Cerita bersambung
Rita meletakan beberapa kebaya di tempat tidur untuk Nisa pakai saat lamaran nanti malam. Pandangan Rita lalu tertuju pada pintu kamar mandi yang tertutup.
"Nisa ... Kamu di dalam?" Sahut Rita.
"Iya bu ... Aku lagi mandi." Jawab Nisa.
"Oh ... Nis, ini kebaya dari bu Sarah sudah datang. Pilih yang kamu suka ya ... Biar nanti sisanya bisa langsung dikembalikan."
"Iya bu nanti aku pilih."
Rita melirik jam di dinding sudah jam 4 sore, tapi sampai saat ini masih ada beberapa yang belum ia persiapkan. Rita bergegas keluar dari kamar Nisa.
Di dalam kamar mandi, Nisa hanya duduk diam sambil memeluk lutut dengan shower yang ia biarkan menyala mengguyur kepalanya. Ia masih meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang ia lakukan sekarang adalah hal yang benar.
Nisa tidak bisa menyakiti Viko. Selama ini pria itu sudah sangat menderita. Tidak kunjung mendapat jantung baru saja sudah membuat Viko sedih. Apalagi kalau Viko tahu Nisa tidak mencintainya dan ingin membatalkan lamaran ini?
Di tempat lain Viko tengah berdiri di depan cermin besar. Viko sedikit memiringkan kepalanya melihat tubuhnya sendiri di cermin. Lihat, bukankah sekarang ia sudah semakin kurus? Lihatlah ke bawah matanya juga, bukankah di sana semakin cekung dan hitam?
Dada Viko sesak melihat perubahan itu. Sekarang tidak ada lagi tubuh yang segar seperti dulu.
'God ... Tolong sembuhkan aku. Aku ingin membahagiakan Nisa.' Ratap Viko dalam hati.
Viko melepas jas yang sedang ia coba lalu memilih lagi setelan jas yang lebih kecil agar terlihat pas dengan tubuhnya.
Tok ... Tok ... Tok ...
Seseorang mengetuk pintu kamar Viko.
"Masuk ..." Seru Viko. Yang datang Mia ibunya Viko sambil membawa beberapa obat yang harus Viko minum.
"Waktunya minum obat?" Tanya Viko.
"Iya ... Saat lamaran, kamu enggak boleh tiba-tiba pingsan, bukan?" Mia meletakan nampan berisi obat dan segelas air ke meja kecil di samping tempat tidur.
Lantas ia menatap anak sulungnya itu dengan mata haru.
"Kamu bahagia?" Viko mengangguk sambil tersenyum pada Mia.
"Mama senang sekali akhirnya kamu akan menikah. Dan semoga saja setelah kamu menikah ada keajaiban terjadi. Tiba-tiba dokter Vanesh telefon kalau jantung baru buat kamu sudah tersedia."
"Amin ... Semoga itu terjadi. Viko mau sembuh, Ma ..."
Mia mengangguk dengan mata berkaca.
"Lihat, anak mama sangat tampan dengan jas ini." Mia berkata sambil menatap Viko di cermin.
"Dari lahir anak mama yang satu ini udah ganteng kan." Viko menyeringai.
***
Pandangan Viko terus menatap lurus pada seorang gadis di hadapannya yang dari tadi hanya menunduk sambil sesekali mengulum senyum.
Viko bersumpah, tidak ada perempuan secantik dia di dunia ini. Satu-satunya perempuan yang sangat ia cintai dari ia berumur empat belas tahun.
Perempuan itu bernama Danisa Alia.
Sesepuh dari keluarga Viko sedang beramah tamah dengan keluarga besar Nisa. Sekarang lamaran sedang berlangsung. Semua orang berbahagia.
Kecuali Nisa_dan mungkin orang tua Nisa juga.
Tapi Nisa mampu menunjukan senyum termanis pada calon suaminya. Bukankah ia pelakon yang handal? Nisa bisa terlihat baik-baik saja di hadapan semua orang hanya demi kebahagiaan satu orang.
***
Acara lamaran berlangsung dengan meriah, sekarang cincin emas putih bermatakan white diamond sudah tersemat di jari manis Nisa. Viko memesan cincin itu dari seorang disigner perhiasan kenalannya, Viko meminta untuk membuatnya dengan seindah mungkin, karena cincin itu akan dipakai selamanya oleh wanita yang paling special di hidupnya. Viko benar-benar telah mempersiapkannya dengan matang.
Sekarang seluruh keluarga tengah menikmati hidangan, dan suasana sedikit lebih santai. Setelah makan malam acara dilanjutkan dengan menetapkan tanggal pernikahan.
Setelah dihitung-hitung dengan hitungan kuno yang tidak Nisa mengerti akhirnya tanggal pernikahan jatuh pada tanggal 26 Desember. Kurang lebih sebulan dari hari itu.
Nisa syok, ternyata waktunya secepat itu.
"Kamu bahagia?" Viko bertanya. Nisa menoleh pada Viko di sampingnya.
Mereka sekarang duduk di bangku besi di gazebo belakang rumah Nisa. Aroma mochi dari pabrik menyeruak harum, mengundang selera.
"Iya ... Tapi aku masih tidak percaya kalau tanggal pernikahannya akan secepat itu."
"Lebih cepat lebih baik." Sahut Viko.
Tenggorokan Nisa tercekat. Viko menengadah menatap langit yang cerah.
"Semesta merestui kita." Viko berucap dengan senyum terus tersungging di bibirnya.
"Lihat. Langit cerah, bintang di mana-mana, bulan juga ada. Aku harap ini sebagai pertanda kalau masa depan kita juga secerah malam ini." Nisa hanya bisa tersenyum. Ia tidak tahu harus bilang apa saat itu.
Mata Viko berkilat-kilat terpapar cahaya lampu, di sana tergambar jelas sekali kalau ia sangat bahagia.
"Ko, tapi kamu harus ingat dengan kesehatanmu. Aku tidak mau hal buruk terjadi."
Viko merubah posisi duduknya menghadap Nisa lalu kedua tangannya menangkup pipi Nisa dengan lembut.
"Aku janji, aku akan sekuat tenaga bertahan dengan jantung ini. Aku ingin melakukan hal-hal yang ingin aku lakukan denganmu. Aku juga ingin menjadi suami yang baik buat kamu, dan ayah yang bertanggung jawab buat anak-anak kita nanti." Nisa menatap lekat mata coklat Viko.
Pria itu benar-benar tulus mencintainya. Rasa haru seketika menyeruak dalam dada Nisa, yang mendorongnya untuk menganggukan kepala.
Viko mendekatkan wajahnya ke wajah Nisa lalu sedetik kemudian bibir Viko mendarat di kening Nisa. Saat itu tubuh Nisa menegang, kaku seperti papan. Walaupun sekarang raganya sangat dekat dengan Viko, tapi tetap hatinya jauh. Jauh sekali.
***
Pernikahan mulai dipersiapkan. Nisa dan Viko telah sepakat tidak akan menggelar pernikahan besar-besaran. Acaranya akan digelar sesederhana mungkin. Tidak ada resepsi mengundang ribuan orang.
Setelah akad nikah hanya akan kumpul-kumpul bersama keluarga dan sahabat dekat saja. Itu karena demi kesehatan Viko.
Viko tidak mungkin berdiri salaman sampai berjam-jam dengan tamu undangan. Hanya berdiri lima belas menit saja ia sudah merasa kepalanya berputar-putar dan sesak.
Setelah acara pertunangan, hari minggu sore Nisa sudah kembali ke Jakarta, kali ini tidak bersama Angga. Adik bungsunya itu akan tinggal lebih lama di Sukabumi sebelum nanti kembali ke Jakarta untuk melakukan seleksi berikutnya, karena seleksi pertama lolos.
Nisa menjatuhkan tubuhnya ke sofa di ruang tengah. Di tempat inilah ia sering menghabiskan waktu bersama Seno untuk sekedar makan pizza atau ngobrol soal apapun. Termasuk curhat tentang pacar-pacar Seno yang selalu kabur.
Nisa mengusap sandaran sofa yang biasa Seno sandari. Nisa rindu melihat Seno tersenyum padanya, Nisa rindu Seno mengacak rambutnya ketika pria itu dibuat gemas oleh Nisa, Nisa rindu aroma parfum Seno. Nisa rindu semuanya.
Sekarang ia akan menikah dengan Viko. Nisa tidak yakin rindu ini akan hilang ketika ia sudah menikah. Atau bahkan mungkin akan lebih kuat.
Nisa melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya. Ia harus memberi tahu Seno tentang pernikahannya.
Nisa meraih ponselnya. Ia tidak berani bicara langsung. Kedua jempol Nisa menari-nari di layar ponselnya mengetik sebuah pesan untuk Seno.
'Sen, gue akan menikah tanggal 26 desember. Gue tahu lo sibuk tapi gue harap elo pulang. Karena pernikahan gue di saat semua universitas di dunia libur akhir tahun, bukan?'
Beberapa saat setelah pesan itu terkirim, Seno menelefon. Nisa terkejut. Dadanya berdegup kencang. Setelah tahu dari Niken bahwa pria itu mencintainya, Nisa jadi kikuk.
Dengan ragu Nisa menggeser tombol gagang telefon ke kanan. Lalu ia meletakan ponselnya ke telinga.
"Halo Sen ..." Sahut Nisa dengan suara dibuat sesantai mungkin.
"Yeay ... Akhirnya sahabat gue sebulan lagi nikah. Nis, bilang sama gue elo pengen hadiah apa, gue pasti beliin buat lo."
Nisa menutup mulutnya dengan satu tangan. Dadanya yang berdebar berubah sesak. Bagaimana bisa pria itu bersikap seceria itu? Menawari Nisa hadiah pernikahan segala. Nisa tahu Seno pasti tersiksa tapi pria itu mampu menutupinya dengan mudah. Mungkin karena sudah terbiasa.
"Gue enggak mau hadiah apapun. Gue cuma mau elo pulang." Permintaan Nisa memang terdengar kejam. Meminta pria yang mencintainya selama sepuluh tahun untuk melihatnya menikah dengan pria lain. Tapi sungguh Nisa ingin melihat Seno ada.
Seno berdeham. "Nis, dengar. Gue bukannya enggak mau datang tapi_" ucapan Seno terputus. Seno memasok udara ke dadanya, sebagai pertahanannya untuk tidak meneteskan air mata lagi. 'gue benar-benar enggak bisa melihat elo nikah sama pria lain, Nis.' tentu saja kata-kata itu tidak Seno ucapkan.
"Tapi apa?" Tanya Nisa.
"Gue di sini lagi ada bisnis sama temen sekelas gue."
"Bisnis?"
"Iya. Kami mau kerjasama. Temen gue itu punya perusahaan periklanan juga."
"Oh gitu." Suara Nisa terdengar kecewa. Nisa mengerti Seno tidak akan datang walaupun ia memaksa.
"Elo marah ya?"
"Gak. Gue kecewa aja."
"Sorry ya Nisa, sayang ..."
Jantung Nisa hampir saja melompat keluar saat mendengar Seno mengucapkan sayang.
"Pikirin dari sekarang elo pengen hadiah apa, nanti gue beliin, oke?"
"Baiklah." Sahut Nisa pasrah.
Seno menutup telefon. Tangannya yang lain meremas botol minum hingga isinya meluber ke luar. Rahangnya mengeras, dan matanya memerah lagi.
***
Dua minggu sebelum pernikahan, kesehatan Viko kembali drop. Ia semakin sering tiba-tiba pingsan. Nisa sangat hawatir dengan kesehatan calon suaminya itu.
Untungnya tidak sampai mendapat serangan seperti waktu di restoran dulu. Demi Tuhan Nisa tidak mau melihat kejadian itu lagi.
Sebenarnya dokter Vanesh menyarankan Viko untuk rawat inap, tapi Viko menolak, katanya ada hal penting yang harus ia selesaikan sebelum hari pernikahannya. Nisa tidak tahu apa itu. Dan Viko juga nampaknya merahasiakan itu dari Nisa. Akhirnya dokter Vanesh membolehkan, asal Viko jangan sampai mengalami serangan. Karena itu sangat berbahaya.
"Ko, apa sebaiknya kamu menuruti perintah dokter Vanesh aja?" Bujuk Nisa.
"Enggak apa-apa, Nis. Aku masih ngerasa baik-baik aja kok. Ya ... Walaupun sekarang aku jadi sering sesak sama pusing."
"Tuh kan ... Aku enggak mau kamu kenapa-napa."
Viko meremas jemari Nisa menenangkan. Matanya yang sipit menatap gadis itu dengan takjim.
"Kamu tenang aja ya ... Aku akan baik-baik aja selama kamu ada di sampingku." Nisa mengerjap. Lalu seulas senyum berusaha Nisa terbitkan pada Viko.
Viko tidak perlu memberitahu Nisa bahwa apa yang barusan ia bilang adalah bohong. Viko tidak merasa baik-baik saja, setiap menit, setiap detik, ia ketakutan kalau jantungnya yang malang tiba-tiba berhenti berdetak tanpa peringatan. Viko tidak mau Nisa cemas.
Setiap hari Viko berdoa, keajaiban terjadi. Jantung baru untuknya sudah tersedia.
***
Seno menuruni lima anak tangga dengan cepat keluar dari pintu perpustakaan John Ryland. Ia harus cepat-cepat pulang lalu memenuhi undangan makan malam keluarga Mr. Armand.
Sekarang malam natal, Seno tidak mau membuat keluarga itu kecewa. Apalagi mereka sudah mengundang Seno dari jauh hari. Dan Seno juga ingin melupakan sejenak tentang pernikahan Nisa yang akan dilaksanakan lusa.
Selama sebulan ini rencana pernikahan itu tidak sebentarpun hilang dari pikiran Seno. Ini benar-benar sudah mengganggunya dan membuatnya frustasi hingga Seno tidak enak untuk melakukan apapun.
Suhu Manchester malam ini jatuh di minus 4° walau begitu semua orang larut dalam suka cita natal. Pertunjukan jalanan semakin meramaikan suasana. Cafe-cafe, gereja, bahkan di pinggir jalan semua orang berbaur dengan hangat di tengah dinginnya kota.
Seno membenarkan posisi tali ranselnya di pundak lalu menerobos ke kerumunan orang-orang yang tengah menonton pertunjukan jalanan. Seno melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
'Semoga enggak telat.' harapnya.
Selang setengah jam Seno sudah berdiri di depan pintu apartemen keluarga Mr Armand. Seno memencet bel interkom yang menempel di samping pintu.
Sambil menunggu seseorang membuka pintu, Seno melonggarkan syal yang melilit lehernya, karena udara sudah tidak sedingin di luar.
Lalu terdengar suara kunci otomatis terbuka, sesaat kumudian Mrs. Armand sudah di hadapan Seno dengan senyumnya yang hangat.
"Senopati ... welcome we have been waiting from before."
"Sorry, i'am late." Sahut Seno dengan menunjukan wajah sesal.
"It's okey. Come in." Sahut Mrs. Armand sambil memberi jalan untuk Seno masuk.
"Ya ..."
Seno disambut oleh keluarga Mr. Armand lainnya yang datang dari London.
Suasana sangat meriah. Pohon natal berdiri anggun di sudut ruangan dengan hiasan yang membuatnya semakin cantik, berbagai makanan kecil dan minuman memenuhi meja di ruang tengah.
Belum lagi hidangan makan malam sudah tersedia di meja makan. Rupanya mereka sengaja belum makan malam karena menunggu Seno.
Seno menyalami mereka dengan sopan, lalu berusaha membaur. Mereka sangat bersahabat dan itu membuat Seno nyaman berada di tengah-tengah mereka.
"You are very handsome, do you want me to introduce to my daughter?" Sahut wanita berambut pirang yang terlihat seumuran dengan Mrs. Armand. Sepertinya dia akan menjodohkan putrinya dengan Seno.
Seno cuma tersenyum malu menanggapinya.
"See ... your smile is very sweet." Seru ibu yang lainnya sambil menjawil pipi Seno dengan gemas.
"Hey don't make him shy, tonight he's our guest." Mrs. Armand menyelamatkan Seno.
"It's okey, Mrs." Sahut Seno sambil menunjukan deretan gigi putihnya.
"Do you have a lover?" Rupanya si ibu berambut pirang tadi tidak main-main ingin menjodohkan putrinya dengan Seno. Jujur, Seno jadi kikuk dibuatnya.
Akhirnya Seno berucap. "Forgive me, i already have a girlfriend in Indonesia." Tutur Seno bohong.
"Yes of course, a handsome man you must have a very beautiful girlfriend, right?" Timpal Mr. Armand sambil menghentikan permainan caturnya dengan pria berambut gelap yang sepertinya masih seumuran dengan Seno.
Seno menyeringai sambil mengangguk malu. Si ibu berambut pirang terlihat kecewa.
"Okay, because seno has come, let's have dinner now." Seru Mrs. Armand. Lalu semua orang menuju meja makan.
Rupanya makanan khas natal di Eropa sangat beraneka ragam. Biasanya setiap negara memiliki makanan khas yang berbeda-beda. Seperti di Indonesia saat lebaran yang harus ada ketupat dan opor ayam.
Keluarga Mr. Armand semuanya dari Inggris maka dari itu makanan khas natal negara ini wajib ada di meja makan yaitu mashed potato dengan gravy dan saus cranberry.
Selain makanan itu ada juga hidangan khas lainnya yaitu roasted turkey alias kalkun panggang berukuran sangat besar yang di kelilingi oleh irisan lemon.
Mrs. Armand sengaja tidak menghidangkan daging babi yang dilapisi roti dan bacon, padahal makanan itu adalah hidangan khas natal yang lainnya. Mrs. Armand tahu Seno seorang muslim yang diharamkan memakan daging babi.
Makan malam berlangsung dengan hangat. Sebagai makanan penutup keluarga itu menghidangkan Risgrynsgröt makanan khas dari Swedia. Risgrynsgröt ini adalah pudding beras yang memiliki rasa manis dengan warna putih. Risgrynsgröt ini akan dihidangkan saat natal untuk disantap bersama keluarga besar.
Orang Swedia percaya bahwa mereka yang mendapatkan Risgrynsgröt berisi almond akan mendapatkan keberuntungan. Dan ternyata Seno lah yang mendapatkan Risgrynsgröt berisi almond itu.
"Hey you will get luck." Seru mereka kompak.
Seno terlohok. Benar ia yang mendapatkannya. Sebenarnya Seno tidak terlalu percaya dengan hal-hal seperti itu. Tapi Seno menghormati tradisi itu.
Dan siapa tahu bahwa keberuntungan itu benar-benar ada untuknya, bukan?
==========
Suasana rumah Nisa sudah ramai dari seminggu yang lalu. Saudara dari luar kota sudah hadir di Sukabumi untuk menghadiri pernikahan Nisa dan Viko. Para tetanggapun tak mau ketinggalan untuk membantu apa saja.
Nisa juga sudah di Sukabumi sejak dua hari yang lalu untuk melakukan ritual sebelum akad nikah seperti siraman dan pengajian.
Semua itu Nisa jalani dengan sangat berat tapi ia tetap berusaha tersenyum.
Besok Nisa akan sah menjadi istrinya Viko. Semua orang iri padanya, terutama penggemar berat Viko.
Nisa sempat iseng membuka fanpage Viko di internet, sebagian besar mereka tidak rela kalau idola mereka menikah, bahkan ada yang mengutuk supaya pernikahan mereka tidak bahagia, agar Viko kembali single.
Jika boleh berucap, Nisa ingin menyerahkan idola mereka dengan ikhlas.
Ketika Nisa bilang pada Viko tentang kelakuan penggemarnya, pria itu hanya tertawa "sudah biarkan saja" katanya.
Malam ini sudah jam 1 malam tapi Nisa belum bisa memejamkan mata. Entahlah perasaannya sangat campur aduk. Sedih bercampur dengan rasa takut. Ingin berlari tapi tidak ada tenaga. Ingin teriak tapi tidak bisa. Nisa hanya bisa membiarkan air matanya merembes ketika ia sendirian.
Sudah ratusan kali Nisa menekankan hatinya untuk jangan begini tapi tidak bisa. Otak dan hati memang kedua organ yang bertolak belakang.
Ketika otak memerintahkan untuk harus cinta, tapi hati menolaknya karena rasa itu memang tidak ada. Bukankah hati tidak akan pernah bisa berbohong?
Pandangan Nisa berkeliling, sekarang kamarnya terlihat sangat cantik dan indah sudah dihias layaknya kamar pengantin. Wangi bunga menyeruak di hidungnya sangat menenangkan.
Seharusnya ia merasa nyaman, tapi tidak sama sekali.
Jam 2 dini hari Nisa baru bisa tidur dan jam 5 pagi ia sudah bangun lagi untuk segera mandi dan bersiap diri, karena akad nikah dilaksanakan pukul 8 pagi.
Nisa tidur hanya 3 jam dan itu membuatnya tidak terlihat segar.
Detik-detik akad nikah semakin dekat. Sekarang sudah pukul setengah 8 pagi.
Nisa juga sudah selesai dirias. Polesan makeup dan busana pengantin khas sunda sangat cocok untuk Nisa, dan itu membuat Nisa terlihat sangat cantik.
Hampir semua saudaranya minta berfoto dengannya.
"Ya Ampun lo pangling banget sih, Nis." Kata salah satu sepupu Nisa.
"Iya lo pengantin paling cantik abad ini." Sepupu yang lain ikut komentar.
"Jangan berlebihan ah, malu tau." Nisa tersipu.
"Elo dan Viko itu pasangan paling serasi. Gue penasaran seganteng apa sih calon suami lo kalau pake baju pengantin. Wuaaahhh gue gak bisa bayangin, pake kaos oblong aja dia udah keren."
"Viko dipakein karung goni juga udah ganteng dia."
"Apaan sih lo." Nisa terkekeh mendengar celotehan kedua sepupunya itu.
"Eh ... Eh ... Rombongan pengantin udah datang tuh. Sumpah Viko ganteng buanget." Tiba-tiba Nuri datang memberi tahu. Jantung Nisa serasa jatuh ke bawah. Inilah saatnya.
"Serius?" Kedua sepupu Nisa lari keluar untuk melihat mempelai pria yang sudah menyihir semua perempuan di sana dengan ketampanannya.
Viko berjalan diapit oleh kedua orang tuanya menuju tempat akad nikah, lalu Viko disambut oleh kedua orang tua Nisa dengan mengalungkan bunga melati, sebagai tanda bahwa Viko diterima dengan baik.
Petugas KUA mulai mempersiapkan dokumen-dokumen yang harus ditandatangani oleh pengantin. Tidak ketinggalan juru kamera sibuk mengabadikan momen demi momen.
Kemudian pengantin wanita keluar diapit oleh dua orang bridesmaids menuju tempat akad nikah.
Saat Nisa keluar pandangannya beradu dengan Viko. Benar, pria itu terlihat tampan dan berbeda, polesan makeup tipis berhasil menonjolkan aura ketampanannya.
Lingkaran hitam di bawah matanyapun lenyap. Viko terlihat seperti orang yang benar-benar sehat. Tapi hati Nisa tetap tidak bisa merasakan getaran apapun. Hambar.
Viko menyunggingkan senyum pada Nisa ketika mereka telah duduk berdampingan. Setelah acara sambutan dan pembacaan ayat suci, sekarang tiba untuk acara pokok yaitu akad nikah.
Viko sudah menjabat tangan ayah Nisa.
"Viko Andriano, saya kawinkan dan saya nikahkan kamu dengan anak kandung saya yang bernama Danisa Alia dengan mas kawin 50 gram emas dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Danisa Alia binti Dodi Heryawan dengan mas kawin yang tersebut, tunai." Seru Viko dengan lantang.
"Sah?" Tanya petugas KUA pada saksi.
"Sah ...." Seru saksi dan semua orang kompak.
"Barakallah ...." Semua orang mengucap syukur.
Sekarang tidak ada alasan lagi untuk memikirkan Seno. Sekarang tidak sepatutnya lagi Nisa merindukan pria itu. Karena Viko telah jadi suaminya. Akan berdosa jika Nisa masih tetap saja seperti itu.
***
Malam hari satu per satu tamu dan saudara pamit pulang. Gita dan suaminya juga jauh-jauh datang dari Bandung. Gita merasa sangat lega Nisa dan Viko bisa bersatu_lagi.
Teman-teman kantor Nisa termasuk Yuda juga datang untuk memberi selamat. Yuda merasa dibohongi karena dulu waktu ia mengejar bosnya bukan Viko yang Nisa kenalkan sebagai calon suaminya melainkan Seno.
Sekarang terbongkar sudah. Tapi Yuda tidak marah sama sekali.
Lala tidak bisa datang karena sedang hamil muda. Kata Brian-suaminya, kehamilan Lala sangat rentan yang tidak boleh kecapekan sedikitpun, karena beberapa kali ia mengalami flek. Bahkan Lala sekarang berhenti bekerja untuk sementara.
Sekarang hanya tinggal keluarga inti saja. Nisa dan Viko juga sudah di kamar untuk beristirahat.
"Kamu cape?" Nisa hawatir.
"Sedikit. Tadi siang dadaku sempat sesak, tapi aku masih bisa mengatasinya."
Viko duduk menghadap Nisa, memandang gadis itu lama. Nisa sedikit heran, karena tatapan mata Viko lain dari biasanya. Kenapa dia? Apakah ada yang salah?
Tatapan itu seperti rasa bersalah, sedih, namun bahagia. Entahlah ... Nisa tidak mengerti.
"Kamu sekarang jadi istriku. Aku harap pernikahan kita bahagia, dan aku bisa menjadi suami terbaik buat kamu. Aku mencintai kamu, Nis."
"A_aku ... Juga cinta sama kamu." Nisa sempat tergagap. Itu adalah kalimat paling bohong yang pernah ia ucapkan selama hidupnya.
Viko tersenyum, lalu perlahan ia mendekatkan wajahnya ke wajah Nisa.
'kumohon, aku tidak siap ...' ratap Nisa dalam hati.
Viko melihat Nisa menutup matanya seperti ketakutan. Lantas Viko tertawa kecil.
"Nis, aku tidak akan melakukannya malam ini. Sebaiknya kita tidur aja, ya ..."
Demi apapun Nisa sangat lega ketika Viko berkata seperti itu. Nisa mengangguk sambil tersenyum.
Viko mengecup kening Nisa sebelum tidur.
***
Besoknya Nisa dan Viko harus segera kembali ke Jakarta, karena sore harinya Viko ada janji dengan dokter Vanesh. Orang tua Nisa dan Viko mengantar ke Jakarta.
Setelah menikah Nisa akan pindah dari apartemen ke rumah Viko. Barang-barang Nisa pun sudah dipindah beberapa hari yang lalu sebelum Nisa pulang ke Sukabumi, agar saat Nisa kembali ke Jakarta bisa langsung ke rumah Viko.
Sekarang mereka sudah sampai di rumah Viko. Rumah bergaya minimalis itu terletak di sebuah kompleks perumahan elit yang masih satu kompleks dengan Lala dan Brian.
Nisa bersyukur ia tetanggaan dengan sahabatnya.
Saat Nisa dan Viko beres-beres baju tiba-tiba ada telefon masuk ke ponsel Viko.
"Dokter Vanesh?" Viko bertanya sendiri, apakah pemeriksaannya dimajukan? Nisa menghentikan aktifitasnya dan menoleh pada Viko ketika pria itu menyebut dokter Vanesh.
"Halo, dok?" Sahut Viko.
"Viko, apakah kamu sudah di Jakarta?"
"Iya dok. Ada apa memangnya?"
"Ini kabar baik Viko ... Jantung yang sesuai buat kamu sudah ada. Saya harap kamu segera ke rumah sakit sekarang juga." Dokter Vanesh berucap dengan semangat.
"Apa? Serius dok? Oke saya segera ke sana."
"Oke ditunggu secepatnya." Dokter Vanesh menutup telefon.
Viko menatap Nisa dengan haru "Nis, jantung baru buatku sudah ada. Barusan dokter Vanesh bilang."
Nisa langsung tersenyum lega. Lalu Viko memeluk Nisa dengan erat.
Jujur, Nisa senang sekaligus cemas dengan kabar itu. Semua orang tahu transplantasi jantung adalah operasi besar yang penuh dengan resiko.
Nisa takut kalau ... Ah, membayangkannya saja Nisa sudah tidak sanggup.
Viko, Nisa, dan seluruh keluarga segera pergi ke rumah sakit. Karena Perpindahan jantung dari pendonor kepada penerima tidak boleh lebih dari enam jam.
***
Viko sudah bersiap masuk ke ruang operasi. Semua orang di sana terlihat tegang terutama orang tua Viko. Tidak henti-hentinya mereka melafalkan doa untuk kesuksesan operasinya.
Viko memeluk Nisa erat. Lalu ia berucap di telinga Nisa. "Doakan aku. Kalau terjadi sesuatu padaku, aku mohon kamu jangan sedih. Aku sudah menyiapkan hadiah pernikahan kita, nanti Brian akan memberikannya padamu."
"Kamu akan baik-baik saja, Ko. Aku yakin itu, karena kamu sudah menjalankan apapun yang dokter Vanesh katakan."
Viko mengangguk lalu melepas pelukannya. Nisa memegang erat tangan Viko yang sedingin es, sebelum Viko benar-benar didorong oleh perawat ke ruang operasi.
Nisa tidak akan pernah melupakan bagaimana sorot mata pria itu sesaat sebelum pintu ruangan operasi itu ditutup.
***
Sudah tiga jam operasi masih berlangsung, sesekali perawat keluar menemui keluarga Viko memberi tahu perkembangannya, sejauh ini perkembangan yang disampaikan cukup positif.
Semua orang berkumpul dan menunggu dengan tegang di ruang tunggu.
Selama lampu merah itu masih menyala mereka belum bisa bernafas dengan lega.
Sudah lima jam lampu merah di atas pintu ruang operasi itu masih juga belum padam. Saat Nisa akan beringsut ke kamar kecil tiba-tiba dokter Vanesh keluar dengan wajah lelah menemui keluarga Viko. Semua orang yang tengah duduk dengan tegang segera menghambur ke hadapan dokter Vanesh.
"Operasinya berjalan dengan baik." Dokter Vanesh berkata menenangkan. Orang tua Viko, Nisa, dan orang tua Nisa langsung menghela nafas lega.
"Jantung baru sudah berdetak di dalam tubuh Viko. Sekarang yang harus kita lakukan adalah menunggu dan mengawasi kondisinya selama seminggu ke depan. Semoga Viko baik-baik saja dan tubuh Viko tidak menolak jantung barunya." Tutur dokter Vanesh. Raut tegang kembali terpancar di wajah mereka.
"Maksud dokter?" Tanya Mia.
"Walaupun sebelum operasi kita sudah melakukan berbagai tes jantung yang sesuai untuk Viko dengan mencocokan golongan darah, antibodi, hingga ukuran jantung, kemungkinan tubuh Viko untuk menolak jantung baru itu ada. Inilah resiko transplantasi jantung, bu. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah banyak-banyak berdoa."
"Iya dok. Terima kasih ..."
Dokter Vanesh dan dokter lain yang sudah mengoperasi Viko tersenyum hangat sebelum pergi.
***
Sehari setelah operasi kondisi Viko masih stabil, setidaknya itulah yang ditampilkan oleh layar monitor di samping tempat tidur. Dan dokter Vanesh bilang sejauh ini sangat baik.
Nisa dan Mia jaga bergiliran. Untaian doa tidak lepas dari hati Nisa.
'Ya Tuhan, semoga Viko baik-baik saja.'
Namun tiga hari setelah operasi, Viko mengalami masalah pada pembuluh arteri yang tiba-tiba menebal dan mengeras Ini bisa membuat sirkulasi darah di jantung tidak lancar dan bisa memicu serangan jantung, gagal jantung, atau gangguan ritme jantung. Tapi untungnya dokter masih bisa mengatasinya.
Dan lima hari pasca operasi ternyata jantung baru ditolak oleh tubuh Viko.
Viko tidak pernah sadarkan diri dan tidak bisa membuka matanya lagi.
Seluruh tim dokter yang menangani Viko meminta maaf, walaupun mereka sudah berusaha semampunya tapi Tuhan berkehendak lain.
Sesaat setelah mendengar kabar itu dari dokter Nisa merasa pandangannya tiba-tiba gelap dan otot-otot seperti terlepas.
Nisa jatuh pingsan.
Bersambung #11
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel