(side a)
Ada penyesalan telah mengucapkan kata kasar hingga berujung kelepasan mengatakan talak secara tersirat hingga jatuhlah talak tanpa dia sadari. Karena sengaja ataupun tidak, tetap saja jatuhnya telah memberi talak.
Dan sialnya tindakannya itu masuk kategori talak ba'in shugra. Karena Wildan belum pernah menggauli istrinya namun sudah jatuh talak.
Talak ba'in shugro adalah talak di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk pada istri kecuali dengan akad yang baru.
Ketika itu ikatan suami istri terputus dan istri menjadi wanita asing, bukan lagi milik suami.
Talak ba'in shugro ini tidak mengharuskan istri menikah dengan pria lain lalu halal bagi suami yang dulu.
Jika ingin menyambung ikatan pernikahan, cukup dengan akad dan mahar yang baru.
Perkara mahar baru mungkin mudah, tapi akad nikah baru, itu sangat sulit bagi Wildan. Karena itu terpaksa mereka masih satu atap dan satu kamar untuk menutupi dari orang tuanya. Keduanya tidak pernah saling tegur sapa apalagi bersentuhan.
Kirana sendiri gamang, haruskah dia ceritakan pada sang mertua bahwa Wildan telah mengucapkan talak bahkan sebelum menggaulinya? Tapi, dia masih takut dan bingung, itu akan menjadi masalah besar lagi nantinya.
Akhirnya dia memutuskan kembali ke kamar setelah bercengkrama dengan ibu mertua juga Wildan di saat makan siang, kebetulan mereka juga menunda keberangkatan ke Jogjakarta. Meski hatinya benar-benar gelisah memikirkan sang anak, melebihi pada status pernikahannya kini.
Sebagai ibu baru, Kirana merasa harus melindungi anaknya meski anak itu telah remaja. Karena Rayyan terbiasa dengan kemewahan, perlindungan dan kini entah bagaimana nasibnya.
Wildan yang cemburu buta menjadikan dirinya lebih posesif dan arogan. Bahkan setiap mengingat Rayyan emosinya jadi meledak-ledak. Dia tak pernah menyangka wanita cantik yang dia harapkan telah memiliki anak bahkan telah remaja. Sedangkan untuk jujur pada orang tuanya yang bijaksana, itu sulit. Abi pasti akan lebih membela Kirana dan anaknya, karena sebelum menikah Wildan sudah tahu. Jadi akan diminta bertanggung jawab dengan pilihannya.
Keduanya kini tampak normal saat berbaur dengan Ummi yang asik menceritakan keinginannya memiliki cucu dari Wildan. Padahal pasangan ini diam-diam telah terpisah dengan sendirinya.
Berulang kali Wildan menoleh ke arah Kirana yang tersenyum manis mendengar harapan seorang ibu lainnya. Gurat rasa bersalah tampak di wajahnya.
Kemudian keduanya masuk ke kamar dengan kekakuan, Wildan sudah dua malam tidur seorang diri di ranjang sementara Kirana di bawah menggunakan karpet dan bedcover untuk mengurangi udara dingin.
"Aku minta maaf atas sikap kasar dan emosiku yang meledak-ledak," ujar Wildan ketika Kirana selesai salat ashar.
Kirana diam tak menjawab, dia hanya berdoa agar Rayyan baik-baik saja dimanapun dia berada.
"Rayyan aku titipkan di pesantren dengan tujuan agar dia aman dari kejamnya dunia. Sementara aku memperbaiki rasa yang terus dihantui cemburu." Wildan menarik napas berat, "aku selalu cemburu setiap kali melihat wajah anak itu. Dia sangat mirip denganmu juga William. Perpaduan sempurna wajah kalian. Itu sangat menyakitiku," lanjutnya dengan suara terbata.
Kirana membuka mata dan lelehan bening mulai membasahi pipinya.
"Aku sangat mencintaimu, Kirana. Tapi aku terlalu cemburu. Sesaat sebelum menikah, kupikir semua akan mudah kulalui, menerima dirimu apa adanya, lalu mencoba menerima Rayyan. Aku ingin tampil sebagai pria gentleman yang mengakui dia sebagai anakku sendiri. Tapi ternyata tidak semudah itu." Wildan menunduk dan sesekali mengusap kepala dan wajahnya. Sedangkan Kirana masih diam membelakangi mantan suaminya, dan hanya berusaha menyimak. Berharap ada harapan untuk memperbaiki keadaan, karena perceraian bukanlah solusi yang baik.
"Setiap kali anak itu menyebutmu ibu, dan mengatakan tentang daddy ... aku kembali mengingat bagaimana manisnya bule itu menyatakan cinta padamu. Aku iri, aku juga ingin seperti dia. Aku juga tahu setiap wanita akan merasa spesial dengan perlakuan seperti itu, terlepas apa yang terjadi padamu kala itu ... aku takut ... kau akan merasakan cinta juga pada akhirnya, kepada dia. Aku takut sekali Kirana." Wildan menatap wanita yang kini tak melepas kerudung di hadapannya.
Akhirnya Kirana menoleh dengan mata yang basah, "Kenapa tidak kau batalkan saja pernikahan ini waktu itu? Rasa malu yang kau terima tidak akan terlalu besar jika orang-orang tahu bahwa aku adalah gadis rasa janda. Iya kan?" tanya Kirana dengan penekanan, "juga tidak akan menjadi sebesar ini masalahnya."
"Aku mengaku salah. Tapi aku tidak mau berpisah darimu. Aku akan mencoba agar kita bisa kembali lagi, aku akan meminta bantuan teman untuk dapat melakukan akad nikah baru dan mempersiapkan mahar, kita akan menikah kembali." Wildan menatap Kirana yang juga menatap wajahnya.
"Beri aku waktu," jawab Kirana tegas.
Sesungguhnya dia pun tak ingin bercerai, tapi dengan mudah memaafkan suami yang kadang tempramen bukanlah hal mudah. Dia ingin Wildan kapok dengan kesalahan fatal yang dia buat agar tidak terulang lagi.
"Terima kasih tidak memberitahu orang tuaku akan hal ini," tambah Wildan dengan senyuman.
Wanita itu kini hanya menunduk lemah, dan segera merapikan peralatan salat. Untuk kemudian keluar kamar kembali menemani Ummi Wildan yang menunggunya untuk belanja ke pasar tradisional.
***
Akhirnya Kirana dapat menghubungi Rayyan setelah Wildan memberikan nomor ponsel pondok. Tangis haru pecah saat mereka berbicara jarak jauh.
"Maafkan ibu, Nak," isak Kirana sambil terus menutupkan satu lengannya ke mulut, mencegah tangisan keras keluar dari sana.
"Aku baik-baik saja, Bu. Tapi tidak betah, kapan ibu jemput aku?" tanya Rayyan dengan suara sengau. Sepertinya dia juga banyak menangis.
"Ibu akan usahakan secepatnya, ibu akan selesaikan dulu masalah dengan Om Wildan. Setelah itu, ibu akan menjemputmu. Sekarang baik-baik disana ya, dan belajarlah. Tidak ada ruginya, kau juga aman dari dunia luar yang kejam untuk jalani hidup tanpa kedua orang tuamu." Kirana terus menyemangati Rayyan yang terdengar terisak.
"Oke, Bu," jawabnya singkat.
Sekarang ibu satu anak itu menatap Wildan yang terdiam. Sebelum memberikan nomor pondok, pria ini telah memohon berulang agar Kirana tidak mengadu pada Abi yang akan segera pulang dari tanah suci. Dia janji, akan berubah lebih baik dan mencoba menerima Kirana juga Rayyan.
Bahkan dia rela tidak menggauli Kirana sampai wanita itu siap, jika kelak mereka resmi menikah lagi. Sekarang, dia sedang mencari waktu dan tempat untuk melaksanakan itu.
"Aku serius, aku minta maaf padamu. Aku maklumi andai kamu tidak siap untuk menerima nafkah batin dariku." Wildan menarik nafas dalam.
"Mas, malam itu aku bener-bener siap sebagai istri, tapi memang datang tamu bulanan. Masa mau tetap dipaksakan? Dan demi Alloh, aku dengan William tidak pernah melakukan hal selayaknya suami istri. Dia memiliki istri, namanya Anna. Dan dia sangat mencintai wanita itu." Kirana jadi sedikit emosi pada pria di hadapannya.
"Iya, aku tahu. Pria macam apa dia, sudah punya istri masih menyatakan cinta pada wanita lain?" gerutu Wildan seolah penting mengomentari pria lain yang dia anggap buruk, padahal dia sendiri bukanlah pria yang masuk kategori baik.
Kirana tak menjawab lagi, dia hanya merindukan sang anak untuk saat ini. Namun tidak boleh terus menerus menghubungi melalui nomor pondok, hanya boleh di hari libur.
"Besok kita akan ke Jogja, dan sekalian menikah lagi disana. Tanpa sepengetahuan Abi dan Ummi."
"Lalu wali aku?" tanya Kirana bingung.
"Kita akan minta Paman ikut, sebagai wali. Dia pasti tidak akan keberatan."
Paginya mereka pamit pada orang tua Wildan untuk pergi ke Jogja, sengaja Wildan buru-buru pergi ketika Abi Masykur tiba untuk menghindari interogasi seputar pernikahan yang baru dia lewati.
Dan tujuan pertama mereka adalah menikah lagi, tentu hanya mereka lakukan secara agama.
Karena itu, Wildan hanya meminta Paman Kirana sebagai wali setelah menceritakan kesalah fahaman yang terjadi.
Awalnya Paman tidak setuju dengan keinginan Wildan dan Kirana, apalagi dengan mudahnya sang pria mengucap talak dan sekarang seenaknya ingin kembali lagi.
"Jadi gini, Paman. Wildan kemarin karena terlalu cemburu buta, insyaa Alloh setelah ini akan lebih bersabar." Dia berusaha mengambil hati Paman Kirana.
Sementara Kirana merasa perlu memaafkan Wildan karena dia masih mencintai pria itu. Sejak awal memilih Wildan tidak hanya karena sikap baiknya, tapi karena ada getar-getar cinta yang dia rasakan setiap kali bertemu. Rasa yang sama seperti yang pernah dia alami dengan Rega.
Sementara Paman yang masih menilai seseorang dari pangkat dan tahtanya, merasa bingung jika harus menolak. Dia sungkan pada Abi Masykur, padahal orang terpandang itu tidak tahu keadaan rumah tangga anaknya.
Kirana juga seolah lupa minta petuah Ustadzah Maryamah karena terlalu mengikuti kata hatinya, untuk berbaikan dengan Wildan yang kesalahan fatalnya dapat dia maklumi.
Wanita itu sadar, andai bukan Wildan ... mungkin akan lebih parah perlakuan yang dia terima dari orang yang menjadi suaminya.
Sebagai seseorang yang pernah menyewakan rahim dan tidak memegang data proses perjanjian itu, dia tak bisa mengelak jika dituduh murahan.
Itu kesalahan fatal lainnya yang dia buat. Karena tujuan awal adalah menyembunyikan apa yang telah dia lakukan.
Namun kesadaran diri sebagai seorang yang berniat hijrah, membuatnya harus berkata apa adanya.
Daripada orang yang menikah dengannya kelak tahu dari orang lain dan mungkin akan merasa dibohongi.
Akhirnya, pasangan itu memilih menemui penghulu yang kemarin menikahkan mereka. Dengan segala macam permohonan maaf, dan harapan agar sang ayah tidak tahu, Wildan berharap untuk dinikahkan lagi.
"Duh, Mas. Bapak jadi dilematis," ujar Pak Penghulu yang kenal baik dengan Abi Masykur.
"Insyaa Alloh kali ini saya akan bersikap ma'ruf pada istri saya, kemarin hanya khilaf. Sungguh, saya akan menjaga lisan saya. Lagipula Kirana sudah memaafkan, pun Paman yang merupakan wali telah memaafkan saya. Ikhlas kembali menjadi suaminya." Wildan berbicara dengan penuh penyesalan.
"Baiklah, Nak Wildan sudah siapkan mahar baru? Alakadarnya saja tidak apa, yang penting halal lagi. Gitu kan?" Pak Penghulu juga tidak tega, toh kedua pasangan ini masih sama-sama ada niat untuk memperbaiki diri dan utamanya masih saling cinta.
Wildan mengangguk, lalu menoleh pada Kirana yang sejak tadi terlihat kosong. Namun akhirnya membalas tatapan dengan senyuman.
"Ingat, pernikahan itu bukan mainan. Menikah itu menyempurnakan agama kalian, ibadah. Kekurangan dan kelebihan suami atau istri harus dijadikan pemersatu, mengeratkan dan kasarnya saling tambal. Saya yakin, setiap pasangan tidak ada yang sempurna, pasti ada cacatnya. Jadikanlah kekurangan itu sebagai penyeimbang bagi yang baik. Faham?" Pak Penghulu menatap Kirana dan Wildan yang mengangguk penuh penyesalan.
Akhirnya keduanya melakukan akad nikah baru, juga mahar sederhana sebagai syarat kembalinya mereka menjadi pasangan suami istri.
Bagi Kirana, ini lebih pada cambukan pada masa lalunya. Agar tidak ada lagi gadis-gadis lain yang melakukan tindakan seperti dirinya hanya karna uang.
Karena sesungguhnya Tuhan memberikan ujian pasti dengan jalan penyelesaiannya, tinggal sang manusia mampukah memecahkan jalannya itu.
Dan saat Wildan kembali mengucapkan ikrar nikah, Kirana semakin menangis mengingat bagaimana kepergian Abah, hancurnya masa depan dan juga nasib Rayyan yang pada akhirnya jadi tidak jelas. Karena itu, saat ini dia hanya ingin memperbaiki diri dan membahagiakan sang anak.
Dan semoga Wildan memiliki visi yang sama dengannya.
Setelah resmi kembali, mereka langsung pamit pada Paman Kirana karena berencana langsung pindah ke Jogjakarta. Besok Wildan sudah mulai mengajar disana. Jadi dengan kereta senja, mereka segera menuju ke kota pelajar tersebut.
***
Dini hari mereka tiba di rumah baru di Jogjakarta. Suasana sangat sepi dan dingin, karena rumah itu hanya dihuni sepasang suami istri yang bertugas merawat rumah. Tanpa bahasan apapun lagi keduanya memilih tidur karena kantuk yang sangat menyiksa dan lelah yang mendera. Dan paginya Wildan sudah harus pergi mengajar.
"Kamu rehat di rumah ya, jangan kemana-mana," pesan Wildan saat memakai sepatu lalu berdiri dan mencium kening Kirana.
"Mas," ucap Kirana ragu, dia ingin sekali menanyakan kapan menemui Rayyan. Tapi pasti dijawab nanti, apalagi ini hari pertama dia mengajar di sekolah baru.
Setelah suaminya pergi dengan mobil, Kirana segera mengambil ponsel dan menghubungi nomor pondok dimana Rayyan dititipkan. Sayang, jika bukan minggu ... semua santri dilarang menerima telepon dari orang tua mereka.
"Tapi, Rayyan baik-baik saja kan, Pak?" tanya Kirana dengan cemas.
"Dia memang belum betah, tapi itu umum dialami semua santri. Apalagi Rayyan masih sangat mentah ya, masih sangat dasar ... sedang kami ajarkan dari awal. Utamanya untuk baca iqro dan surah-surah pendek," papar pihak pondok.
"Terima kasih, Pak." Kirana tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia tidak bisa membayangkan kondisi Rayyan saat ini. Beruntung pihak pondok memaklumi keterbatasan anak itu. Bahkan dianggap sebagai muallaf karena berwajah campuran kulit putih atau bule.
Kegiatan Kirana selanjutnya hanya menyiram tanaman, tilawah, lalu mengobrol dengan Mbok Sumar yang bekerja untuknya. Sesekali Wildan berikirim pesan hanya menanyakan sedang apa? Jika jenuh boleh main ke pusat perbelanjaan dengan Mbok Sum, tapi harus sudah di rumah kalau dia kembali. Tertulis di jadwal, Wildan selesai mengajar pukul empat sore. Otomatis sampai rumah bisa jam empat tiga puluh.
***
Mobil hitam itu mulai memasuki pelataran. Kirana tersenyum dan segera memakai kerudung, lalu keluar dengan senyuman seindah mungkin. Menyambut sang suami yang baru saja kembali.
Salam, kecupan di kening, menjadi hal wajib bagi mereka. Kemudian menggandeng istri tercinta ke dalam kamar, lalu mandi sore supaya lebih segar.
"Malam ini kita jalan-jalan ke Mallioboro yuk," ajak Wildan sambil memakai kaos panjang dan celana bahan seperti biasa.
"Berangkat kapan? Macet tidak?" Kirana menahan diri untuk membahas Rayyan. Meski dia sudah tak sabar ingin meminta menjemput anak itu.
"Sekarang aja, biar sampe maghrib dan kita bisa salat disana. Terus makan-makan apa yang kamu mau," jawab Wildan.
Kirana setuju. Sepanjang jalan mereka habiskan dengan mengobrol banyak hal. Utamanya seputar kota yang kini mereka tinggali. Hingga tak sadar telah tiba di tujuan.
Kirana dan Wildan berjalan kaki menyurusi deretan tempat makan lesehan yang ada di sana. Keduanya sibuk berdiskusi tentang makanan yang ingin mereka makan. Kemudian masuk ke sebuah warung yang menjual gudeg tradisional. Mereka duduk di tikar dan segera memesan makanan.
"Mas, jadi kapan mau jemput Rayyan?" akhirnya dia tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Sayang, bisa tidak untuk bahas tentang kita aja dulu? Tentang rencana kita berdua." Wildan tampak keberatan.
"Rayyan adalah anak kita kan?" tanya Kirana dengan suara berat.
"Iya, tapi aku masih belum siap satu rumah dengan dia. Kamu ngerti kan? Aku sudah bilang bahwa setiap kali melihat dia maka yang aku ingat adalah ...." Wildan tidak melanjutkan kalimatnya.
Kirana tertunduk, lalu segera mengaduk es teh yang baru saja disodorkan. Mencoba menikmati meski dengan perasaan tak karuan. Dia menjadi dilematis antara harus memilih anak atau suaminya. Karena sejatinya seorang istri harus patuh pada suami, tapi ... dia juga memiliki tanggung jawab untuk merawat anaknya.
Hingga kembali ke rumah, keduanya tak banyak mengobrol seperti saat berangkat. Hanya sesekali mereka mengomentari sesuatu yang terlihat selama perjalanan. Keduanya seolah takut saling menyakiti lagi.
Kirana, takut Wildan marah lagi. Dan Wildan juga sama, takut Kirana semakin merasa dia bukan suami yang baik. Jadilah keduanya saling diam hingga tiba di rumah.
***
Kirana menyisir rambut yang baru saja dia keringkan dengan hairdryer. Sementara Wildan sedang membaca buku sekolah untuk referensi mengajar besok. Udara dingin membuat Wildan menatap sang istri tercinta, haruskah dimulai malam ini? Dia juga ragu dan takut mendapat penolakan. Namun dia merasa harus mencari tahu, apakah istrinya sudah siap atau akan mencari alasan lain supaya tidak disentuh olehnya? Karena bagi Wildan, sang istri seperti masih enggan dimiliki secara utuh. Keyakinannya soal pura-pura haid di malam pertama masih besar.
Akhirnya keduanya masih saling diam, meski sesekali masih saling lirik namun hanya seutas senyum yang mereka pamerkan. Keduanya jadi kaku dan enggan memulai lebih dulu.
Wildan menunggu kode dari Kirana, sedang sang istri merasa malu untuk menggoda sang suami lebih dulu. Akhirnya malam kedua pernikahan mereka juga dilalui dengan tidur yang masih berjarak.
***
Bagi Kirana, keengganan Wildan menyentuhnya mulai menimbulkan rasa tidak nyaman. Dia semakin merasa tidak layak mengingat dirinya masih dikategorikan virgin atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Karena dia tidak ingat bagaimana proses pemindahan embrio ke dalam rahimnya. Apalagi belakangan dia ketahui yang terjadi adalah penyuntikan sel sperma langsung. Bukan penanaman embrio.
Wildan sendiri sering uring-uringan, tapi tidak berani menyatakan keinginan. Baginya andai Kirana tidak memulai, berarti sang istri benar-benar enggan disentuh dan kecurigaan dia kalau haid di malam pertama adalah bohong, benar adanya.
Kaku, pasif, itulah kegiatan mereka sehari-hari. Berangkat kerja jam enam, dan kembali jam lima sore. Setelah itu lebih sering menemani Pak Nas yang biasa jaga rumah untuk merawat tanaman hydroponic di pelataran belakang. Sementara Kirana pun sama, hanya akan sibuk menyiapkan makan malam bersama Mbok Sumar.
Selepas maghrib, keduanya sama-sama tilawah, kemudian setelah isya sang suami akan sibuk dengan memeriksa lembar tugas siswa. Seperti itu dan terus berulang, membuat hubungan keduanya semakin hampa.
Entah sampai kapan ego akan mereka kedepankan, dan entah sampai kapan Wildan akan menolak kehadiran Rayyan.
==========
(side b)
Wildan sering membahas masalah rumah tangganya dengan salah satu rekannya mengajar. Dia sudah berumah tangga juga, dan cukup terkejut ketika tahu istri Wildan pernah menyewakan rahim di masa lalu. Bahkan anaknya itu ikut sang ibu dan kini dibawa bersamanya.
"Itu memang benar, Wil. Kalau anak hasil surrogate dari seorang gadis memang jatuhnya jadi anak si gadis. Semacam anak diluar nikah," ujar temannya ketika makan bersama di sebuah restoran.
"Itulah, aku dilematis. Susah menerima kenyataan itu. Susah menerima anak itu. Kupikir anak itu akan tetap bersama ayah biologisnya, tapi kok malah ikut istriku," keluh Wildan memijat keningnya.
Temannya hanya menyimak. Sambil sesekali menyuapkan makan siang.
"Nah, sekarang dia tidak mau aku sentuh karena aku tak kunjung membawa anaknya ke rumah. Sengaja anak itu aku taruh di pesantren biar tidak mengganggu kami. Tapi istriku marah. Jadilah sampai detik ini kami ... belum pernah ... mandi junub." Wildan sedikit memerah.
"Ah masa, Mas? Wah udah ga beres kalau gitu. Dia dah ga bisa menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagai istri. Sampean boleh kalau mau nikah lagi," ujar temannya dengan tanpa menyelami jauh pokok permasalahan pasangan ini.
"Iyakah? Tapi, aku takut Abi tahu. Kalau tahu pasti marah."
"Lha, poligami kan halal? Masa marah?" tanya temannya lagi, heran.
"Masalahnya orang tuaku belum tahu tentang masa lalu istriku. Aku juga tidak berani cerita. Kalau tahu, palingan aku sendiri yang disalahkan Abi, karena asal pilih. Dan ujungnya cuma disuruh nerima istriku apa adanya juga anaknya. Boro-boro bakal dikasih izin nikah lagi. Kamu kan tahu, Abi walau bilang poligami halal, bagi dia ga gampang syaratnya." Wildan benar-benar frustasi.
"Ya sudah, nikah saja lagi tanpa memberitahu siapapun. Daripada sampean ... tidak tahu rasanya," goda temannya dengan tawa jahil.
Wildan menarik nafas dalam, entah kenapa dia teringat seseorang yang selalu memberi perhatian padanya di sekolah. Pegawai kantin, seorang gadis desa dengan kulit sawo matang dan sangat manis. Selalu membuat Wildan betah jika makan di kantin.
Selain sering curi pandang, wanita itu juga diketahui butuh uang karena harus membiayai ke empat adiknya.
Setiap melayani mengambilkan makan, juga sangat perhatian.
Selebihnya, gadis itu juga kategori miskin, putus sekolah dan sekarang bekerja karena diajak oleh tetangganya yang merupakan penjual nasi di kantin sekolah.
Saran temannya benar-benar Wildan pertimbangkan, tanpa sepengetahuan Kirana dia semakin sering menjalin komunikasi dengan gadis penjaga kantin. Bahkan mengajaknya jalan sambil makan diluar, berbeda sekali dengan ketika dia mendekati Kirana.
Wildan tampil seperti pria yang faham bahwa berduaan dengan wanita bukan mahrom itu haram. Tapi dengan gadis yang belakangan diketahui namanya adalah Ajeng, dia tanpa ragu jalan berdua.
Setiap pulang ke rumah Wildan bersikap dingin, menjadikan jarak semakin lebar dan Kirana yang juga ragu untuk memulai lebih dulu. Meski hanya sebuah kalimat basa basi, karena setiap kali obrolan dimulai ... selanjutnya akan ada keinginan untuk segera menanyakan Rayyan.
"Aku besok ada agenda di sekolah, dengan rekan-rekan guru. Jadi tidak pulang," ujar Wildan ketika sarapan.
"Tumben, Mas?" tanya Kirana heran.
"Iya, pulang lusa," jawab Wildan dingin, "ini uang buat seminggu. Kalau kamu mau belanja ke mall, pergi aja tanpa aku ya. Ga papa," lanjutnya menyerahkan amplop cukup tebal.
Selain guru di sekolah swasta terkemuka, Wildan juga memiliki bisnis lain yaitu menjual oleh-oleh dari Arab. Jadi jelas penghasilan dia bisa dikatakan berlebih.
"Iya, makasih Mas." Kirana hanya menunduk melanjutkan sarapan.
Setelah itu dia hanya memperhatikan kepergian sang suami yang tak biasanya rapi sekali. Bahkan membawa cukup banyak pakaian terutama kemeja dan jas hitam di tasnya.
Tak ada kecurigaan dalam hati Kirana, bagi dia sikap dingin Wildan karena masih belum bisa menerima masa lalu perlahan akan tergerus oleh cinta yang tumbuh diantara mereka.
Meski sebagai seorang istri, ada kalanya dia penasaran seperti apa rasanya disentuh suami. Mengingat dulu mereka pernah bermadu kasih namun tidak sampai terjadi hubungan badan.
Dan manusiawi jika dia memiliki keinginan ke arah sana.
Namun sayang, Wildan sepertinya semakin tidak berselera pada Kirana. Terlebih sejak kehadiran Ajeng yang selalu membuatnya nyaman dan memberi tertawa kala jalan bersama.
***
"Mas Wildan serius mau nikahin Ajeng? Kan Mas udah nikah?" tanya Ajeng ketika mereka makan bersama di sebuah restoran cukup mewah.
"Lho, kamu pikir aku ngajak jalan dan kasih kamu uang cuma sekedar ngasih aja tanpa ada niat dan tujuan? Masa ga ngerti dikodein gitu?" Wildan tersenyum manis.
Ajeng tertunduk malu, jelas dia juga sadar bahwa Wildan menaruh hati padanya. Tapi dia masih pura-pura tidak faham untuk mendapat jawaban langsung dari si pria.
"Terus, istrinya tahu tidak tentang semua ini?" tanya Ajeng lagi.
"Jujur aja ... ga. Karena saya akan menikahi kamu hanya secara agama. Siri kalau dalam istilah umum. Karena ... bukan apa, Abi mungkin tidak akan setuju. Tapi saya sudah benar-benar menginginkan kamu, daripada kita makin jatuh ke dalam dosa? Sering jalan dan saling nyaman tanpa ikatan pernikahan? Toh itu halal kan?" Wildan terus membenarkan tindakannya, tak peduli meski ada benarnya tapi juga ada salahnya.
"Duh, aku jadi gimana ya?" Ajeng bingung dan sedikit berfikir.
"Aku akan menafkahi kamu selayaknya istri pertamaku. Adik-adik kamu dan ibumu juga aku biayai, tapi ... kita ga akan serumah. Aku akan sewa rumah dekat sekolah supaya bisa sering ketemu kamu. Dan malamnya tetap di rumah istriku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tahu, kita hanya ingin hubungan kita ini halal? Dan aku tetap tanggung jawab," papar Wildan panjang lebar. Membuat Ajeng benar-benar tertarik untuk jadi istri kedua. Padahal lebih pantas disebut istri simpanan, karena dirahasiakan.
Modus atas nama halal berpoligami, padahal hanya untuk kepuasan diri bukan karena benar-benar alasan syar'i, memang telah banyak ditemui.
"Terus, kalau istri Mas tahu, gimana? Mas mau pilih siapa?" tanya Ajeng, dia butuh kepastian. Tentu itu baik guna masa depannya.
"Jadi gini, aku tuh sama istri pertama dah ga bisa bertahan. Setelah dipikir-pikir akan aku ceraikan nanti. Tapi Abi pasti akan marah, dengan alasan cerai itu halal tapi dibenci Alloh. Karena itu, aku akan mencari cara dulu agar memiliki alasan logis untuk berpisah." Wildan meneguk air di gelas, "andai pernikahan kita ketahuan, jelas aku akan milih kamu. Karena itu tadi, aku dah ga cinta sama istriku. Semua aku pertahankan sama dia karena nama baik orang tua saja."
Ajeng puas mendengar jawaban kekasihnya, dan mereka sepakat akan menikah diam-diam.
Itulah alasan Wildan pergi selama dua hari dari rumah, karena akan menikahi Ajeng dan tentu berbulan madu dengan sang istri baru.
Melepaskan hasrat yang selalu terhambat ketika hendak diserahkan pada Kirana. Yang setiap kali berdekatan, selalu terasa ada batas yang sulit dia singkirkan.
Cinta Wildan pada Kirana telah benar-benar pudar, karena itu dia hanya bertahan demi nama baik orang tuanya.
Dia tak peduli akan seperti apa kelak, dia juga tak peduli meski masih menahan pertemuan ibu dan anak itu hingga kini. Padahal Kirana sudah berusaha jadi istri yang penurut, dengan tak nekat datang ke pondok menemui anaknya tanpa seizin Wildan.
***
Disaksikan dua rekan Wildan, pria itu mengucap ijab qabul untuk menikahi Ajeng. Hanya ada keluarga Ajeng yang dari desa, mereka pun tak peduli status istri kedua bahkan nikah tanpa dibarengi akta dari catatan sipil, mereka hanya peduli pernikahan ini sah dan mendapat nafkah di kemudian.
Setelah resmi, tak ada walimah atau resepsi. Keduanya langsung menuju rumah yang telah Wildan sewa, yang jaraknya tak jauh dari sekolah tempat dia mengajar. Agar tidak memakan waktu untuk datang dan pergi hingga tak mendapat kecurigaaan dari keluarga terutama dari Kirana.
Di sudut lain, Kirana masih menatap foto Rayyan yang ada di layar ponselnya.
Entah kenapa malam ini dia semakin rindu, bahkan berulang kali mencoba menghubungi Wildan untuk meminta izin menemui Rayyan selama dia tidak di rumah, tapi tidak diangkat.
Bagaimana mau diangkat? Sementara sang suami tengah asik mereguk madu istri kedua.
Sesuatu yang sangat dia ingin rasakan bersama Kirana namun tak pernah dia laksanakan, hanya karena ego dan cemburu buta.
Kini, semua terselesaikan pada wanita lain, yang akan dengan senang hati menerima tumpahan hasratnya setiap kali dia merasa ingin, dan akan ditinggal lagi ... tapi siapa peduli? Toh itu sudah perjanjian sejak awal mereka.
"Mas harap kamu cepat hamil, jadi Abi akan menerima kamu," bisik Wildan saat malam pertama.
***
"Sibuk banget ya Mas, sampai ga diangkat-angkat tiap kali aku telepon?" tanya Kirana ketika Wildan telah pulang. Dia segera merangkul lengan suaminya penuh rindu.
"Iya, banget," jawabnya singkat.
"Besok hari minggu, boleh tidak aku ... menemui Rayyan?" tanya Kirana sedikit ragu.
Wildan mulai menarik napas dalam, lalu menatap wajah Kirana yang sedikit layu karena merindukan anaknya.
"Belum boleh," jawabnya lagi-lagi singkat.
"Kenapa sih, Mas? Perjanjian kita kemarin apa? Kita nikah lagi tapi kamu kasih kebebasan sama aku untuk bisa merawat anakku." Kirana mulai merasa dipermainkan.
"Dengar, aku ini suami, dia hanya anak. Tugas istri adalah patuh pada suami, bukan pada anak." Wildan sedikit meninggi.
"Tapi aku punya kewajiban merawat dan menjaga anak yang merupakan amanah Alloh, Mas."
"Halah bawa-bawa Alloh, anak itu anak haram!"
"Astaghfirullah ... Mas, ga ada anak haram. Akulah yang melakukan tindakan haram. Tapi tidak harus dikatakan anak haram, sama saja menghukum anak yang tidak tahu menahu atas dosa orang tuanya," protes Kirana.
"Itu dia, artinya kamu sadar kamu seperti apa? Makanya minimal jadilah istri yang patuh pada suami supaya ada sisi baik dari dirimu."
Kalimat tajam Wildan sukses membuat Kirana terhenyat. Tubuhnya sedikit bergoncang, dan matanya mulai basah. Mati-matian menahan buncahan emosi mendengar kalimat itu.
"Lalu apa maksud kamu menikahi aku, Mas? Bahkan dua kali," isak Kirana dengan berusaha menenangkan diri.
Wildan menarik napas dalam, lalu menoleh dan untuk selanjutnya menatap tajam.
"Demi nama baik orang tuaku, itu saja. Puas?" Dia langsung keluar dari kamar. Meninggalkan Kirana yang merasa hancur dan semakin terpuruk.
Tangis tak mampu lagi dia tahan, dengan duduk di lantai dan tangan bertumpu pada ranjang ... Kirana menumpahkan segala sesak yang selama ini menyumbat jiwanya.
"Ya Alloh, inikah hukuman atas perbuatanku di masa lalu?" isaknya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan, "jika ini ujian, maka berikan kesabaran pada diri hamba. Namun jika ini azab .. ampuni hamba Ya Rabbi ...." Kirana bersujud dan tak mampu lagi meredam bendungan air mata yang selama ini dia tahan.
Kepedihannya semakin terasa ketika mengingat Rayyan. Putranya yang tidak dia temui sudah lebih dari satu bulan. Entah bagaimana kondisinya, tapi menurut pengurus pondok, beberapa kali dia demam dan sakit. Menolak makan, dan jarang bergaul serta susah menerima pelajaran.
"Maafkan ibu, Nak. Kau terlahir dari dosa yang aku buat. Tapi kau mendapatkan penderitaan yang sama denganku," isaknya lagi, "Ya Rabb ... Pemilik dari segala isi dari langit dan bumi, ampuni dosaku dan lindungilah anakku. Cukuplah aku yang merasakan akibat dari perbuatanku, tapi kumohon jangan dengan anakku."
Dia tak punya keberanian untuk nekat pergi menenui Rayyan karena memang masih berstatus istri sah Wildan.
Tidak mungkin dia menghubungi William, karena dari cerita Rayyan saat dihubungi di hari libur, selain minta dijemput dia juga mengatakan nomor ayahnya tak lagi aktif pasca mengabarkan akan kembali ke negaranya.
Kirana semakin bingung, harus bagaimana agar Wildan memberikan kesempatan padanya untuk bertemu Rayyan. Agar rasa sesak yang ada tak semakin menggunung dan berubah jadi kebencian.
***
Setiap hari, Wildan pulang ke rumah lebih malam. Bahkan bisa jam sepuluh malam. Dan ketika ditanya oleh Kirana, dia tak pernah menjawab pasti. Kadang tak menjawab sama sekali.
Bukan hanya itu, biasanya pulang kerja tercium bau keringat tapi setiap kali pulang malam dia tercium wangi sekali.
Kirana ikhlas, jika ternyata sang suami memiliki wanita idaman lain. Namun dia mengharapkan kejujuran saja.
Hingga diam-diam dia membuka ponsel Wildan saat sang pemilik tengah tertidur, foto di dalam galeri menunjukkan siapa wanita yang selalu memuaskan sang suami hingga tak peduli lagi padanya.
Meski sedikit gemetar, Kirana menaruh kembali gawai suaminya ke tempat semula. Lalu merebahkan diri di sisi pria yang sudah tak mencintainya lagi.
Terbersit keinginan menggoda dia, menunjukkan bahwa dia juga wanita sempurna yang layak dicintai dan dinafkahi secara batin.
Tapi membayangkan suaminya telah bercumbu dengan wanita di foto itu, hatinya mencelos. Ada rasa jijik harus berbagi dengan wanita lain. Meski dia sadar, agama tak melarangnya jika berlaku adil.
Tapi, apakah Wildan telah adil saat ini? Dia sendiri tidak merasakan itu. Jelas sekali Wildan hanya condong pada istri muda yang baru membuatnya jatuh cinta.
Dan tiba-tiba saja terbayang bagaimana William memperlakukan Anna selama mereka tinggal bersama, yang kadang membuatnya iri ingin memiliki pria romantis dan peduli juga setia.
Namun segera dia tepis bayangan itu, karena kenyataannya dia adalah istri dari pria yang tak lagi mencintainya.
***
Kirana berdiri di depan rumah berpagar minimalis dan memiliki lantai dua. Dia menarik napas dalam, lalu menekan bell dua kali. Namun tak ada juga yang datang membukakan pagar.
"Cari siapa mba?" tanya seorang wanita paruh baya yang lewat.
"Hmm, mau ke rumah ini. Orangnya ada tidak ya?" tanya Kirana sopan.
"Nda tahu mba, orangnya nda pernah bergaul sama warga," jawab wanita itu dengan wajah ketus. Seolah kesal pada sang pemilik rumah tapi malah ditampilkan di depan tamunya.
"Oh ...." Kirana hanya mengangguk, tak lama seorang wanita cantik dengan rambut digerai keluar membukakan pagar.
"Cari siapa ya?" tanyanya dengan heran. Menatap Kirana dari atas hingga bawah.
"Mas Wildan." Kirana hanya menyebut nama itu dan sukses membuat si wanita jadi panik tidak karuan.
"Bisa bicara di dalam? Tidak enak jika di luar." Kirana menatap ke kiri kanan jalan, karena beberapa warga memang melihat ke arah mereka.
Ajeng, terpaksa membuka pagar dan mempersilahkan Kirana masuk. Dengan hati yang gelisah dan rasa cemas yang mendera, dia terpaksa membiarkan istri pertama suaminya itu menginjakkan kaki ke rumahnya.
"Mba, sumpah aku sudah menolak atas pinangan Mas Wildan. Tapi dia meyakinkan aku bahwa semua ini benar dan boleh," ujar Ajeng secepatnya membela diri sebelum Kirana menyerangnya.
Kirana hanya tersenyum pahit, sambil melirik ke seisi rumah yang tampak elegan dan lebih mewah dari yang dia tinggali. Lalu kembali menatap Ajeng yang tertunduk bingung dan ketakutan.
"Jadi, sudah berapa lama nikah sama Mas Wildan?" butuh tenaga ekstra untuk mampu bertanya semanis itu, karena hatinya terus ingin berteriak kenapa wanita ini begitu tega mengambil posisinya.
"Sudah satu bulan, Mba. Mas Wildan bilang sudah ga cinta sama mba, karena itu aku tidak menolak." Ajeng tertunduk lagi.
"Aku tidak marah kok, hanya mencoba mencari kebenaran dari selentingan yang orang-orang bisikkan. Dan itu benar, Mas Wildan tidak mencintaiku lagi." Kirana meremas gamisnya, untuk menguatkan diri mengatakan itu di depan madunya.
Ajeng mengangkat wajah, lalu menatap wanita anggun nan sederhana di hadapannya.
"Mba ga marah?" tanyanya polos.
"Insyaa Alloh ga. Mungkin ini memang takdir," jawab Kirana, "lagipula kalau sudah masalah hati, memang rumit kan? Mau bagaimana lagi?" Kirana kehabisan kata, dia sendiri sadar bukan wanita bijaksana yang menerima begitu saja penghianatan suaminya. Karena pernikahan ini tanpa izin dari dirinya, bahkan dari orang tua Wildan sendiri.
Setelah jelas, dia memilih pulang menggunakan taksi online. Pikirannya terus bercabang antara haruskah mempertahankan pernikahan dengan Wildan dan mengatakan siap untuk dimadu? Atau meminta cerai karena toh sudah jelas Wildan memiliki istri yang lebih dia cintai? Yang mana ketidakadilan terpampang nyata di hadapannya.
Dia hanya mendapat nafkah lahir berupa materi saja, tapi tidak nafkah batin yang bukan hanya sekedar hubungan ranjang tapi juga rasa nyaman dan perlindungan dari sosok yang bernama suami.
Tanpa dia sadari lelehan bening semakin deras di pipi, berulang kali dia usap.
Lagi dan lagi mengalir tanpa dia harapkan. Menandakan bahwa ada luka yang menganga dari dalam. Luka yang tak nampak, yang biasanya sulit untuk disembuhkan dan terasa sangat menyiksa.
Bukan tak mungkin menimbulkan trauma di masa depan.
Langkah kakinya berat ketika memasuki rumah.
Sunyi, sepi tak ada lagi harapan bagi dirinya. Jauh dari anak yang dia kandung dan lahirkan, juga tak lagi punya orang tua, dan suami yang dia harapkan menjadi tempat bermanja pun telah melabuhkan cinta pada wanita lain.
"Entah apa yang tersisa dari aku," gumam Kirana.
Lagi, dia duduk rapuh dan bersujud mengadu kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
"Ya Alloh Yaa Rabbi ... semua atas kehendakmu, aku hanya mohon berikan petunjuk agar aku tetap ikhlas menghadapi semua ini. Mungkin Engkau tengah menguji imanku, mungkin juga tengah menegurku. Ampuni hambaMu ini Yaa Alloh ... astaghfirullahaladziim ...." Kirana terus mengucap istighfar, meminta hatinya agar tabah dengan apa yang terjadi.
***
Wildan memarkirkan mobil di garasi rumah Ajeng yang tak seluas di rumah Kirana. Dengan senyuman dia keluar mobil dan langsung mengecup kening sang istri yang berwajah tegang.
"Kenapa? Kok mas ganteng datang dicemberutin." Wildan menggandeng Ajeng ke dalam rumah.
"Mba Kirana datang kemari," jawab Ajeng langsung pada inti.
Wildan segera melepas gandengannya dan menatap wajah istrinya, "Kamu diapain sama dia?"
"Ih, ga diapa-apain. Malah dia bilang ikhlas kok. Dia hanya mau memastikan karena dengar dari orang." Ajeng sedikit membela.
"Ya sudah, sekarang temani aku dulu ya. Kangen. Lupakan dulu dia, itu urusan aku ntar malam," kata Wildan lagi langsung mengecup bibir sang istri yang merona.
"Mas, jangan dimarahin tapi ya. Dia baik kok, lemah lembut banget dan ramah."
"Udah, itu urusan aku sama dia ... kamu ga harus ikut campur. Kamu hanya harus kucampuri," goda Wildan langsung menarik sang istri ke dalam kamar.
Dan saat malam tiba, Wildan mendatangi rumahnya dengan Kirana yang selalu tampak suram dan temaram. Karena memang dihiasi pohon-pohon besar nan rindang.
"Assalaamu'alaikum," ucap Wildan ketika masuk dan mendapati Kirana tengah berjalan ke arah pintu.
"Wa'alaikumussalaam," senyuman rapuh itu tampak terpaksa dipamerkan. Meski yang disambut tetap memamerkan sikap dingin laksana gunung es.
"Makan malam dulu, Mas? Dah saya masakin opor ayam favorit Mas Wildan." Kirana menggandeng lengan Wildan. Berharap sang suami menyadari betapa dia layak untuk dicintai dan mampu melayani dia sama seperti Ajeng.
"Aku sudah makan," jawab Wildan dingin, "kamu sudah tahu tentang aku dan Ajeng?" tanyanya langsung pada pokok permasalahan.
Kirana mengangguk lemah, "Aku ikhlas kok, Mas. Kenapa harus dirahasiakan kalau memang mau nikah lagi. Aku juga ikhlas. Ga akan mencegah kalau sudah saling suka. Biar kalian jauh dari perbuatan zina."
"Betul. Kaya kamu sama si bule itu kan?" tembak Wildan langsung menyayat hati Kirana.
"Apa Mas bahagia setiap kali mengatakan itu padaku?" tanya Kirana dengan sudut mata yang basah.
"Kenapa? Kamu sakit hati? Sakitan mana dengan dibohongi istri pura-pura haid cuma karena ga mau dicampuri? Mirisnya karena dia masih mikirin pria lain. Itu lebih sakit, sadar ga?" Wildan mulai meninggi.
"Astaghfirullah, Mas. Kita kan sudah bahas itu dan memang aku datang bulan. Kita juga sudah baikan dan kamu sudah memaafkan. Aku juga sudah siap untuk melayani kamu, tapi apa? Kamu ga pernah mendatangi aku, sementara sebagai perempuan aku malu memulai lebih dulu," cecar Kirana dengan nelangsa yang tak dapat lagi dia sembunyikan, bahwa dia merasa sakit sekali.
"Terlambat. Aku menikahimu lagi karena menyelamatkan nama baik orang tuaku. Bukan karena memaafkan kelakuanmu." Wildan bertolak pinggang, "Jadi ... ingat! Jangan sampai Abi sama Ummi tahu akan hal ini. Atau kamu ga akan pernah lihat Rayyan lagi."
"Astaghfirullah ... kenapa kamu membalas semua kesalahan aku pada anak yang tidak berdosa?" Kirana makin merasa terpuruk dengan setiap kalimat yang dilontarkan suaminya.
Wildan tak menjawab, dia segera mengemasi pakaian dan memasukkannya ke dalam koper.
"Karena kamu sudah tahu, maka aku putuskan untuk tinggal dengan Ajeng. Dan ingat, jangan sampai orang tuaku tahu. Sampai aku punya anak dari Ajeng, dan mereka tidak akan bisa menolak pernikahan kami." Wildan menyeret koper keluar kamar. Meninggalkan Kirana yang bergetar, kemudian melemah dan ambruk.
Beruntung Mbok Sumar melihat dan segera membangunkan lalu memapahnya ke kursi.
"Sabar, Bu. Orang kalau sudah kepincut sama wanita selingkuhan ya gitu. Kejam, ga mikir akhirat," omel Mbok Sumar.
Kirana hanya terisak, dia tidak tahu harus bagaimana. Haruskah dia keluar dari rumah itu dan kembali ke Jakarta? Ke rumah Paman dan Bibinya. Tapi apa nanti kata orang? Pasti Paman dan Bibi kena malu, kena gunjing dan kembali perasaan banyak orang akan terkoyak. Tidak hanya dirinya sendiri.
Atau memilih ikhlas dan sabar sebagai bentuk ketaatan pada suami dan Rabbnya, toh poligami halal. Meski apa yang dilakukan Wildan tidaklah adil untuknya. Tapi mungkin ini jalan terbaik sebagai ujian mencapai keimanan dan syurganya kelak.
Kirana hanya bersujud, memohon dilimpahkan kesabaran, keikhlasan, dan jalan keluar dari setiap masalahnya. Tak lupa dia memohon agar Rayyan diberikan keimanan yang sama. Jauh dari ibu dan ayah, tapi dia berada di tempat terbaik menuntut ilmu. Semoga dia menyadari bahwa ada kebaikan disana meski dalam keterpaksaan.
Bersambung #10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel