Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 14 Januari 2021

Saat Hati Bicara #23

Cerita bersambung


Panji tertegun. Ia merasa tak kenal nama itu. Siapa dia?

"Siapa ya?"
"Ada hal penting yang harus anda ketahui, ada seorang gadis dan seorang anak kecil yang butuh pertolongan anda segera."
"Oh ya... ya.. saya tau, dimana mereka? Dimana?"
"Saya akan SMS kan alamatnya," lalu telephone itu ditutup.
"Dia tau keberadaan Sasa dan Dita."
"Dimana??" Tanya Agus bersemangat.
"Sebentar, dia mau sms kan alamat."
" Segera hubungi polisi sekarang. Kita tidak bisa sendirian."
***

"Terima kasih pak, " kata Dita yang kemudian setengah berlari kembali kerumah terpencil itu, lalu menguncinya cepat2. Kemudiaan setelah menyimpang kembali kunci serep dibawah jok sofa, ia masuk kekamar, tidur disamping Sasa yang sudah ditidurkannya.

"Amaaan... amaaan..." bisik Dita dalam hati. Ternyata Santi belum kembali. Syukurlah, entah kemana dia mencari bohlam lampu, padahal hari sudah malam. Tapi Dita merasa lega karena pak Badrun yang dimintai tolong telah menghubungi Panji. Ia berharap tak lama lagi pasti polisi akan datang bersama Panji atau Agus untuk menjemputnya dan Sasa.

Tiba2 didengarnya suara mobil berhenti didepan rumah. Dita berdebar, begitu cepatkah mereka datang? Dita bangkit lalu keluar dari kamar. Terkejut ketika tiba2 Santi sudah ada didalam rumah. Santi membawa mobil siapa? Kan mobilnya ada dibelakang rumah?

"Sasa masih tidur ?" tanya Santi yang kemudian begitu saja masuk kedalam kamar.
"Masih tidur, jangan diganggu dulu, nanti rewel," kata Dita yang measa was2. Jangan2 Santi akan membawanya pergi malam hari ini juga. Aduuh.. mengapa mas Panji lama bener?

"Aku akan pergi malam ini, " kata Santi yang membuat Dita tiba2 merasa kalut. Aduuh.. bagaimana ini ... bagaimana cara mencegahnya?
"Dokter, jangan dulu, kasihan, dia tidur nyenyak, nanti kalau rewel gimana?"
"Nggak apa2, aku kan ibunya.. pasti aku bisa menenangkannya," kata Santi yakin.
"Kenapa nggak besok pagi saja?" tanya Dita cemas.
"Mengapa kamu seperti menghalangi aku Dita, ini anakku, urusanku."
"Bukan apa2, saya hanya kasihan, dia rewel sejak tadi, baru bisa tidur, nanti kalau dijalan rewel bagaimana?"
"Biar aku urus dia, dan kamu.. kamu boleh pulang.. dan jangan lagi mengingat aku, karena aku akan pergi jauh," kata Santi tandas.

Dita terperangah, memang dia akan lepas dari belenggu itu, tapi Sasa juga harus bersamanya. Anak kecil itu pasti dipaksa oleh ibunya. Tapi bagaimana caranya?

Santi memasuki kamar lagi, ada rasa ragu2 melihat Sasa tertidur nyenyak. Barangkali benar kta Dita, besok pagi saja. Tapi entah mengapa perasaan Santi sungguh nggak enak, ia ingin cepat2 pergi dari sini. Apakah hati kecilnya mengatakan bahwa dia dalam bahaya?

Perlahan didekatinya Sasa. Tidurnya sangat nyenyak, tapi tiba2 tubuh kecil itu bergerak, lalu merengek perlahan. Bau yang menyengat tiba2 tercium oleh Santi.

"Wadhuhh... dia BAB...."

Dita berjalan kearah kamar. Itu benar, Sasa buang air besar... baunya sungguh menyengat. Santi mengernyitkan hidungnya.

"Bagaimana ini? Sudah buru2 mau berangkat..."

Dita hampir bersorak, lebih banyak waktu untuk mereka tinggal.

"Harus dibersihkan dulu .."
"Dita, bisakah aku minta tolong untuk menceboki Sasa?"
"Ya, tentu saja," kata Dita sambil mendekati Sasa. Sebenarnya Dita tak biasa melakukannya, tapi ia kan harus mengulur waktu. Semoga Panji segera datang, pikirnya. Segera Dita mengangkat tubuh Sasa. Gadis kecil itu merengek , lalu terbangun.

"Sayang, kekamar mandi dulu ya..." kata Dita sambil mengangkat tubuh Sasa. Tak perlu tergesa, pelan2 saja..pikir Dita.

Dikamar mandi itu Sasa menangis keras, ia tampaknya kedinginan ketika air mengguyurnya. Dita mengesampingkan rasa jijik, membersihkannya pelan2.  Sebentar2 ia meludah, dan mengernyitkan hidungnya.

"Dokter punya sabun?" teriak Dita.
"Ada, sebentar...." jawab Santi yang segera mengambilnya dari dalam tas lalu mengantarkannya kekamar mandi.

"Cepatlah sedikit Dita.."
"Ya, doker," tapi Dita melakukannya pelan. Tangis Sasa tak juga berhenti. Dita merasa kasihan, tapi ia harus mengulur waktu supaya Santi tidak segera membawanya pergi.

"Minta handuk dokter," teriak Dita. Aduuh.. kok Panji lama sekali... ini kesempatan terakhir, setelah itu entah apa lagi yang bisa dilakukannya.
Santi memberikan handuk.

"Ayo sama mama, ganti pampers dan celanamu sayang," Santi mengulurkan tangannya mengambil Sasa. Tapi Sasa menjerit keras.
"Nggak mauuu... nggak mauuuu..."

Rupanya Sasa trauma ketika perginya dari rumah seperti dipaksa oleh mamanya..
Sasa merangkul Dita kencang sekali.

"Anak nakal, kamu itu sama mama... sini sayang.." Santi masih mencoba merayunya.

Sasa tetap menolaknya. Santi tak sabar lagi, ia mengangkat tubuh Sasa dengan kasar lalu membawanya. Ada tas besar yang berisi baju2 kecil, tampaknya Santi telah mempersiapkan semuanya, dan sekarang tas itu dibawanya sambil menggendong Sasa yang masih saja meronta ronta.

"Tolong tasku Dita," pintanya pada Dita.
"Dokter, sebaiknya jangan dipaksa, kasihan dokter," Dita masih mencoba menghentikan langkahnya.

Tapi Santi tetap membawa Sasa. Ia memasuki sebuah mobil yang entah milik siapa, lalu mendudukkan Sasa dipangkuannya.

"Dokter, tolong jangan dipaksa, kasihan dokter," kata Sasa sambil matanya melihat kearah jalan. Belum ada tanda2 yang ditunggu akan datang. Dita gelisah sekali. Ia bingung harus melakukan apa.

"Mana tas itu Dita?"
"Oh, iya.." Dita pura2 lupa, tas itu belum dibawanya. Lalu ia membalikkan tubuhnya masuk kedalam rumah.
"Cepaaat Ditaaa ," hardik Santi.

Dita mau tak mau harus memberikan tas itu, dengan rasa putus asa.
Santi tetap menjalankan mobilnya dengan Sasa dipangkuannya. Anak itu meronta ronta.
Mobil itu menjauh, Dita hampir menangis. Ia berlari kearah jalan, melihat mobil itu semakin jauh, tapi jalannya tampak aneh. Tiba2 pak Badrun muncul.

"Pak, tolong ditelephone lagi pak, tolong, yang tadi itu, mas Panji pak.." kata Dita panik.
"Jangan khawatir, dia tak akan jauh..." kata pak Badrun sambil tertawa.
"Mengapa bapak begitu yakin?
"Aku sudah kempesin semua ban nya..." katanya enteng.

Tiba2 terdengar suara mobil mendekat. Beberapa mobil. Dita berdebar debar, aduuh.. mengapa terlambat?

Mobil itu  berhenti disamping Dita, seseorang melompat turun, diikuti beberapa orang lagi.

"Dita," itu suara Panji. Dalam keremangan malam Dita mencari cari.. tapi tiba2 seseorang memeluknya.

"Dita," lalu dipeluknya Dita.
"Dia sudah pergi mas.. sudah pergi," Dita melepaskan pelukan Panji dan menuding kearah menghilangnya mobil Santi.
"Kemana dia?" itu suara Agus.
Dita menggoyang goyangkan tangan Panji.
"Cepat mas, cepat..."

Mereka kembali naik ke mobil dan melaju kearah yang ditunjuk Dita.

Suara sirene mobil polisi menggema memecah kesunyian malam itu. Dita berdebar, benarkah apa yang dikatakan pak Badrun bahwa dia telah membuat kempes mobil Santi?

"Kata pak Badrun, dia sudah membuat kempes mobil itu, mengapa masih bisa berjalan jauh?

Mobil Panji dan Agus belum berjalan satu kilometer, ketika dilihatnya sebuah mobil berhenti.

"Itukah mobilnya?"
"Ya, benar, itu mas..."

Beberapa mobil, termasuk mobil polisi berhenti didekat mobil Santi, seperti mengepungnya.
Panji dan Agus lebih dulu melompat turun, diikuti Dita, dan juga beberapa polisi.

Agus mendekati mobil Santi, dan membukanya, tapi mobil itu kosong. Tak ada Santi bersama anaknya didalamnya.

==========

Heran, kemana dia pergi? Hari masih gelap, ditepi jalan itu  ada sungai yang lumayan lebar, diseberang sungai adalah sebuah kebun pohon jati... tak mungkin bersembunyi disana karena pohon2nya masih kecil2.

Agus mengitari mobil yang tadi dikendarai Santi. Memang keempat bannya kempes. Rupanya yang namanya pak Badrun sudah mendengar dari Dita bahwa Santi itu orang jahat dan sedang menculik anaknya sendiri serta menyekap dirinya selama ber hari2, sehingga ia juga berusaha menghambat larinya Santi. Tapi ternyata Santi masih bisa menghilang.

Panji, Dita dan Agus berjalan kesana kemari , mengamati kiri kanan jalan barangkali ada tempat yang bagus untuk bersembunyi. Tapi tak ada tanda2 Santi bersembunyi disekitar tempat itu. Tak ada rumah satupun kecuali kebun dan persawahan. Santi dan Sasa seperti lenyap tertelan bumi.

"Sasa tadi menangis terus, memanggil manggil  papanya," kata Dita, dan membuat hati Agus semakin sedih.
"Sasaaaa...Sasaaaa... ini papa nak... Sasaaaa" tiba2 Agus berteriak teriak.. namun teriakannya hanya membuat jangkerik yang tadinya bernyanyi riang kemudian menghentikan nyanyiannya. Lalu hanya kesepian yang terasa mencekam.

"Disini tak ada, mungkin dia sudah ada jauh kedepan, entah dengan apa dia berjalan, mungkin ada mobil tumpangan yang kebetulan lewat."

Para polisi naik kemobilnya dan mengajak semuanya agar mengejar kedepan.

Tak jauh setelah persawahan dan kebun ada satu dua rumah yang letaknya agak berjauhan. Satu rumah pekarangannya luas, ada kandang ternak yang tampak pada rumah pertama yang kelihatan. Mereka berhenti. Semuanya mengamati rumah itu. Dua orang polisi masuk ke pekarangan, mengamati kandang kerbau yang kotor dan bau tentu saja. Mereka menyalakan senter... yang dijawab salah seekor kerbau yang ada dengan menguak keras, Pak Polisi sampai mundur beberapa langkah karena terkejut. Tapi tak ada tanda2 Santi bersembunyi disitu. Ketika polisi akan mengetuk pintu rumah, Panji melarangnya.

"Biar saya saja pak, supaya pemilik rumah tidak terkejut karena ada polisi datang."

Panji maju kedepan bersama Agus, para polisi siaga disekitar rumah, berjaga kalau2 buruannya memang ada disitu kemudian lari dari samping atau pintu belakang.

Panji mengetuk pintu.. pelan. Terdengar suara berderit. Ada yang bangun dan tempat tidurnya mengeluarkan derit itu.. lalu langkah tersaruk mendekati pintu.

"Sapa ya..?" suara medhok Jawa terdengar, seorang laki2.
"Kula pak, ajeng nyuwun pirsa," kata Panji yang dengan fasih menjawab.

Pintu terbuka, mengeluarkan derak yang lebih keras.

"Sapa kowe, bengi2...ngganggu wong turu," laki2 itu tampak sedikit marah. Matanya disipitkan, agar bisa melihat tamunya dengan jelas. Matanya menyipit, tapi tampaknya ia belum bisa melihat dengan jelas.

"Ajeng nyuwun pirsa pak, napa enten tiyang estri ngajak lare alit.. mlebet mriki?"

"Lho, kuwi mantuku, karo putuku.. lagi teka saka kutha, piye ta sampeyan niku kok ngurusi mantuku? Pun tilem larene.. ajeng napa? Terus sampeyan niku sinten?"
"Sanes mantune njenengan sing kula padosi pak, mbok menawi enten sing nyuwun tulung terus nyipeng mriki. Tiyange ayu, larene tesih undakara tigang tahunan."
"Waah, kula wis ra nggagas wong ayu utawa ora, pokoke mboten enten wong liya sing mlebu mriki. Pun, kula ajeng nutugke tilem malih."

Tanpa basa basi laki2 itu menutupkan pintu rumahnya kembali. Dan pintu yang terbuat dari bambu itu mengeluarkan suara berderak lebih keras, karena pak tua itu menutupnya dengan kasar. Mungkin terbawa rasa kesal karena terganggu tidurnya.

Panji dan Agus keluar dari halaman rumah itu diikuti oleh keempat polisi yang tadi menyebar dihalaman yang udaranya pengap oleh bau kotoran ternak.
***

Malam telah tiba diujungnya. Dari arah timur tampak bayangan matahari samar diantara warna jingga yang melingkupinya.

"Dita, kamu lelah ya?" tanya Panji ketika mereka melanjutkan perburuan kearah depan.
"Aku sedikit pusing."
"Ada obat pusing, dan ada air mineral didepan kamu, minumlah dan tidur. Kamu tidak usah ikut naik turun dalam pencarian ini."
"Bolehkah aku menelpon mbak Ruti?"
"Oh ya, tentu, aku juga lagi berfikiran begitu. Ini, cari nomornya sendiri ya, tolong, aku lagi nyetir, gak bisa buka2 ponsel."
"Terima kasih mas," kata Dita sambil menerima ponsel Panji.

Dita mencari cari nomor Maruti, kok nggak ada nama Maruti.

"Mas, namanya Maruti kan?"
"Ya.. oh, cari di S..." kata Panji.
"S ?" Dita heran, tapi dicarinya huruf S... haaa.. ternyata ada Sayangku Maruti ...  Wadhuh, kalau saja ini terjadi seminggunan lalu pasti Dita akan sangat marah dan cemburu. Tapi sekarang tidak, setelah kejadian menakutkan yang dialaminya beberapa hari ini perasaan itu hilang tiba2. Ia juga merasa berdosa telah melukai hati kakaknya.

"Ketemu Dit?" tanya Panji.
"Oh.. ya.. sudah, sayangmu Maruti kan? " Dita menggoda.
"Ma'af," kata Panji hati2. Ia takut Dita terluka.
"Kok ma'af sih mas, ini memang sayangmu kan? Oke, aku menelpon dulu ya?"
Panji lega karena tak ada tanda2 Dita terluka ketika menemukan nama Maruti dengan kata "sayangku" didepannya.

"Hallo mbak...sudah tidur? Oh.. ya... maksudku sudah bangun? Iya.. aku tau.. haa.. ini bukan mimpi.. ya, aku sudah ketemu mas Panji mu.. (Dita tertawa lirih) baik.. tapi ya itu.. Sasa keburu dibawa kabur.. Iya mbak.. ceritanya panjang. Aku hanya ingin mengabarkan bahwa aku baik2 saja, cuma sayangnya ini lagi memburu dokter Santi yang berhasil membawa kabur Sasa. Iya. Bagaimana ibu? Iya.. nanti agak siangan aku akan menelpon ibu.. oh.. begitu.. baiklah... ya.. pastinya. Sudah ya mbak, ini mobilnya lagi berhenti lagi. Mungkin mereka menemukan sesuatu. Besok kita akan cerita banyak. Baiklah.."

Dita mengembalikan ponsel Panji. Kepalanya masih merasa berdenyut. Dirabanya kantong didepan tempat duduk, ada air dan kantong kecil berisi obat2an.

"Obat pusing yang mana mas?"
"Itu.. yang blisternya warna hijau. Kayaknya masih ada,"
"Oh ya, aku sudah menemukannya."

Dita menelan obatnya, dan meneguk minuman sebanyak banyaknya. Berhari hari dia hanya minum seteguk dua teguk air, dan makan sesuap dua suap nasi.

Mobil itu berhenti lagi ketika pagi mulai terang. Didepan ada perkampungan.
***

Derit pintu bambu terdengar lagi. Pintu itu terbuka. Pak tua pemilik rumah melongok keluar, tak ada siapa2. Orang2 yang semalam menyatroni rumahnya telah pergi. Syukurlah.

"Mi... Sumi... kowe wis tangi?" teriak laki2 tua itu.

Seorang wanita keluar, menggendong anak kecil yang terkulai tidur.

"Sumi.. anakmu lara?"
"Ya pak,  lara... aku arep neng rumah sakit saiki.."
"Kowe bareng neng kutha kok lali basa karo wong tuwa, apa bojomu ora ngandani carane basa krama?" tegur pak tua.
"Nggih pak, ngapunten."
"Kowe ki ra kena ngono, neson karo bojo njur kok tinggal minggat. Yen kowe minggat bojomu pa ra susah?"
"Ngapunten pak. Niki kula pun ngundang taksi, ajeng teng rumah sakit riyin. Lha nika taksine pun dateng pak."

Sebuah taksi berhenti didepan, wanita yang dipanggil Sumi segera keluar dari rumah itu, menggendong anaknya dan menjinjing tas yang berisi perlengkapan anak kecil pastinya.

"Mi.. Sumii.. oo..bocah ra ngerti tata, mau bengi minggat ka ngomah, saiki minggat ka nggone maratuwane. Lha lunga tanpa pamit ki pa ra minggat jenenge?" pak tua mengomel sambil kembali masuk kerumah. Taksi yang ditumpangi "Sumi" sudah menjauh.
"Wong mara neng nggone maratuwa kok ya ra nggawekke wedang disik lagi minggat.. oo.. mulakna yen dha urip neng kutha ki jane tak elikke. Kurang tata kramane."

Pak tuwa mengambil ceret kecil, dan menuangkannya kedalam gelas. Ia tampak meraba raba, dan ternyata mata tuanya sudah tidak awas lagi.
Ketika ia meneguk air putihnya, tiba2 pintu depan rumahnya berderit lagi.

"Bali neh Mi?" teriaknya.
"Pak... sampeyan omongan kalih sinten?" Pak tuwa terkejut, itu bukan suara Sumi tapi suara Bejo, anaknya.
"Kowe ta le? Nusul bojomu?"
"Nusul pripun ta pak?"
"Mau bengi bojomu teka, jare agek neson karo kowe."
"Lho.."
"Saiki neng ndokteran, anakmu lara."
"Lho..."
"Kok lha lho.. lha lho.. kowe ki dijak caturan mudeng ora? Lha jane kok kapakke bojomu kok isa nesu?"
"Bapak niku pripun, sing neson sinten?"
"Sumi mau bengi kanda ngono thik."
"Bapak ki nglindur, lha niku Sumi, agek ngedhunke oleh2 kangge bapak."

Seorang wanita muncul, menggendong anak kecil. Ia mencium tangan pak tua dengan hormat.

"Sugeng pak, niki kula.. kalih putune bapak."
"Iki aku bingung tenan. Kowe mau bengi rak wis mrene, kanda jare agek neson karo bojomu ta Mi?"
"Bapak niku ngimpi ta? Kula mriki nggih agek niki, bareng kalih mas Bejo. Kula nunut mas Bejo pas ajeng kerja, amarga selak kangen kalih bapak."

Bejo dan Sumi saling pandang, pak Tua juga bingung.

"Lha sing mrene mau bengi karo nggendong anake mau sapa?"

Bersambung #24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER