Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 12 Januari 2021

Saat Hati Bicara #21

Cerita bersambung

Sasa sangat gembitra, kaki kecilnya meloncat loncat .. sambil tertawab tawa riang. Laras tersenyum. Puas bisa membuat Sasa tertawa. Es krim pembelian telah dibungkus, Laras membayarnya. Namun tiba2 Sasa berteriak. :" Mamaaaaaa..."

Laras terkejut. Tiba2 saja Sasa berlari kearah tepi jalan. Laras mengejarnya. Tak seorang perempuanpun terlihat disana, bagaimana Sasa bisa memanggil mamanya?

"Mamaaa..." Sasa melihat kekanan dan kekiri... lalu tiba2 sebuah mobil keluar dari perkantoran itu. Laras terkejut bukan alang kepalang, tanpa berfikir panjang dia melompat kearah Sasa dan melemparkannya kesamping.
Namun Laras terjatuh, dan mobil itu menabraknya.

Laras tersungkur, dan terdengar teriakan orang2. Dalam keadaan setengah sadar Laras masih sempat melambai kearah Sasa yang kebingungan.

"Tolong..... bawa dia.. kedalam... anak pak Agus..." teriaknya kemudian dia tak ingat apa2 lagi. Seseorang yang mendengar teriakan Laras segera menggendong Sasa kedalam kantor, dan kerumunan orang2 terdengar gaduh melihat Laras terkapar.
***

Laras sudah ada dirumah sakit. Ia sadar, namun masih sesambat kepalanya pusing. Agus terus menerus menungguinya, dan lega melihatnya tersadar. Dipegangnya tangan Laras dengan lembut.

"Terima kasih Laras, karena kamu anakku selamat, aku berhutang nyawa...," dan Aguspun mencium tangan itu.

Laras berdebar. Dalam pening yang dirasakannya, ada getar yang tak dimengertinya.
Dibiarkannya Agus mencium tangannya.
Bahkan kalau boleh, ia akan minta selamanya begitu. Aduhai.
Tapi kepalanya masih berdenyut. Dokter tak memberinya alas kepala.
Ada gegar otak ringan yang tadi membuatnya muntah2. Lengan sebelah kanan lecet2, terbalut perban.

"Sakit sekali ya?" tanya Agus pilu.
"Enggak mas, aku baik2 saja.." jawab Laras. "Jangan lepaskan tanganku.." yang ini hanya dikatakan dalam hati saja. Malu dong.

Tapi Laras kembali memejamkan matanya. Kepalanya pusing sekali. Sebelah tangannya memegang kepalanya.

"Pusing ya? Pusing sekali?" Agus tampak khawatir. Ia bergegas menemui perawat jaga dan mengatakan bahwa tampaknya kepala Laras pusing.
"Iya pak, bapak tenang saja, dokter sudah memberinya obat, sebentar lagi pasti ia tertidur," jawab perawat itu.

Agus kembali mendekati Laras, mata Laras memang terpejam.
Agus memegang tangannya pelan, tak bergerak, barangkali Laras memang mengantuk, dan benar kata perawat itu, Laras akan segera tertidur.
***

"Pras, sudahlah, jangan sedih, Laras tak apa2, hanya luka lecet2," hibur Panji melihat Agus tampak gelisah.
"Kata dokter gegar otak ringan."
"Ya, nanti akan pulih, tenanglah."
"Aku berhutang nyawa, kalau tak ada Laras aku sudah kehilangan anakku," kata Agus sendu, matanya berkaca kaca.
"Tuhan masih melindungi kita semua. Tapi yang membuat aku heran, mengapa Sasa memanggil manggil mamanya.."
"Nah, aku juga memikirkan itu, mungkinkah Sasa melihat mamanya disana?"
"Kemudian lari begitu Sasa mengejarnya."
"Berarti Santi ada disekitar tempat ini. Mungkin dia juga kangen sama anaknya."
"Berarti kita bisa memancing Santi dengan memakai Sasa sebagai umpannya." kata Panji tiba2.
"Apa maksudmu?"
"Aku yakin Santi sangat ingin ketemu anaknya."
"Bagaimana kalau dia malah membawa lari Sasa? Jangan Panji, itu berbahaya."
"Itu satu2nya jalan Pras."
"Aku akan berbicara dulu dengan teman2ku."
***

Santi memasuki rumah persembunyiannya dengan wajah kesal. Dilihatnya Dita duduk bersandar di sofa, diam, seperti beberapa hari yang lalu.
Makanan dan minuman yang disodorkan Santi hanya masuk kemulutnya beberapa suap dan beberapa teguk minuman. Itu juga karena Santi memaksanya.

"Sampai kapan kita akan begini?" tanya Dita lemah.
"Entahlah, sampai mas Panji berjanji untuk tidak melaporkan aku ke polisi."
"Biarkan aku bicara sama mas Panji, dan minta agar dia tak melakukannya."
"Apa kita harus percaya? Begitu kamu pulang, lalu dia melakukannya, bagaimana?"
"Kita kan belum bicara, aku akan minta agar dia menepati janji, cobalah, biarkan aku bicara."
Santi terdiam. Ia tak begitu saja bisa mempercayai seandainya nanti Panji bisa diajak bicara.
"Aku tadi melihat Sasa, anakku," tiba2 Santi bergumam.
"Anak dokter? Apakah dokter tidak kangen sama anak dokter?"
Santi menghela nafas panjang.

Tadi dia hampir mendekapnya ketika Sasa berlari kearahnya, tapi Laras mengejarnya dan Santi menghilang.
Kalau tadi bisa mendekat, apakah ia akan membawanya pergi? Rasa rindunya kepada anaknya tak tertahankan lagi. Itu sejak ia melihat anak kecil menangis dipinggir jalan, sebesar Sasa, mencari ibunya.
Ia tadi juga mendengar Sasa memanggilnya... mamaaaa... mamaaa... pasti Sasa juga rindu pada ibunya.

"Aku akan membawa kabur Sasa.." tiba2 Santi berkata, tandas. Dita terkejut bukan alang kepalang.
***

"Mana Dita, mengapa tidak segera datang kemari Ruti? Kamu jangan membohongi ibu ya," kata bu Tarjo yang sudah dua hari ini menunggu Dita tak kunjung tiba.
"Oh iya bu, tadi kan Dita kemari......"
"Tapi ibu sedang tidur? Itu saja selalu yang kamu katakan, ibu kok merasa ada yang kalian sembunyikan to nduk," tampaknya bu Tarjo merasa curiga.
"Ibu, nggak ada yang menyembunyikan apapun. Itu benar bu..." sedih Maruti mengatakannya, tapi ia tak ingin membuat ibunya khawatir.
Bu Tarjo diam, tampak ia tak percaya pada apa yang dikatakan Maruti.

"Oh iya bu, ini Dita lagi menemani Laras dirumah sakit. Bukan rumah sakit sini bu," kata Maruti yang tiba2 menemukan alasan yang lebih bisa diterima.
"Lho, nak Laras kenapa?"
"Maruti nggak mau cerita ke ibu sebenarnya, takut ibu kepikiran. Kemarin Laras tartabrak mobil."
"Ya Tuhanku... lalu bagaimana?" bu Tarjo tampak khawatir.
"Untungnya lukanya nggak begitu parah. Lengannya lecet2, lalu gegar otak, tapi nggak berat."
"O alah... kok ibu sampai nggak tau."
"Ibu kan juga lagi sakit, jadi Maruti nggak mau cerita. Na sekarang ini, karena ibu sudah Ruti tungguin, Ruti minta Dita menemani Laras dulu. Kasihan, ibunya Laras kan juga sudah tua, nggak mungkin nungguin Laras kan."
Bu Tarjo mengangguk angguk.
"Nak Laras baik sama kita, ia juga sayang sama ibu, kasihan, semoga cepat sembuh. Biarlah Dita menemaninya dulu."

Maruti menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.
***

"Sasa, sini dekat papa sini.." panggil Agus pada sore itu dirumahnya.
"Papa...." Sasa berlari mendekat dan bergayut pada lengan papanya.
"Papa mau nanya nih, apa benar tadi Sasa melihat mama?"
"Mama berdiri jauh... Sasa melihat.. tapi mama pergi lagi.."
"Sasa mau mendekati mama ya?"
"Iya.. tapi mama pergi... trus nggak ada... trus tante Laras jatuh.. "

Agus menghela nafas penuh sesal. Ia teringat keadaan Laras yang terluka, dan ia merasa bersalah membiarkan Sasa bersamanya.
Tapi itu kan bukan salahnya? Apa salah mamanya Sasa yang tiba2 memperlihatkan dirinya, kemudian kembali menghilang?

"Kita berhutang nyawa pada tante Laras," bisik Agus sambil mencium anaknya.
"Apa pa ?"
"Tante Laras amat baik, ia melindungi Sasa.. kalau tidak ada tante Laras, Sasa pasti terjatuh."
"Dimana tante Laras?"
"Sekarang lagi sakit, dirumah sakit. Sasa mau melihatnya?"
"Kan anak kecil nggak boleh kerumah sakit?"
"Nggak usah kerumah sakit, sebentar ya, nanti Sasa bilang terimakasih sama tante Laras ya?"

Agus membuka ponselnya, menghubungi Laras dengan videocall.. mudah2an Laras bisa mengangkatnya.
Dan tersambung.

"Hallo Laras, ma'af ya, tapi kalau masih pusing kamu boleh mematikannya."
"Hallo mas, nggak, sudah mendingan, tumben mas, ini dirumah?"
"Ya, ada yang mau kasih salam nih..." kata Agus sambil memangku Sasa, sehingga tampak dilayar ponselnya.
Laras tampak gembira.

"Hallo Sasa...."
"Ayo.. kasih salam sama tante Laras." kata Agus.
"Tante sakit ?"
"Iya Sasa, tapi sudah baikan. Sasa lagi ngapain?"
"Sama papa..."
"Bilang terimakasih.." pinta Agus.
"Terimakasih tante...."
"Sama2 Sasa, aduh.. Sasa cantik sekali, sudah maem belum?"
"Sudah, Sasa mau es krim."
"Ssssh.... kok disini mau es krim ," tegur Agus sambil tertawa.
 Laras pun tertawa.
"Nanti kalau tante sudah sembuh, kita makan es krim lagi ya?"
"Iya...."

Agus menurunkan Sasa yang kemudian berlari menemui perawatnya.
"Kamu lebih sehat Laras?"
"Sehat mas, apalagi menerima telephone ini. Maksudnya, setelah melihat wajah .. Sasa.." Laras buru2 meralat ucapannya yang kelihatan senang ditelpone Agus.
Agus tersenyum.

"Sebentar saja telponnya ya, takutnya kamu nggak bisa istirahat. Besok aku kesini, kamu mau dibawain apa?"
"Nggak usah dibawain apa2 mas," bergetar hati Laras. Senang benar hatinya mendapat perhatian lebih dari Agus. Aduuh, tapi kenapa jalannya harus melalui ini? Aku jatuh dan terluka... sakit.. tau !!
***

Pagi itu Panji menemui Agus dikantornya, tapi tak ada.
Maruti yang sudah datang lebih dulu mengatakan bahwa Agus langsung kerumah sakit.

"Oh ya, kasihan dia. Tampaknya marasa bersalah pada Laras."
"Merasa berhutang nyawa katanya."
"Mungkin sudah jodohnya," gumam Panji.
"Oh ya? Tampaknya pak Agus jatuh cinta beneran sama Laras."
"Waduh, ada yang cemburu donk."
"Siapa?"
"Bukan kamu?" goda Panji yang dibalas wajah cemberut oleh Maruti.
"Apa kabarnya Dita? Ibu bertanya terus, aku bingung menjawabnya. Aku juga menghawatirkan keselamatannya.
"Selama Santi masih ingin selamat, Dita pasti juga selamat. Aku ingin bertemu Agus karena ada rencana memancing Sinta dengan Sasa sebagai umpannya."

==========

Maruti terpaku ditempat duduknya, bagaimana mungkin menjadikan Sasa sebagai umpan? Bagaimana kalau Sasa celaka?

"Jangan mas, itu berbahaya,"kata Maruti khawatir.
"Sa'at ini Santi sedang ingin mendekati Sasa. Kita bisa menjebaknya. Aku dan Agus sudah berbicara dengan orang2 yang ahli. Kamu jangan khawatir."
Tapi tetap saja Maruti khawatir. Bagaimana nanti cara menjebaknya? Entahlah..

"Kalau begitu aku akan menyusul Pras kerumah sakit. Mungkin lebih baik daripada hanya menelpone."
"Ya mas, silahkan saja, semoga berhasil ya mas, aku sangat menghawatirkan keselamatan Dita juga. Apalagi ibu menanyakannya terus menerus."
"Berdo'alah agar semuanya baik2 saja."

Panji menatap Maruti. Marutipun menatapnya. Ada kerinduan tersimpan pada tatapan itu. Ada harapan akan hidup bersama pada suati hari nanti. Bisakah?
***

"Mas, aku kan sudah besar, mengapa mas memberi aku hadiah boneka sebesar ini?" kata Laras dengan wajah berseri, sambil memeluk boneka Hello Kitty yang diserahkan Agus. Ada tulisan disana, SEMOGA LEKAS SEMBUH, KENANGLAH SELALU AKU.

Wouw...  Laras memeluknya erat2, seakan bukan boneka itu yang dipeluknya tapi orang yang memberinya.
Laras benar2 seperti orang yang sedang jatuh cinta. Atau memang kan dia sedang jatuh cinta?

"Boneka ini akan mewakili aku, jadi kamu bisa merasa seakan akulah yang menemani kamu disini," jawab Agus sambil tersenyum.
Herannya Laras, mengapa senyum itu tampak selalu memikat, seperti menghipnotisnya menjadi seorang yang sangat pemalu.
Laras mengalihkan pandangannya kearah lain. Ada debar yang seperti memukul mukul dadanya.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Senang, eh... baik.." jawab Laras gugup.
"Luka lecet itu masih kemerahan, belum pulih benar.." kata Agus sambil mengamati luka dilengan kanan Laras.
"Iya, kan belum lama, masih sedikit nyeri.."

Tiba2 terdengar seseorang mendehem, dan Panji tiba2 sudah ada didalam kamar itu.
"Panji..?"
"Aku mengganggu ya?" goda Panji.
"Iya mas, kamu mengganggu, soalnya datang tanpa bawa oleh2," sela Laras sambil cemberut.
"Lho, kalau aku bawa oleh2, nanti boneka mu itu ada saingannya. Pasti marah dia."
Panji dan Agus tertawa.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya kepada Laras.
"Baik mas..pusing dan mualnya sudah berkurang."
"Syukurlah.. Oh ya Pras, aku tadi kekantormu.. hanya ketemu Maruti."
"Kamu memang ingin menemui Maruti kan, bukan aku?"
"Kamu ini gimana, ayo keluar dan kita bicara so'al rencana itu."
"Rencana apa tuh?" tanya Laras.
"Kamu lagi sakit, nggak usah ikut2an. Sekarang tidur saja, aku akan membawa mas Agusmu pergi sebentar."
***

"Dokter, biarkan aku menelpon mas Panji.."
"Kamu itu tergila gila sama dia, maunya menelpone saja," hardik Santi.
"Bukan, saya nggak lagi punya perasaan apapun sama mas Panji, saya hanya ingin agar kita bisa pulang dokter, saya tak tahan lagi," isak Dita.
"Aku tidak percaya sama dia, bisa saja dia bilang iya..iya.. pada akhirnya nanti mencelakakan kita. Kita, aku sama kamu, bukan cuma aku, mengerti? Kamu juga berperan dalam hal ini, jangan dikira cuma aku yang bersalah."
"Nanti itu kita bicarakan dokter, yang penting kita pulang dulu."
"Nggak, aku sedang berfikir akan mengajak Sasa," kata Santi tandas.
"Anak dokter, yang masih kecil? Apa dokter tidak kasihan membawanya ditempat terasing seperti ini?"
"Bukan, bukan seperti ini, aku akan membawanya pergi jauh."
"Dokter," Dita masih ingin bicara, tapi kemudian Santi meninggalkannya.
Santi keluaR dari rumah itu, dan tak lupa mengunci pintunya.

Dita terduduk lemas. Sudah berhari hari dia mngikuti Santi tinggal ditempat itu.
Tak bisa keluar, atau sekedar melihat hawa diluar rumahpun tidak.
Kalau Dita pergi, tak pernah dibawanya mobilnya.
Dia menaiki taksi atau kendaaan umum lainnya.
Setiap kali kembali dan membawa makanan dan minuman, Dita hanya memakannya sedikit.
Tak ada sesuappun nasi bisa tertelan sementara hatinya gelisah tak menentu.

Siang itu Santi pergi entah kemana. Kalau ia membuktikan ucapannya ingin mengambil Sasa, entah apa yang akan terjadi pada dirinya.
Kalau dirinya dilepaskan dan Santi pergi jauh, itu melegakan, bagaimana kalau ia harus mengikutinya kemanapun Santi pergi?  Santi benar2 seperti orang gila.
Cara berfikirnya juga tidak wajar. Sekarang ini tiba2 ia ingin sekali membawa Sasa anaknya.
***

Siang itu Sasa sedang bermain disebuah arena bermain. Hanya bersama Endang, perawatnya.
Agus dan Panji yang menyuruhnya. Ditempat agak jauh, ada beberapa orang mengawasi gerak gerik Sasa.
Mata mereka nanar, apabila melihat seseorang mendekati Sasa. Tapi tak ada tanda2 Santi pergi kesana.

"mBak, aku mau pulang saja.." kata Sasa yang sudah kelelahan bermain.
"Sasa mau makan?"
Tapi Sasa menggeleng. Ia memeluk perawatnya, minta gendong.
Endang membawanya kepinggir, tempat para orang tua sedang menunggui anaknya bermain.

"Sasa lapar?"
Sekali lagi Sasa menggeleng.
"Minum ya, ini mbak bawakan susunya."

Sasa menerima botol susu itu dan meminumnya.
Tiba2 dilihatnya orang sedang menjajakan balon agak jauh didepannya. Balon yang berwarna warni, juga bentuk yang sangat menarik.

"Aku mau itu.." Sasa melepaskan botolnya dan menuding kearah penjual balon.
"Jangan, dirumah kan masih ada. Kemarin habis beli, ada tiga lho.. masa masih mau lagi." Endang memegangi tangan Sasa yang ingin berlari.

Tukang balon itu tak kalah pintar. Ia tau anak2 kecil tertarik pada dagangannya, tapi banyak diantara orang tua melarangnya.
Tukang balon itu mengeluarkan sebuah balon yang lain, dan ketika dipencet mengeluarkan bunyi yang keras dan menarik. Teet..teet...teet..teeet...

"Mbaaaak... aku mau.. aku mauuu..." Sasa merengek sambil  berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Endang.
"Baiklah, baiklah.. beli satu saja ya....

Endang mengambil tasnya, lalu membuka dompet yang ada didalamnya.
Tapi lepas dari pegangan Endang, Sasapun melesat pergi.

"Sasaaaa.." teriak Endang.
Tapi mana penjual balon itu? Sasa mencari cari.. tapi tak ditemukannya. Ia seperti lenyap ditelan bumi.
"Mana dia?" Endangpun bingung mencarinya.
"Aku mau balon.. aku mau balooon..." Sasa menangis keras.
"Sasa, diamlah, penjual balon itu sudah nggak ada.. nanti kalau ada kita beli ya.."bujuk Endang.
"Aku mau baloon.. aku mau baloon..."

Endang menggendong Sasa. Sebelah tangannya merogoh sakunya, untuk mengambil ponselnya..

"Diam sayang, aku panggilkan papa ya.. biar papa yang beli balon itu..."
"Hallo mbak, ada apa?" suara Agus dari seberang.
"Sasa menangis minta balon pak, saya mau belikan tapi penjualnya sudah pergi."
"Ya sudah, kamu tunggu disitu, aku segera datang."

Tak lama setelahnya, Agus memang datang. Ia membujuk Sasa agar mau dibelikan disebuah toko mainan.

"Sudah jangan nangis, kita beli disana ya?"
Agus membawa Sasa kesebuah toko mainan.
"mBak, suruh Sasa memilih mana yang disukainya."

Agus menurunkan Sasa kemudian mengangkat ponselnya, karena ada dering telephone memanggilnya.

"Hallo, Panji? Iya, lagi mengajak Sasa beli mainan, nangis dia minta balon, sedangkan penjualnya sudah pergi. Apa? Telpon dari siapa? Oh, ya ampun.. aku nggak tau, bagaimana? Ada yang sudah menangkap Santi? Benar? Oke.. haaa? Penjual balon itu? Baiklah, ya.. ya.. aku akan segera kesana.

Agus menutup ponselnya. Dilihatnya Sasa sudah membeli sesuatu, tergesa Agus menggendong Sasa.

"mBak, kita kekantor. Nanti kamu menemui mbak Maruti, ajak Sasa bermain disana dan jangan pergi kemana mana ataupun pulang tanpa aku. Mengerti?"
"Ya pak."
***

Agus menuju kesebuah rumah yang ditunjukkan Panji.
Ia melihat mobil Panji sudah lebih dulu diparkir disana. Beberapa laki2 berwajah garang sedang berbincang dengan Panji. Agus mendekati mereka.

"Bagaimana? Mana dia?" tanya Agus.
"Dia ada didalam, silahkan bapak melihatnya,." kata salah seorang diantaranya.

Panji dan Agus masuk kedalam rumah itu.
Dilihatnya seorang perempuan duduk, membelakangi pintu.
Perempuan itu memakai kerudung yang ditutupkannya pada mukanya.
Ada beberapa balon yang teronggok disudut ruangan. Terdengar perempuan itu menangis pelan.
Agus tak sabar, membuka kerudung itu.

"Astaga, dia bukaaaan.." teriak Panji.

Bersambung #22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER