Sudah dua hari ini, Niken (sepupu Seno), menginap di apartemen. Sejak Seno tinggal di Manchester Niken memang jadi sering berkunjung menemui Seno. Bukan tanpa alasan itu adalah aksinya Niken untuk berhemat. Karena kalau bersama Seno, dia tidak akan mengeluarkan uang seperakpun. Semuanya ditanggung.
"Gak sia-sia gue punya sepupu bos kayak elo, Sen." Seloroh Niken.
"Ye jangan salah, abis ini gue mau minta tagihan sama Om Dimas."
"Ya elah ngapain bawa-bawa bokap gue sih." Seno terkekeh.
"Elo enggak minta jatah bulanan sama cowok lo gitu? Si Edward kan tajir."
"Iye, tajir tapi pelit."
"Nasib lo apes bener ..."
"Jangan ngomong gitu dong, sedih nih gue."
Niken itu sepupu Seno yang dari kuliah sampe kerja udah tinggal di Inggris. Umurnya lebih muda dua tahun dari Seno.
Pulang ke Indo setahun sekali lebaran doang itu juga kalau dikasih cuti sama perusahaannya. Hubungan dengan pacarnyapun sudah serius. Katanya rencananya tahun depan mau lamaran.
Niken masih meringkuk di sofa dan membenamkan tubuhnya di balik selimut. Pagi hari yang begitu dingin. Suhu di termometer menunjukan angka 2°.
"Sen, gue nyalain penghangat ruangan ya ..."
"Iye ... Gue mandi dulu deh." Seno menaruh ponselnya di meja dekat sofa yang ditiduri Niken. Kemudian bangkit berlalu ke kamar mandi.
"Ya udah sono lo mandi. Bentar lagi lo berangkat kuliah juga kan?" Niken berdiri meraih remot penghangat ruangan yang menempel di dinding lalu menyalakannya.
Baru saja Seno masuk kamar mandi ponsel yang tadi ia letakan di meja berbunyi. Niken penasaran siapa yang menelepon karena suara dering ponsel itu sedikit mengganggunya.
Niken melihat layar ponsel Seno.
"Nomor Indonesia." Gumam Niken.
"Siapa ya? Jangan-jangan tante Nurul nyokapnya Seno." Niken meraih ponsel Seno di meja.
"Angkat jangan ya? Takut penting nih. Ah angkat aja deh."
"Halo ..." Sapa Niken.
Di seberang telefon nafas Nisa tertahan mendengar siapa yang menjawab telefonnya bukan Seno melainkan suara seorang perempuan. Nisa melirik jam tangannya, jam 1 siang. Berarti di Manchester sana jam 7 pagi. Kenapa pagi-pagi sekali Seno sudah bersama dengan seorang wanita? Apa jangan-jangan ....
Pikiran Nisa seketika kacau.
"Halo ... sorry this phone is not Seno?"
"Betul ini hapenya Seno. Maaf dengan siapa saya bicara?" Nisa tidak menjawab ia malah terdiam.
'ia ngomong bahasa Indonesia dengan baik. Pasti perempuan itu orang Indonesia.' batin Nisa.
"Halo ..." Seru Niken karena tidak ada jawaban.
"Oh, maaf. Saya Nisa temannya Seno. Apakah Seno ada? Saya mau bicara penting sekali dengan dia."
"Wah, Seno baru aja masuk kamar mandi. Kamu telefon setengah jam lagi ya, soalnya Seno kalau mandi lama." Tutur Niken.
Nisa langsung bungkam, bahkan perempuan itu tahu kalau Seno mandinya lama. Nisa merasa dadanya tiba-tiba sesak dan panas. Ia kesal dan_sangat cemburu.
"Oh oke. Nanti saya telefon lagi." Tanpa mengucapkan terima kasih Nisa langsung menyudahi sambungannya dengan kesal.
"Rupanya di sana lo main perempuan ya, ndut ... Ketangkap basah lo sekarang." Nisa merasa menyesal sudah merindukan laki-laki itu kalau kenyataannya dia di sana happy-happy dengan perempuan.
***
"Sen, tadi ada yang nelpon dari Indo." Seru Niken ketika melihat Seno keluar dari kamar mandi.
"Siapa?" Seno bertanya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Cewek, namanya Nisa." Jawab Niken datar. Seno langsung menoleh kaget pada Niken.
"Kok lo gak ngasih tahu gue sih!" Kata Seno sambil mengambil hapenya di meja.
"Ya ... Gue kira engga penting." Niken berkata dengan santai. Seno menatap Niken sebal.
"Siapa dia? Cewek lo ya? Santai aja, nanti dia bakal nelfon lo lagi kok, gue suruh nelfon setengah jam lagi."
"Gue yang mau nelpon dia sekarang."
"Tuh cewek emang penting banget ya buat lo?"
"Banget!" Sahut Seno sambil berlalu ke kamar.
Niken geleng-geleng kepala saat Seno sudah menghilang di balik pintu. Niken hapal dengan tabiat sepupunya itu.
Melihat ekspresi Seno saat menatapnya dengan sebal barusan, pasti tuh cewek sangat berarti buat dia.
Niken kembali meringkuk dan menaikan selimutnya hingga ke leher.
Seno cepat-cepat menghubungi Nisa. Seno tahu ini pasti sangat penting sampai-sampai gadis itu menelfon duluan. Karena selama ini hanya Seno yang selalu menelfonnya.
Sudah deringan ke lima Nisa belum mengangkatnya juga. Seno melirik jam di dinding. Di Indonesia sekarang jam setengah dua siang. Apakah Nisa masih makan siang?
Di sana Nisa bergeming sambil terus menatap ponselnya yang berdering dari tadi di atas meja kerjanya. Ia masih kesal. Hatinya masih panas.
Seno di sana bersenang-senang dengan perempuan. Sedangkan ia di sini sangat menderita karena merindukannya.
Selama hidupnya Nisa tidak pernah merasakan kerinduan pada seseorang sampai ia menangis. Nisa merasa air matanya terbuang sia-sia.
Nisa tidak mengangkat telefon Seno hingga deringan itu berhenti dengan sendirinya.
"Kemana tuh anak?" Seno bergumam. Seno kembali memencet tombol call. Berharap kali ini Nisa mengangkatnya.
Lalu beberapa saat kemudian ponselnya bergetar tanda Nisa menerima panggilannya.
"Halo ..." Seru Nisa.
"Nis, tadi elo nelfon gue ya? Tumben lo nelfon, ada apa?"
Nisa membuang nafas dari mulut mencoba mengenyahkan rasa kesalnya. Tidak dengan rasa cemburunya. Karena itu tidak akan berhasil.
"Ya ... Enggak terlalu penting sih."
"Apaan emang?"
"Hm ..." Nisa berdeham.
"Sen, hari sabtu depan gue mau lamaran. Viko mau ngelamar gue, Sen."
Ucapan Nisa seperti echo yang terus bergema di otak Seno. Apakah ia tidak bermimpi? Sahabat baiknya. Kekasih hatinya. Akan menikah. Bukan dengannya, tapi dengan orang lain.
Seno menutup mulutnya dengan satu tangan, ia sekuat tenaga menahan tangisnya agar tidak meledak.
"Wah ... Selamat ya, Nis. Akhirnya sahabat gue nikah juga." Seno yakin Nisa mendengar kalau suara Seno bergetar, tapi Seno harap Nisa tidak curiga Seno terluka dengan kabar ini.
Entah kenapa Nisa tidak suka dengan ucapan selamat dari sahabatnya itu. Sungguh.
"Status kejombloan lo akan berakhir, Nis. Cie ... Cie ... Yang sebentar lagi jadi istrinya penulis."
"Apaan sih lu, Sen. Gak perlu cie-cie segala ah." Nisa mengerucutkan bibirnya.
"Ya ... sayang deh, gue gak ada di saat hari paling bersejarah buat lo, Nis."
"Makanya pulang dong lo. Masa sahabat kawinan lo gak dateng, kan gak seru." Seloroh Nisa. Seno tersenyum kecut.
'gimana gue mau dateng, saat mendengar kabar ini saja kaki gue udah gemetar, apalagi kalau gue lihat lo bersanding sama cowok lain di pelaminan? Bisa-bisa gue lumpuh mendadak.'
"Kuliah gue padet, Nis. Jadi sorry ya gue gak bisa dateng. Gue turut bahagia aja."
"Lo jahat emang."
Seno menunduk sambil menggigit bibir kuat. Dadanya sudah terlalu sesak hingga ia kesulitan untuk bernafas.
Bukankah seorang pria juga manusia? Tidak ada salahnya ia menangis, bukan?
"Nis, udah dulu ya ... Gue lagi sibuk nih, mau cepet-cepet cabut ke kampus." Kata Seno. Nisa menggertakan giginya. Nisa yakin bukan karena itu Seno menyudahi telefonnya, melainkan karena sekarang ada perempuan di sampingnya.
"Oh, ya udah deh. Sorry gue udah ngeganggu kencan lo." Sinis Nisa.
Mata Seno mendelik. "Maksud lo?"
"Ya elah pura-pura bego lu." Nisa masih kesal.
"Serius, emang gue gak tau maksud lo." Seno menaikan nada bicaranya.
Lalu tiba-tiba Seno terpikirkan sesuatu. Pasti Nisa mengira Niken pacar Seno. Karena tadi yang mengangkat panggilan Nisa, Niken.
"Oooh gue tau sekarang, pasti lo bertanya-tanya siapa yang tadi mengangkat telefon elo waktu gue mandikan? Dia sepupu gue yang udah lama tinggal di UK. Namanya Niken anaknya Om gue. Dari kemarin dia emang nginep di sini karena air di apartemennya mati. Padahal sih gue tau itu cuma alasan dia doang, alasan sebenarnya dia nginep di sini buat numpang hidup karena duit gajinya udah habis."
"Oh, kirain."
Nisa merasa dadanya sedikit demi sedikit mulai melonggar. Lalu perasaan nyaman kembali menyelubunginya. Nisa tahu Seno bukan type laki-laki brengsek yang suka tidur dengan wanita.
"Kirain apaan? Wah pikiran lo negatif ya? Sorry ye gue enggak secabul yang elo pikirkan, Nis. Gini-gini juga gue masih inget dosa tau!"
Nisa tertawa. Inilah sahabatnya. Senopati. Pria terbaik yang pernah Nisa kenal. Pria yang sekarang sangat Nisa cintai tapi tidak mungkin ia miliki.
***
Seno berdiri mematung di balkon apartemennya sambil melihat langit Manchester yang kelabu pagi ini.
Hari ini masih pagi sekali tapi ia sudah mendapat kabar yang membuat hari-harinya kedepan tidak akan sama lagi.
Ini sakit sekali. Sungguh. Seno tidak menyangka dampaknya akan sedahsyat ini.
Seno menggenggam erat ponsel di tangannya. Sekuat apapun ia menahannya tapi ia juga masih mempunyai sisi lemah. Ia tidak bisa pura-pura baik-baik saja, sedangkan hatinya saat ini sudah porak poranda, tidak berbentuk, dan mungkin sebentar lagi akan menjadi debu.
Bolehkah sekarang ia menangis? Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Selama itu memang mereka selalu bersama, tapi hanya sebatas sahabat.
Kalau saja Seno lebih cepat menyadari bahwa kebersamaannya dengan Nisa itu didasari dengan rasa cinta mungkin keadaannya tidak akan seperti ini.
Dan kalau saja ia lebih cepat selangkah daripada Viko untuk menyatakan cintanya mungkin keadaanya tidak akan seburuk ini.
Cuma untuk bilang 'Nis, gue cinta sama lo.' kenapa itu sangat berat? Padahal Seno begitu entengnya mengatakan kata cinta pada wanita manapun. Entahlah ... Mungkin itu tidak benar-benar dari hatinya.
Karena sebenarnya selama ini telah ada satu nama terpatri tanpa ia sadari. Satu wanita yang setiap saat ada di pikirannya bahkan saat ia meeting bersama klien.
Wanita yang setiap saat ia rindukan bahkan saat bersamanya.
Seno merundukan kepalanya ke pagar balkon. Lalu setitik air bening jatuh ke punggung tangannya.
'Sekarang apa gue masih berhak buat rindu sama lo, Nis?'
Seno beringsut pelan ke tempat tidur, lalu membenamkan seluruh kesedihannya di sana. Hingga siang ... Sore ... Malam ...
***
Niken sangat hawatir Seno tidak keluar dari kamarnya sejak ia pamit untuk menelefon cewek bernama Nisa itu. Bahkan Seno tidak kuliah dan makan.
Niken mengetuk pintu kamar Seno.
"Sen ... Lo di dalam kan? Gue boleh masuk?" Niken berseru. Tidak ada jawaban.
Lalu beberapa saat kemudian pintu kamar Seno terbuka.
Terlihat Seno seperti yang akan bersiap pergi. Ia memakai mantel tebal, celana jeans dan sepatu boots. Niken terkejut melihat sepupunya itu keluar dari kamar dengan pakaian seperti itu.
"Lo mau kemana malem-malem gini?" Tanya Niken.
"Ken, temenin gue yuk?"
"Kemana?"
"Udeh ikut aja."
Tanpa banyak tanya lagi Niken meraih jaket dan syalnya lalu memakainya sambil berjalan mengikuti Seno yang sudah di depan pintu lift.
Mereka berjalan menembus hawa dingin Manchester yang mampu menggemelutukan gigi.
Suasana malam di kota ini mulai lebih ramai karena sebentar lagi Natal tiba.
Manchester memang tidak seramai kota-kota yang lain di Inggris seperti London. Dan inilah yang bikin Seno betah.
Mereka sudah berjalan kaki selama lima belas menit.
Akhirnya mereka sampai di pintu masuk sebuah bar kecil di sudut kota.
"Lo mau ngajak gue mabok ya? Enggak deh sorry, gue anti ama yang begituan. Lagian besok gue kerja sama mau ketemu Edward." Niken bersungut kesal.
"Engga ... Udah yuk masuk. Gue cuma mau ketemu sama temen gue." Seno berucap sambil masuk.
"Siapa? Orang Indo?" Niken bertanya dengan mengimbangi langkah Seno yang besar-besar.
"Bukan. Tar juga lo tahu."
Saat mereka sudah masuk, lalu ada seorang pria berambut pirang melambaikan tangan ke arah mereka. Seno dan Niken menghampiri pria itu yang tengah duduk santai di spot dekat penghangat ruangan.
"Hai Senopati. Your late." Kata pria itu sambil melirik arlojinya.
"I'm sorry Nick. I actually forgot about this promise." Sahut Seno sambil menarik kursi di depan Nick lalu duduk di ikuti Niken duduk di samping Seno.
"Damn!" Seloroh Nick kesal. Seno terkikik.
"This morning I got something very shocking, so I forgot. Oh, introduce this my cousin, Niken." Sahut Seno. Niken mengulurkan tangan pada Nick.
"Nice to meet you." Ujar Niken sambil meluncurkan senyum yang keliatan kaku pada Nick.
"Nice to meet you too. Want to order something?" Nick mengangkat gelas besar berisi beer ke hadapan Seno dan Niken.
"No, thanks." Seno menolak dengan halus.
"Ok. So we just discuss our business?"
"Okay of course."
Jadi pria bernama Nick adalah teman sekelas Seno yang sama-sama mempunyai perusahaan periklanan. Kurang lebih si Nick itu kayak Seno, dia mendirikan perusahaan itu dari nol dengan background pendidikan yang enggak nyambung dengan kerjaan dia.
Dari sekedar ngobrol biasa saat di kampus, sampai akhirnya mereka sepakat untuk bekerja sama.
Selang dua jam mereka selesai berdiskusi. Niken hampir saja mati karena bosan. Ngedengrin dua orang cowok cas cis cus ngomongin yang enggak dia mengerti. Akhirnya Seno dan Niken pamit pulang duluan karena si Nick sepertinya masih betah duduk di sana dengan minumannya.
"Lo ngapain ngajak gue sih. Bete tau!" Seloroh Niken kesal.
"Daripada lo duduk bengong di apartemen sendiri? Mending ngikut gue" Rasanya Niken pengen ngejitak kepala Seno.
"Ken, gue laper nih. Makan yuk? Seharian ini gue puasa. Orang patah hati juga butuh makan, ya kan?"
Niken mendelik. Patah hati?
==========
Seno dan Niken sekarang tengah duduk di sebuah bangku kayu di pinggir jalan dekat dengan apartemen sambil menikmati hotdog dan kopi dalam wadah plastik.
"Kirain lo mau nlaktir gue makan di cafe, taunya hotdog sama kopi doang. Pelit banget sih lo." Sungut Niken kesal.
"Mulai sekarang gue mau berhemat karena gue mau ngembangin bisnis gue. Kalo elo mau makan di cafe minta si Edward aja, dia kan calon suami lo."
"Jujur aja ya Sen, gue gak tertarik buat nanya tentang rencana bisnis lo sama si Nick itu. Karena gue tau lo orang yang berpengalaman dalam bisnis. Elo juga pinter dalam menilai orang jadi elo gak bakal ketipu sama si rambut pirang tadi. Tapi yang gue pengen tanya emang elo beneran lagi patah hati? Sampe-sampe lo ngurung diri di kamar seharian ini."
Seno menelan hotdognya dengan kesusahan mendengar ucapan Niken, ia menyeruput kopi yang sudah mulai hangat untuk membantu mengalirkan hotdog itu ke perutnya.
Lalu sedetik kemudian riak-riak air mulai menghalangi matanya lagi.
Sebelum air itu jatuh, dengan cepat Seno mengusap matanya dengan punggung tangan kumudian menopang tubuhnya dengan tangan yang ia tumpu pada lutut, sambil menghela nafas panjang.
"Ken, gue jatuh cinta sama sahabat gue sendiri, dan tadi pagi dia bilang, dia mau lamaran." Seno tertawa kecil tapi tawa itu terdengar menyedihkan.
"Gue hacur banget rasanya. Baru kali ini, Ken, gue begini."
Niken terkejut tapi ia berusaha terlihat santai sambil menepuk bahu Seno pelan.
"Gue tau lo sedih, karena gue pernah ada di posisi lo, ditinggal kawin sama orang yang kita cintai. Tapi bedanya dia bukan sahabat gue. Makanya gue sih engga percaya kalau ada yang sahabatan cowok cewek, yang ngakunya pure cuma sahabatan doang. Pasti satu di antara mereka merasakan ada sebuah rasa yang lain."
"Iya gue setuju sama lo. Sepuluh tahun, Ken! Coba lo bayangin."
"Kasian banget sih lo. Kenapa dulu enggak lo coba buat ungkapin? Kalau udah begini elo sendiri kan yang tersiksa."
"Gue enggak ungkapin karena gue takut kehilangan dia." Seno berujar sambil menundukan kepalanya sampai ke dada.
Jujur, Niken baru melihat sepupunya dari sisi yang lain. Dia bisa juga serapuh ini cuma karena seorang cewek bernama Nisa itu. Pasti perasaan buat cewek itu dalem banget.
Selama ini Niken melihat Seno sebagai cowok yang selalu ceria. Seorang cowok yang sukses di usia muda plus playboy yang hampir setiap tiga bulan sekali berganti pacar. Tapi di balik itu siapa yang tahu, bukan?
"Sen, pinjem hape lo dong, gue mau nelfon Edward nih, gue mau nyuruh dia jemput gue besok pagi-pagi ke sini." Seno melirik gemas sepupunya itu di sampingnya. 'Dasar! Buat nelfon cowok lo aja harus numpang ke gue.'
Seno menyerahkan hapenya. Niken tersenyum lebar, ia mengeluarkan hape dari saku jaketnya lalu mengetik sebuah nomor yang tadi pagi menelefon Seno, setelah itu ia mengetik nomor ponsel Edward ke hape Seno untuk menelepon.
Saat menunggu Edward mengangkat telefonnya, Niken melirik Seno diam-diam. 'Semoga apa yang akan gue lakuin buat lo bener, Sen.'
***
Nisa mengangkat kaca mata coklatnya ke atas kepala yang ia jadikan sebagai bando saat keluar dari taksi. Di sampingnya Angga sedari tadi sibuk bersama ponselnya.
Suasana stasiun Senen sore ini tidak begitu ramai.
Nisa dan Angga duduk di kursi tunggu. Jadual keberangkatan keretanya pukul 5 sore. Masih ada setengah jam lagi sebelum kereta yang akan Nisa naiki meluncur ke Sukabumi.
Siang tadi di kantor terjadi kehebohan setelah Nisa bilang bahwa hari ini ia akan bekerja setengah hari karena ia akan pulang ke Sukabumi untuk lamaran.
Semua orang memberi selamat kepada Nisa dengan pelukan hangat. Kecuali Nadya yang menatap iri. Apalagi saat mereka tahu bahwa Nisa akan menikah dengan penulis ganteng dan populer. Vee Aledro.
"Bos memang penuh dengan kejutan." Kata bawahan Nisa kompak.
Beberapa saat kumudian ada pengumuman agar penumpang segera naik ke kereta karena akan segera berangkat.
Nisa merogoh ponselnya di tas sesaat setelah masuk ke kereta dan duduk di bangku penumpang. Ia melihat di layar ponselnya ada satu pesan WhatsApp. Dari Viko.
'Sayang, apa kamu udah berangkat? Nanti kabari aku kalau udah nyampe rumah ya?'
Nisa tidak langsung membalas pesan itu. Ia mendesah panjang. Seharusnya ia bahagia. Wanita manapun jika akan dilamar oleh kekasihnya pasti akan bahagia. Apalagi oleh pria sebaik dan setampan Viko. Tapi kenapa Nisa tidak? Ia hanya ingin menangis? Itu karena dalam hatinya tidak ada cinta.
Nisa kembali menatap ponselnya. Bersamaan dengan itu tiba-tiba ada telefon masuk.
"Nomor luar negeri?" Gumam Nisa. Apakah Seno yang menelefon dengan nomor lain?
Dengan ragu Nisa mengangkat telefon.
"Halo ..." Sapa Nisa.
"Halo ... Apakah saya berbicara dengan Nisa temannya Seno?" Nisa sedikit terkejut ternyata bukan Seno, ia seorang perempuan.
"Betul saya sendiri. Maaf ini dengan siapa ya?"
"Perkenalkan saya Niken, sepupunya Seno yang tinggal di Inggris."
Nisa menahan nafas sejenak. Apakah Niken yang sudah membuatnya cemburu?
"Oh, halo ... Salam kenal juga." Nisa bertanya-tanya, ada perlu apa perempuan itu menelefonnya? Apakah terjadi sesuatu pada Seno?
Niken berdeham "apa saya mengganggu?"
"Ah, tidak ... Saya sedang di kereta mau ke Sukabumi."
"Sebelumnya maaf kalo saya lancang, saya menelefonmu bukan suruhan siapa-siapa. Seno juga tidak tahu. Saya mencuri nomor telefonmu dari ponsel Seno."
Nisa mengerutkan dahinya. 'Ada apa ini? Kenapa Niken sampai mencuri nomorku dari Seno?'
"Nisa, kamu sahabatan dengan Seno sudah berapa tahun?" Tanya Niken. Nisa semakin tidak mengerti, kenapa Niken tiba-tiba menelefon dari luar negeri dan menanyakan tentang persahabatannya dengan Seno?
"Sudah sepuluh tahun, sejak kami sama-sama kuliah di Singapore. Hm ... Maaf sebenarnya ada apa ya? Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?"
"Sebenarnya dari kemarin-kemarin saya ingin menelefonmu, tapi ragu dan enggak berani. Entah kenapa hari ini keberanianku tiba-tiba muncul gitu aja. Saya engga tahu apa yang saya lakuin ini benar atau salah. Saya cuma ingin membantu sepupu saya."
"Seno? Kenapa dengan dia?"
"Nisa ... Sebenarnya Seno itu mencintai kamu sejak sepuluh tahun yang lalu. Tapi dengan begonya, dia tidak berani mengungkapkan sampai detik ini. Saya hawatir dengan dia. Waktu kamu memberi tahu bahwa kamu akan menikah, seharian Seno mengurung diri di kamar, tidak kuliah bahkan tidak makan sama sekali. Maaf ya Nisa ... Saya sudah lancang bicara seperti ini. Saya harap kamu enggak marah."
Nisa langsung melotot kaget. Ia tidak percaya apa yang didengarnya barusan. Seno mencintainya? Itu tidak mungkin! Tapi di hatinya seperti ada desiran angin yang menyejukan hingga ke seluruh rongga dadanya.
"K_kamu bercanda kan?" Nisa sampai terbata.
"Enggak. Saya gak bercanda sama sekali. Gak ada gunanya jugakan? Untuk apa saya menelefon kamu jauh-jauh dari sini kalau buat bercanda doang." Benar juga. Pikir Nisa.
Nisa tidak tahu harus ngomong apa lagi. Ini sangat mengejutkan. Dan_sangat senang. Entahlah Nisa tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini dengan kata-kata.
Tapi seketika kesenangannya itu lenyap bersamaan dengan suara terompet kereta. Kemudian kereta mulai melaju perlahan meninggalkan stasiun.
Suara nyaring dari terompet kereta itu menyadarkan Nisa akan sesuatu.
Bahwa sekarang Nisa akan pulang ke Sukabumi untuk lamaran, dan merencanakan pernikahannya dengan Viko.
Tangan Nisa lemas. Ponsel yang ia genggam terjatuh ke pangkuannya. Ia tidak bisa mendengar lagi Niken bilang apa. Lalu tanpa dipinta air bening dari matanya meluncur deras ke pipi mulus Nisa.
Angga yang sedang serius main game online di samping Nisa, mencopot hedset dan menghentikan permainannya ketika menyadari ada yang enggak beres dengan kakaknya.
Nisa terisak-isak melihat keluar jendela, melihat objek yang menjauh satu per satu.
"Teh, kenapa? Nangis ya?"
Nisa tidak menghiraukan Angga. Ia terus menangis terisak-isak. Angga meraih ponsel di pangkuan Nisa. Niken sudah memutuskan sambungan.
"Tadi siapa yang menelefon?" Tanya Angga hawatir.
"Ga ... Rasanya aku pengen pulang." Sahut Nisa dengan suara sengau.
"Inikan kita mau pulang."
"Bukan ... Pulang ke apartemen."
"Apa? Maksudnya teteh enggak mau ke Sukabumi gitu? Jangan gila deh. Ini kita sudah di kereta loh. Lagian teteh kenapa sih? Pake acara mewek segala. Emang tadi yang nelfon siapa?"
Nisa merunduk, kewarasannya sedang diuji. Logika dan rasa saling berebut untuk menampakan diri. Rasanya kepala Nisa hampir meledak, tapi mau tidak mau Nisa harus memikirkan ini. Jangan sampai Nisa salah langkah.
Ternyata logika yang menang.
***
Nisa tidak mungkin merusak apa yang sudah direncanakan. Jangan sampai ia dan keluarganya malu. Nisa sudah belajar dari masalahnya dengan Yuda. Jangan sampai rasa merusak logika.
Nisa kembali teringat ketika penyakit Viko yang tiba-tiba menyerang. Bukankah ia sudah bersumpah tidak akan meninggalkan Viko? Terlebih Viko sakit karena ada hubungannya dengan tragedi sebelas tahun yang lalu. Dibanding Seno, Viko lebih membutuhkannya. Walaupun hati Nisa terpaut pada Seno.
Sekarang Nisa cuma menyesali satu hal. Kenapa Seno tidak utarakan isi hatinya? Kalau saja dulu Seno mengutarakan cintanya, mungkin keadaannya tidak akan seperti ini.
Sebenarnya kalau dirunut lagi. Dari dulu Nisa sudah curiga kalau Seno mempunyai perasaan lebih padanya. Tapi Nisa selalu menutup mata dan telinga.
Karena baginya ia lebih nyaman bersahabat dengan pria itu. Hingga kesadaran akan perasaannya muncul ketika Seno memutuskan pergi.
Bahwa sebenarnya Nisa telah jatuh cinta pada Seno.
***
Singapore_Januari 2007
Malam itu Nisa merasakan kepalanya sakit. Mungkin karena efek dari kecelakaan itu belum sepenuhnya hilang. Sampai dua tahun kadang Nisa masih merasakan sakit di kepalanya.
Dan malam itu kebetulan Seno akan mengembalikan charger ponsel milik Nisa yang ia pinjam. Saat Seno sampai di kost Nisa, ia sangat terkejut melihat Nisa meringkuk kesakitan dengan wajah pucat seperti mayat.
Seno panik bukan main. Ia mencari bantuan orang-orang tapi mereka tidak peduli. Sampai akhirnya Seno mengambil inisiatif sendiri untuk membawa Nisa ke rumah sakit.
Malam itu hujan mengguyur kawasan Clementi. Tempat tinggal Nisa. Seno tidak peduli, bagaimanapun Nisa harus segera ke rumah sakit.
Seno menyelubungi Nisa dengan jaket bertudung agar nanti Nisa tidak kehujanan. Lalu Seno menggendong Nisa ke luar untuk mencari taksi.
Seno berjalan cepat menerobos hujan. Membiarkan tubuhnya yang saat itu hanya memakai kaos oblong dan celana selutut basah kuyup.
Sudah lima menit Seno berdiri di tepi jalan tapi belum mendapat taksi. Saat itu Nisa mendapati dirinya berada di gendongan Seno. Karena rasa sakit yang luar biasa, kesadaran Nisa timbul tenggelam.
Nisa masih bisa melihat sepintas bagaimana ekspresi wajah pria itu terlihat sangat hawatir.
Tapi kemudian Nisa kembali terkulai lemah ke leher Seno yang basah.
Sampai akhirnya ada Syahla alias Lala yang menawarkan tumpangan pada mereka. Dari situlah awal persahabatan mereka dengan Lala. Sebenarnya mobil yang Lala bawa bukan miliknya tapi milik temannya.
Lala segera membawa Nisa ke National University Hospital, sebagai rumah sakit terdekat dari kawasan itu.
Sesampainya di rumah sakit Nisa langsung ditangani oleh dokter dan beberapa perawat. Saat itu Seno baru tahu kalau Nisa pernah mengalami cedera kepala yang parah karena kecelakaan.
Selama tiga hari Nisa di opname sampai akhirnya dokter membolehkan Nisa pulang tapi dengan catatan tidak boleh terlalu cape dulu.
Orang tua Nisa tidak bisa menemani Nisa yang sakit, karena kebetulan ayah Nisa juga sakit usus buntu dan baru dioperasi. Akhirnya saat Nisa sakit cuma ada Seno yang menemani dan ada Lala yang beberapa kali datang berkunjung.
Nisa merasakan perhatian Seno yang sangat berbeda. Saat itu Seno rela melakukan apapun untuk Nisa.
Tidur menemani Nisa di rumah sakit yang hanya beralaskan karpet tipis. Mengantri lama hanya untuk menebus obat untuk Nisa. Menyuapi Nisa makan. Hingga rela bolak balik, kampus-kost-rumah sakit.
Malam itu National University Hospital sangat sunyi, Nisa yang tidur di ranjang pasien melihat Seno tidur meringkuk di bawah sambil memeluk bantal bergambar club sepak bola kesukaannya Manchester United yang ia bawa dari tempat kostnya.
Nisa menatap wajah Seno yang terlihat sangat kelelahan. Hari ini Seno bilang kalau kuliahnya padat ditambah ia harus mengerjakan tugas dari salah satu dosennya. Tapi Seno masih berusaha datang ke rumah sakit sebelum malam untuk menemani Nisa. Mengecek obat dan makanan yang Nisa makan.
Siapa Seno? Dia bukan saudara. Seno hanya orang asing yang baru dikenal Nisa beberapa bulan yang lalu. Tapi Nisa sangat merasakan kasih sayang yang pria itu berikan untuk dirinya.
Setitik air bening memaksa keluar dari sudut mata Nisa.
"Terima kasih Sen, lo selalu ada buat gue. Lo sahabat terbaik gue sampai kapanpun." Ucap Nisa sebelum tidur.
Nisa tidak tahu bahwa di masa depan perasaannya kepada Seno akan berubah. Dan itu sampai selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel