjauh.
"Nggak ada gunanya, semua sudah dicatat, ayo kita pulang,"
***

Walau begitu dirumah tetap saja Dita murung. Dia selalu teringat ancaman Santi dulu, bahwa kalau Santi dipenjara maka diapun juga akan dipenjara.

"Dita, jangan sedih, sudahlah.. nanti kalau ibu melihat kamu sedih, ibu juga pasti akan sedih."
"Aku menyesal mbak, aku berdosa sama mbak Ruti, juga mas Panji, dan ibu... dosaku terlalu besar.. aku menyesal mbak.." Dita menangis dibahu Maruti.
"Sudah, jangan di ingat2 lagi, semua sudah berlalu.."
"Bagaimana kalau aku dipenjara mbak? Ibu pasti sedih.."
"Kamu tidak akan dipenjara, mas Panji sudah mencarikan kamu pengacara yang bagus. Itu juga sebabnya mengapa kamu tidak ditahan."
"Apa benar mbak?"
"Ya benar, masa mbak berbohong sama kamu., sekarang  ganti bajumu, mas Panji akan menjemput kita kerumah sakit, ibu sudah menunggu."
"Mengapa harus sama mas Panji, apa kita nggak bisa berangkat sendiri?"
"Dita, mas Panji sendiri yang mau menjemput kita, nggak enak kalau menolaknya. Cepat ganti bajumu, lihat mbak sudah rapi."
"Baiklah , dandan yang cantik ya, supaya mas Panji tepesona."

Dita yang sudah berjalan kedalam kamar berhenti mendengar kata kakaknya.
"Mengapa aku harus membuat dia terpesona?"
"Bukankah kamu suka?"
"Mbak jangan begitu, Dita nggak suka," kata Dita sambil cemberut, lalu masuk kedalam kamar.
Maruti menggeleng gelengkan kepalanya. Bagaimanapun kalau Dita suka, dia akan merelakannya, tanpa alasan sakit seperti dulu. Walau berat, walau sakit...

Tiba2 mobil sudah berhenti didepan pagar. Panji turun, dan berjalan dengan gagahnya. Begitulah kira2 yang terpikir oleh Maruti. Dengan dandanan sederhana, dengan t shirt yang membuat dada bidangnya tampak menonjol, bergetar hati Maruti melihatnya. Apakah dia milikku? Bukan, dia milik Dita, bisik hati kecilnya.

"Maruti, kok bengong? Aku juga nggak dipersilahkan masuk?" goda Panji.
Maruti tersenyum, mencoba menenangkan debur jantungnya.
"Silahkan masuk, Dita sudah menunggu," jawab Maruti.
Panji tak memperhatikan kata2 Maruti, ia memegang tangan Maruti dan menciumnya lembut.
"Mas..." tegur Maruti pelan.
"Kamu canti sekali..." bisik Panji.
Maruti menoleh kedalam dan berteriak :" Ditaaaa.. cepatlah, mas Panji sudah datang."
"Ssst.. biarkan saja dulu, aku ingin duduk disini, supaya bisa memandangi wajah cantikmu."
"Mas... nanti Dita mendengarnya.." bisik Maruti.
"Memangnya kenapa kalau Dita mendengarnya?"
"Mas, permintaanku masih berlaku."
"Alasannya? Alasan sakit itu sudah nggak ada," kata Panji sambil tak pernah melepaskan pandangannya pada Maruti.
"Tapi kalau dia suka.. aku takut mengecewakannya..,"
"Apa kamu nggak takut mengecewakan aku? Membuat aku sedih dan patah hati?"
Tiba2 Dita keluar sambil berbicara di ponselnya :" Baiklah, aku tunggu.. jangan lama2.. nggak lah.. siapa bilang mengganggu? Oke.. siapp.."
Pembicaraan itu selesai.

"mBak, ma'af, mbak sama mas Panji jalan dulu saja,"
"Apa? Mengapa begitu?" tanya Maruti heran.
"Ini, ada temanku mau datang kerumah, nggak enak kalau aku pergi sekarang."
"Siapa temanmu itu? Kita tungguin saja."
"Nggak, jangan mbak, nanti ibu kelamaan menunggu, nanti aku menyusul setelah temanku datang."
"Bagaimana ini mas?"
"Dita benar, nanti ibu kelamaan menunggu."
"Tuh, mas Panji aja tau. Sudah berangkat sana, nanti aku menyusul," kata Dita sambil menarik tangan kakaknya agar berdiri.

Akhirnya Maruti menurut, berangkat kerumah sakit bersama Panji. Maruti tak tau bahwa Dita tak ingin mengganggu kedekatan kakaknya dan Panji, yang dia tau bahwa mereka saling mencintai. Dita sadar, kelakuannya yang lalu sungguh buruk, dan menyusahkan banyak orang.Itulah sebabnya mengapa Dita berpura pura sedang ditilpun temannya. Padahal tak ada siapapun yang mau datang kerumah, agar banyak waktu bagi Maruti untuk berduaan dengan Panji.
***

Panji memasuki rumah sakit sambil menggandeng tangan Maruti. Bahkan ketika memasuki kamar ibunya, Panji masih memegangnya erat. Maruti tak berdaya melepaskannya karena Panji mencengkeramnya erat. Keringat dingin membasahi telapak tangan Maruti, tapi Panji tak perduli.

"Selamat sore ibu, apa kabarnya?" sapa Panji sambil mencium tangan bu Tarjo setelah melepskan genggamannya pada Maruti.

Bu Tarjo yang semula terkejut melihat keduanya bergandengan, mencoba tersenyum. Pada dasarnya dia menyukai lelaki tampan yang sangat santun ini. Tapi bu Tarjo masih bingung memikirkan kisah cinta diantara dua anak gadisnya.

"Selamat sore nak, mana Dita?"
"Dita sedang menunggu temannya, nanti akan menyusul." jawab Maruti.
"Oh, teman siapa?"
"Nggak tau bu, dia nggak menjawab ketika Ruti bertanya."
"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Panji memotong pembicaraan itu.
"Baik nak, ibu sudah kepengin pulang, bosan dirumah sakit berlama lama."
"Tapi kan ibu masih harus dirawat?"
"Cuma luka2 ini, gampang kok merawatnya."
"Besok kita bicara dulu sama dokternya ya.," kata Panji sambil menepuk nepuk tangan bu Tarjo.
"Iya bu, jangan tergesa gesa.."
"Bu, malam ini, saya datang kemari, karena ada yang ingin saya katakan pada ibu." kata Panji yang masih terus memegangi tangan bu Tarjo.
"Ada apa nak?"
"Pada suatu hari nanti, saya akan melakukannya dengan lebih resmi, tapi sekarang ini saya minta ijin pada ibu, bahwa saya ingin melamar Maruti."

Bu Tarjo terkejut. Menahan linangan air mata yang hampir meleleh membasahi pipinya.

==========

Panji masih memegangi tangan bu Tarjo. Panji juga melihat linangan air mata bu Tarjo, tapi Panji tidak tau, apa sebenarnya yang ada dibalik linangan air mata itu. Maruti yang terkejut, tiba2 menarik tangan Panji, diajaknya keluar dari ruangan itu.

"Maruti, apa aku salah?"
"Tunggu mas, mari kita bicara."

Maruti terus menarik tangan Panji, mencari tempat yang tak banyak lalu lalang orang disekitar rumah sakit itu, kemudian duduk disebuah bangku.

"Maruti, ada apa ini? Apa aku salah?" tanya Panji sambil memandangi wajah Maruti lekat2, penuh kasih sayang. Wajah cantik yang sangat dikaguminya itu tampak tegang. Bulu mata lentik, mata yang bening bagai sepasang bintang, hidung kecil mancung, dan bibir tipis yang kemerahan, aduhai, Panji ingin merengkuhnya dalam satu pelukan, yang tak akan pernah dilepaskannya. Tapi ketika tangannya bergerak ingin menyentuh pipinya, Maruti menghindar dengn mengundurkan kepalanya dan memegang tangan Panji.

"Maruti, apa aku salah?" pertanyaan itu kembali dilontarkannya. Dada Maruti berdebar kencang, ucapan bahwa Panji ingin melamarnya sudah lama sekali ditunggunya, tapi itu dulu, beberapa bulan yang lalu,
"Mas Panji...," katanya lembut, tak urung matanya berkaca kaca, Panji mengusap air mata yang membasahi pipi Maruti. Kali ini Maruti membiarkannya.
Debar jantung yang memukul mukul dadanya ini sesungguhnya terasa amatlah nikmat. Ini adalah cinta yang menggelora, yang getarnya menyusuri setiap alir darahnya. Tapi Maruti mengucurkan air matanya semakin deras

"Maruti, apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu menolak cintaku? Apa kamu tidak mencintai aku? Kamu pernah bilang bahwa kamu juga mencintai aku. Kamu lupa?"
"Mas, aku nggak tega, aku nggak sampai hati melukai hati Dita," bisik Maruti.
"Apa maksudmu Maruti? Dita sudah melupakan cerita bohong itu, Dita mana mungkin mengharapkan aku lagi?" Suara Panji meninggi, membuat Maruti kemudian menutupkan jari telunjuknya kebibir Panji; Panji memegangi tangan itu, Maruti meronta tapi Panji tak ingin melepaskannya.
"Itu sebuah drama yang memalukan, drama yang dibuat oleh tangan2 kotor dan busuknya hati seseorang. Aku sudah tau dari Dita bahwa Santi melakukannya untuk memisahkan aku dari kamu. Dita yang bilang karena Santi kemudian mengatakannya."
"Tapi Dita mencintai kamu mas, aku tak sampai hati melukai perasaannya."
"Tidak mbak, aku tidak mencintai mas Panji," tiba2 suara itu mengejutkan keduanya. Dita muncul tiba2, dan berdiri dihadapan mereka berdua.
"Dita..."
"Itu benar mbak, mas Panji milikmu, aku bukan siapa2."
"Dita, kamu..."
"Aku berdosa memiliki perasaan itu, aku sudah terhukum dengan perasaan yang tidak semestinya. Aku sekarang sadar, cinta itu tak ada padaku, aku hanya ingin diperhatikan, aku hanya ingin dimanjakan. Aku tidak ingin mencintai tapi tidak dicintai. Kalian saling mencintai, aku bahagia melihat kalian bahagia."

Tak ada sendu, tak ada air mata mengganang, Dita mengatakannya dengan sangat jelas, dan lugas. Lalu tangannya memagang tangan Panji serta Maruti, disatukannya dengan wajah berseri.

"Kebahagiaan ini milik mbak dan mas Panji. Nikmatilah..."

Dita memeluk Maruti, sekarang baru air matanya menetes, membasahi bahu Maruti. Dan Maruti mengelus lembut punggung adiknya.

"Terimakasih Dita,"  bisik Maruti, lalu diliriknya wajah ganteng yang tersenyum memandangi ulah mereka, senyum yang biasanya, yang menggetarkan jiwa Maruti sejak pertama melihatnya.
***

Bu Tarjo bahagia, ketika Dita mengatakan bahwa Panji lebih cocog untuk Maruti.

"Tapi dulu kamu suka bukan?"
"Nggak bu, ternyata itu bukan cinta. Dita berdosa kalau sampai merebut mas Panji dari mbak Ruti."
"Anakku memang cah ayu tenan, ibu jadi nggak bingung lagi," kata bu Tarjo dengan wajah berseri.
"Kenapa ibu bingung?"
"Ya bingung lah, kedua anak ibu mencintai satu laki2, lalu ibu harus berfihak pada siapa? Kan bingung jadinya."
"Sekarang ibu nggak usah bingung lagi, mas Panji akan segera melamar mbak Maruti. Ibu cepat sembuh ya."
"Iya, ibu sudah sembuh. Nanti ibu akan bicara sama dokter, kalau boleh mau rawat jalan saja."
"Boleh saja, tapi nggak boleh memaksa, kalau dokternya bilang belum boleh ya nggak usah pulang dulu."
"Ta, ibu menurut deh. Nanti kamu tidur disini?"
"Iya bu, Dita mau tidur disini. Kan sudah lama Dita nggak menemani ibu."
***

Laras sangat rajin menemani Sasa. Walau lengan masih dibalut perban, tapi ia selalu merasa sehat apabila ada didekat Sasa, maksudnya... ayahnya Sasa. Entah mengapa, tiba2 hati saling bertaut.

Siang itu Agus masih ada dikantornya, sedangkan Laras sudah sejak pagi ada disana, bersama Endang perawatnya. Itu membuat Agus merasa tenang. Sebentar2 dia menelpon Laras menanyakan keadaan anaknya, tapi sesungguhnya ia ingin mendengar suara Laras, yang bening dan selalu bersemangat setiap menerima telepon darinya. Agus merasa bahwa Laras tak akan menutup pintu hatinya walau dia seorang duda beranak satu.\

Sasa juga merasa lebih tenang, dan tadi dokter bilang infusnya boleh dilepas. Mungkin besok pagi sudah boleh pulang.

"Apa mama mau kesini?" tiba2 Sasa bertanya.
"Sasa kangen sama mama?"

Tapi Sasa menggeleng. Kejadian tiga hari yang lalu membuatnya trauma. Ia merasa tidak nyaman bersama ibunya karena kepergiannya serasa dipaksa, dan Sasa juga merasa tersiksa karena jauh dari ayahnya. Kedekatannya dengan Santi hanya terbatas pertemuan beberapa kali dalam sebulan, itupun kalau Santi merasa kangen. Jadi Sasa merasa tak pernah dekat dengan ibunya.

"Masa nggak kangen sama mama?"
"Sasa takut sama mama," jawab Sasa sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
"Apa Sasa mau ibu baru?" tanya Laras tiba2, tapi kemudian Laras menyadari bahwa ia tak seharusnya mengucapkan kata2 itu. Laras sungguh menyesal, tapi semuanya sudah terlanjur.
"Ya, Sasa mau.." tapi Sasa menjawab sambil memeluk boneka Hallo Kitty milik Laras.
"Mau? Mama yang seperti apa yang Sasa mau?" Laras merasa sudah terlanjur basah, jadi dilanjutkannya pertanyaannya.
"Yang seperti tante Maruti," tiba2 Sasa menjawab, dan itu membuat hati Laras tergores. Perih dan berdarah.
Laras terdiam. Mencoba menenangkan perasaannya yang terguncang.

"Tante Maruti itu baik kan?"
Laras hanya mengangguk, sambil tersenyum. Senyum yang dibuat buat, untuk menyenangkan hati Sasa.
***

Siang itu sehabis pulang dari kantor Agus langsung menuju rumah sakit, namun dia kecewa karena Laras sudah tidak ada lagi disana.

"Kemana mbak Laras?" tanya Agus pada Endang.
"Tadi pamit pulang, katanya kepalanya pusing," jawab Endang.
"Oh, dia sakit?"
"Tadi habis bercanda sama Sasa, tapi tiba2 mengeluh pusing, lalu pamit pulang.

Agus mengeluarkan ponselnya, menelpon Laras, tapi ponselnya mati. Berkali kali dicobanya menghubungi, tapi tak ada nada sambung.

"Ponselnya mati,"keluh Agus.
"Papa... Sasa mau pulang saja.." rengek Sasa..
"Iya, iya.. papa ketemu dokternya dulu ya."
"Tadi susternya bilang, mungkin besok pagi Sasa boleh pulang.." kata Endang.
"Oh, baiklah, itu bagus. Sasa sabar dulu ya, besok pagi boleh pulang kok."
"Mengapa tante Maruti nggak pernah kesini?"
"So'alnya ibunya tante Maruti kan lagi sakit juga... besok kita undang tante Maruti kerumah, juga tante Laras ya."
Sasa mengangguk senang.
***

Tanpa menunggu lama Agus sudah sampai dirumah Laras. Sesungguhnya ia khawatir karena Endang bilang Laras pusing kepala. Tapi begitu dia datang, Laras sudah menyambutnya dipintu dan mempersihakannya duduk.

"Katanya kamu sakit ?" tanya Agus khawatir.
"Tadi, ya.. tapi sudah baikan. Mengapa mas kemari?"

Agus heran, wajah manis itu tampak kaku ketika menyambutnya. Senyum yang terpampang terasa hambar.

"Kok gitu nanyanya...tentu aku khawatir karena Endang mengatakan kamu sakit, dan ponsel kamu mati sehingga aku nggak bisa menghubungi."
"Oh, khawatir ya."
"Iya lah khawatir, pertanyaanmu aneh, dan sikapmu juga aneh. Pasti puyengmu masih belum hilang, ya kan?"

Laras tersenyum. Tapi dibiarkannya Agus memegang keningnya. Dia suka kok, tapi ketika teringat olehnya ucapan Sasa ketika dia masih dirumah sakit, kembali hatinya terluka. Kalau Sasa hanya menghendaki Maruti, mengapa dia harus berharap?

"Nggak panas sih, tapi mau aku antar ke dokter?"
"Nggak, aku nggak apa2 kok. Mengapa mas begitu khawatir sih?"
"Ya pasti lah aku khawatir, kamu itu gadis yang telah membuat aku jatuh cinta."
Laras terkejut. Tiba2 saja Agus mengucapkan itu, tanpa basa basi, begitu saja meluncur dan mengenai sasaran.

Tapi Laras tertunduk lesu. Ucapan Sasa kembali terngiang ditelinganya. Mengapa harus Maruti?

Bersambung #27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER