Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 15 Januari 2021

Saat Hati Bicara #24

Cerita bersambung

Bagaimanapun para pencari juga letih, dan tentu saja lapar. Disebuah warung mereka berhenti, makan dan minum. Dita sedikit merasa segar, karena sesungguhnya diapun lapar.

"Sebenarnya aku curiga pada pak tua itu," tiba2 kata Agus.
"Curiga bagaimana?" tanya Panji.
"Pak tua itu bilang ada menantu dan cucunya datang malam itu. Aku merasa dia berbohong. Jangan2 yang dimaksud menantu dan cucunya itu adalah Santi dan Sasa."
"Nah, aku juga merasa begitu, kata Dita."
"Ini hanya perasaan aku saja. Bagaimana kalau kita coba kembali kesana?"

Mungkin karena ada semacam ikatan yang tak terasa sebelumnya, bahwa ada seseorang yang dekat dengan tali batinnya, dan itu adalah ikatan antara ayah dan anak. Sayang sekali Agus baru mengatakannya sekarang.

"Mengapa kita tidak mencurigainya sejak tadi?"
"Aku juga tak tau, ada perasaan seakan akan ada yang bisa kita temukan disana. Aku merasa ada nafas anakku," kata Agus sendu.
"Kalau tadi bapak mengijinkan kami menanyainya, kami pasti bisa memaksa dia mengaku," kata salah seorang polisi.
"Ya juga sih, tapi aku hanya menjaga perasaan saja. Tadi kan sudah malam, dan kita sudah mengganggunya.
"Kalau benar yang kita cari ada disana, pak tua itu bisa kita tuntut karena menyembunyikan penjahat."
"Oke, kita ajak bapak2 itu kembali kesana. Mudah2an apa yang dirasakan Pras ini benar adanya."
***

Pagi itu masih remang, Maruti sudah rapi dan bersiap pulang untuk membawa pakain kotor ibunya. Ada rasa lega ketika tadi Dita menelpon, walau masih merasa sedih karena Sasa masih berada ditangan ibunya.
Dilihatnya bu Tarjo sudah dibersihkan oleh perawat, diganti perbannya, dan juga pakaiannya sudah berganti dengan yang bersih. Maruti mendekati ibunya.

"Ibu, Ruti mau pulang dulu, membawa pakaian kotor ini. Ibu mau disuapin sekarang?"
"Nggak nduk, ibu sudah bisa makan sendiri, kamu kan mau kerja, jadi sebaiknya kamu pulang dulu, mempersiapkan semuanya. Kamu nggak usah terlalu memikirkan ibu. Ibu sudah nggak apa2."
"Iya bu, kalau Dita pulang nanti akan Ruti suruh menemui ibu," kata Maruti yang sudah merasa yakin bahwa Dita tak lama lagi akan segera kembali.
"Iya Rut, ibu sudah kangen. Ibu ingin memeluknya, apalagi setelah mendengar dia sehat."

Maruti terharu, air matanya mengambang, lalu diciumnya tangan ibunya.
Dering telephone yang tiba2 berbunyi membuat langkahnya berhenti.

"Mas Panji?"
"Hallo mbak, kangen ya sama mas Panji?" suara dari seberang..
"Dita.. ya ampun.. kamu nih. mBak masih dirumah sakit, ini mau pulang dulu."
"Dita ya?" Tanya bu Tarjo.
"Iya bu.. sebentar."

Lalu Maruti berbicara pelan sekali :" Dita, kalau ibu bertanya, bilang bahwa kamu sedang menunggui Laras dirumah sakit ya, begitu aku bohongnya sama ibu, habis nanyain kamu terus."
"Haaa? mBak Laras sakit apa?"
"Sssshh.. kok teriak sih. Iya, Laras kecelakaan tiga hari yang lalu, aku bilang sama ibu bahwa kamu nggak bisa kemari karena menungguin dia," kata Maruti masih dengan berbisik.
"Waduuh, baiklah, mana ibu."
"Bu, ini Dita," kata Maruti sambil mengangsurkan ponselnya pada ibunya.
"Hallo, Dita ?"
"Iya bu, Dita kangen banget sama ibu, mungkin nanti Dita mau kemari, ibu sabar ya?" suara Dita mengandung isak.
"Iya nduk, ibu juga kangen, kamu kalau kemari nggak pernah ketemu ibu."
"Iya bu, mbak Laras harus ditungguin. Bagaimana keadaan ibu ?"
"Sudah baik nduk, tinggal luka2 ini, tapi kayaknya ibu bisa merawat sendiri lho, ibu pengin pulang."
"Jangan tergesa gesa bu, harus sehat benar baru boleh pulang. Ya sudah bu, mbak Ruti kan harus masuk kerja."
"Dita, benarkah kamu sebenarnya nggak sakit apa2?"
"Dita sehat bu, sangat sehat. Ibu jangan khawatir. Sudah ya bu, nanti kita ketemu."

Bu Tarjo sangat gembira. Wajahnya berseri seri. Maruti senang melihatnya.
***

"Apa kabar, manis?" sapa Maruti ketika sebelum masuk kekantor mampir sebentar kerumah sakit dimana Laras dirawat.
"Aku sudah nggak apa2, cuma luka ini, aku pengin pulang saja."
"Sabar dong Ras, nanti biar dokter memeriksa kamu dulu, kalau sudah nggak apa2 juga pasti boleh pulang."
"Aku sedih mendengar Sasa dilarikan ibunya. Bagamana sekarang? Sudah mendapat kabar belum?"
"Itulah, aku juga prihatin. Tadi Dita menelpon, "
"Oh, Dita sudah bisa menelpon?"
"Dita dilepaskan, tapi Santi membawa kabur Sasa, sampai sekarang belum diketemukan."
"Perempuan itu jahat sekali, atau mungkinkah dia gila?"
"Semoga polisi akan segera menangkapnya."
"Ya, semoga. Kamu mau masuk kerja?"
"Iya, tapi mampir kemari karena sejak kemarin aku belum melihat keadaanmu."
"Terimakasih banyak ya."

Maruti keluar dari rumah sakit itu dan segera menaiki ojek online yang tadi dipesannya.
Maruti sama sekali tak tau, bahwa seorang wanita dan anak kecil yang digendongnya baru saja memasuki rumah sakit itu. Dia adalah Santi.
Sejak semalam Sasa rewel, dan sekarang badannya panas, diare tak henti2nya. Ia tak mau kerumah sakit tempatnya berpraktek.
Dengan rambut palsu berwarna kecoklatan dan kacamata besar yang hampir menutupi seluruh wajahnya dia memasuki rumah sakit itu.
Sasa harus segera mendapat pertolongan. Santi cemas sekali.
Tak seorangpun mengenali wajah Santi yang sama sekali berubah, seandainya ada kenalan atau temannya ada disana.

Begitu memasuki ruang perawatan, Sasa menangis keras.

"Papaaa... papa... aku mau papaaa.."
"Tenanglah sayang, kamu harus diobati dulu. Perutnya sakit kan? Nanti kalau sudah sembuh, kita ketemu papa ya?"

Dokter jaga yang seharusnya mengenal Santi sama sekali tak mengira bahwa itu temannya.

"Diam sayang... o.. perutnya sakit ya? Ya.. nanti.. pak dokter akan kasih obat, supaya sembuh. Ya."
"Bu, anak ibu harus di infus, dia kekurangan cairan. Untung ibu segera membawanya kemari. Obat akan disuntikkan melalui infusnya. Badannya juga panas. Ia harus opname untuk beberapa hari."

Santi mengangguk angguk. Ia pura2 tak mengerti tentang penyakit dan tindakan yang dilakukan dokternya. Ia menunggui dan menghibur Sasa yang tak henti2nya menangis, apalagi ketika jarum infus ditusukkan kelengannya.
***

"Permisi..." sapa Panji dan Agus hampir bersamaan ketika tiba dirumah pak tua. Dilihatnya Bejo anak pak tua sedang mentrarter sepeda motornya.
"Ya, mangga mas, mau mencari siapa ya?"
"Bapak tua yang ada dirumah ini, ada?"
"Oh, itu bapak saya mas, ada apa ya?"
"Cuma mau tanya, tadi malam ada seorang wanita dan anak kecil datang kemari, katanya menantu bapak tua itu, benarkah?"
"Lho, ini memang aneh. Tapi bapak saya itu memang sudah rabun mas, sering keliru mengenali orang. Lha itu saya juga baru omong2 sama isteri saya. Begini, tadi malam itu ada seorang wanita dan anak kecil, masuk kemari, nggak tau maksudnya apa, bapak mengira itu isteri saya dan anak saya. Lha wong isteri saya baru datang pagi ini tadi."
"Lalu dimana perempuan yang semalam datang itu?" tanya Agus penuh harap.
"Lha saya juga nggak ketemu, kata bapak saya, anaknya sakit, lalu dia akan membawanya kerumah sakit. Wanita itu dikira isteri saya. Lha kok mbaknya itu ya diam saja, tidak menyanggah kata2 bapak saya wong namanya bukan Sumi. Sumi itu isteri saya."
"Jadi dia sudah pergi?"
"Sudah mas, katanya kerumah sakit."

==========

Sasa lebih tenang, bisa tertidur, barangkali dokter memberinya obat penenang. Dia juga sudah tidak terus2an buang air, dan panasnya sudah turun. Santi merasa lega. Sejak semalam dia panik karena anaknya panas, lalu buang air terus2an. Ia sungguh beruntung karena pak tua pemilik sebuah rumah yang ingin dipergunakannya untuk sembunyi, mengira dia adalah menantunya. Dia diam saja ketika bapak tua yang hidup sendirian dirumah sederhana itu menganggapnya Sumi, menantunya, sehingga dia bisa tenang semalaman tidur disitu. Bahkan ketika orang2 mencarinya, dia juga mendengarnya. Untunglah pak tua itu segera mengusirnya  Itulah sebabnya ketika pagi datang ia segera menelpon taksi dan buru2 minta diantar kerumah sakit. Dengan segala cara ia menyamar supaya tidak dikenali oleh siapapun.

Sekarang ia merebahkan tubuhnya di sofa, karena letih lahir batin. Dalam pelarian ia hampir tidak tidur nyenyak selama berhari hari. Sekarang ini mungkin dipikirnya Dita sudah kembali kerumahnya, dan pasti sudah melaporkannya pada polisi. Tapi sekarang untuk sementara ia merasa tenang. Nanti setelah Sasa sembuh ia pasti akan membawanya jauh, dia belum memikirkannya. Sekarang matanya terpejam, lalu lelap dalam letih yang sudah lama ditahannya.
***

"Ibuu.... " teriak Dita begitu tiba dirumah sakit da menemui ibunya.

Bu Tarjo yang baru saja selesai makan pagi terkejut sekali. Tiba2 Dita muncul dihadapannya, dan memeluknya.

"Dita ? Kamu Dita?"
"Ibu, ini Dita... "
"Ya Tuhan, ibu kangen sekali sama kamu Dita, lama sekali, seperti bertahun tahun ibu tidak melihat wajahmu.." kata bu Tarjo sambil mencium putrinya. Air matanya berlinang linang.
"Benarkah kamu sudah diperiksa lagi dan sebenarnya sehat?"
"Iya bu, Dita sehat, Dita akan hidup seribu tahun lagi," kumat kesukaan bercandanya ketika Dita bertemu ibunya.
"Dokter Santi salah diagnose. Dia itu kan dokter yang masih bodoh," kata Dita dengan kesal. Ia dibuat sengsara dan diselimuti rasa takut selama ber hari2.
"Dita, kamu nggak boleh bilang begitu, dia itu kan baik sama kita," tegur bu Tarjo yang belum tau keadaan sebenarnya.
"Iya.. iya... ma'af..," kata Dita sambil meleletkan lidahnya. Ia belum ingin menceriterakan keadaan yang sesungguhnya kepada ibunya.
Bu Tarjo tertawa.

"Kamu itu, suka bercandanya nggak habis2. Tapi .. ya ampuun.. kamu bau sekali... belum mandi ya?" tiba2 bu Tarjo mengernyitkan hidungnya.
Dita tertawa keras.

"Ssst... " bu Tarjo mencubit pipi Dita.
"Dita memang belum mandi, apa disini ada baju mbak Ruti yang tertinggal?"
"Sepertinya ada, coba saja di almari itu. Mandilah dulu, nanti cerita2 lagi, lalu keadaan nak Laras bagaimana kok kamu sudah kesini?"

Waduh, Dita kan belum tau apa2 tentang sakitnya Laras, dia harus cepat2 menelpon Laras sebelum kembali menemui ibunya setelah mandi.

"Ada bu, Dita mandi dulu ya?" Lalu Dita pun mengambil sehelai baju Ruti, dan menuju ke kamar mandi.

Bu Tarjo tersenyum senang. Ia merasa sangat sehat, dan ingin segera kembali pulang. Itu dikatakannya ketika suster datang dan mengukur tensinya.

"Bagaimana suster? Tekanan darah saya bagus kan?"
"Bagus sekali bu." jawab perawat itu.
"Saya ingin cepat pulang suster, nanti bilang sama dokter ya."
"Ibu, nanti kalau dokternya datang, ibu bilang saja sama dokternya. Coba sekarang ibu duduk, masih pusing nggak?"

Bu Tarjo bangkit, kemudian duduk, agak terasa berputar kepalanya. Tapi kan itu karena terlalu lama tiduran? Bu Tarjo memejamkan matanya.

"Bagaimana bu? Masih pusing bukan?"
"Oh, nggak.. nggak apa2, kan ibu terlalu lama tiduran, lama2 pasti nggak terasa pusing lagi.
"Baiklah, tapi kalau masih pusing sekali jangan dipaksa ya bu?"
"Baiklah suster," jawab bu Tarjo sambil masih tetap duduk. Dilihatnya luka bakar ditubuhnya yang sebagian mulai mengering. Bu Tarjo yakin akan bisa merawatnya sendiri dirumah.
***

"Ya ampun Dita, syukurlah kamu sudah kembali dengan selamat. tapi aku masih prihatin dengan keberadaan Sasa Dit, dimana dia sekarang?" kata Laras dari seberang ketika Dita menelponnya.
"Aku ikut mengejarnya kemarin, dan pagi ini mereka sedang menyusuri kesetiap rumah sakit karena menurut penyelidikan, dokter Santi membawa Sasa kerumah sakit. Tampaknya anak itu sakit. Kasihan mbak, Sasa rewel memanggil manggil papanya terus. Aku sedih mendengar tangisnya."
"Aku juga sedih, Sasa kan terbiasa dengan papanya, bukan dengan mamanya,"
"Bagaimana sakitmu mbak? Kecelakaan itu karena mbak melindungi Sasa ya?"
"Ya, kebetulan sedang bersama aku, tapi aku sudah baikan, aku akan minta pulang, kalau boleh hari ini."
"Benarkah? Nanti aku akan kesini mbak, ini baru habis mandi, mbak Ruti kan bilang sama ibu bahwa aku nggak menengok ibu karena nungguin mbak Laras sakit. Nanti kalau ibu nanya2 keadaan sakitnya mbak Laras aku jadi bisa menjawab."
"Iya, aku tau, Maruti sudah bilang sama aku."
"Ya sudah, temani ibu dulu, aku mau jalan2.."
"Haaa.. jalan2?
"Aku kan sudah bilang bahwa aku sudah pengin pulang. Tinggal luka lecet ini saja .. kan nggak apa2.."
"Ya udah, hati2 mbak, aku nanti kesitu. Telponnya nggak berani lama2, kan ini minjem telephone rumah sakit?"
"Ya, baiklah, salam buat ibu ya. Oh ya, bagaimana keadaan ibu"
"Baik mbak, tadi sudah latihan duduk, dan tampak sehat."
"Syukurlah, aku ikut senang."

Dita menutup pembicaraan itu. Dia tadi meminjam telephone rumah sakit, karena ponselnya hilang entah kemana. Ia kembali menemui ibunya dikamar. Dilihatnya bu Tarjo masih duduk dipembaringan, menunggu Dita kembali.

"Ibu jangan lama2 duduknya, kan masih latihan?"
"Ibu sudah sehat Dit, nggak apa2.. kamu tadi dari mana?"
"Menelpon mbak Laras bu."
"Bagaimana keadaan nak Laras?"
"Dia sudah bisa jalan2, katanya hari ini mau minta pulang."
"Ibu juga mau minta pulang."
"Lho, ibu kan masih banyak luka2 yang harus dirawat dengan cermat?"
"Ibu bisa merawatnya sendiri , percayalah, ibu selalu perhatikan setiap perawat membersihkan lukanya, memberinya obat dan menggantikan perbannya. Nggak sulit kok."
"Tapi harus minta ijin dokter dulu, nanti Dita bilang kalau dokternya kesini. Tapi Dita pamit sebentar ya bu, mau nengokin mbak Laras."
"Lho, kamu sudah dari sana, kok masih mau nengokin lagi."
"Bukan begitu, tadi kami omong2, dan... mbak Laras harus... harus membeli obat, jadi... biar Dita belikan dulu.. nanti Dita kembali kemari," kata Dita berbohong. Kan sebenarnya dia belum pernah ketemu Laras sejak Laras mengalami kecelakaan?

Tapi bu Tarjo mengangguk angguk, baginya keberadaan Dita didekatnya sudah membuatnya lega, apalagi dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa, meleset dari apa yang dikatakan dokter Santi waktu itu. Tapi bu Tarjo juga heran, bagaimana bisa seorang dokter bisa seceroboh itu? Bu Tarjo tidak mengerti, bukan dokternya yang melakukan itu, tapi manusianya. Manusia yang diselubungi oleh ambisi untuk memiliki sesuatu, menghancurkan sesuatu, demi kepuasan diri.
***

Laras benar2 turun dari pembaringan, dan berjalan jalan disekitar rumah sakit itu. Ia merasa sehat, ia ingin segera pulang. Rumah sakit yang besar, bersih, nyaman, tapi siapa yang suka menginap disitu? Laras berhenti disebuah taman, ada kursi besi dan bercat abu2, terlindung dibawah pohon rindang. Laras duduk disana, menikmati udara segar yang beberapa hari ini tak pernah dihirupnya. Bau alkohol dan obat2an masih tercium dari situ, tapi semilir angin membuatnya merasa lebih nyaman.

Beberapa sa'at Laras duduk disana, dipandanginya langit biru diatas sana,  udara sedikit panas menjelang siang itu. Dilangit itu tampak sebuah bayangan. Laki2 ganteng dengan kumis tipis diatas bibirnya, tersenyum dan melambaikan tangannya. Laraspun tersenyum. seekor burung menggoyangkan dedaunan, dan kerosak daun2 itu menyadarkannya, menghempaskannya dari kerinduan yang menyesakkan dadanya.

"Sa'at ini mas Agus sedang bersedih, aku bisa merasakan bagaimana sedihnya. Ya Tuhan, kembalikan Sasa padanya." bisiknya pilu.

Teringat olehnya ketika ia menyelamatkannya dari maut, gadis mungil yang lucu, yang menggemaskan, tapi mengapa sekarang harus pergi? Kata Dita ia memanggil manggil papanya terus, duhai.. pasti tersiksa ketika ia dipaksa mengikuti seseorang yang tidak dekat dengannya walau dia ibu kandungnya sendiri.

Laras menghela nafas panjang, ia kemudian berdiri dan meninggalkan taman itu. Melangkah menyusuri lorong2 rumah sakit dengan hati gundah.

"Tuhan, kembalikan Sasa pada ayahnya,"bisiknya dalam do'a.

Laras terus berjalan, tiba2 ia lupa dimana letak ruangannya sendiri. Laras membalikkan tubuhnya, melongok kesetiap jendela terbuka yang dilaluinya. Barangkali dari situ ia bisa mengenalinya. Tapi tidak, ini kan ruang anak2. Ketika seorang suster lewat, dia terpaksa bertanya.

"Suster, dimana ruang Melati?"
"Oh, disana mbak, jauh.. terus saja lurus, kekiri.. baru kekanan.."
"Terima kasih suster."

Laras terus melangkah mengikuti petunjuk sang suster. Disebuah jendela yang terbuka, tanpa sengaja  ia melihat sesuatu, yang membuatnya sangat terkejut.

"Bukankah itu Sasa?" bisiknya lirih.

Bersambung #25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER