Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 01 Juni 2021

Lestari Punya Mimpi #2

Cerita bersambung
Tari melangkah pelan, menatap laki-laki setengah tua yang duduk dikursi tamu didepan kamarnya.
"Selamat sore, " sapa Tari.
Laki-laki itu berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan, Tari menyambutnya sambil tersenyum.
"Bapak mencari siapa?"
"Saya ayahnya Asty,"
Tari tertegun.
"Oh, ayahnya Asty? Ma'af bapak, apakah bapak sudah lama menunggu?"
"Tidak, baru saja."

"Asty kebetulan lembur hari ini, mungkin sebentar lagi pulang."
"Iya, saya sudah menelpon dia nak."
"Baiklah, saya masuk dulu ya pak,"
Tari masuk kekamarnya, dan ketika keluar lagi ia membawakan minuman kemasan yang kemudian diletakkan dimeja tamunya.
"Bapak silahkan diminum dulu."
"Terimakasih nak."
Ketika masuk lagi kedalam untuk mandi dan berganti pakaian, Tari bertanya-tanya, mengapa bapaknya Asty datang kemari. Jangan-jangan untuk menjemput Asty.
Dan perkiraan itu hampir benar ketika keluar dari kamar mandi Tari mendengar suara Asty yang sudah datang dan ketemu bapaknya.

"Ya nggak bisa sekarang dong pak, Asty kan punya tanggung jawab pekerjaan juga," kata Asty.
"Kalau begitu kapan, bapak meninggalkan ibumu yang sakit, dan minta agar bapak segera menjemput kamu."
"Setidaknya Asty harus kekantor dulu nanti hari Senin, menyelesaikan dan menyerahkan semua tugas, baru Asty bisa pergi."
"Lha kalau Senin ya bapak harus nginep dua hari jadinya."
"Mau bagaimana lagi, Asty tidak bisa langsung pergi pak, Asty harus menyerahkan semua tugas Asty dulu. Kemarin saja Asty sudah ditegur gara-gara pamit mendadak."
"Ya sudah, bapak akan menunggu  sampai Senin, bapak mau menginap di hotel saja kalau begitu."
***

"Besok jadi pulang Tari?" tanya Asty malam itu.
"Iya, kan aku sudah janji sama ibu bahwa mau pulang Minggu besok."
"Aku ikut kamu ya?"
Tari terkejut bukan alang kepalang. Besok Nugroho mau mengantarnya, bagaimana kalau Asty ikut?
"Ya..? Boleh kan ?"
"Asty, bukannya aku nggak ngebolehin, tapi kan bapak ada disini, kamu harus menemani bapak dong. Masa ada bapak menginap dihotel.. kamu malah mau ngeluyur kerumahku. Apa lagi aku kan pulangnya belum tentu siang atau sore, dan bisa jadi malam. Dan kalau ibu meminta aku menginap... bagaimana?"
Asty menghela nafas panjang.  Ia tampak tidak bersemangat untuk menemui bapaknya.
"Bapak terlalu memaksakan kehendak.Tidak perduli walau aku sudah bilang bahwa aku harus mempertanggungjawabkan semua tugasku."
"Tapi kan ada alasannya, aku dengar ibumu sakit, kan?"
"Iya sih..."
"Ya sudah, jangan mengecewakan bapak, apalagi ibu sakit. Jadi besok kamu temani bapak, ajak jalan-jalan atau apa, kasihan menunggu kamu sampai Senin.
"Tapi aku sedih berpisah sama kamu Tari. Kita sudah seperti saudara."
"Iya Asty, aku juga begitu, rasanya seperti mimpi harus berpisah sama kamu, apalagi tinggal sehari besok kita bersama, Seninnya kamu sudah harus pergi," kata Tari sedih.
"Aku pengin nangis Tari.." kata Asty lalu mendekati ranjang Tari, kemudian memeluknya erat.
Keduanya tenggelam dalam kesedihan, karena tinggal dua  malam saja bisa bersama.  Itu tak terduga.
"Kalau tidak karena sudah berjanji pada ibu, aku pasti menemani kamu seharian besok."
"Tidak apa-apa Tari, kamu sendiri bilang bahwa orang tua harus diutamakan bukan?  Besok pagi-pagi sekali aku akan menemui bapak, akan aku ajak jalan-jalan. Supaya bapak juga tidak kesal karena harus menunggui aku sampai Senin Siang."
"Bagus Asty."
Tari ingin mengatakan tentang Nugroho, tapi kemudian diurungkannya, karena melihat Asty sudah kembali keranjangnya lalu merebahkan tubuhnya. Tampak lelah.
***

Pagi itu ketika Tari terbangun, dilihatnya Asty sudah rapi. Tampaknya dia sudah siap untuk pergi. Tari mengucek matanya.
"Sudah mandi?"
"Ya sudahlah,  sudah rapi dan wangi begini.."
"Hm.. ma'af aku kesiangan."
"Tidak, ini masih pagi, jam setengah enam kurang , belum terlambat untuk sholat subuh."
"Mau pergi sekarang?"
"Iya, dikota ini enaknya jalan-jalan pagi. Aku mau mengajak bapak makan nasi liwet atau cabuk rambak di Nonongan. Biasanya bapak suka."
"Baiklah, titip salam buat bapak ya."
"Ya, nanti aku sampaikan, aku pergi dulu ya. Mau di oleh-olehin apa? Nasi liwet? Kamu biasanya doyan banget."
"Ya nggak lah, kalau aku pulangnya sore atau malam, pasti basi dong. Sudah, jalan sana.. hati-hati ya."
"Ya, kamu juga nanti harus hati-hati, jam berapa mau berangkat?"
"Nanti lah, gampang, cuma dekat saja."
"Ya sudah buruan, mandi lalu sholat." kata Asty kemudian beranjak keluar dari kamar.
Tari menghela nafas, lagi-lagi ia urung mengatakan tentang Nugroho.
"Ya sudahlah, barangkali ini tak begitu penting untuk Asty," gumamnya lalu pergi kekamar mandi.
***

Baru jam setengah delapan ketika tiba-tiba dilihatnya Nugroho memarkir mobilnya didepan pagar rumah kost itu. Kamar Tari terletak paling depan diantara deretan kamar lainnya, sehingga dia dengan leluasa bisa melihat kejalan, dari jendela kamar.
Berdebar hatinya ketika membuka pintu kamar dan menyambut Nugroho yang sudah turun dari mobil. Entah mengapa debar itu selalu muncul setiap kali melihatnya.
"Kok pagi sekali mas?"
"Kamu sudah mandi kan?"
"Ya sudah, aku kan sudah rapi. Silahkan duduk sebentar," kata Tari  mempersilahkan.
Nugroho tersenyum, menatap Tari lekat-lekat. Itu membuat jantung Tari berdegup lebih kencang. Ia mengalihkan pandangannya ke kebun yang ada didepan kamarnya,.
"Ada apa sih?"
"Mengapa mas Nug menatap aku seperti itu?"
"Habisnya kamu cantik."
"Ah, bisa aja," katanya lalu melangkah  masuk kedalam kamarnya. Berdendang hatinya, dan kuncup-kuncup bunga seakan bermekaran memenuhi relung dadanya. Kaca hias dikamarnya menjadi sasaran pelampiasan kebahagiaannya. Ia berputar.. miring kiri.. miring kanan.. senyum.. merengut.. meringis.. ahaai.. benrkah aku cantik? Diambilnya sisir untuk merapikan rambutnya, lalu kembali tersenyum dikaca itu, kemudian mengambil tas tangannya dan keluar dari kamar.
"Hm..." Nugroho menatapnya dengan mata berbinar, hati Tari semakin berdebar.
"Ayo mas, kita berangkat sekarang?"
***

Ternyata Nugroho mengajaknya makan pagi dulu. Ia mengajaknya ke Nonongan untuk makan nasi liwet. Sudah agak siang sih, tapi untunglah masih ada beberapa yang berjualan. Nugroho menarik tangan Tari untuk duduk di tikar yang disediakan.
"Hm, nikmat ya, makan nasi liwet berdua bersama pacar..?"
"Pacar ?"
"Aku anggap saja pacar. Keberatan ?"
Tari tersenyum, lalu menggeleng. Memang dia tidak keberatan. Senang malah, eh lebih dari itu, bahagia, masih ditambahin bangettt... Aduhai..
"Aku pakai ampela ati ya bu," kata Nugroho kepada penjualnya.
"Ih, kolesterol tinggi tuh."
"Nggak apa-apa kalau sesekali."
"Aku biasa saja, pakai ayam suwir.."
Nyatanya sampai selesai makan kenikmatan itu masih terasa. Bukan hanya karena makanannya, tapi karena kebersamaan yang dirasakannya.
"Katanya mau beli oleh-oleh, dimana belinya?"
"Kalilarangan saja mas, barangkali ada yang aku cari."
"Siap, tuan puteri.."
"Iih, kok tuan puteri sih, jadi nggak enak..."
"Kalau kurang enak nanti ditambahin bumbunya.." seloroh Nugroho.
"Pintarnya cari kata-kata sih.."
"Kalau dekat gadis cantik aku selalu pintar berkata-kata."
"O, jadi sudah biasa ya? Berapa banyak gadis cantik yang sudah dikata-katain dengan manis begitu?"
Nugroho tiba-tiba tertawa keras.
"Kok  tertawa sih?"
"Itu kan kata-kata bernada cemburu? Tapi aku suka, cemburu itu berarti cinta, ya kan?"
Aduh, Tari ingin mencubit lengan kekar yang sedang memegang kemudi, tapi diurungkannya, takut dikira genit.
"Iya kan, hayo ngaku..."
"Eh itu..." tiba-tiba Tari berteriak.
"Ada apa?"
Tari tak jadi mengatakannya, membiarkan mobil terus meluncur. Hampir saja dia membuka kaca mobil dan berteriak memanggil, karena melihat Asty bersama bapaknya sedang berjalan.
"Ada apa sih ?"
"Nggak, nggak jadi.."
"Apa yang nggak jadi?"
"Aku salah, seperti melihat teman, ternyata bukan," jawab Tari sekenanya.
***

Ditoko penjual oleh-oleh itu Tari ingin hanya membelikan beberapa bungkus kue-kue, karena singkong keju yang dicarinya tak ada, tapi tanpa disangka Nugroho memilih beberapa macam makanan yang kemudian langsung dibayarnya berikut yang sudah dipilihnya.
"Mas... kok gitu.."
"Biar saja, sudah.. jangan bawel.."
Mereka keluar dari toko oleh-oleh dengan dua tas besar berisi makanan. Tari agak sungkan karena Nugroho membayar semuanya.
"Mas Nugroho gitu sih, malu aku.. janji bawa oleh-oleh untuk ibu, tapi yang membelikan mas Nugroho."
"Memangnya kenapa kalau aku yang membawa oleh-oleh untuk calon mertuaku?"
Tari tertegun, sejauh itukah pemikiran Nugroho? Benarkah dia akan menjadikannya isteri? Dalam perjalanan kerumah orang tuanya itu Tari lebih banyak diam. Ia sungguh merasa gugup dengan semua yang dikatakan Nugroho. Tadi bilang pacar, sekarang malah menganggap orang tuanya sebagai calon mertua? Seperti mimpi rasanya mendengar semua itu.
"Mengapa diam ?"
"Mas Nugroho bicaranya ngaco kan?"
"Ngaco? Tentang aku bilang calon mertua itu?"
"Mas belum tau siapa aku, belum tau bagaimana orang tuaku, keluargaku, bagaimana begitu cepat mas mengatakannya?"
"Karena aku yakin pada pilihanku."
"Itu terlalu tergesa-gesa."
"Kamu tidak suka?"
"Bukan tidak suka, hanya menganggap pernyataan itu seperti sebuah gurauan. So'alnya mas belum begitu mengenal aku dan keluargaku."
"Baiklah, sebentar lagi aku akan mengenalnya bukan?"
"Jangan terburu-buru mengatakan itu, nanti kalau mas kecewa, aku akan merasakan sakit."
***

Kedatangan Lestari disambut dengan suka cita oleh kedua orang tua dan adik-adiknya.
"Syukurlah kamu sudah datang, dari tadi adik-adikmu sudah menanyakan terus, soalnya Minggu kemarin kamu tidak pulang."
"Iya bu, tapi kan sekarang sudah pulang."
Tari tersenyum melihat adik-adiknya berrebut membawa kedua bungkusan yang dibawa Nugroho kebelakang.
"Bapak, ibu, ini mas Nugroho, teman Tari," kata Tari memperkenalkan Nugroho kepada ayah ibunya.
"Oh.. nak Nugroho?"
Nugroho mendekat, menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Tari.
"Eeh.. sini dulu kaliaan, beri salam untuk tamu kita.." teriak Tari kepada adik-adiknya.

Dan mereka berebut keluar lalu menyalami tangan Nugroko satu persatu, kemudian kembali menghambur kebelakang.
Tari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itulah mas, adik-adikku..."
"Tidak apa-apa, biasa anak-anak begitu."kata Nugroho sambil tersenyum senang.
"Silahkan duduk nak."
"Terimakasih pak.."
 Nugroho duduk. Mengamati suasana bahagia diantara keluarga itu, dirumah sederhana dengan segala perabotan yang sederhana juga.
Sepasang kursi tamu dengan anyaman rotan yang sudah lusuh, ada pot tanaman disudut ruangan, lalu disudut sebelah sana ada mesin jahit yang sudah kuna juga, dengan beberapa kain tersampir dimeja sebelahnya.
Salah seorang adik Tari keluar membawa nampan berisi gelas-gelas minuman, yang diletakkannya dimeja didepan Nugroho.
"Silahkan diminum nak," kata ibunya Tari.
"Terimakasih bu, itu tadi adiknya Tari?"
"Iya, adik yang nomor dua, sudah kelas 3 SMP, mau masuk SMA," kata Tari yang kemudian masuk kedalam rumah.
"Inilah nak, rumah orang kampung, tidak seperti rumah-rumah orang kota," kata bapaknya Tari.
"Bagus pak, tenang suasananya. Itu ibu suka menjahit?"
"Iya nak, untuk mencukupi kebutuhan. Penghasilan bapak di bengkel tidak seberapa." kata bapaknya Tari.
Nugroho mengangguk-angguk.
"Terkadang harus lembur ibu itu nak, habisnya mesin jahitnya sudah seumur ibunya Tari itu, jadi kalau sedang rewel.. pekerjaannya jadi tersendat," kata sang bapak lagi.
"Ini kan perjuangan hidup demi sekolah anak-anak, jadi biar susah ibu harus melakoninya," sambung ibunya.
Nugroho tersenyum. Ia merasa salut kepada keluarga sederhana yang mati-matian berjuang demi pendidikan anak-anaknya. Bahkan Lestari juga ikut memikul beban itu.
Setelah puas bercanda dengan adik-adiknya Lestari kembali menemui Nugroho didepan. Ketika sa'atnya makan siang, kepada Nugroho juga disuguhkan makan  bersama.
"Ini masakan kampung nak, ma'af kalau tidak berkenan. Hanya pepes ikan, sayur asem, sambal, dan karak."
"Enak sekali bu, saya suka semuanya."
Dan nyatanya Nugroho makan dengan lahap, membuat senang yang punya rumah.
Nugroho yang tak pernah mempunyai saudara kandung merasa bahwa suasana itu sangat hangat dan mengesankan.
"Bahagia ya, punya banyak saudara?" katanya kepada Lestari.
"Ya beginilah mas, keadaan keluarga saya. "
"Ini keluarga yang bahagia. Senang melihatnya. Aku tak pernah merasakan sebahagia ini. Aku tak punya saudara."
"Tapi kalau sudah berantem juga rame mas."
"Tidak apa-apa kalau terkadang ada selisih, yang penting saling mengasihi dan melindungi."
"Benar mas."
"Siapa nama adik kamu yang mau lulus SMP itu ?"
"Suci mas."
Oh, Suci ya? Dia yang paling besar setelah kamu?"
"Iya, kami terpaut beberapa tahun."
Ketika kemudian Tari dan Nugroho berpamit, diam-diam Nugroho mendekati Suci dan berbisik-bisik, entah apa yang dikatakannya, tapi Suci kemudian mengangguk-angguk dan mengucapkan terimakasih.Lalu Nugroho juga memberikan sebuah catatan kecil yang ditulisnya.
"Apa sih mas..?" tanya Tari.
"Bukan apa-apa, ayo pulang.."
Lestari  mencium tangan bapak ibunya, diikuti Nugroho, dan adik-adik Lestaripun satu persatu menyalami Tari dan Nugroho. Ramai sekali. Rasanya enggan bagi Nugroho untuk meninggalkan mereka.
Tapi baru saja mobil Nugroho meluncur, ponsel Nugroho berdering.
"Dari ibu.." kata Nugroho.
Tari membiarkan Nugroho menerima telpon itu, dan melihat bahwa Nugroho tampak tak senang.

==========

"Tidak bu, jangan begitu, baiklah.. nanti kalau senggang saya pasti pulang. Ma'af ini sedang di jalan bu, nanti saya telpon ibu."
Lalu Nugroho menutup ponselnya, memacu lagi mobilnya, dengan wajah muram.
"Ada apa mas?"
"Tidak ada apa-apa.. ibu menyuruh aku pulang."
"Mungkin ibu kangen sama mas."
"Minggu kemarin aku sudah pulang."
"Apa salahnya setiap liburan menemui orang tua?"
"Iya sih, tapi terkadang kan kita juga butuh yang lain. Kalau terhadap orang tua sih kita tak mungkin melupakan atau tak memperhatikan. Bagiku orang tua tetap nomor satu."
"Bagus lah mas, kalau begitu mas harus segera menemui ibu..  supaya ibu tidak merasa dikesampingkan."
"Iya.. aduuh.. yang calon ibu nih.."
"Itu benar mas, aku sendiri kalau sudah ibu yang berpesan, nggak sampai hati untuk tidak memenuhi. Bukankah seorang ibu juga punya beban untuk membesarkan dan mendidik anaknya? Biasanya seorang bapak terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan seakan menyerahkan semua beban kepada ibu. Beban mencukupi kebutuhan, beban membesarkan anak. Coba saja kalau si anak itu salah langkah, kebanyakan sang ibu lah yang disalahkan. Iya kan? Jadi jangan sampai kita menyakiti hati ibu."
Nugroho menatap Tari dengan tersenyum manis.

Tari mengalihkan pandangannya kedepan, senyuman itu selalu seperti pisau menancap diulu hatinya, tajam dan menggetarkan.
"Kamu calon ibu yang baik, itulah sebabnya aku menyukainya."
Tari berdehem.
"Itu benar."
"Terimakasih.. "
"Kok cuma terimakasih?"
"Habisnya aku harus bagaimana dong?"
Nugroho menepuk-nepuk pipinya, seperti ada sebuah permohonan dengan sikap itu.
"Nggak mau. Bukan muhrim !!"
Nugroho tertawa.
"Anak baik... syukurlah, memang gadis seperti inilah yang aku cari."
Tari tak menjawab. Tapi ada senyum merekah, ada bahagia membuncah. Benarkah Nugroho menyukainya? Mencintainya?  Tari masih merasa ragu. Perasaan itu harus dikendalikannya supaya tidak terlalu sakit apabila semua tak sesuai harap dan mimpinya.
***

Hari-hari Lestari selalu terisi dengan rona-rona bahagia. Ini sungguh diluar dugaan. Keisengannya bersama Asty membuatnya menemukan laki-laki yang sangat menarik dan juga baik.
Ada mimpi-mimpi terukir disana, mimpi tentang kehidupan yang penuh warna-warna indah bersama Nugroho. Tari semakin yakin, inilah cintanya.
Pada suatu hari Tari menerima telepon dari ibunya.
"Ya ibu, ada apa? Ibu sehat kan?"
"Sehat sekali Tari. Ibu berterimakasih sekali, kamu sudah mengirimkan mesin jahit yang baru buat ibu."
Tari terkejut. Mengirimkan mesin jahit? Mesin jahit itu kan tidak murah, bisa jutaan, bagaimana bisa dia membelikan ibu mesin jahit?

"Itu mesin jahit yang bagus, ibu tidak lelah selalu menggerak-gerakkan kaki, karena semuanya bisa berjalan dengan listrik. Terimakasih banyak Tari, pasti itu mahal bukan?"
"Ibu..."
"Sebenarnya ibu akan melarang seandainya kamu bilang dulu pada ibu bahwa kamu akan membelikannya. Sayang uang kamu, bukankah kamu juga punya kebutuhan? Kamu juga harus bisa menabung Tari, tidak semua penghasilan kamu untuk keluarga kamu."
Tari tetap tertegun. Pikirannya melayang kepada Nugroho. Pasti dia yang membelikannya.
"Tari, sekarang ibu bisa menjahit lebih cepat dari biasanya, dan bisa mengurangi lelah ibu. Terimakasih banyak ya nduk."
"Semoga ibu selalu sehat ya," akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Tari.
Begitu selesai bebincang dengan ibunya, ia langsung menelpon Nugroho.
"Ada apa nih, tumben siang-siang menelpon? Sudah kangen sekali ya sama masmu yang ganteng ini?"
"Mas, mas Nug belikan ibu mesin jahit ya ?"
"Oh, ibu bilang begitu ?"
"Ibu mengira aku yang membelikannya. Aku bingung dan aku belum menjawabnya. Dari mas Nug kan ?"
"Tari, ibu itu sudah lelah, dengan mesin jahit yang baru, beban ibu akan lebih ringan."
"Ya ampun mas, itu kan mahal.. bagaimana aku harus menggantinya?"
"Siapa yang minta ganti? Memangnya aku jualan ?"
"Mas jangan bercanda.."
"Aku tidak bercanda. Dengar Tari, perhatian aku sama ibu kamu adalah bentuk perhatian dan rasa sayang aku sama kamu. Biar saja ibu menganggap itu pemberian dari kamu, agar ibu punya kebanggaan atas kamu."
"Itu kebanggaan semu."
"Tari, apa kamu menganggap aku sebagai orang lain?"
"Entahlah mas.. aku kesel sama mas."
"Aduuh, gimana sih kamu Tari. Orang begini gantengnya kok bisa buat kamu kesel."
"Mas jangan bercanda."
"Tari, mulai sekarang, beban kamu adalah beban aku."
"Memangnya mas itu siapanya aku?"
"Aku ini calon suami kamu.,"
Tari terdiam. Seriuskah apa yang dikatakan Nugroho? Dia kan suka bercanda?
***

Hari itu Suci harus mendaftar ke sekolah SMA pilihannya. Tari menyempatkan diri menelpon adiknya.
"Suci, mbak senang kamu sudah mendaftar kesekolah negri, sudah tau berapa kamu harus bayar? Diterima kan? Kamu anak pintar, pasti diterima. mBak harus dikabari supaya bisa siap-siap."
"mBak Tari tidak usah memikirkan so'al biaya itu," jawab Suci enteng.
"Apa maksudmu ? Kamu dapat bea siswa?"
"Bukan, Suci sudah punya uangnya."
"Sudah punya dari mana? Ibu, bapak? Jangan mengganggu bapak sama ibu, ada kebutuhan lain untuk sekolah adik-adik kamu. Mereka juga butuh biaya."
"Tidak mbak, aku sudah punya sendiri."
"Apa ?"
"Mas Nugroho yang memberi."
Tari kembali tertegun. Beberapa hari yang lalu membeli mesin jahit untuk ibu, dan sekarang memberi uang untuk sekolah Suci.
"Apa mbak akan pulang Minggu ini ?"
"Mm.. apa? Belum bisa ngomong, kalau tidak ada pekerjaan lain mbak pasti pulang."
"Ya sudah mbak, saya mau membantu ibu dulu."

Tari menutup pembicaraan itu dengan perasaan tak menentu.Ia harus marah pada  Nugroho? Harus berterimakasih atau harus apa? Ini sungguh membuatnya risau. Apa yang dilakukan  Nugroho membuatnya merasa berhutang, dan itu beban yang berat baginya.
Tapi ketika dia bertemu Nugroho dan ingin memprotes apa yang telah dilakukannya, Nugroho menutup bibirnya dengan jari telunjuk.
"Jangan protes dan jangan bicara apapun, oke?"
"Mas..."
"Aku sudah tau apa yang akan kamu bicarakan dan aku tak mau mendengar."
"Mas Nugroho kok gitu.."
"Terkadang gitu, terkadang gini..." candanya
"Jelek !!"
"Lho, orang ganteng kayak begini dibilang jelek ?"
"Emang jelek !"
"Oh... kasihan aku ini..." katanya sambil pura-pura mewek, dan kali ini Tari benar-benar mencubit lengannya.
"Aaauuuww.... sakit tau.."
"Biarin !"

Apa yang harus dikatakannya? Itu kemauan Nugroho, bukan dia yang minta. Walau tak enak perasanannya Nugroho selalu berdalih bahwa ia harus ikut memikul bebannya karena dia adalah calon isterinya. Aduhai, seperti indah kata-kata itu. Tapi kan Nugroho belum pernah melamarnya? Tari tetap saja merasa ragu.
Uang, mungkin bagi Nugroho bukan hal yang berarti, karena dia anak keluarga kaya dan memiliki kedudukan disebuah perusahaan. Tapi cinta, benarkah dia memiliki cinta tulus seperti selalu dikatakannya? Entah mengapa masih saja ada keraguan dihati Lestari.
Tapi hari-hari yang dijalaninya sangat terasa indah. Tari benar-benar mencintai Nugroho. Pria ganteng yang baik hati dan penuh pengertian. Ini adalah anugerah, dan Tari menikmatinya dengan rasa syukur.
***

"Jadi mesin jahit ibu bukan kamu yang membelikan?"
"Bukan bu, Tari mana punya uang sebanyak itu?"
"Kamu belum lama kenal sama dia kan?"
"Belum setahun bu."
"Mengapa dia begitu baik sama kita?"
"Tari sudah berkali-kali menolak pemberiannya, tapi dia selalu memaksa. Ya sudahlah bu, diterima saja."
"Tapi kamu harus hati-hati lho nduk, jaga diri baik-baik. Kamu seorang wanita, jangan sampai gugur pertahanan kamu hanya karena sebuah kebaikan yang bertubi-tubi."
"Iya bu, Tari tau bagaimana harus menjaga diri."
 "Berhutang kebaikan itu sungguh berat. Tapi kalau memang nak Nugroho benar-benar mencintai kamu, ibu harap dia segera melamar kamu."
"Ya itu benar, tak baik jalan kesana kemari belum juga ada ikatan," sambung bapaknya Tari.
"Sebaiknya kamu segera bicara sama nak Nugroho. Dari pada nanti terjadi pergunjingan diantara para tetangga."
"Iya bu, nanti Tari akan  bicara. Tapi hari ini dia sedang pulang kerumah orang tuanya. Berbulan-bulan dia tidak pulang."
"Memangnya orang tua nak Nugroho itu dimana rumahnya?"
"Di Magelang bu."
"Oo.. lumayan jauh ya.."
"Makanya dia jarang pulang, sampai terkadang ditegur sama ibunya. Maklum bu, dia itu anak tunggal."
"Dia memang baik, selama ini selalu memperhatikan keluarga kita, bahkan membiayai sekolah adik-adikmu. Tapi tetap saja tidak baik kalau tidak segera ada ikatan diantara kalian."
"Atau begini saja, besok kamu ajak dia kemari, biar bapak sama ibu yang bicara sama dia."
"Iya pak, nanti kalau dia sudah pulang Tari bicara sama dia."
***

Namun berhari-hari lamanya Tari tak bisa menemui Nugroho. Hari Senin setelah Tari bertemu keluarganya di kampung, Tari sudah menghubungi Nugroho, tapi Nugroho hanya menjawab singkat, "Ma'af Tari, ini lagi banyak pekerjaan. Nanti aku hubungi kamu."
Baiklah, Tari menunggu dan menunggu, tapi Nugroho belum juga menghubungi sampai sehari berikutnya.
Tari  masih menunggu, dan kemudian karena tak sabar Tari mencoba menghubungi lagi. Jawabannya.. 'nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan'
Tari merasa kesal dan putus asa.
Siang hari itu sa'at istirahat siang, Tari menghubungi lagi Nugroho, tapi jawabannya tetap sama. Sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.
Tari pergi ke kantin dan makan siang disana. Wajahnya kusut dan muram. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya. Ada apa dengan Nugroho? Sudah bosankah sama dirinya? Atau menyesalkah dia karena harus mengeluarkan banyak uang untuk keluarganya? Tari menumpukan kepalanya pada kedua tangan yang diletakkannya diatas meja. Ia belum memesan apapun.

"Boleh aku temani?"
Sapaan itu mengejutkannya. Tari mendongak, menatap siapa yang menyapa.
"Mas Janto ?"
"Aku temani ya?"
"Silahkan mas."
"Sudah pesan ?"
"Belum."
"Mau pesan apa?"
"Aku nasi soto saja, sama es jeruk."
"Aku sama.." kata Janto yang kemudian melambaikan tangannya kepada pelayan, lalu memesan apa yang mereka inginkan.
"Kamu lagi sakit?"
"Tidak."
"Tapi wajahmu kusut begitu?"
"Lelah mas.."
"Lagi banyak pekerjaan ? Iya sih, akhir-akhir ini banyak pesanan dan kamu sibuk membuat surat-surat perjanjian dan transaksi.."
"Iya."
"Tapi kayaknya beda deh, ini bukan karena pekerjaan. Kamu lagi sedih? Marahan sama pacar?"
"Ih, mas Janto ada-ada saja."
"Aku sudah tau, pacarmu  yang sering menjemput kamu itu kan?"
"Bukan, hanya teman."
"Teman tapi mesra?"
"Ada-ada saja ah."
Sementara itu pesanan mereka sudah datang. Mereka sibuk melahap nasi soto yang menghangatkan.
"Sebenarnya nggak bagus lho, makan panas begini, lalu minumnya pakai es." kata Janto.
"Ya nggak apa-apa, sekali-sekali."
Tiba-tiba saja Tari sadar bahwa sedang menirukan kata-kata Nugroho ketika minta ampela ati sa'at makan nasi liwet. 'Awas kolesterol lho mas'. Jawabnya, 'nggak apa-apa sekali-sekali'
Mengapa ia  harus mengucapkan itu, membuatnya teringat saja sama dia, padahal hatinya lagi kesal. Dan wajah Tari kembali bersungut.
"Tapi segar bukan?"
"Mm.. ya.. segar."
"Biasanya yang dilarang itu justru enak."
Tari tersenyum, meneguk es jeruk yang menurutnya segar, walau hatinya sedang gerah.
"Tampaknya lagi ada sesuatu nih, sama pacar," Janto kembali menebak-nebak.
"Nggak mas, lagi capek, bener kok."
"Ya sudah, barangkali kamu butuh hiburan, nanti pulangnya bareng aku yuk, kita jalan-jalan."
"Capek pulang kerja mau jalan-jalan?"
"Terkadang kita butuh sesuatu yang lain. Pulang kerja, masuk mal, biar tidak beli sesuatu tapi melihat yang indah, yang bagus, perasaan kita jadi lebih enteng."
Tari tidak setuju dengan pendapat itu.
"Pulang kerja, mandi, tidur, itu yang benar. Bukan jalan-jalan."
"Teorinya memang begitu, tapi yuk kita coba."
"Dan tiba-tiba Tari termakan oleh kata-kata Janto.
***

Sore itu Tari benar-benar ikut dimobil Janto, mengelilingi kota Solo sa'at petang, melihat hiruk pikuk keramaian dan menikmatinya sambil bicara tentang hal-hal enteng. Seperti ketika mereka sekolah disekolah yang sama, dan kenakalan-kenakalan Janto yang suka mengganggu dirinya.
"Aku tidak mengira mas Janto bisa menjadi orang hebat seperti sekarang."
"Orang hebat? Hebat apanya, aku juga hanya buruh perusahaan."
"Yang punya kedudukan."
"Apa artinya kedudukan ? Terkadaang aku bosan dengan rutinitas yang sama, yang tak pernah selesai karena selalu saja ada yang harus dilakukan."
"Kalau begitu mas Janto harus sering refreshing supaya tidak jenuh pada pekerjaan."
"Malesnya aku itu.. karena tidak ada yang menemani."
"Mengapa tidak mencari yang mau menemani?"
"Aku tuh orangnya susah."
"Susah bagaimana ?"
"Terkadang aku ingin sekali menyukai seseorang, tapi belum pernah ada yang cocog."
"Nanti kalau sudah sa'atnya pasti ketemu mas."
Beberapa sa'at lamanya mereka terdiam, karena Janto seperti tak menanggapi apa yang dikatakan Tari.
"Tiba-tiba lapar lagi aku."
"Ini masih sore lho."
"Ayo ke warung bakso saja. Tidak begitu mengenyangkan."
Dan Taripun menuruti apa keinginan Janto. Memang benar, jalan-jalan sore membuatnya sedikit melupakan kekesalannya. Bakso? Itu kan kesukaannya?.
Mobil Janto sudah diparkir, mereka berjalan memasuki warung yang masih agak sepi. Ada beberapa pengunjung sedang duduk disana. Tari mengikuti langkah Janto, tapi dia tertegun, ketika tiba-tiba dilihatnya Nugroho ada disana. Tari berhenti dan menarik tangan Janto agar urung masuk kedalam. Nugroho tidak sendiri, ada seorang gadis bersamanya, yang tak sempat dilihat wajahnya karena membelakangi pintu.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER