Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 04 April 2021

Cinta Kedua #11

Cerita bersambung

Nisa membuka pintu apartemennya. Sejenak ia mematung di ambang pintu. Siapa yang menduga ternyata ia harus kembali ke sini. Nisa baru sampai dari Sukabumi dan tinggal beberapa hari setelah pemakaman Viko.
Orang-orang yang baru saja memberinya selamat atas pernikahannya berubah menjadi mengucapkan duka cita. Akun media sosial Nisa pun tak luput dari banyaknya ucapan bela sungkawa. Rupanya Tuhan hanya memberinya waktu sebentar untuk menjadi istrinya Viko.Sungguh tragis.

Nisa melangkah gontai menuju tempat tidurnya. Ia sangat lelah. Terlebih jiwanya. Masa cuti pernikahannya sisa satu hari, Nisa akan menghabiskannya dengan tidur. Tidak jalan-jalan atau bulan madu seperti yang seharusnya.

Sudut mata Nisa menangkap kilauan dari cincin berlian yang Viko sematkan di jari manisnya saat tunangan. Nisa menatap cincin itu lama, lalu Nisa menciumnya dengan takjim.

"Viko ... Yang membuat aku sedih adalah, kenapa aku tidak bisa mencintaimu? Aku sudah berusaha semampuku tapi aku tidak bisa. Maafkan aku." Nisa tersedu-sedu.
"Jangan pernah maafkan aku, Ko. Aku manusia terjahat di dunia."

Nisa baru ingat saat ia akan kembali ke Jakarta, mertuanya memberikan sebuah amplop berwarna biru.

"Saat Viko dirawat yang terakhir sebelum kalian tunangan, dia menulis ini untukmu dan menyuruh mama untuk memberikannya padamu jika sesuatu yang buruk terjadi padanya." Ucap mertua Nisa.

Nisa bangkit mengambil tas di meja lalu merogoh mencari amplop biru itu. Nisa membuka amplop yang terekat lem.
Ternyata isinya hanya selembar kertas HVS yang Viko lipat dengan rapih.
Nisa membuka lipatan itu sedikit gemetar. Di sana adalah tulisan tangan Viko satu halaman penuh. Sebelum membaca, Nisa mengusap matanya yang masih berembun.

"Apa kabar, Nis? Aku harap kamu baik-baik aja. Kalau surat ini sampai ada di tanganmu berarti telah terjadi sesuatu padaku. Aku harap sih surat ini jangan sampai ke tanganmu selamanya. Tapi aku tidak tahu bagaimana takdirku. Jadi hari ini aku ingin menyampaikan sesuatu padamu untuk berjaga-jaga kalau aku sudah tidak ada lagi di dunia."

Nisa menarik nafas dengan berat. Apakah Viko sudah punya firasat sebelumnya?

"Nis, saat aku mengajakmu menikah tadi, aku mendengar kamu menangis di toilet. Dan saat kamu keluar dari toilet aku juga melihat matamu sembab. Aku tidak mau bertanya, Karena aku tahu kamu tidak akan menjawab dengan jujur. Maafkan aku Nisa, aku memang pria paling egois dan serakah. Aku sebenarnya tahu kamu tidak mencintaiku. Aku menyadarinya sejak kamu melakukan perpisahan dengan Seno di bandara sebelum dia berangkat ke Manchester. Radarku tidak pernah salah, Nis. Kamu mencintai sahabat kamu itu kan?
Aku melihat bagaimana sorot mata kamu saat menatap Seno, dan saat kamu tiba-tiba memeluknya dari belakang di depan mataku sendiri. Itu sudah cukup bagiku untuk tahu isi hati kamu sebenarnya. Tapi dengan egoisnya, aku tidak melepaskanmu walau aku tahu hatimu terpaut pada orang lain. Bolehkah aku egois hanya untuk ini? Aku tidak mau melepaskanmu untuk pria manapun! Aku bertekad akan terus maju untuk bisa menikahimu. Dan semoga aku bisa sampai menikahimu.
Aku juga tahu kamu tetap di sisiku karena penyakitku ini, bukan? Konyolnya, aku sempat bersyukur karena aku sakit. Kalau aku sehat, kamu tidak mungkin tetap si sisiku, kan?"

Mata Nisa mulai panas lalu sesaat kemudian mulai berembun lagi. Jadi selama ini Viko sudah tahu?

"Aku tidak menyangka kamu setuju saat aku mengajakmu menikah. Kamu mengabaikan hatimu hanya untuk kebahagiaan aku. Menurutku itu hal yang sangat bodoh. Tapi lagi-lagi aku tidak mau melepaskanmu. Bukankah aku brengsek?
Nisa ... Selama hidupku, aku hanya cinta pada satu wanita yaitu kamu. Kamu cinta pertama dan mungkin jadi cinta terakhirku. Aku mencintai kamu sejak aku berumur 14 tahun sampai sekarang umurku 29 tahun. Demi Tuhan rasa cinta itu tidak pernah sedikitpun lenyap dari hatiku. Bahkan mamaku saja sampai hilang akal bagaimana caranya agar aku bisa ngelupain kamu. Kamu tahu sendiri kan aku sampai depresi gara-gara kehilangan kamu. Itu sangat berat bagi aku, Nis. Sungguh.

Yang selalu mencintai kamu ...
VIKO ANDRIANO."

Nisa menangis tersedu-sedu sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Nisa terus menangis hingga ia tertidur. Dan saat ia terbangun ....
***

Habis mandi Seno menyeduh kopi, ia duduk di ruang tengah lalu membuka laptop. Aldi_bawahannya, akan video call untuk melaporkan perkembangan perusahaannya. Sejauh ini tidak ada masalah. Seno sangat percaya pada bawahannya itu.
Namun saat ia menunggu Aldi menghubunginya, ia iseng membuka akun media sosialnya.
Seketika mata Seno terbelalak, kenapa di berandanya banyak yang mengucapkan duka cita pada Nisa? Tangan Seno sedikit gemetar, lalu Seno tahu kalau yang meninggal adalah suaminya Nisa. Viko.

Seno menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. 'Ya Tuhan kenapa ini terjadi?'
Seno menyambar ponselnya di sebelah laptop, lalu ia segera menghubungi Nisa. Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai lima belas kali, Nisa tidak menjawab panggilan Seno.
Rasa cemas langsung menghantam Seno. Ia tidak tenang.
Seno bingung harus berbuat apa, pasti Nisa sangat terguncang.
Baru satu hari Nisa jadi seorang istri, suaminya harus melakukan operasi lalu Tuhan langsung memisahkan mereka kambali.

Seno meraupkan tangannya ke muka. Apakah ia harus pulang? Sahabatnya sedang membutuhkan dia? Tapi ia harus bertemu Nick untuk mengurus bisnis mereka.
Kalau ia pulang nanti bisnisnya akan berantakan. Seno tidak mau itu sampai terjadi. Sedangkan ia dan Nick sudah merencanakan ini dengan matang.

"Maafin gue Nis, kayaknya gue gak bisa nemenin elo."
***

Nisa menggeliat di tempat tidur, berapa jam ia tidur? 6 jam? Ini rekor tidur terlamanya beberapa hari ini. Sekarang baru jam 9 malam. Nisa memang tidur dari sore setelah membaca suratnya Viko.

Nisa melihat lampu warna merah di ponselnya berkedip lalu ia meraih ponselnya di samping tempat tidur.
Ia melihat ada beberapa panggilan telefon. Dari Lala, ibunya, Angga, dan dari_Seno.
Mata Nisa mendelik ketika melihat Seno menelefonnya hingga 15 kali.
Pasti Seno sudah tahu. Pikirnya.
Lalu jempol Nisa mengetik sebuah pesan untuk Seno.

"Sen, tadi elo nelfon ya? Sorry tadi gue lagi tidur."

Lalu selang setengah jam ada panggilan dari Seno.
Dengan ragu Nisa menggeser tombol gagang telefon ke kanan.

"Halo ..." Nisa menjawab. Namun beberapa detik Seno tidak bersuara.
"Halo ... Sen?"
"Nis ..." Hening lagi.
"Nis, gue ikut berduka cita ..." Akhirnya Seno berucap. Seketika mata Nisa kembali memanas dan embun datang lagi.
"Makasih ya ..." Sahut Nisa.
"Jujur, gue baru tahu hari ini." Entah kenapa Seno merasa pembicaraannya kali ini sangat kaku. Mungkin karena Nisa masih sangat berduka.
"Elo baik-baik aja kan?" Nisa sejenak diam tidak langsung menjawab.
"Iya." Akhirnya ia menjawab.
"Syukurlah ... Gue hawatir banget sama lo."
"Elo mau pulang kan? Liburan akhir tahun masih ada dua minggu lagi."
Seno menunduk sambil menggigit bibir.
Tapi akhirnya ia menjawab. "Maafin gue, Nis."

Hati Nisa langsung mencelos. Namun ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Mungkin sekarang ia bukan prioritas Seno lagi.

Beberapa detik tidak ada yang bersuara. Seno tahu Nisa pasti kecewa.
Sebenarnya kalau bisa ia ingin pulang sekarang juga lalu merengkuh Nisa dalam pelukannya.

"Lo udah makan?" Akhirnya Seno berucap. Nisa bergeming.
"Jangan telat makan ya ... Lo punya penyakit mag."
"Iya, lo jangan hawatir soal itu. Sen ..." Nisa menelan ludah dengan susah payah sebelum melanjutkan ucapannya.
"G_gue sekarang jadi janda. Lo harus bilang sama gue, apa yang harus gue lakuin? Cuti pernikahan gue bahkan belum habis tapi gue udah jadi seorang janda. Lo tahu gimana rasanya? Itu sangat sakit." Walaupun Nisa tidak mencintai suaminya tapi kalau ceritanya seperti ini, tetap saja ia merasa terguncang.
Apalagi Viko sakit karena ada hubungannya dengan tragedi sebelas tahun yang lalu. Kepala Nisa rasanya mau pecah kalau memikirkan itu.

"Lo kuat Nis. Yang gue tahu elo itu cewek tangguh. Lo bisa ngadepin persoalan apapun selama ini." Tutur Seno menenangkan.
"Gue tangguh karena elo ada di samping gue, Sen. Tapi sekarang saat gue berada di titik terendah dalam hidup gue, elo enggak ada." Nisa berucap sambil terisak.
Seketika mata Seno beriak-riak.
'Tuhan ... Aku ingin memeluk Nisa, aku ingin memeluk kekasih hatiku sekarang.'

"Enggak, Nis. Elo kuat dari diri lo sendiri, bukan karena gue." Seno berusaha meyakinkan Nisa.
"Gue yakin lo bisa ngelewatin ini, walaupun gue gak ada di samping lo." Seno masih mendengar Nisa terisak-isak.
"Nis, dengerin gue. Tetaplah menjadi Nisa yang gue kenal. Seorang cewek tangguh yang bisa menyelesaikan persoalan apapun, yang bisa menata hatinya dengan baik, yang bisa meraih semua mimpinya, yang selalu cantik setiap hari. Eh, kalau yang terakhir itu salah, karena lo mewek terus tiap hari pasti sekarang elo keliatan jelek. Jelek banget pasti."

Nisa hampir saja menyemburkan tawanya. Apakah ia boleh mengucapkan bahwa sekarang ia rindu pada pria lain padahal tanah kuburan suaminya masih merah? Apakah ia tidak berdosa?

"Sok tahu lo." Nisa terkekeh. Seno sedikit lega mendengar Nisa tertawa.
"Besok lo mulai kerja kan?"
"Iya besok gue kerja. Entahlah gue gak bisa ngebayangin gimana respon rekan-rekan gue melihat sekarang gue jadi janda. Dan pasti si Nadya happy banget tuh."
"Udah lo cuekin aja. Kalau dia ngomong sesuatu yang nyakitin, elo ambil cabe terus lo sumpel tuh mulutnya." Nisa kembali ketawa mendengar celotehan Seno.
"Iye-iye ... Ngomong-ngomong udah dulu ya, gue mau mandi nih. Badan gue rasanya lengket banget. Gue belum mandi dari kemarin soalnya."
"Ya Tuhan ... Jadi cewek elo emang joroknya kebangetan. Ya udah sono mandi."
***

Tanpa Nisa duga saat ia mulai melangkahkan kaki ke kantornya, orang-orang yang berpapasan dengan dia, menyalaminya dan karyawan wanita memeluknya sambil mengucapkan duka cita. Seantero kantor berduka. Pimpinannya pun terlihat menitikan air mata ketika mengucapkan duka cita pada Nisa.
Lalu Nadya datang, tadinya Nisa ingin melakukan apa yang Seno katakan semalam, tapi tanpa diduga musuh bebuyutannya itu menyalami Nisa dengan memasang wajah sedih. Atau mungkin dia hanya akting karena sekarang ada pimpinan?

"Gue turut berduka, Nis." Ucap Nadya. Nisa terlohok beberapa detik sampai akhirnya ia berucap. "Makasih ya, Nad."
"Maaf gue gak datang ke Sukabumi waktu nikahan lo."
"Gak apa-apa. Lagian jauh juga kan." Lalu Nadya tersenyum. Tapi sepertinya dia enggak akting.

Rupanya pekerjaan membuat Nisa sedikit melupakan kesedihannya. Benar apa kata orang, jika kita bersedih carilah kesibukan.
Maka kamu bisa sejenak melupakan kesedihan itu. Bayangkan kalau kamu tinggal di rumah sendirian tanpa melakukan apapun, pasti kesedihan itu terus menggerogotimu.

"Mbak ... Mau makan siang bersama?" Tiba-tiba Lena masuk ke ruangannya.
Nisa menghentikan pekerjaannya lalu melirik jam tangannya. Benar, sekarang sudah waktunya makan siang.

"Boleh. Kamu mau makan apa?" Tanya Nisa.
"Yang lain katanya mau makan bakso, mbak."
"Bakso? Boleh-boleh, kayaknya enak. Yuk kita berangkat."

Sebenarnya, karyawan yang lain kurang setuju saat Lena mengusulkan untuk mengajak Nisa makan siang bersama karena nanti suasananya akan canggung. Tapi Lena berpikir kasian kalau bos mereka makan siang sendirian karena dia masih berduka.

Saat Nisa makan bakso tiba-tiba ada pesan WhatsApp. Ternyata dari Yuda. Dia hanya mengucapkan "selamat bekerja kembali, bos." Dengan emoji senyum manis.
Nisa tersenyum haru, ternyata orang-orang di sekelilingnya perhatian padanya. Nisa sangat bersyukur.

==========

Enam bulan setelah kepergian Viko ....

Seno beringsut dari tempat tidur karena ada yang memencet bel apartemennya. Ia tahu siapa yang datang pagi-pagi seperti ini saat weekend. Siapa lagi kalau bukan sepupunya itu.

"Elo enggak diantar Edward?" Tanya Seno ketika melihat Niken hanya sendirian.
"Enggak ... Tunangan gue mau bertemu klien, tau tuh weekend gini dia masih aja kerja. Jadi daripada gue bete gak ada temen ya mending ke sini aja."
"Elo gak ada temen di sini selain gue sama Edward gitu?"
"Ada ... Tapi entahlah mereka gak asik. Ngajakin gue maksiat mulu. Gak suka gue." Niken berucap sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa. Niken memang cewek baik-baik. Keluarga Om Dimas terkenal dengan agamanya yang kuat. Beda dengan keluarga Seno.

Seno melihat Niken sedang memandang cincin yang baru disematkan Edward di jari manisnya bulan lalu.

"Cie ... Sampe segitunya mandangin cincin." Niken tersenyum lebar.
"Sen, tau gak sih. Gue gak nyangka beberapa bulan lagi gue mau jadi istrinya Edward. Rasanya kayak mimpi tau gak. Gue inget banget saat pertama kali ketemu dia di perpustakaan kampus. Dia terlihat serius banget membaca, tapi elo tau gak saat itu apa yang dia baca? Ternyata dia sedang membaca qur'an. Gue bertanya sendiri, loh emang dia muslim? Ternyata dia sama keluarganya memang mualaf. Saat itu juga gue udah jatuh cinta sama dia."
"Lo beruntung, Ken." Sahut Seno sedih. Niken menangkap kesedihan di muka Seno.
"Sen ... Elo emang masih cinta sama cewek bernama Nisa itu?"
"Elo liatnya gimana?" Niken memiringkan bibirnya sambil menatap Seno dengan lekat.
"Sen ... Gue tahu lo cinta banget sama tuh cewek. Kenapa sih elo enggak coba buat ungkapin? Asal lo tau, sebenarnya gue udah pernah telefon dia, dan bilang kalau elo cinta sama dia."

Seno langsung melotot kaget, ia menatap Niken tidak percaya. Astaga ... Sepupunya itu benar-benar sudah membuat Seno jantungan pagi-pagi begini.

"Ken, e_elo bercanda kan?" Lidah Seno sampai kelu.
"Serius gue."
"T_terus, Nisa bilang apa?"
"Tau deh, soalnya sesudah gue bilang begitu, dia diem aja. Gue panggil malah enggak ada suara apapun, ya udah gue tutup telefonnya."
"Kapan lo bilang sama dia?"
"Kapan ya?" Niken terlihat sedang mengingat-ingat.
"Oh, bulan November akhir, saat elo bilang dia mau lamaran tuh."

Seno terdiam, jadi Nisa sudah tahu dari dulu? tapi kenapa dia biasa aja seolah tidak tahu apapun?

"Elo emang udah gila. Ngapain coba elo pake bilang sama Nisa segala. Nyesel gue curhat sama lo." Seloroh Seno gemas.
"Abisnya gue kasian sama lo, Sen. Tapi menurut gue sih dia juga cinta sama lo."
"Sok tahu lo." Seno mendecakkan lidah.
"Serius. Ya udah kalo gak percaya. Sen, lo harus tahu, yang namanya cewek tuh, dia enggak mungkin ngungkapin perasaannya duluan sama cowok yang dia suka. Kecuali emang dia udah punya muka setebal mukanya badak. Lo tahu badak kan? Apa salahnya lo coba, Sen? Sebelas tahun lo memendam cinta sama dia. Busyet udah kayak nyicil rumah aja. Gak cape apa lo?"
"Paan sih lo gaje." Namun ucapan Niken barusan membuat hati Seno sedikit memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.

'Apa gue coba ungkapin aja ya? Lagian Nisa juga udah tahu dari Niken. Aduuuh tapi gue malu banget.' Seno membatin.
"Woi! Lah dia bengong. Sen, ada makanan gak? gue kelaperan nih belum sarapan." Jiwa rampok Niken dimulai.
"Ada ... Sono liat di kulkas ada apaan." Niken langsung bangkit lalu menuju dapur.

Ayo Sen! Lo gak boleh kayak gini terus. Elo mau jadi jomblo seumur hidup? Elo mau menderita lagi apa? Sekarang Nisa bukan milik siapa-siapa. Saatnya lo maju.  Seseorang yang entah siapa berbisik di telinga Seno.

"Baiklah, akan gue coba." Seno bergumam sendiri.
***

Pulang dari kantor, Nisa mampir ke rumah Lala. Entah ada apa, karena Lala menelefon Nisa sampai lima kali. Kayaknya emang penting banget.

Nisa memarkirkan mobilnya di halaman rumah Lala yang tidak begitu luas. Kalau dipikir-pikir dulu Nisa hampir jadi tetangga Lala, tapi Tuhan berkehendak lain. Saat Nisa keluar dari mobil, Lala keluar rumah menyambut Nisa.

"Hai, Nis ... Brian udah nungguin elo tuh." Seru Lala sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.
"Ya Ampun bumil ... Hai ponakanku, kamu baik-baik aja kan di dalam?" Sahut Nisa sambil mengelus perut Lala.
"Aku baik-baik aja, dan aku udah pinter main bola di dalem, nendang-nendang perutnya bunda terus." Nisa terkekeh.
"La, ada apa sih? Emang ada hal penting banget ya?"
"Iya ... Ya udah yuk masuk. Nanti Brian ngasih tau."

Nisa dan Lala menemui Brian di ruang tengah. Nampaknya suaminya Lala itu sedang sibuk.
Terlihat ada tumpukan buku dan laptop di atas meja.
Saat Brian menyadari kehadiran Lala dan Nisa ia mendongakkan kepalanya lantas meluncurkan senyum pada Nisa.

"Halo, apa kabar Nis?" Sapa Brian.
"Baik." Jawab Nisa dengan senyum.
"Silahkan duduk." Nisa duduk di kursi di hadapan Brian.
"Nis, mau minum apa nih?" Lala berucap.
"Enggak usah, La. Jangan repot-repot. Lo duduk aja ya, bumil gak boleh cape-cape."
"Ya Ampun Nis ... Sekarang elo tamu di rumah gue. Ya udah gue ngambil minum dulu ya."
Brian tersenyum geli melihat tingkah kedua sahabat itu. Lala pergi ke belakang.

"Hm ..." Brian berdeham.
"Jadi gini, Nis. Tapi sebelumnya gue minta maaf kalau nanti elo keingetan lagi sama Viko." Nisa menelan ludah agak tegang.
"Beberapa bulan sebelum Viko menikah sama lo, dia menulis novel tentang kalian. Katanya novel itu akan jadi hadiah pernikahan, kalau kalian menikah. Viko tidak peduli dengan penyakitnya yang mengharuskan dia beristirahat total hanya karena ia harus segera menyelesaikan novel ini. Bahkan ia menolak saat dokter Vanesh menyuruhnya untuk rawat inap."

Benar. Nisa ingat sekarang, dulu Viko menolak saat dokter Vanesh menyuruhnya untuk dirawat. Ternyata ini alasan Viko.

"Dan ... Alhamdulillah sebelum kalian menikah novel itu selesai. Walaupun masih sangat mentah. Dia minta tolong sama gue buat memperbaiki semuanya. Akhirnya gue baru bisa menyelesaikannya sekarang ini."

Brian berhenti sejenak karena Lala datang sambil membawa baki berisi dua gelas minuman.

"Viko romantis banget ya, ngasih hadiah pernikahannya sebuah karya." Lala berkomentar.
"Terus kata Viko, nanti royalti dari novel ini buat elo, Nis." Sahut Brian
"Buat gue?"
"Iya, itu nafkah yang bisa Viko berikan sebagai suami lo, katanya." Mendengar ucapan Brian, dada Nisa terasa terhimpit dan matanya mulai menghangat. Viko bisa terpikir sampai ke situ segala. Batin Nisa.

"Seminggu sebelum kalian menikah Viko bilang sama gue 'Bri, nanti royalti novel ini berikan sama Nisa. Gue takut gak bisa bertahan, seenggaknya dengan novel ini gue masih bisa ngenafkahin istri dan mungkin anak gue nanti' dan gue yakin Nis, setiap yang Viko tulis akan menjadi best seller."

Pertahanan Nisa runtuh, ia tidak peduli menangis di depan Brian dan Lala. Nisa menutup wajahnya dengan kedua tangan menangis sesenggukan.
Lala yang di samping Nisa ikut menitikan air mata sambil memeluk sahabatnya itu.
Dan terlihat mata Brian juga berkaca-kaca. Ini sangat mengharukan. Batin Brian.

"Gue enggak ngerti kenapa Tuhan selalu mengambil orang baik secepat itu? Terima kasih Bri, elo udah ngebantu suami gue buat menyelesaikan novelnya." Nisa berkata sambil sesenggukan.
"Sama-sama Nis, tapi ini memang udah tugasnya gue sebagai editor." Tangan Brian terjulur ke bawah meja, lalu ia menyerahkan sebuah novel berwarna merah muda, dengan tulisan bercetak miring nan indah "DANISA" dan ada sesosok siluet seorang perempuan dengan rambut tergerai.
Di bawah novel itu tertera nama sang penulis Vee Alledro. Novelis favorit Nisa, sebelum tahu bahwa Vee Alledro adalah Viko.

Brian menyerahkan novel itu, dan Nisa menerimanya dengan tangan gemetar. Lihatlah, namanya tertera menjadi judul sebuah novel. Nisa sangat terharu bercampur sedih.

"Sebelum novel itu beredar di pasaran, gue mau elo yang baca duluan, karena ini tentang elo. Jujur aja Nis, gue terharu banget dengan isi novel itu. Viko sangat bisa mengaduk-ngaduk perasaan pembacanya. Di sana ia menceritakan bagaimana dahsyatnya mencintai seorang perempuan bernama Danisa. Kemudian bagaimana saat Danisa menemaninya berjuang melawan penyakitnya, menemaninya dengan ikhlas walaupun sebenarnya Danisa tidak mencintainya."
Nisa mendongak kaget. Viko menuliskan itu?
"Gue gak tahu cerita ini true atau bukan tapi yang pasti Viko memang seorang penulis jenius."

Nisa memegang novel itu dengan tangan gemetar. Lalu perhatiannya teralihkan saat ponsel Brian berdering.

"Sorry Nis, gue angkat telefon dulu." Brian bangkit lalu pergi ke belakang.
"Nis, gue udah baca sampai habis novel ini." Tiba-tiba Lala bersuara membuyarkan pikiran-pikiran Nisa.

Nisa menoleh, lalu Lala meluncurkan senyum pada Nisa. Lantas ia berkata,
"Nis, gue gak tahu isi novel ini benar atau salah, tapi saat Viko bilang bahwa tokoh Danisa sebenarnya mencintai sahabatnya, gue jadi bertanya-tanya. Apakah yang dimaksud Viko dengan sahabat elo itu Seno?"

Nisa menatap Lala dengan tatapan sendu. Lala melihat sahabatnya seperti sangat menderita. Mata itu telah menjelaskan semuanya.
Lala merengkuh Nisa, membiarkan Nisa menumpahkan tangis di pundaknya.

"Nis, kenapa elo lakuin itu? Kenapa elo menyiksa diri lo sendiri? Elo sampai mengambil keputusan besar rela menikah dengan Viko, padahal elo sangat mencintai Seno. Gue tahu elo ngelakuin itu demi Viko yang sedang sakit. Tapi bukankah Viko juga akan terluka?"
Nisa melepas pelukannya. "Iya, La. Viko tahu semuanya tapi dalam suratnya dia bilang, enggak akan pernah ngelepasin gue buat pria manapun, walaupun dia tahu hati gue buat pria lain." Lala mendengus.
"Ini cinta segi tiga terrumit yang pernah gue liat selama hidup gue. Tapi apapun itu menurut gue, elo udah ngelakuin keputusan yang sangat tepat. Yang gue pengen tahu sekarang, apakah Seno tahu elo mencintainya?"
"Enggak." Jawab Nisa. Tapi Nisa tahu kalau Seno mencintainya. Itu yang Niken bilang. Tapi ... Nisa ragu karena nampaknya Seno biasa-biasa saja saat mereka telefonan. Siapa tahu Niken hanya menduga-duga. Nisa tidak percaya sebelum ia dengar dari mulut Seno langsung.

"Ternyata bener feeling gue kalau persahabatan diantara kalian ada apa-apanya. Nis, orang awam juga bisa liat elo sama Seno itu sudah seperti pasangan suami istri."

Nisa agak malu Lala bicara seperti itu, tapi memang seperti itulah adanya.
Dan benar, sudah berapa orang yang menganggapnya seperti itu? Brian, Gita, sampai pelayan distro waktu di Bandung yang menyangka mereka suami istri.

"Nisa, maaf gue harus pergi nih. Ada hal penting di kantor. Elo bawa novelnya ya nanti kita bicara lagi." Tiba-tiba Brian muncul dari belakang.
"Oh, oke." Nisa menyaut sambil mengusap matanya yang basah.

Brian meraih kunci mobilnya lalu menghampiri Lala.
"Aku pergi dulu ya sayang ..." Brian mengecup kening istrinya. Lala mengangguk sambil melepaskan senyum untuk suaminya.
"Dah ..." Seru Brian sebelum berlalu.
"Kalian bikin gue iri aja." Sahut Nisa. Lala terkekeh.
"Gue harap elo juga bisa bahagia, Nis."
"Amin."

Lala melirik jam di dinding.
"Ngomong-ngomong udah jam 7 malam nih, elo udah makan belum?"
"Belum."
"Makan yuk, gue laper nih. Aneh, padahal tadi sebelum elo dateng gue baru makan siomay. Ternyata bener apa kata orang, ibu hamil itu nafsu makannya jadi tiga kali lipat, gue gak peduli deh badan udah segede kebo juga."
"Hahaha ya ampun La, ngatain badan sendiri kayak kebo. Ya udah yuk, lo mau makan apa?"
"Pertama, gue pengen makan nasi goreng sama kwetiau seafood, terus martabak red velvet, ngemilnya pengen kwaci atau kacang asin, minumnya jus jeruk sama jus sirsak." Nisa terlohok.
"Lo yakin mau makan semuanya?"
"Yakin lah."
"Ya udah yo ... Demi ponakan gue."
***

Seno mondar-mandir di kamar dengan gelisah. Ia ingin menelefon Nisa dan mengungkapkan perasaannya, tapi demi Tuhan ia tidak berani. Ia melirik jam.
Di Indonesia sekarang jam 9 malam. Biasanya Nisa belum tidur jam segini.
Seno meraih ponselnya di kasur. Sedetik kemudian ia letakan lagi. Ia memejamkan matanya kuat, lalu seketika terbuka lebar. Ia terpikir sesuatu.

"Gue tulis email aja deh."

Seno membawa laptop yang tergeletak di meja ke tempat tidur, lalu menyalakannya.
Sekarang badan emil menganga di depan matanya. Perlahan tangannya meraih keyboard, lalu mulai mengetik sesuatu.
Ia mengetik-menghapus, mengetik lagi-menghapus lagi, sampai satu jam badan email itu tetap kosong. Seno mendengus frustasi.
Seno, elo emang payah! Seseorang yang entah siapa berbisik lagi.
Seno menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan dari mulut, ia mencoba mengetik lagi.

'Nis ... Apa kabar? Elo baik-baik aja kan? Maaf akhir-akhir ini gue jarang banget ngehubungin elo. Kuliah gue padet banget karena gue menargetkan dua tahun harus udah lulus. Gue gak bisa ninggalin perusahaan lama-lama apalagi bisnis dengan Nick sudah mulai berjalan.
Nis ... Gue juga minta maaf karena gue belum bisa pulang. Tapi gue usahain pas liburan akademik pulang. Enggak kerasa gue udah mau setahun aja di sini. Rasanya gue udah kangen banget sama suasana Jakarta. Gue pegel tiap hari ngomong bahasa Inggris mulu hehehe ...
Nis ... Jujur gue syok banget pas tahu Viko enggak ada. Gue enggak bisa ngebayangin gimana terguncangnya elo. Belum genap satu minggu kalian jadi suami istri tapi Viko sudah pergi.
Nisa ... Sebenarnya gue malu banget nulis email ini. Tapi gue berusaha sekuat tenaga buat bisa ungkapin rasa di hati gue yang udah bikin gue jadi kayak orang gila dan orang bego secara bersamaan. Nis ... Gue bahagia jadi sahabat yang selalu ada di samping elo. Kurang lebih sebelas tahun gue kenal elo dan karena kita selalu sama-sama akhirnya gue merasakan sayang yang lain sama lo selain sayang sebagai sahabat. Dan ...
Kalau boleh jujur, gue udah jatuh cinta saat pertama kali melihat elo tersenyum di hadapan gue. Dan itu sebelas tahun yang lalu saat elo menolong gue di Singapore. Elo boleh ketawa atau apapun terserah soal perasaan gue ini. Yang jelas rasa cinta dan sayang gue sama lo tulus banget.
Seperti kata elo, gue emang playboy cap paus yang terdampar. Itu karena selama ini gue enggak benar-benar cinta sama mantan-mantan gue yang jumlahnya lebih dari sekodi itu. Hati gue hanya untuk satu orang yaitu elo. Seorang cewek yang terbelenggu oleh rasa trauma akan cinta, sampai cewek itu tidak bisa melihat laki-laki lain lagi selain Viko.
Jujur waktu elo nginep di apartemen gue saat elo enggak bisa tidur karena mikirin Viko, saat itu gue kesiksa banget. Gue lihat elo tidur nyenyak di sofa, sedangkan gue berperang dengan hasrat kelelakian gue karena cewek yang gue cintai tidur di bawah atap yang sama. Lo tahu? Gue enggak bisa tidur sampe pagi. Sekali lagi lo boleh ketawa sampe guling-guling dah.
Akhirnya setelah sebelas tahun, gue baru berani buat ungkapin semua ini sama lo. Gue harap setelah elo tahu perasaan gue ini, elo enggak berubah sama gue. Tetaplah menjadi Nisa yang gue kenal.

Terima kasih ....
Aku mencintai kamu (Ya Tuhan aku-kamu, hahaha)
Senopati Aryan.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER