Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 05 April 2021

Cinta Kedua #12

Cerita bersambung

Nisa menggeliat di tempat tidur. Matanya perlahan terbuka, melirik weker di samping tempat tidur. 7:20. Langsung terperanjat.

"Ya ampun gue kesiangan! Gara-gara Lala nih semalam." Nisa menggerutu lantas ia berlari ke kamar mandi.
Sesudah mandi, Nisa mengirim pesan pada Lena bahwa ia akan terlambat. Walaupun kesiangan, Nisa pantang pergi ke kantor dengan tanpa makeup. Ia berdandan seadanya. Nisa melirik lagi wekernya. 8:10.

"Aduuuh mampus gue. Sekarang ada meeting jam 9 lagi." Nisa berlari secepat yang ia bisa keluar apartemen.
"Gue harus pesan ojol nih." Nisa membuka aplikasi ojek online di hapenya, semantara tangan yang lain menenteng beberapa berkas yang ia bawa kemarin.
Untungnya selang lima menit ojek yang ia pesan datang. Dan berhasil membawa Nisa ke kantor tepat sebelum meeting dimulai.

Nisa menghempaskan tubuh ke singgasananya lalu menghela nafas lega.
Sebenarnya, ia kesiangan gara-gara semalam ia membaca novel 'DANISA' sampai selesai. Walaupun novel itu mengisahkan dirinya, tapi Nisa masih saja terbawa suasana dengan kata demi kata yang Viko tulis.
Brian bilang bahwa nanti royalti novel itu untuknya, tapi Nisa merasa tidak berhak menerimanya. Jadi ia memutuskan royalti itu akan ia berikan sama yang membutuhkan, karena itu akan menjadi ladang amal untuk Viko. Bukankah pahala sodakoh jariah akan terus mengalir walaupun ia sudah meninggal?

"Mang Yanto ..." Seru Nisa pada office boy yang kebetulan lewat di depan ruangannya.
"Iya mbak?"
"Tolong buatkan saya teh madu ya?"
"Siap laksanakan."
"Terima kasih mang ..."

Nisa merebahkan punggungnya ke sandaran kursi yang tinggi. Ia meletakan tangannya ke dahi. Rasanya ia tidak enak badan. Ia berharap teh madu itu bisa menolongnya.

"Mbak ... Ini laporan yang kemarin." Lena tiba-tiba berdiri di depan meja sambil meletakan map.
"Oh, makasih ya, Len." Sahut Nisa. Lena menatap Nisa
hawatir.
"Mbak, kenapa? Apa lagi gak enak badan?"
"Iya nih. Badan aku agak demam. Tapi nanti juga baikan kalo udah minum teh madu. Oh iya, ngomong-ngomong tadi pak Danu nyariin aku gak?"

Lena terlihat gusar mendengar pertanyaan Nisa.

"Iya mbak. Waktu tau mbak belum dateng dia agak bete gitu." Tutur Lena. Nisa kembali menjatuhkan punggungnya.
"Aduh gimana nih, sekarang mau meeting lagi."
"Mbak tau gak, kayaknya meeting ini juga mau ngebahas tentang kunjungan kerja ke London deh."
"Hah? Kok aku gak tau. Kata siapa?" Nisa mengerutkan keningnya.
"Pak Danu. Tadi waktu dia nyariin mbak bilang gitu." Jawab Lena.
"Kenapa ngedadak gini ya?"
"Gak tau tuh."

Nisa melihat jam di ponselnya. Sudah waktunya meeting. Sepintas ia melihat angka satu pada menu Gmail namun ia mengabaikannya.

"Ya udah aku ke ruangan meeting dulu ya." Nisa menyiapkan laporan-laporan yang akan di bahas, mengganti sepatu tepleknya dengan sepatu hak lalu pergi ke ruangan meeting.
"Mbak Nisa ... Ini teh madunya." Seru Yanto saat melihat Nisa pergi dari ruangannya.
"Taro aja di meja mang ..."
***

Rupanya teh madu tidak menolong demam Nisa. Apalagi lusa Nisa harus berangkat ke Inggris buat kunjungan kerja bersama Nadya dan pimpinannya. Bagaimanapun Nisa tidak boleh sakit. Bisa gawat kalau sakit.

Setelah makan siang Nisa coba minum paracetamol 500mg. Semoga demamnya bisa teratasi dengan obat itu. Dan selang dua jam obat bereaksi, demam Nisa turun.
Sebelum jam kantor habis Nisa minta izin pulang untuk istirahat, ia ingin memulihkan badannya agar nanti saat ke Inggris badannya segar.

Sesampainya di apartemen Nisa langsung tidur. Ia tidur nyenyak selama 5 jam lalu terbangun jam 9 malam. Nisa meletakan lagi tangannya di dahi. Lumayan, setelah tidur ia sedikit merasa baikan. Dan sekarang ia merasa perutnya lapar.
Sayup Nisa mendengar ada suara tv menyala di ruang tengah. Siapa ya? Nisa keluar kamar. Terlihat adik bungsunya sedang makan mie instan dalam kemasan cup sambil menonton tv.

"Angga? Kapan kamu datang?"
"Tadi magrib. Aku udah telefon tapi teteh enggak jawab."
"Oh, aku lagi gak enak badan jadi tidur deh dari sore. Ngomong-gomong kamu ngapain ke Jakarta, Bukannya audisi nyanyinya gagal kemarin?"
"Kalau aku bilang pasti teteh kaget."
"Apaan emang?"
"Aku dilirik produser musik mau diorbitin jadi penyanyi."
"Ah, bercanda kamu."
"Ya udah kalau enggak percaya. Kata dia aku memiliki potensi dan punya nilai jual, tau deh mungkin karena aku ganteng kali."

Nisa sumringah, ternyata adiknya ada baiknya juga.

"Widih selamat ya, bentar lagi aku punya adik seorang artis dong." Angga mengernyit "bukan artis, tapi penyanyi!" Seru Angga tidak terima. Padahal menurut Nisa artis sama penyanyi itu sama aja.
"Iya-iya deh penyanyi." Sahut Nisa sambil berlalu ke dapur mengambil roti dan minum.
"Teh, tadi aku telefon sampe 20 kali, loh. Busyet tidur udah kayak kebo, gak denger apa?" Seru Angga.
"Pules banget ..." Saut Nisa dari dapur. Sesaat kemudian Nisa sudah duduk di samping Angga sambil mengunyah roti.
"Ga, lusa aku mau ke Inggris ada urusan kerjaan. Kamu jaga rumah ya."
"Ke Inggris? Ketemu bang Seno dong." Mendengar ucapan Angga, jantung Nisa serasa mau copot. Benar juga. Kenapa ia tidak terpikir kalau pria yang dicintainya ada di Inggris? Di kepalanya cuma ada pekerjaan saja.
Nisa meneguk air putih agar roti yang bercokol di tenggorokannya mengalir ke perut.

"Berapa hari?" Tanya Angga lalu menyeruput mienya.
"Kurang lebih lima hari lah."
"Oh. Oke deh, nanti aku jaga rumah. Kalau ketemu bang Seno, salam ya ..."

Nisa mengerjap. Entah kenapa dadanya jadi berdebar. Padahal belum tentu ia bisa bertemu Seno karena siapa tahu Nisa akan sibuk di sana. Apakah ia harus memberitahu Seno soal kabar ini?
Nisa rindu ...
Rindu yang entah bagaimana lagi untuk mengungkapkannya.
Akhirnya ia bangkit mencari ponsel. Nisa memutuskan untuk memberitahu Seno.

Saat ponsel sudah di tangan, pupil matanya menangkap ada angka satu di menu Gmail. Dari siang angka itu sudah ada tapi Nisa abaikan.
Akhirnya tangan Nisa tergerak untuk membuka menu itu.
Nisa mendelik. Dari Seno? Tumben dia ngirim email. Pikir Nisa.
Perlahan ia membaca emailnya Seno.
Lalu setelah ia menangkap isi email itu, hampir saja ponselnya jatuh.
Nisa belum puas, ia baca lagi email itu berulang kali. Takut salah baca atau cuma halusinasi. Nisa mencubit pipinya sendiri.

"Aduuh." Ternyata sakit. Ini bukan halusinasi.

Nisa menitikan air mata bahagia. Perasaannya campur aduk, entahlah sulit digambarkan rasanya.
Dan demi Tuhan ia tidak pernah selega ini selama hidupnya. Ia sangat lega karena apa yang Niken bilang benar adanya.
Senopatisahabatnya mencintainya. Dan yang bikin Nisa tidak menyangka adalah bahwa pria itu mencintainya sejak pertama kali bertemu di Singapore.
Nisa memegang kedua pipinya, rasa hangat dari hatinya menjalar ke pipi yang membuat kedua pipi itu memancarkan semburat merah.
Inikah jatuh cinta itu? Kenapa rasanya sangat malu? Nisa membenamkan wajahnya ke bantal. Dan ia tidak bisa berhenti tersenyum.

'Tolong kendalikan aku Tuhan.'
Nisa mengambil ponselnya lagi. Lalu membalas email Seno.

"Tunggu aku di Manchester!"
***

Perjalanan Jakarta-London kurang lebih 14 jam, transit sebentar di bandar udara Schipol Amsterdam untuk mengisi bahan bakar, lalu perjalanan dilanjutkan ke London dengan memakan waktu 90 menit. Karena perbedaan waktu di London lebih lambat, maka perjalanan terasa sangat singkat.
Sial. Saat di perjalanan, Nisa demam lagi dan tenggorokannya mulai tidak enak. Sepertinya ada yang salah dengan tenggorokannya. Biasanya kalau sudah begini ia akan flu berat.

Akhirnya pesawat mendarat dengan selamat di bandara Gatwick, London. Semua penumpang dan awak pesawat keluar dari pesawat.
Sebelumnya Nisa sudah pernah beberapa kali melakukan kunjungan kerja.
Ke Paris-yang emang pusat perusahaan sepatu itu di sana, ke Malaysia, Thailand, Turki dan sekarang London.
Tapi entah kenapa kunjungannya kali ini sangat melelahkan karena jantungnya tidak berhenti berdebar-debar.

Ini seperti pertama kali jatuh cinta, semua rasa bercampur di dada.
Nadya sampai heran melihat Nisa begitu semangat dengan kunjungan ini.
Begitu menginjakan kaki di bandara, Nisa menghirup udara dengan mata terpejam dan bibirnya terus mengulum senyum.

"Ndut ... Sekarang kita menghirup udara yang sama di negara ini. Gue kangen banget sama lo sumpah." Nisa bertutur dalam hati.

Selang lima belas menit jemputan Nisa datang. Lalu langsung membawa Nisa dan Nadya ke hotel, sedangkan pimpinannya, akan menemui anaknya dulu yang kebetulan kuliah di Inggris.

Acara kunjungan kerja kali ini hanya untuk acara anniversary perusahaan saja, jadi Nisa akan punya waktu luang di sini.
Si Nadya bahkan udah punya rencana untuk keliling London dan foto-foto buat di instagramnya.
Tuh anak emang bakatnya tukang pamer dari lahir.

Jadwal dua hari ke depan Nisa akan sibuk di kantor untuk menghadiri acara inti, jadi tidak mungkin untuk bertemu Seno besok atau lusa. Mungkin sehari sebelum Nisa pulang ke Indo baru bisa bertemu Seno.

Sesampainya di kamar hotel, Nisa langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur.
"Aduh, kenapa sakit sih, gue gak bawa obat lagi." Nisa meletakan tangannya di dahi. Panas. Di tenggorokannya juga seperti ada biji kedondong yang bercokol, Nisa sampai sakit menelan ludahnya sendiri.
Nisa melirik jam tangannya. 7:15 malam, tapi matahari belum tenggelam.
Di negara ratu Elizabeth ini saat musim semi sampai musim panas memang memiliki siang yang lebih lama. Dari itu bagi siapapun yang ingin jalan-jalan ke negara ini sebaiknya saat musim semi atau musim panas agar memiliki banyak waktu untuk menyusuri seluruh kota pada siang hari.

Nisa mengambil ponsel di koper lalu menyalakannya.
Saat ponselnya menyala ada satu pesan masuk.
Jantung Nisa seperti mau melompat keluar saat tahu siapa pengirim pesan itu.

"Nis, lo beneran mau ke Manchester? Serius? Demi apa? Apa gue lagi mimpi? Elo enggak bercanda kan?"
Nisa terkikik membaca pesan itu. Kemudian Nisa langsung mengetik balasan.
"Serius. Nih, sekarang gue udah di London. Kalau lo gak percaya video call aja." Nisa memencet tombol send.
Sesaat setelah pesan itu terkirim, Seno Video call. Astaga pria itu memang tidak sabaran.

Sebelum menerima panggilan itu Nisa bercermin merapihkan rambutnya yang sedikit kusut.

"Hai ..." Sahut Nisa setelah wajah Seno terlihat di layar ponselnya.
Nisa menelan ludah dengan susah payah karena sakit dan gugup. Tapi sekarang lebih dominan karena gugup.

"Hai juga ..." Seno berkata, lalu melumat bibir untuk mengusir rasa gugupnya, namun tidak berhasil. Dada Seno berdesir halus, lihatlah kekasih hatinya sekarang ada di hadapannya walaupun hanya di layar ponsel. Namun seketika mata Seno mengernyit.
Ia menangkap ada yang berbeda dari Nisa.

"Nis, kok muka lo pucat? Sakit ya?"
"E_enggak. Gue gak sakit ko."
"Jangan bohong, gue sangat tahu gimana wajah elo saat sehat atau sakit."

Nisa mengerjap. Benar. Saat ini ia sedang berhadapan dengan Seno yang lebih tahu dirinya dari siapapun bahkan dirinya sendiri. Jadi Nisa tidak mungkin bisa bohong.

"I_iya gue demam, tenggorokan gue juga sakit."
"Tuh kan ... Elo bawa obat?" Seno sangat hawatir. Nisa menggeleng.
"Ya udah tungguin gue, lo nginep di hotel apa?"
Mata Nisa mendelik "Sen, lo mau ke sini?"
"Iya. Gue mau bawa obat buat lo." Jawab Seno.
"Enggak usah gue bisa beli sendiri." Nisa langsung menyergah.
"Jangan bawel! Elo enggak tau seluk beluk kota London. Gue enggak mau nanti lo jadi daftar salah satu orang hilang di sini." Nisa meringis.
'My man ... Lo tetep jadi mother fierce nya gue.'
"Dari Manchester ke London cuma 2 jam doang naik kereta. Sekarang baru jam setengah 8, sebelum jam 10 gue udah di tempat lo. Tungguin gue, oke?"

Nisa tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menganggukan kepala.
Rasa haru dan senang menyeruak di dadanya. 'Tuhan ... Terima kasih. Kau telah mengirimkan Senopati dalam hidupku.' Desis Nisa dalam hati.
***

Ternyata Seno menepati janjinya, sebelum jam 10 malam ia sudah ada di hadapan Nisa.
Berdiri dengan segala kegugupan yang ada, bingung, salting, dan jantungnya berdegup kencang sampai-sampai Seno takut Nisa bisa mendengarnya.
Rasa cinta dan rindu membuatnya ingin memeluk wanita di hadapannya itu, namun ia segan. Akhirnya Seno cuma memegang dahi Nisa.

"Kamu panas." Ucapnya. Lalu ia menyodorkan bungkusan plastik berisi obat untuk Nisa.
"Nih, jangan lupa diminum. Jangan sampai kamu sakit di negeri orang." Seloroh Seno. Tenggorokan Nisa tercekat.
"Makasih ya ..."
"Ya udah deh aku pulang lagi. Kamu istirahat gih!" Seno berkata masih gugup.
"Pulang?" Nisa berseru antara kaget dan tidak rela.
"Kamu enggak istirahat dulu di sini sebentar? Enggak capek apa?" Seno menyeringai sambil mengusap tengkuknya.
"Capek."
"Ya udah yuk." Nisa mengajak Seno duduk di cafe kecil yang ada di lobi hotel.

Entah kenapa panggilan mereka berubah jadi aku-kamu membuat Seno kikuk, Nisa juga sama. Mereka tidak tahu bagaimana caranya agar suasana kikuk ini mencair. Padahal saat video call tadi mereka masih memanggil elo-gue.

Sekarang mereka duduk berhadapan ditemani dua cangkir americano.
"Hm." Seno berdeham.
"Diminum, Nis." Seno berucap sambil menggerakan tangannya mempersilahkan.
"A_aku mau minum obat, jadi enggak minum kopi."
"Oh iya lupa, mau aku pesankan yang lain?"
"Enggak usah deh."
"Oh, ya udah."

Hening lama.
Pandangan Seno berkeliling, ia sedang berpikir untuk membuka obrolan. Sumpah rasanya ia mau mati karena kikuk. Saat ia asik dengan pikirannya, tiba-tiba Nisa berucap.

"Sen, manggilnya jangan aku-kamu deh. Grogi nih gue ... Kita_biasa aja ya." Dada Seno lega mendengar ucapan Nisa.
"Oke. Ngomong-ngomong, elo ke sini sengaja mau nyamperin gue karena_email itu?" Nisa tersentak.
"Bukan, gue kesini ada acara anniversary perusahaan gue yang tahun ini diadakan di London."
"Oh." Seno menunduk.
Jujur Seno agak kecewa. Tadinya ia kira Nisa sengaja ke sini hanya untuk bertemu dengannya.
"Tapi_gue suka banget sama Emailnya." Nisa berucap malu-malu. Seno langsung mendongak. Sedetik kemudian seulas senyum langsung terbit di bibirnya.
"Alhamdulillah ..." Seno berucap nyaris berbisik, namun Nisa bisa mendengarnya. Nisa pun tersenyum.
"Kenapa baru sekarang, Sen? Kenapa elo buat gue menderita dulu? Kalau saja dari dulu elo bilang, gue enggak mungkin sama Viko. Karena_" ucapan Nisa terhenti lantas ia memasok udara ke paru-parunya.
"Karena?" Seno mengernyit.
"Gue juga cinta sama lo. Entah sejak kapan perasaan ini ada, tapi semenjak elo pergi, gue semakin yakin dengan perasaan gue ini." Nisa menundukan pandangan.
"Walaupun saat itu gue sama Viko, tapi hati gue tidak bersamanya. Gue rasa gue sudah mencintai elo jauh dari sebelum Viko kembali di kehidupan gue. Rasa nyaman saat gue sama lo, dan ketergantungan gue sama lo selama ini, itu membuat perasaan ini tumbuh perlahan dan diam-diam, gue enggak menyadarinya sampai elo pergi."

Saat itu kaki Seno seperti tidak memijak bumi. Ia seperti melayang menyumbul gemintang yang bertebaran di langit London.
Awal musim panas yang hangat telah mempertemukan Seno dengan takdirnya. Ia tidak menyangka sama sekali. Bahwa sahabatnya adalah cinta sejatinya.
Nisa telah menghentikan Seno menjadi playboy cap paus yang terdampar. Pencarian Seno udah sampai ujung. Tidak ada lagi yang ingin ia cari. Karena ia sudah mendapatkannya.
Nisa mendongak melihat mata Seno yang berair. Dan tatapan mata itu pertama kali Nisa lihat selama mengenal pria itu.

"Makasih, Nis." Seno berucap sambil meraih tangan Nisa di meja.
"Gue janji, akan bikin elo bahagia. Gue janji, gue enggak akan membuat elo kekurangan satu apapun. Dan gue janji gue enggak akan poligami, akan menjadikan elo satu-satunya cewek dalam hidup gue sampai gue mati, sampai gue hidup lagi di akhirat." Nisa terkikik-kikik geli mendengar celotehan pria di hadapannya itu.
"Poligami? Emang elo mau nikahin gue gitu?"
"Loh, emang elo enggak mau jadi nyonya Senopati?" Wajah Seno sedikit tegang.
"Bukan gitu, lo lupa ya? Gue kan janda. Emang lo mau nikah sama janda?"
"Elo janda sampe 7 kali juga gue tetep mau." Seno berujar sambil mengerlingkan mata dengan genit.
"Bokis. Geblek lo emang." Keduanya gelak tertawa. Lalu Seno mengacak rambut Nisa dengan sayang.

==========

Berkat obat dari Seno sekarang Nisa sudah baikan. Biji kedondong di tenggorokannya perlahan hilang, dan demamnya sudah tidak mampir lagi di badannya.
Dua hari ini Nisa sangat sibuk dengan acara anniversary perusahaan, berangkat pagi pulang malam. Acara ini memang semi formal. Semua pimpinan dan ketua tim hadir.
Dari pagi sampai sore acaranya membahas tentang inovasi produk baru dengan bahan yang semakin nyaman untuk dipakai.
Lalu malamnya dilanjutkan dengan party bersama.

Setelah acara kantor selesai, waktunya Nisa dan yang lainnya jalan-jalan sebelum besok pulang ke Jakarta. Dan rencananya sekarang Nisa akan berkunjung ke Manchester, menemui Seno.
Nisa menuju Euston Station, dari tempatnya menginap kurang lebih 15 menit yang ditempuh dengan bus.
Jadwal keberangkatan kereta masih ada 30 menit, untuk mengisi waktu Nisa memutuskan jalan-jalan di sekitar station.

Station ini adalah salah satu station tersibuk dan station antar kota yang pertama dibuka di London. Di pintu masuk station akan disambut oleh patung perunggu Robert Stephenson seorang insinyur kereta api terkenal.
Nisa mendengarkan musik dengan headset, ia berjalan dari toko satu ke toko yang lain sambil mengamati masyarakat kota ini. Fasilitas station ini sangat lengkap, cafe-cafe, toko yang menjual beragam, hingga perpustakaan. Jadi tidak akan bosan walaupun menunggu lama.
Nisa mengerjap tiba-tiba ada pesan dari Seno.

"Nis, hati-hati ya. Gue nunggu di stasiun. Awas jangan ngelirik cowok cakep di jalan, karena gue akuin cowok di sini cakep-cakep." Nisa menyeringai sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan.

Beberapa saat kemudian Nisa masuk ke kereta lalu meluncur ke kota Manchester. Kurang lebih dua jam perjalanan, Nisa sampai di Manchester Piccadilly Station.
Manchester Piccadilly adalah stasiun besar di kota Manchester. Hampir seluruh kereta antar kota berhenti di stasiun ini. Fasilitasnya tergolong sangat lengkap dengan banyaknya toko penjual makanan dan juga kios-kios.
Tak jauh dari stasiun, pengunjung akan menemukan deretan pertokoan dan juga akses bus menuju berbagai tempat di dalam kota.
Nisa turun dari kereta sambil membenarkan posisi tali ransel kecilnya.
Setelah itu mengeluarkan ponsel di saku celana jeans, sementara tangan yang lain mencopot headset di telinganya.

Di kejauhan Seno sudah melihat Nisa turun dari kereta, namun gadis itu belum melihatnya.
Seno tidak langsung memanggil maupun menghampiri Nisa. Seno hanya diam sambil memandang haru wanita yang sangat dicintainya sekarang memijakan kaki di kota yang sama dengannya.
Ia tidak menyangka sama sekali hal ini bisa terjadi. Tangan Tuhan telah mengatur sedemikian rupa untuk dirinya dan Nisa bersama dengan hati yang saling terpaut. Bukankah ini ajaib?

Nisa berdiri di tengah-tengah orang yang berlalu lalang sambil memegang ponsel, sepertinya ia sedang mengetik pesan pada Seno.

Seno melihat gadis itu sangat berbeda, kecantikan Nisa sangat terpancar dibanding dengan wanita-wanita yang berdiri tidak jauh darinya.
Hati Seno bertekuk lutut, sampai merasa kakinya lemas.
Nisa begitu sempurna di mata Seno. Terlebih jika melihat Nisa senyum dengan sorot mata berbinar kepadanya. Dalam hitungan detik Seno sudah terpesona.
Sekarang Nisa terlihat membelakangi Seno. Lalu Seno berjalan menghampiri Nisa.

"Hei ..." Seno berseru pelan setelah tepat berada di belakang Nisa.
Nisa menoleh lalu langsung meluncurkan senyumnya pada pria itu.
Dan hati Seno yang dari tadi sudah meleleh, sekarang mungkin sudah mencair.

"Gue udah ngirim pesan dari tadi." Nisa berujar.
"Oh gitu, ya udah yuk" sahut Seno sambil mengulurkan tangannya untuk Nisa pegang, namun Nisa bergeming menatap tangan Seno di sampingnya.
Ia masih merasa malu dan canggung dengan status mereka sekarang yang berubah menjadi sepasang kekasih.

"Ayo ..." Seno berucap lagi. Perlahan sekali Nisa meraih tangan Seno. Lalu rasa hangat dari telapak tangan Seno langsung menjalari seluruh tubuh Nisa.
Sedetik kemudian Dada Nisa berdegup kencang sampai ia susah untuk mengendalikan diri.
Seno langsung menggenggam erat tangan Nisa. Lalu menuntunnya menuju bus yang akan membawanya ke apartemen.
***

Mata Nisa berkeliling melihat apartemen Seno yang tidak terlalu luas. Hanya ada ruang tengah sekaligus ruang tamu, dua kamar, dan dapur dengan satu kamar mandi.
Tidak banyak barang di sana, di ruang tengah hanya ada satu set sofa, televisi dan penghangat ruangan. Di dapur ada kitchen set yang sederhana dan kulkas.

"Oh jadi ini apartemennya seorang mahasiswa S2 terapan advertising di Manchester. Lumayan." Nisa mendengikan bahu.

Kemarin saat bertemu pertama kali, Nisa memaksa ingin berkunjung ke Manchester dan melihat-lihat apartemen dan kampusnya Seno.
Walaupun Seno sudah mengajak Nisa berkeliling Inggris karena di negara ini banyak sekali tempat yang bagus. Seperti Buckingham Palace alias tempat tinggal sang ratu, London Eye alias kincir angin raksasa untuk melihat pemandangan seluruh kota London di ketinggian, atau naik kapal pesiar di sungai Thames untuk melihat kemegahan kota London.
Namun gadis itu ngotot ingin ke Manchester.

"Kenapa, jelek ya?"
"Enggak, bagus kok. Lo betah tinggal di sini?"
"Ya ... Kalau boleh jujur sih, enggak," jawab Seno.
"Loh, kenapa?"
"Karena elo enggak ada di sini. Setiap hari gue rindu sama lo, bahkan saat tidurpun, gue rindu sama lo, Nis." Wajah Nisa langsung bersemu merah.
"Gombal terus ...."
"Ya udah kalau gak percaya. Oh iya, lo mau minum apa?" Sahut Seno sambil berlalu ke dapur.
"Apa aja."

Sesaat kemudian Seno datang dengan dua minuman soda dalam kaleng. Dan memberikannya satu pada Nisa.

"Makasih ya. Oh iya, bukannya lo punya sepupu di sini?"
"Iya. Kayaknya dia lagi sibuk jadi enggak ke sini. Biasanya kalau weekend dia suka datang buat numpang hidup sama gue. Ngomong-ngomong, apa dulu Niken pernah bilang sesuatu sama lo?"
Nisa tersenyum lalu berucap "bilang kalau lo cinta sama gue?" Seno tersenyum malu.
"Iya itu," katanya sambil mengusap tengkuknya.
"Lo tau gak? Saat Niken bilang begitu, gue lagi di kereta mau pulang ke Sukabumi buat lamaran. Saat itu juga rasanya gue pengen turun dari kereta dan lari pulang ke apartemen enggak mau ke Sukabumi. Tapi mau gimana lagi. Mungkin ini sudah jalannya dari Tuhan. Gue nangis sepanjang perjalanan, sampai-sampai si Angga bingung harus gimana nenangin gue."

Seno meletakan minumannya di meja lalu meraih tangan Nisa.
"Maafin gue, Nis. Si Seno emang payah." Seno menjitak kepalanya sendiri. Nisa menyeringai.
"Nisa ... Tungguin gue satu tahun lagi. Gue mohon lo jangan pernah berpaling sedikitpun. Karena gue tahu saingan gue banyak banget apalagi mereka tahu sekarang lo single. Setelah lulus, gue mau langsung ke Sukabumi nemuin ayah sama ibu lo. Gue_" Seno menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya.
"Gue mau nikahin elo."

Mata Nisa langsung berkaca-kaca. Ia bisa melihat kesungguhan dari mata Seno kalau pria itu benar-benar mencintainya dan serius menginginkannya untuk jadi istri.

"Iya ... Gue pasti nunggu elo, Sen. Satu tahun bukan waktu yang lama, kan?"
"Makasih ya ..."

Perlahan Seno mendekatkan tubuhnya ke tubuh Nisa, lalu mendekap Nisa dalam pelukannya. Rupanya kelenjar air mata di mata Nisa bekerja dengan kuat sehingga bulir-bulir air bening dari matanya membasahi kaus Seno.
Seno melepas pelukannya lalu mengusap pipi Nisa yang basah. Lalu entah ada setan apa yang merasuki dada Seno sehingga pria itu perlahan sekali merunduk mendekatkan wajahnya ke wajah Nisa. Dan beberapa detik kemudian bibir Seno sudah menempel ke bibir Nisa.
Nisa melihat wajah Seno semakin mendekat dan nafas pria itu terasa hangat di wajahnya. Entah ada dorongan apa yang membuat Nisa tiba-tiba memejamkan matanya.

Dalam keheningan mereka berciuman. Satu menit ... Satu menit lebih ....
Lalu tiba-tiba ponsel Seno berbunyi. Mereka tersentak lalu saling menjauh.
Dengan gugup Seno mengambil ponsel di saku celananya melihat siapa pengirim pesan itu.
Ternyata dari Niken yang cuma menanyakan hal yang tidak penting.

"Ini dari Niken" sahut Seno sambil melirik Nisa dengan malu.
Beberapa saat mereka bergeming, mengendalikan debaran hebat yang membuncah di dada mereka.
"Nis, tadi_"
"Ini ciuman pertama gue." Nisa berseru memotong ucapan Seno. Sontak Seno mendelik kaget.
"Hah? Jangan bercanda, ah."
"Terserah elo mau percaya atau enggak. Yang jelas selama gue hidup, gue baru pertama kali melakukan ciuman. Barusan. Sama lo." Nisa berkata dengan merundukan kepala.
"Tapi_lo udah nikah."
"Iya lo benar. Gue janda tapi seluruh badan gue masih suci. Viko belum nyentuh gue sedikitpun kecuali kening gue. Waktu pacaran dulu pun Viko enggak pernah sekalipun nyium gue. Waktu sekolah, pacaran kita cuma di perpus baca buku bareng sama makan bersama di kantin. Setiap malam minggu kita tidak pernah keluar karena ayah ketat banget, enggak ngebolehin gue keluar malam. Apalagi sama cowok."
Seno manatap Nisa tidak percaya.
"Jadi, lo masih ...." Seno bahkan sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya karena syok. Nisa mengangguk. Lalu perlahan Seno tersenyum.
"Gue malu sama lo, Nis. Lo udah nikah tapi masih perawan. Sedangkan gue_"
"Jangan bilang lo udah ngelakuin itu sama mantan lo yang bejibun itu." Potong Nisa. Seno langsung panik.
"Enggak! demi Tuhan, gue enggak pernah ngelakuin itu sama mantan-mantan gue. Tapi cuma nyerempet-nyerempet dikit aja, itupun ceweknya yang mepet gue terus, gue juga masih punya iman lah, enggak mungkin gue ngelakuin itu sama pasangan yang belum halal. Lagian walaupun mantan gue banyak tapi gue enggak cinta sama mereka. Gue cintanya sama sahabat gue."
Nisa memonyongkan bibirnya. "Hmm gombal lagi."

Lalu Seno menjawil pipi Nisa dengan gemas.
"Gue masih perjaka, Nis." Akhirnya Seno berucap dengan mimik muka serius.
"Iya-iya deh, gue percaya sama lo." Ucap Nisa sambil senyum-senyum.
"Kok ada 'deh'nya?"
"Astaga, iya gue percaya sama lo, oke?" Sekarang Seno menyeringai lega.
"Even though I'm not your first love, but I want to be your true love forever. Second love to be true love forever." Seno berucap sambil mengelus punggung tangan Nisa dengan lembut.
***

Kejadian demi kejadian sebelum mereka bertemu di Singapore itu memang sudah jalannya dari Tuhan. Di dunia ini konsep kebetulan itu tidak ada, namun semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.
Memang perih dan berat terlebih untuk Nisa, tapi bukankah dari setiap kesabaran akan membuahkan hasil? Mungkin itu cara Tuhan untuk mendewasakan Nisa.
Setiap helaan nafas yang berhembus, keringat yang mengucur, dan air mata yang jatuh, Nisa jalani kehidupan ini dengan kuat.
Sekarang ia hanya ingin bahagia dan melepaskan segala bayang-bayang masa lalunya yang menyakitkan. Bukankah Viko menuliskan seperti itu?

Sekarang, bolehkah Nisa melakukan itu? Seno menawarkan kebahagiaan untuk Nisa, dan Nisa ingin meraihnya.
Pria itu datang bak malaikat penjaga. Selalu ada saat senang dan sedih. Tanpa absen sekalipun.
Nisa ingin dia selalu ada untuknya hingga nanti. Membangun lagi kebahagiaan dari awal berdua. Walaupun nanti di depan ada rintangan dan cobaan, tapi Nisa ingin kali ini tidak ada lagi air mata.

"Hati-hati Nis. Tungguin gue di Jakarta." Sahut Seno sebelum Nisa masuk ke ruangan khusus penumpang. Nisa mengangguk, lalu perlahan masuk sambil menyeret kopernya.
Hari ini Nisa kembali ke Jakarta. Nadya dan pimpinannya sudah pulang duluan tadi pagi, Nisa pulang dengan pesawat yang lain sore hari. Itu karena ia masih ingin bersama Seno sedikit lebih lama.

Saat Nisa masih di ambang pintu, Seno berseru.
"Nisa ...." Nisa menoleh, lalu dalam sekejap ia telah mendapati tubuhnya berada dalam pelukan Seno.
"Sen, lepasin gue! Malu tau." Nisa berusaha melepaskan diri, namun pelukan Seno terlalu kuat.
"Bodo. Mereka enggak kenal kita ini" Seno berkata di telinga Nisa. Setelah beberapa lama, Seno melepaskan pelukannya.
"Inget pesen gue!"
"Pesen yang mana?" Nisa pura-pura lupa.
"Astaga lo ini emang kebangetan. Pesen gue, lo enggak boleh berpaling dari gue sedikitpun."
"Oh itu. Iya-iya gue udah denger lo bilang itu lebih dari dua puluh kali dari kemarin."
Seno menyeringai. "Gak nyangka lo ngitungin."
"Udah ah, gue cabut. Ntar ketinggalan pesawat lagi." Seloroh Nisa.
"Ya udah sono. Jangan lupa kabarin kalau udah nyampe, oke?"
"Iye ...." Perlahan Nisa melangkah mundur, namun baru beberapa langkah ia maju lagi ke hadapan Seno.
"Cepet lulus, terus nikahin gue!"
"Pasti."

Sekarang Nisa telah benar-benar pergi. Ia berjalan menunduk sambil menatap sepatunya sendiri.

"Sekarang aja gue udah kangen sama lo, Sen. Gamana nanti?" Nisa mengusap matanya yang berair.
***

Nisa berjalan cepat memecah genangan air hujan di tanah. Sepatu tepleknya yang berbahan beludru basah tapi tidak ia hiraukan. Sesekali ia melirik Seiko di pergelangan tangannya.

"Ya ampun gue telat-ya ampun gue telat." Nisa terus mengucapkan kalimat itu seperti melafalkan doa.

Selang lima belas menit ia berdiri di depan pintu kaca tebal dengan tulisan "Bride House" perlahan Nisa membuka pintu kaca itu. Lalu seorang wanita berumur lima puluh delapan tahunan langsung menoleh ketika Nisa datang.

"Nisa ... Kamu sibuk banget ya di kantor?" Seru wanita itu.

Wanita itu amat sangat menyayangi Nisa, wajahnya serupa dengan Seno tapi versi perempuan. Kerutan di wajahnya memang terlihat jelas namun itu tidak memudarkan kecantikannya sedikitpun.

"Iya, tante. Maaf ya, hari ini aku terpaksa kerja luar, soalnya asistenku tiba-tiba ada urusan mendesak" sahut Nisa dengan mimik menyesal.
"Eh, kok tante sih? Mama aja dong manggilnya, sebentar lagikan kamu jadi anaknya mama juga."
Nisa tersenyum lalu mengangguk segan.
"Ya udah yuk ke atas, bu Aneu sudah menunggu dari tadi."
Malam ini Nisa akan fitting baju pengantin diantar calon mertuanya alias ibunya Seno.

Saat liburan akademik yang berbarengan dengan idul fitri beberapa bulan kemarin, Seno telah resmi melamar Nisa.
Mumpung pulang ke Indonesia, Seno tidak menyia-nyiakan waktu. Ia mengutarakan keinginannya itu pada orang tuanya.
Orang tua Seno sangat terkejut sekaligus senang dengan keputusan yang sangat mendadak itu. Lalu dengan persiapan seadanya seluruh keluarga Seno dari Jakarta berangkat ke Sukabumi untuk meminta Nisa pada orang tuanya. Semuanya dilancarkan, semuanya dimudahkan.

Dan beberapa bulan lagi Nisa akan menikah dengan Seno setelah ia lulus. Bukankah Tuhan menyatukan mereka dengan cara yang sangat unik? Nisa harus melewati jalanan yang berkelok-kelok, naik turun dan berbatu dulu untuk sampai pada jalanan mulus beraspal bagus, yang tahan hingga puluhan tahun walau diterjang hujan badai dan mobil-mobil besar.

Nisa mematut diri di cermin dengan kebaya putih nan indah, yang akan ia kenakan saat akad nikah nanti. Sementara asisten Aneu meneliti apakah ada yang harus diperbaiki.

"Sepertinya bagian ini harus dikecilkan sedikit" seru asisten Aneu sambil memasangkan jarum pentul di bagian lengan.
Nisa mengangguk setuju. Nisa melihat calon ibu mertuanya menatapnya di cermin dengan takjub.
"Kamu cantik banget deh." Nisa menunduk malu.
"Iya. Seno beruntung banget ya bu. Punya calon istri cantik begini." Seru Aneu yang tengah duduk di meja kerjanya.
Hidung Nisa kembang kempis mendengar pujian-pujian itu.
"Duh ... Aku malu." Nisa berucap sambil menutup muka. Semua orang di sana tertawa.
"Baju untuk resepsi sepertinya belum bisa di fitting malam ini. Mungkin minggu depan," sahut Aneu.
"Oh gitu. Ya udah enggak apa-apa."
"Gimana, kamu suka enggak sama bajunya?"
"Suka banget, terima kasih ya bu." Nisa menjawab sambil meluncurkan senyum tulusnya pada Aneu.
***

Setelah fitting selesai, Nisa diantar pulang ke apartemen oleh supir keluarga Seno yang sebelumnya mengantar calon ibu mertuanya dulu ke rumah.

Hari ini sangat melelahkan. Tapi rasa lelah itu tidak begitu terasa kerena Nisa bahagia.
Nisa menghempaskan diri ke kasur, lalu ekor matanya menangkap novel "DANISA" di atas bantal. Seperti prediksi Brian, novel itu memang telah menjadi best seller. Bahkan sudah cetak ulang untuk ke tiga kalinya sejak launching.
Kemarin Brian mengatakan novel itu sudah terjual lebih dari tiga puluh ribu eksemplar. Dan kemungkinan ini masih terus bertambah. Wow itu angka yang sangat fantastis untuk sebuah buku fiksi.
Sekarang Nisa tahu bagaimana Viko sangat kaya dari buku-bukunya itu.

Royalti novel itu memang masuk ke rekening bank Nisa, namun setelah itu Nisa langsung mentransfernya ke ibunya Viko untuk disumbangkan ke fakir miskin dan anak yatim. Awalnya Mia tidak setuju dengan ide Nisa itu, namun pada akhirnya Mia setuju apalagi sekarang Mia tahu Nisa akan menikah lagi.

Nisa meraih novel itu lalu mendekapnya di dada, hingga ia tertidur.

Bersambung #13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER