Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 16 Januari 2021

Saat Hati Bicara #25

Cerita bersambung

Laras terpaku sejenak, kemudian ingin berteriak memanggil. Tapi hati warasnya menahannya. Tak mungkin Sasa sendirian, pasti ada Santi disitu.
Laras berfikir bagaimana caranya bisa mengambil Sasa dan menyerahkannya pada papanya. Tampaknya Sasa memang sakit, ada selang infus terhubung ke lengannya. Dan Sasa tampak tertidur. Laras ingin melongok kedalam, ingin tau dimanakah Santi duduk. Tapi diurungkannya.
Kalau dia melakukannya, lalu Santi melihatnya.. bisa2 Santi akan berbuat sesuatu yang nekat. Bisa jadi selang infus itu dilepaskannya lalu dibawanya kembali Sasa entah kemana.
Laras tak berani beringsut dari sana. Ia harus mengawasinya terus.
Bodohnya aku, mengapa tidak membawa ponsel. Ia ingin menghubungi Agus, tapi dengan apa?
Laras bingung. Ada orang2 lewat, tapi mana mungkin ia meminjam ponsel mereka untuk menghubungi Agus atau Panji?


Ada bangku disamping jendela itu. Laras duduk sambil berfikir keras.
Sebentar2 kepalanya melongok kearah kamar, dan dilihatnya Sasa masih tertidur.
Dimanakah sebenarnya Santi? Laras kemudian berdiri, melongok agak mendekat ke jendela, tapi pintu kekamar itu tertutup. Kalau ia tiba2 masuk, dan ternyata Santi ada didalam? Wah, bisa kacau.
Laras berjalan kesana kemari.. seperti orang linglung. Ketika perawat yang ditanyainya arah ruangannya lewat lagi, Laras tersenyum dan mengangguk.

"Sudah ketemu ruang Melati mbak?" tanya perawat itu yang mengira Laras masih kebingungan.
"O, sudah suster, ini lagi.. lagi.. nungguin teman," jawab Laras sekenanya.

Perawat itu berlalu. Ia tiba2 teringat film2 yang pernah dilihatnya, orang asing memasuki sebuah ruang dirumah sakit, dengan meminjam baju suster yang berjaga, kemudian dengan bebas bisa masuk kedalam. Lalu melakukan kejahatan disitu. Tapi itu kan cerita. (eh, emangnya ini bukan cerita?)...

Tapi Laras ternyata bukan seorang pemberani. Ia justru merasa kecut membayangkan dia akan gagal menyelamatkan gadis kecil itu. Ia butuh seseorang.
Siapa yang tau kalau ia berada disini? Ia ingin ke ruangannya sendiri untuk mengambil ponsel, tapi takut kehilangan jejak Sasa.
Tapi bukankah Sasa sedang dirawat dan tak mungkin bisa pergi dari situ?
Laras beridiri, kemudian bergegas pergi keruangannya sendiri. Cepaat... cepaaaat... bisik batinnya. Aduh, ternyata dia berjalan sangat jauh, sepuluh menit kemudian dia baru menemukan kamarnya, dan astaga, disitu ada Dita. Laras memeluknya erat.

"Darimana saja, aku sudah mau tidur disini karena menunggu mbak terlalu lama," tegur Dita.
"Ssst.. dengar, aku melihat Sasa, ayo... aku kesini cuma ingin mengambil ponsel. Ayo cepaaat, kita harus menghubungi mas Panji atau mas Agus."

Laras menarik tangan Dita tanpa memberinya kesempatan untuk bertanya.
Sambil berjalan itu Laras mencari nomor kontar Panji, atau Agus, mana yang lebih dulu ketemu. Ini dia, mas Agus.

"Hallo, " jawaban dari seberang sana.
"Mas, cepatlah kemari, aku melihat Sasa,"
"Apa? Dimana?"
"Dirumah sakit tempat aku dirawat, cepatlah."
"Diruang apa?"
"Kemari dulu, diruang anak2 lah.. tapi aku tidak melihat Santi. Cepat mas.."
Laras menutup pembicaraan itu sambil terus melangkah.

"Dimana dia?"
"Tunggu, diruang anak2, Apa tadi namanya, aduh.. aku ini suka bingung...
***

"Tanya saja ke petugas, ruang anak2. mBak Laras jangan panik, tenang mbak", kata Dita.

Itu benar, Laras memang panik. Dita menggandengnya dan menepuk nepuk tangannya. Padahal sebenarnya dia juga panik.
Benarkah Sasa ada disini? Ya Tuhan, semoga semuanya segera berakhir.

Mereka tiba diruang anak2.. tapi kamar yang mana? Laras bingung karena tadi dia melihat dari luar.

Mereka mendekati suster jaga.
"Selamat pagi sus," sapa Laras.
"Pagi mbak, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin membezoek keponakan saya, dikamar mana ya?"
"Namanya siapa mbak?"
"Sasa...."

Perawat itu membuka komputernya, mencari cari nama Sasa, beberapa sa'at lamanya tapi tidak ketemu.

"Namanya Sasa siapa ya?" tanya perawat itu lagi.
"Waduh, nama lengkapnya nggak tau tuh, nama orang tuanya dicatat nggak?"
"Ya, pastinya, siapa namanya, alamatnya...?"
"Santi? Jl. Kenikir..."

Perawat itu mencari cari lagi, sementara Laras sudah mulai gelisah. Ia menoleh kekanan dan kekiri, berharap Panji dan Agus segera datang.

"Kok nggak ada juga nama itu, atau alamat yang mbak sebutkan ya,"
"Dia baru masuk tadi pagi mestinya," sela Dita.
"Baru tadi pagi? Ini ada.. namanya Dora, umur 3 tahun.."

Laras dan Dita berpandangan, keduanya sepakat melalui pandangan itu, bahwa dialah yang mereka maksud.

"Ya, itulah... dimana kamarnya?"
"Dia di H1 mbak, kelas vip.. diujung sana."

Laras dan Dita mengucapkan terima kasih dan terburu buru mendekati kamar yang dimaksud.
Tapi sampai didepan kamar itu mereka berhenti. Apa yang harus dilakukannya? Kalau langsung masuk.. bagaimana kalau terjadi keributan dan Santi membawanya lari?

Tiba2 pintu terbuka, dan seseorang keluar.
Laras dan Dita mundur beberapa langkah. Tapi yang keluar adalah seorang nenek2 yang berjalan menggunakan penopang kaki.

Aduuh.. salah lagi..

"Bukan ini kamarnya..," bisik Laras yang kemudian menarik tangan Dita menjauhi kamar itu.
Laras mengajaknya berputar lalu menyusuri lorong yang tadi ditemukannya jendela yang sedikir terbuka dan dilihatnya Sasa.

Laras berdebar debar, apakah Santi akan membawanya kabur dalam keadaan anaknya sakit? Tapi Laras benar2 bingung, semua kamar bentuknya sama, semua jendela juga sama.

Haa.. bangku itu..
"Disitu, aku tadi duduk, sungguh, dan dibalik bangku itu aku melihat Sasa." kata Laras beremangat.

Mereka mendekati bangku yang ditunjuk Laras, lalu melongok kedalam. Dilihatnya seorang perawat sedang menggantikan celana si anak kecil.

"Itu Sasa?"
"Ssssh.....," Laras memberi isyarat agar Dita tidak berisik.
Anak kecil itu menangis keras.
"Papaaa... aku mau papa..."

Laras membungkam mulut Dita yang akan berteriak. Itu benar Sasa.
Dimana Santi? Pasti sedang duduk di sofa yang membelakangi jendela itu. Bukan, agak kesamping sehingga tidak kelihatan.
Laras menarik tangan Dita, kembali mengitari ruangan itu. Nah, suster yang menggantikan popok itu sudah keluar.

"Suster..," sapa Laras.
"Ya ?" Suster itu berhenti.
"Suster baru saja menggantikan celana anak itu, apa ibunya nggak ada?"
"Oh, ibunya lagi ke instalasi farmasi, ada obat dan infus yang harus dibelinya."
"Terima kasih suster,"

Laras dan Dita berjingkrak kegirangan begitu suster itu berlalu. Keduanya masuk kedalam kamar, dan didengarnya tangisan memilukan itu.
Laras segera menubruk Sasa.

"Sayang, diamlah sayang, jangan menangis.. ingat sama tante?"
Seketika tangis itu berhenti. Ia mengenali Laras, tentu saja.

"Aku mau papa... ," rengeknya lagi.
"Dita, tolong kamu telephone mas Panji atau mas Agus, suruh cepat, kenapa lama sekali?"
" Oh.. ya.. baiklah.."
"Tenang Sasa, oh ya.. kalau mas Agus yang menerima, tolong kasihkan dia biar tenang." kata Laras kepada Dita.

Sebenarnya Laras ingin menggendong Sasa dan mengajaknya pergi, tapi masih terpasang infus dilengan Sasa.

"Mas Panji? Oh, pak Agus... kok lama pak, ini kami sudah menemukan Sasa," Dita mendekatkan ponselnya ketelinga Sasa.
"Ini papa, ayo panggil papa..."
"Papaaaa... aku mau papaaa... mana mbak.. aku mau pulaaang..." rengek Sasa.
"Sayangku... cintanya papa... tenang, sebentar lagi papa kesini ya..."
Laras mengambil ponsel itu.
"Mas, lama banget.. ini mumpung mamanya nggak ada. Udah aku WA kamar dan nomernya. Buruan."
"Ya, ya.. ini sudah dekat.. tenanglah..."

Ponsel ditutup, Laras masih memeluk Sasa untuk menenangkan hatinya.

Tiba2 pintu bergerak perlahan. Laras memperketat pelukannya.

==========

Dita bersiap siap seandainya yang masuk adalah Santi. Tapi bukan, seorang tua dengan penyangga kaki dan berjalan tertatih masuk, dan dengan heran memandang Dita serta Laras bergantian. Kemudian serta merta ia membalikkan tubuhnya, dan keluar dari pintu. Tapi sebelum keluar Dita memanggilnya.

"Bu.. ibu.. ibu mencari siapa?"
"Ma'af, salah kamar.." kata perempuan itu dengan suara serak, kemudian menghilang dibalik pintu setelah menutupkannya .

Laras dan Dita berpandangan, tapi kemudian diingatnya perempuan tua yang keluar dari ruangan ketika ia berhenti didepan pintu sebuah kamar.

"Perempuan itu aneh bukan?"
"Sangat aneh, aku akan mengejarnya keluar," kata Dita yang kemudian bergegas keluar dari kamar .

Dita menoleh kesana kemari, tapi tak ada perempuan tua itu. Mungkin sudah berbelok keujung lorong.
Dita menuju ujung lorong, tapi tak tampak perempuan tua itu. Padahal pasti jalannya tertatih dan tak bisa cepat. Apa dia bisa menghilang?
Dan kalau tadi dia bilang salah kamar, berarti kamar yang ditujunya pasti didekat dekat situ. Masa salah sampai dikamar lain yang letaknya berbelok belok?

Dita nekat. Mungkin perempuan itu sudah masuk kesalah satu kamar disebelah kiri atau kanannya kamar Sasa. Jadi dia nekat masuk kesebelah kirinya dulu.
Ia mengetuk pintu pelan, lalu masuk seakan akan dia akan membezoek seseorang.
Tapi kamar itu ditunggui oleh seorang perempuan setengah baya dengan pakaian sederhana, duduk sambil bersandar ke sofa.

"Silahkan, mau membezoek cucu saya?" sapa perempuan itu.
"Oh, ma'af bu, saya salah kamar," lalu Dita keluar.
Sepanjang kamar yang berjajar dikiri kanan Sasa sudah dimasukinya, dan entah sudah berapa kali Dita berucap ma'af salah kamar.
Lalu Dita kembali menemui Laras, yang masih saja memeluk Sasa.

"Ketemu?"
Dita menggelengkan kepalanya.
"Mencurigakan sekali. Jangan-jangan ..."

Ucapan Laras berhenti karena tiba-tiba seorang perawat datang membawa map berisi surat-surat.

"mBak, atas permintaan orang tuanya, anak ini mau dipindahkan kerumah sakit lain ," kata perawat itu.
"Apa,?" Dita berteriak.
"Iya, ini atas permintaan orang tuanya, ini surat2nya sudah selesai, tinggal membawa anaknya saja. Dia memesan mobil ambulan, dan akan menunggunya disana."
"Rumah sakit mana ?"
"Ma'af, saya tidak berhak memberi tau, sekarang saya akan mengambil anak itu."
"Tidak bisa," kata Laras sambil memeluk Sasa erat-erat.
"Mana orang tuanya?" tanya Dita kesal.
"Saya orang tuanya," tiba2 Agus muncul dikamar itu.
Laras sangat gembira, dan Sasa langsung berteriak.:"Papaaaa...."

Agus memeluk Sasa, menciumi  sepuas puasnya, air matanya berlinang, air mata bahagia.

"Aku mau pulang, papa... " rengek Sasa.
"Ya, pastinya kamu akan pulang bersama papa."
"Bagaimana ini?" perawat itu bingung.
"Suster, anak saya ini diculik, sekarang saya sudah disini, sayalah yang berkuasa atas anak ini. Jadi kembalilah, lagipula ibunya sudah ditangkap polisi.
 Perawat itu kebingungan, tapi kemudian keluar dari kamar itu.

"Sayang, ma'afkan papa ya...," Agus mencium Sasa lagi. Laras mundur kebelakang, air matanya juga berlinang. Ia dan Dita berpelukan karena perjuangannya berhasil.
"Mas,  tadi mas bilang ibunya sudah ditangkap polisi, apa benar?" tanya Laras.
"Benar, ketika aku dan Panji mau masuk kerumah sakit ini, tiba-tiba ada seorang nenek-nenek memakai tongkat keluar. Tapi ada yang aneh, begitu sampai dihalaman dia melempar tongkat itu dan berjalan dengan santai, memasuki sebuah mobil. Aku dan Panji terus memandanginya dengan heran. Tapi kemudian aku mengenalinya. Nenek2 itu memakai sepatu berhak tinggi, itu aneh, dan aku mengenali cara dia berjalan. Aku langsung memberi kode kepada polisi yang menunggui didepan. Mereka menghadang mobil itu sehingga urung berjalan. Polisi menarik perempuan itu, menarik wig yang dipakainya, juga kaca matanya. Dia memang Santi."
"Diaaaa..," teriak Laras dan Dita hampir bersamaan.
"Kalian tau?"
"Tadi dia masuk kemari, tapi begitu melihat aku sama Dita, lalu keluar lagi dan bilang salah kamar. Rupanya dokter Santi menyamar jadi nenek2, suaranya juga di buat2." kata Laras.
"Hampir saja Sasa dibawa pergi lagi, tapi mbak Laras sudah mempertaruhkan nyawa dengan mendekap Sasa erat2. Ia tak akan mengijinkannya seandainya perawat itu nekat."

Agus tersenyum, lalu dipandanginya Laras. Aduh, heran deh, mengapa dalam suasana seperti ini dia masih juga tebar pesona? Laras tersipu dan menundukkan kepalanya.

"Tunggu, bukankah kamu lagi sakit? Bagaimana bisa sampai kemari?"
"Aku lagi berjalan jalan, aku sudah bersiap minta pulang karena sudah merasa sembuh," lalu Laras menceriterakan bagaimana dia bisa menemukan Sasa. Agus menatap Laras, penuh terimakasih.

"Aku mau minta pulang, pasti dokter mengijinkan," kata Laras.
"Masa? Coba lihat, lha lukamu masih diperban..," kata Agus ambil memgangi lengan Laras.

Laras berdebar. Agus memegangnya lama sekali, seperti dokter yang sedang mengamati penyakit pasiennya. Tapi Laras membiarkanya, seperti ia membiarkan debur jantungnya memukul mukul dadanya.

"Ini belum boleh pulang, ayo kembali kekamar dan tidur," canda Agus.
"Iih, memangnya dokter ?" Laras cemberut.

Agus duduk sambil tersenyum senyum, barangkali dia menangkap ucapan selamat datang seandainya dia mengetuk pintu hatinya.

"Papaaa..." tiba2 Sasa merengek.
"Oh, ya sayang...?"
"Aku nggak mau ini... lepasin papaaa..." Sasa menunjuk lengannya yang terbalut dan ada selang tersambung ke botol infus.
"Eit.. sebentar sayang, papa mau nanya dulu sama pak dokter, apakah ini sudah boleh dilepas atau belum, kan Sasa sakit?"
"Sasa sudah sembuh!" kata Sasa kesal.
"Oh ya, baiklah, tunggu pak dokter dulu ya, nanti kalau sudah sembuh pasti pak dokter mengijinkan selang itu dilepas."
"Aku mau mbak..." rengek Sasa lagi.
"Oh, nanti papa akan menjemput mbak, supaya menungguin kamu disini."
"Aku nggak mau mama...," kata Sasa sepeti ketakutan.
"Nggak ada mama, sekarang Sasa bersama papa, bersama tante Laras, tante Dita. Oh ya, kamu sudah kenal tante Dita?"

Sasa memandangi Dita dan mengangguk. Dia ingat waktu masih bersama ibunya, Dita yang menenangkannya.

"Kenal dong Sasa...nggak lupa kan?" kata Dita sambil memandangi Sasa
"Aku mau menelpon Endang, biar dia kesini. "
"Papa jangan pergi, aku mau ikut," rengek Sasa lagi.
"Sayang, papa akan memanggil mbak ya, nanti kalau mbak Endang datang.. papa mau ketemu dokternya juga, supaya Sasa boleh cepet2 pulang, ya?"

Agus menelpone Endang, sementara itu Laras juga kembali ke kamarnya. Dita masih dikamar itu menghibur Sasa, bersama Agus.

"Bagaimana keadaanmu Dita?"
"Baik pak, aku bersyukur Tuhan melindungi kita semua."
 "Benar, akhirnya semua segera berakhir. Terimakasih banyak karena kamu sudah berkorban untuk Sasa."
"Bapak nggak usah berterimakasih begitu, saya baru ketemu Sasa, tapi rasanya sayang banget sama dia."
"Santi benar2 gila melakukan ini semua. Dia itu sakit."

Tiba2 telephone berdering. Dari Panji.
"Hallo Panji, bagaimana? Masih di kantor polisi?"
"Ya, masih, urusannya masih panjang nih, Santi membawa bawa nama Dita."
"Ya ampuun, eddan dia."
"Dia akan dipanggil kekantor polisi juga."

Agus memandangi Dita yang sedang bercanda dengan Sasa. Ada rasa iba memenuhi hatinya.

Bersambung #26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER