Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 13 Januari 2021

Saat Hati Bicara #22

Cerita bersambung

Perempuan itu masih muda, cantik, berkerudung, sedang tersisak ditempatnya duduk. Tadi tiba2 beberapa laki2 menangkapnya, hanya karena terus menerus memandangi Sasa, yang tampaknya tertarik pada balon dagangannya. Beberapa laki2 membawanya, menyeretnya dan memaksanya masuk kedalam mobil. Ia tak tau apa kesalahannya. Mereka menuduhnya akan menculik anak kecil, memaksanya mengaku. Dia menjawab tidak dan hanya menangis tak henti2nya.

"Bukan Santi.." desis Agus.
"Nama saya Sartini, mereka memaksa saya mengaku bernama Santi," kata perempuan itu sambil masih terisak.
"Ma'af ya mbak, kami salah orang. Sekarang mbak boleh pergi. Ini, harga seluruh balon mbak saya bayar ya," kata Panji sambil mengulurkan beberapa lembar ratusan ribu.
"Terimakasih mas, tapi ini terlalu banyak...,"

"Nggak apa2, biar itu untuk mbak semua, dan sekali lagi kami minta ma'af."
***

Maruti pun kecewa, tadinya ia mendapat berita tentang tertangkapnya seorang perempuan yang pura2 menjual balon karena sedang mengincar anak kecil. Mereka mengira itu Santi, karena sudah lama memperhatikan Sasa. Maruti pulang ketika Agus dtang menjemput Sasa. Kasihan juga, anak sekecil itu harus dijadikan umpan.

"Apa nak Laras sudah membaik?" tanya bu Tarjo sore itu ketika Maruti sudah ada didekatnya sepulang kerja.
"Sudah mendingan bu, tapi belum sembuh benar."
"Dita masih mnemani disana?"
"Mm.. iya bu, begini.. Dita nggak tega meninggalkan Laras sendirian disana. Ibu bisa mengerti kan? Kasihan Laras."
"Ya, tentu, ibu bisa mengerti."

Maruti selalu kebingungan setiap kali ibunya menanyakan Dita. Sekarang ini ada alasan yang sesungguhnya baru saja ditemukannya untuk membuat ibunya tak terlalu berharap bertemu Dita. Sakitnya Laras.

"Ya Tuhan, sampai kapan aku harus berbohong terus? Tolonglah Tuhan, temukan Dita dan selamatkan dia.." jerit Maruti dalam hati.
"Apa yang kamu fikirkan Ruti?"
"Oh, enggak bu... nggak mikirin apa2, ya mikir sakitnya ibu itu.. cepat sembuh ya bu," jawab Maruti menghibur ibunya.
"Tapi kok ibu merasa ... kamu itu sepertinya kok lagi memikirkan sesuatu.."

Maruti mendekati ibunya, mengelus tangannya lembut.
"Ibu, kalau Ruti sedih, ya pastilah sedih, ibunya sedang sakit, siapa orangnya yang tidak sedih ?"
"Ibu kan sudah nggak apa2.. nanti kalau dokternya kesini, ibu mau minta pulang saja."
"Lho, ibu nggak boleh begitu, kalau memang ibu sudah siap untuk pulang, nanti dokternya yang mengatur, bukan ibu yang minta pulang."
"Ibu sudah nggak apa2... bosan tiduran terus.."
"Luka2 ibu itu masih harus terus dibersihkan pagi sore, dikasih obat.. lha kalau dirumah, sementara Ruti bekerja, siapa yang akan merawat ibu?"
"Kan ada Dita.."

Maruti terperangah. Aduh.. bagaimana ini.. kembali lagi ke Dita.. apa yang harus dijawabnya lagi?

"Ya kan ? Masa Dita nggak mau ngerawat ibunya?"
"Ibu, Dita itu belum tentu bisa. Ini pekerjaan perawat, nanti malah salah ngerawatnya, gimana?"
"Cuma gitu aja, ibu kira ibu juga bisa sendiri kok," kata bu Tarjo ngeyel.
"Sudahlah bu, bersabarlah dulu dalam dua tiga hari ini, nanti kalau sekiranya sudah bisa dirawat sendiri dirumah, bolehlah."
Bu Tarjo tak menjawab.

"Sabar ya bu," kata Maruti sambil terus mengelus tangan ibunya.
***

Sore itu Agus pulang dengan membawa Sasa setelah Maruti berpamit untuk kerumah sakit. Agus ingin mampir menjenguk Laras, tapi ada Sasa bersamanya.

Sasa senang sekali karena pulang membawa banyak balon yang tadi siang diinginkannya. Begitu turun dari mobil dia berlari lari kecil sambil membawa beberapa balon yang diikatnya menjadi satu.

"Nggak usah lari2 sayang, hati2, nanti terjatuh," kata Agus sambil turun dari mobil.
"mBak, nanti balonnya ditaruh dikamar Sasa ya," teriak Sasa kepada perawatnya.
"Ya, nanti mbak taruh dikamar Sasa."
"mBak, nanti malam aku mau pergi sebentar, jangan lupa kunci pintu, dan jangan pernah membukanya walau siapapun yang datang, kecuali aku," pesan Agus kepada Endang.
"Baik pak."

Agus berencana akan kerumah sakit menjenguk Laras. Entah mengapa, ingatannya tak bisa lepas dari gadis itu.
Gadis manis yang lincah, yang sedikit cerewet, yang tawanya renyah dan senyumnya bukan main manisnya.
Ya Tuhan, mengapa baru sekarang Agus memikirkannya? Gadis manis yang tergolek ditempat tidur, kesakitan dan pucat, tapi tak pernah hilang paras manisnya. Sangat manisnya.
Dan gadis itu adalah penyambung nyawa anaknya. Dan gadis itu tak pernah menolak kedatangannya, dan gadis itu begitu senang menerima boneka Hallo Kitty yang diberikannya.
Ketika ia pulang kemarin, ia mendekap boneka itu didadanya, dan Agus merasa bahwa dialah yang sedang didekapnya.
Ya ampuun, mengapa tiba2 aku tergila gila begini? Sekarang.. Mengapa tidak kemarin2? Apa karena ada Maruti yang semula diharapkannya? Maruti yang tampak ketakutan setiap kali dia memandangnya, dan Agus merasa seperti ada penolakan halus dari padanya.
Tapi kan sekarang ada Laras, dan getar2 didadanya memang jauh berbeda.
Agus merasa bahwa ini adalah jatuh cinta.
Tapi maukah Laras menerima seandainya dia melamarnya? Dia kan cuma seorang duda, beranak satu, pasti berat menjadi isteri seorang duda. Benarkah?

"Papaaaa," tiba2 Sasa mengejutkannya, datang dengan membawa balon, tapi balon itu kempes.
"Lho, ada apa ini?"
"Kata mbak, balonnya gembos... papa.. ditiup dong," rengek Sasa.
"Sasa, balon Sasa kan masih banyak, ya nggak apa2 kalau gembos satu. Sudah, dibuang saja."
"Kok dibuang."
"Ya dibuang, namanya itu sudah rusak. Main sama balon yang lainnya saja ya, tapi mandi dulu biar cantik, trus makan, trus main lagi deh."

Sasa berlari, dan meninggalkan balonnya yang kempes didepan papanya. Agus membuangnya.
Ia jadi teringat Hallo Kitty yang diberikannya pada Laras.
Ah, kok kesana lagi? Agus berjalan kekamar dan bermaksud mandi.
Tak lama lagi ia akan bertemu Laras. Agus sedang berfikir, apa lagi yang akan dibawanya untuk si manis yang menarik hatinya?
***

Hari sudah malam, Sasa masih asyik bermain dengan balon2nya.
Endang menemaninya sambil membaca buku cerita.
Menarik sekali barangkali buku cerita itu, sehingga Endang tak memperhatikan kemana Sasa bermain.
Endang merasa sudah mengunci semua pintu, dan itu berarti aman bagi Sasa. Endang masih asyik membaca, dan Sasa berjalan kearah depan rumah.
Ada sosok mengendap endap yang sudah beberapa sa'at lamanya menunggu dihalaman.
Seorang perempuan berkerudung, bertubuh langsing semampai. Ia tau Sasa bermain diserambi depan. Ia juga tau bahwa rumah itu terkunci. Tapi dia kan pernah tinggal dirumah itu, dan juga pernah memiliki kunci ganda ketika masing2 tak jelas kepulangannya.
Agus sedikit teledor karena dimabuk cinta, dan Endang sedikit ceroboh karena keasyikannya membaca.
Terdengar kunci terbuka, klik, pelan saja, tapi pintu itu terbuka. Sasa yang sedang bermain terkejut, tapi sebelum ia berteriak, tubuh ramping itu telah menggendong dan menutup mulutnya.
Pintu kembali tertutup, dan hening kembali mencekam. Buku bacaan masih erat digenggam sang perawat.
Tampaknya buku yang bercerita tentang cinta itu membuatnya tenggelam dalam alur yang menghanyutkan.

Tiba2 dentang jam dinding terdengar nyaring menggelitik kuping. Tujuh kali. Endang terkejut. Sudah lewat waktunya membuat susu bagi Sasa. Diletakkannya buku bacaan dan dicarinya Sasa.

"Sasa... Sasa... mbak buatkan susu dulu ya," kata Endang sambil berjalan kebelakang. Belum disadarinya bahwa tak ada siapapun dirumah itu kecuali dirinya.
***

Dirumah sakit itu Agus asyik bercanda dengan Laras. Ada saja lelucon yang diceriterakannya dan membuat Laras terpingkal pingkal.
Entah membaca dari buku mana sehingga Agus banyak mendapatkan cerita lucu untuk perempuan yang dikaguminya.
Oh ya, seikat bunga indah masih didekap didada Laras, ketika Panji tiba2 juga datang kesana.

"Waduuh, sial benar aku ini. Mengapa kedatanganku selalu terlambat. Jangan bilang aku mengganggu ya, aku bawa oleh2 kali ini, kesenanganmu." kata Agus sambil meletakkan bungkusan diatas meja.

Laras tertawa melihat ulah kakak sepupunya.
"Ini sudah habis jam bezuek, aku sudah mau pulang," kata Agus.
"Yaa, kalau begitu kita pulang sama2 saja, ada yang ingin aku bicarakan sama kamu."
"Lhoh, kok baru datang mau pulang." Laras kecewa.
"Aku sudah datang kemalaman, jangan2 nanti diusir sama penjaga karena melewati jam bezoek."

Tiba2 ponsel Agus berdering. Dari Endang.

"Hallo... ada apa? Hei, mengapa menangis? Apaaa?"
Teriak Agus mengagetkan semua orang.

"Ada apa?"
"Sasa hilang."
***

Malam itu Dita duduk diteras depan rumah itu. Sudah sejak siang Santi pergi, entah kemana.
Ia juga segan menyentuh makanan yang ditinggalkan dimeja.
Sa'at ini keinginannya hanya pulang, tapi jalan untuk itu belum juga ditemukan.
Dita termenung, dan tiba2 dilihatnya sesosok bayangan mendekati rumah itu. Tapi itu seorang lelaki. Dita terkejut. Rasa takut segera merayapi hatinya.
Laki2 itu berjalan kearah pintu, dan melongok melalui kaca berterali besi, dari sela2 korden yang sedikit tersingkap.
Laki2 itu seperti melihat dirinya, duduk lemas dikursi yang memang menghadap kearah pintu.

"Permisi..." suara berat laki2 itu.

Dita terkesiap, ia tak ingin berdiri menyambutnya. Kakinya gemetar, lemas oleh rasa takut yang menyergapnya.

==========

Dita gemetaran ditempatnya, sementara laki2 itu tak cukup hanya mengintip. Dia kemudian mengetuk ketuk pintu. Rupanya ia melihat sosok Dita yang diam tak bergerak.

"mBak... mbak..." laki2 itu memanggil manggil, Suaranya berat,
Dita tak berani menjawab.
"mBak, aku yang punya rumah ini... tolong bukakan pintunya mbak..." lanjut laki2 itu. Dita menegakkan tubuhnya.
Laki2 itu pemilik rumah ini? Ia belum pernah melihatnya karena begitu datang lalu Santi mengeramnya didalam dan tak pernah keluar dari rumah ini.
"mBak, tolong bukakan pintunya."

Dita bangkit dan melangkah perlahan kearah pintu. Tapi ia hanya tegak didepan pintu. Dita tak tau harus bagaimana.

"mBak, saya pak Badrun pemilik rumah ini, tolong dibuka pintunya mbak. Lampu dibelakang mati, harus dinyalakan dari dalam."
"Tapi saya nggak membawa kuncinya pak, dibawa oleh teman saya, dan belum pulang."
"Oh, gitu ya?"
"Apakah bapak nggak punya serepnya?" pikiran ini tiba2 saja terbersit dibenak Dita.
Harap2 cemas ia menunggu jawaban laki2 yang mengaku bernama Badrun.

"Sebentar, saya cari dulu dirumah barangkali isteri saya menyimpannya," kata laki2 itu yang kemudian berlalu.

Dita kembali duduk dan diam2 berdo'a. Kalau kunci serep itu ada, selesailah pengasingan ini, dan Dita bisa kabur dengan suka cita.

"Ya Tuhan, ampunilah dosaku, tolonglah hambamu kali ini.. Tuhan, dengarlah jeritku.." bisiknya disertai linangan air mata.

Tak sampai sepuluh menit, pak Badrun sudah datang. Suara gemericik kunci yang terdengar, membuatnya hampir bersorak kegirangan. Lalu suara klik.. klik.. terdengar.. dan terbukalah pintu itu. Dita tersenyum lebar.

"Ma'af merepotkan pak." kata Dita gemetaran karena menahan harapan yang membubung kelangit tingkat limabelas.
"Nggak apa2 mbak, saya akan melihat tombol lampu dibelakang, soalnya kalau tidak dinyalakan, dibelakang gelap sekali. Sudah dari kemarin mati, saya lupa menanyakan." kata pak Badrun sambil terus berjalan kearah belakang.

Detak jantung Dita berdentam dentam, ia sudah bersiap keluar dari rumah itu, ketika tiba2 pak Badrun sudah kembali kedepan. Dita menghela nafas... sabaaar..sabaaar... bisik hatinya.

"Ternyata bohlamnya yang mati mbak, tombolnya tidak berubah, saya akan beli saja dulu."

Pak Badrun keluar, dan Dita menahannya ketika pak Badrun sudah memegang daun pintu, yang pastinya akan ditutup lalu dikuncinya lagi.

"Eh pak.. tolong pak, bagaimana kalau kunci serep ini saya pinjam dulu?"
"Ini? Jadi..." pak Badrun tampak ragu2.
"So'alnya teman saya suka pergi dan mengunci pintunya dari luar, terkadang saya bingung kalau saya ingin keluar atau mau beli sesuatu." pinta Dita, dengan sejuta doa.
"Oh, begitu ya... sebaiknya teman mbak nggak usah membawa kuncinya kalau pergi. Kasihan mbak. Baiklah mbak, kunci serepnya saya tinggal juga. Tapi nanti kalau teman mbak kembali, suruh meninggalkan kuncinya, dan kembalikan kunci serepnya ya."
"Baiklah pak, siap," jawab Dita mirip sebuah nyanyian yang mendayu karena gembira yang tak terhingga.'Pak Badrun pergi setelah mencopot kuncinya dan menyerahkannya pada Dita.

Dita benar2 ingin bersorak.
"Selamat tinggal sangkar burukku !!"

Dita melenggang keluar rumah, setelah mengunci kembali pintu itu. Tapi tiba2 dilihatnya sebuah sorot lampu mendekati pagar rumah.

"Celaka," bisik Dita ketakutan. Ia membalikkan tubuhnya dan berlari kerumah, cepat2 membuka pintunya dan menguncinya lagi. Lalu ia terbaring di sofa seperti semula. Tapi kunci serep itu masih dibawanya, yang kemudian disimpannya disakunya.
Oh tidak, kalau didalam saku, setiap kali dia bergerak pasti akan terdengar gemerincingnya. Dita memasukkannya kedalam jok sofa. Lalu diam menunggu. Belum sekarang, tapi nanti pasti bisa, karena bukankah kunci serep sudah ditangannya?

Terdengar suara klik..klik.. dan pintu itu terbuka,lalu Dita terkejut karena mendengar suara tangisan anak kecil juga.

"Haaaa? Ini anak dokter?" tak tahan Dita untuk tidak bertanya.
"Ini Sasa, anakku. Cuup.. nggak boleh nangis karena ada mama ya,"
Tapi Sasa masih tetap menangis.

"Papaaaa... aku mau papaaa...." teriaknya sambil meronta dari gendongan Santi.
"Sasa, apa kamu nggak sayang sama mama?"
"Aku mau papa... papaaaa...." Sasa terus meronta.
"Besok kalau hari sudah nggak lagi gelap, kita akan mencari papa. Sekarang Sasa harus diam. Oh ya, mana es krimnya tadi? Ya ampuun sudah meleleh sayang.. masih mau diminum?"

Tapi Sasa melemparkan cup es krim itu sehingga berhamburan dilantai.

"Hmm... anak nakal.."
"Maukah digendong tante Dita? Yuk.. sama tante.." Dita mengulurkan tangannya, dan herannya Sasa tidak menolak. Barangkali Sasa berharap bahwa perempuan yang satunya akan membawanya pergi dari rumah ini.

"Diam ya sayang.. besok kita mencari papa...ya.."
Sasa terdiam, tangannya menunjuk nunjuk kearah pintu.
"Diluar masih gelap sayang.. besok kalau sudah nggak gelap lagi kita akan pergi," hibur Dita.

Dita belum pernah punya adik kecil, tapi ia sering bermain dengan cucunya pak Karsono, jadi sedikit banyak ia tau bagaimana membuat anak kecil menghentikan tangisnya.

"Tuh.. lihat.. gelap kan?" Dita menyingkapkan korden, agar Sasa bisa melihat keluar.
"Ini susunya, tolong kamu minumkan Dit," pinta Santi sambil mengulurkan botol berisi susu.
Tapi Sasa menolaknya. Ia merebahkan kepalanya dibahu Dita.

"Mengantuk dia," bisik Santi.
"Mengapa dokter nekat membawanya? Pasti dia akan rewel dan itu menyusahkan," kata Dita pelan. Ia merasa kasihan pada Sasa, mengapa anak sekecil ini harus ikut didera takut dan ketidak nyamanan?

"Dia itu anakku, apa salah kalau aku membawanya?"
"Tapi ini bukan suasana yang nyaman, apa tidak kasihan Sasa?"
"Diamlah , itu urusanku, pada awalnya boleh jadi dia rewel, tapi lama kelamaan pasti tidak."

Sasa sudah memejamkan mata, barangkali letih menangis sejak dibawa ibunya.

"Mungkin lampu rumah ini terlalu gelap. Aku akan keluar sebentar membeli bohlam yang nyalanya lebih terang," kata Santi sambil beranjak keluar.
"Tolong titip dia dulu Dita, aku keluar sebentar."

Santi keluar dan mengunci pintu seperti biasanya.
Tapi kali itu Dita tak takut. Ia sedang mengira ira, kalau lari.. mau kemana.. karena dalam suasana malam begini pasti susah cari angkutan umum, apalagi daerah ini tampak sepi begitu setelah isya.

Sasa tampak pulas bersandar dibahunya. Dita membawanya duduk sambil terus menepuk nepuk punggungnya.
Santi hanya akan membeli bohlam lampu, apakah jam segini masih ada toko yang buka? Dita ingin nekat lari dari rumah itu, tapi dia ragu2.
Kalau Santi tiba2 kembali, dan dia belum sempat berlari jauh, pasti dia akan dipaksanya mengikutinya lagi.
Harus ada banyak waktu untuk bisa pergi jauh dari sini.
Dita bingung, tapi setidaknya dia sudah punya kunci serep, dia bisa dengan mudah pergi kalau Santi tidak ada dirumah.
Tapi bagaimana kalau tiba2 Santi pergi membawa Sasa serta sedangkan dia ditinggalkannya? Kasihan Sasa, tampaknya dia dipaksa.
Tidak, Dita tak bisa memikirkan dirinya sendiri. Kalau dia pergi, maka dia harus membawa serta Sasa. Dita terus berfikir, sambil berdo'a.

"Ya Tuhan, tunjukkanlah jalan, lepaskanlah kami dari penderitaan ini," bisiknya lirih.
***

Endang terus menerus menangis, sementara Agus juga tak henti2nya menyesali diri sendiri.
Ia begitu bodoh, ia hanya minta orang2 mengawasi anaknya sa'at siang dan memang itu hanya untuk memancing Santi, tapi dia lupa bahwa Santi bisa memasuki rumahnya karena ia juga punya kuncinya. Dan celakanya, Endangpun tak pernah berfikir tentang hal ini.

"Tenangkan hatimu Pras, yang jelas anakmu pasti selamat, tak mungkin Santi mencelakai anaknya sendiri," hibur Panji yang terus menemani Agus dirumahnya.
"Aku akan lapor pada polisi, sekarang juga."
"Jangan dulu Pras, Dita ada ditangannya, Dita bisa celaka."
"Kamu hanya memikirkan Dita, bagaimana dengan anakku?" sergah Agus dengan nada tinggi.
"Ma'af Pras, bukan aku menyepelekan anakmu, bukan, tapi kita harus bertindak hati2 karena Santi sudah mengancam."
"Menurutmu apa yang sebaiknya kita lakukan? Menyuruh orang2 bodoh itu lagi kemudian menangkap orang yang salah lagi?"
"Sabar Pras, mari kita pikirkan ini dengan kepala dingin."

Tiba2 ponsel Panji berdering. Panji mengangkat bahunya.

"Nggak kenal, tapi akan aku jawab."
Panji mengangkatnya.:"Hallo.."
"Hallo, ini dengan mas Panji?" suara dari seberang
"Ya, saya sendiri, anda siapa?"
"Nama saya Badrun..."

Bersambung #23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER