Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 22 September 2021

Impian Ayda #1

Cerita Bersambung
Judul Asli : "Stronger With You"
Karya : Hanin Humayro Humayro

#1a-
“Ay, kuliah kedokteran itu mahal banget, orang miskin seperti kita gak akan sanggup,” ucap ibu tanpa menoleh pada Ayda. Tangannya sibuk menghitung lembaran lecek hasil penjualan di warung hari ini.

“Gak ada yang gak mungkin, Bu. Kalau Alloh menghendaki, pasti terjadi,” tukas Ayda. Gadis itu menata bahan dan alat pembuatan bros yang akan segera dikerjakannya. Kain perca, mutiara imitasi,  lem, jarum, gunting sudah siap semua.

Tangan terampil Ayda mulai menggunting kain perca sesuai pola, menjahit satu lipatan pada lipatan lainnya. Untuk selanjutnya menempelkan mutiara mainan dengan bantuan lem tembak.

Sudah setahun Ayda membuka usaha pemesanan souvenir untuk berbagai event. Dengan bantuan ponsel android bekas yang dibeli dari ceu Darti,  gadis itu merambah pasaran online.
“Iya, sih, tapi kita juga mesti liat kondisi. Lagian, kalau benar bisa ketemu ayah, belum tentu nerima kita, dia itu ….” Ibu membuang nafasnya kasar.

Ayda menghentikan keasyikan membuat bros. Dia menoleh pada ibu yang  sedang mengusap sudut mata. Gadis itu tahu betul, wanita setengah baya di sampingnya akan menangis jika bicara soal ayah.

“Bu, kalau aku jadi dokter, lebih mudah menemukan ayah. Insya Allah aku akan bawa dokter Ryan kesini,” tutur Ayda. Dia beringsut ke dekat wanita itu. Diusapnya lembut airmata yang selalu tumpah untuk pria yang tak bertanggungjawab itu.

Ayda bertekad untuk menemukan ayah. Dia ingin bertanya mengapa menelantarkan mereka? Sekaligus menagih utang pertanggungjawaban atas penderitaan ibu dan dirinya selama belasan tahun.
Pria itu meninggalkan ibu dalam keadaan hamil, tanpa kata cerai. Dengan derita berkepanjangan, Irma membesarkan Ayda. Sebagai wanita yang hanya lulusan SMP, juga tak punya keterampilan mumpuni, ibu bekerja apa saja untuk bisa menopang kebutuhan sehari-hari. Sampai akhirnya bisa memiliki warung kecil-kecilan.

“Ay, dipanggil bu bidan!“ Lastri, asisten bidan Dewi menerobos masuk ke rumah Ayda. Dia sibuk mengatur napas yang tersengal-sengal.
“Ada yang lahiran tiga orang, teh Ika gak bisa datang, Ay diminta bantuin katanya.” Lastri sudah melanjutkan bicara sebelum Ayda sempat buka suara.
“Iya, bentar aku pake gamis dan kerudung dulu, teh Lastri duluan aja! “ Bergegas Ayda masuk kamar untuk memakai gamis dan kerudung marunnya.

Setelah pamit pada ibu, Ayda pergi ke klinik bidan Dewi dengan mengayuh sepeda. Sesampainya di tempat, gadis itu langsung berjibaku membantu mempersiapkan kebutuhan logistik persalinan.
Ayda dengan cekatan menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Air, lap, alas tahan air agar darah dan ketuban tak tembus ke kasur. Pispot, gunting, jarum,  benang tak lupa dirapikan.

“Ketuban sudah pecah, pembukaan gak naik-naik, Ay,” ucap Dewi.
“Pasien akan diinduksi,” lanjutnya.

Ayda bergidik mendengar kata induksi. Terbayang olehnya sakit berkali lipat dari kelahiran normal. Menurut penuturan pasien yang pernah melahirkan induksi dan normal, mereka kompak menyatakan lebih mantap diinduksi, cepat tapi dahsyat.
Induksi persalinan adalah prosedur yang digunakan untuk merangsang kontraksi rahim sebelum persalinan dimulai dengan sendirinya. Jika tanda-tanda persalinan tidak ada, induksi persalinan akan dilakukan untuk merangsang bayi agar cepat lahir.
Bidan Dewi memasukkan hormon Oksitosin melalui cairan infus. Oksitosin digunakan untuk merangsang atau meningkatkan kontraksi. Selang beberapa lama, bu Darmi mengalami kontraksi.

“Astagfirullah …!“ Bu Darmi meringis, tangan sesekali mencengkram tepi kasur. Tubuh bergerak-gerak mencoba mencari posisi yang mungkin bisa sedikit meredakan nyeri. Semua upaya itu tak memberi hasil, kesakitan malah makin naik levelnya.

“Jangan ngeden dulu, bu, belum waktunya, nanti tenaga habis!” Bidan Dewi memberi tuntunan pada bu Darmi.
“Aaghh!" Kontraksi semakin cepat dan tampak menyiksa pasien. Peluh sebesar biji jagung terus berhamburan. Napas pun makin tersengal.

“Alloh ...!“ Hanya itu yang kemudian dapat keluar dari mulut ibu yang tengah berjuang melahirkan anaknya. Pertaruhan hidup dan nyawa bukan kata semata. Dengan seisi dunia sekalipun, takkan bisa terbalas jasa sang bunda.

“Oeeek! “ tangisan pertama bayi lelaki memecahkan ketegangan.
“Alhamdulillah …!” lirih Aida. Tetes bening lolos dari netranya. Haru campur lega menyeruak dalam dada.
***

“Ay, liat PR, dong, biasa.” Andi cengengesan di samping meja Ayda.
“Hhhh, nih, balikin cepet!” Ayda menyodorkan buku PR.
“Gue juga liat, yo!“ timpal Pipin.
“Yaaaa, besok-besok lo kerjain sendiri,” seru Ayda.
“Okey, syantik!”

Ayda geleng-geleng kepala melihat tingkah temen-temen yang hampir tiap hari meminjam buku PR. Terutama anak cowok. Miris melihat rendahnya orientasi belajar siswa saat ini. Apalagi mereka yang kecanduan gadjet, hampir tak ada antusias pada pelajaran.

“Ayda!” Pak Zulfikar tergesa menghampirinya.
“Iya, Pak, ada apa?“ Ayda menghentikan langkah.
“Selamat, ya, kamu lolos seleksi tahap 1 olimpiade matematika,“ ucap Zul.
“Haah! Beneran Pak? Alhamdulillah!” Ayda melompat kecil saking girangnya.
“Minggu depan siap-siap seleksi tahap 2,ya.”
“Siap, Pak!”
“Pak Zul kan, pernah janji akan kasih hadiah kalau Ayda lolos, nih! “ Zul menyodorkan goodybag pada Ayda.
“Mmm, gak usah, Pak, gak apa-apa,” tolak Ayda.
“Hey, nepatin janji itu wajib, ayo ambil!  Mau emang bapak jadi orang munafik.”

Hati Ayda merasa tak nyaman dalam posisi ini. Pak Zul tak putus asa untuk meyakinkan muridnya menerima hadiah.

“Ini sebagai penghargaan atas jerih payahmu,” ucapnya meyakinkan.
“Makasih, Pak.” Akhirnya Ayda menerima bingkisan tersebut. Pak Zul tersenyum dan berlalu dari hadapannya.
“Cieeee, ehem, ehem. Gosip baru, ney.” Tita yang sedari tadi memperhatikan, bergegas menghampiri Ayda.
“Apa lo, awas kalau nyebarin gosip, gak gue pinjemin PR!“
“Wiiih, pis, ah gue nyerah dah!”
“Mingkem, lo.”

Setelah yakin Tita takkan menyebarkan gosip murahan, Ayda melanjutkan langkah. Sesampainya di rumah, langsung saja dibuka bingkisan biru muda dari pak Zul.

Tas …!
Ayda terharu sekaligus malu. Berarti pak Zul memperhatikan kondisi tas yang tak layak pakai. Wajar lah, sudah tiga tahun tak ganti. Prinsipnya, selama masih bisa digunakan, gak harus beli yang baru.
Selain itu, Uang hasil usahanya harus digunakan untuk membantu ibu mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya keperluan sekolah. Semuanya tak bisa mengandalkan hasil warung saja. Sisanya ditabung untuk biaya kuliah. Jadi, hanya barang paling darurat saja yang mungkin dibeli.

Pukul setengah empat Aida mengayuh sepeda menuju klinik Medicenter. Dia bekerja paruh waktu di sana. Dengan surat sakti bidan Dewi yang merupakan kerabat pemilik klinik, Ayda bisa masuk tanpa perlu prosedur lamaran kerja.
Awalnya hanya menjadi petugas kebersihan dan pesuruh umum. Sekarang diangkat menjadi bagian administrasi menggantikan Lena yang berhenti pasca menikah.

Klinik Medicenter lumayan besar. Di sana bertugas dua dokter dalam satu waktu. Jadwal buka pagi dan sore hari. Aida hanya bertugas sore sampai malam sebab pagi harus sekolah.
Terdapat dua ruang periksa yang di peruntukan jenis pasien berbeda,  BPJS dan umum. Satu ruang rawat untuk kondisi butuh penanganan lebih. Satu ruang peracikan dan pengambilan obat.  Serta beberapa ruang penunjang lainnya.

“Eh, tau gak, minggu depan bu dokter Diana gak tugas di sini lagi.” Ani, salah satu apoteker klinik Medicenter memulai gosip hangat.
“Gantinya siapa?“ tanya pak Amin.
“Gak tahu,“ jawab Ani.
“Sayang, ya, padahal aku ngefans sama bu Diana, baek banget,“ timpal Ayda.

Selama bekerja disini, Ayda banyak mendapatkan ilmu terkait dunia kesehatan secara langsung. Berbagai jenis penyakit dan obat menjadi tak asing di dirinya. Semakin mengenal dunia ini, kian besar obsesi meraih impian.

Ayda jadi tahu beberapa jenis antibiotik beserta kegunaannya. Amoxicillin salah satu antibiotik yang digunakan secara luas untuk infeksi ringan-sedang. Ada juga Cifroploxasin untuk berbagai macam infeksi kulit hingga saluran kemih.
Sedangkan Cefadroksil lebih sering digunakan untuk infeksi pernafasan. Dan masih banyak jenis antibiotik yang dia hapal.
Obat ini dipakai hanya untuk penyakit karena infeksi bakteri, tidak boleh sedikit-sedikit, pakai antibiotik. Ketentuannya, harus dihabiskan walaupun penyakit sudah sembuh atau mulai sembuh. Jika tidak,  sisa bakteri yang masih hidup akan resisten terhadap antibiotik kemudian berkembang.

“Bu Diana beneran gak di sini lagi?” tanya Ayda di jam kepulangan.
“Iya, ibu mau pindah ke Riau,” jawab Diana. Nampak rona lelah di wajahnya.
“Wah, aku pasti kangen ibu,” ujar Ayda.
“Ibu juga, bakal kangen miss cerewet.” Diana menjawil hidung Ayda.
“Makasih, ya, bu atas ilmunya, maaf kalau saya cerewet banget.” Diana mencolek pipi Ayda
“Nih, kenang-kenangan.“ Diana menyodorkan buku tebal tentang dunia kesehatan.
“Waaw, makasih, bu!” seru Ayda.
“Belajar yang rajin, ibu yakin kamu bisa jadi dokter.” ucap Diana.

Diana memeluk Ayda yang sudah dianggap seperti adik sendiri. Tak terasa kebersamaan mereka selama setahun, harus berakhir beberapa hari lagi. Keduanya tak sanggup menahan laju airmata yang sedari tadi menggantung di persemayamannya.
***

“Teh Ani ada apa sih, seru amat?” tanya Ayda keheranan melihat ketiga teman kerjanya sibuk bergosip. Mereka sudah datang setengah jam sebelum klinik buka.

“Dokternya ganteng banget, Ay! “ Sita menarik tangan Ayda untuk ikut gabung dengan mereka.
“Cool abis,” timpal Eli.
“Ooo ...!”
“Yee, cuma oo doang,”.
“Udah-udah, bentar lagi pasien datang.” Pak Amin membubarkan paksa komunitas gosip kilat itu.

Mereka tenggelam dalam pekerjaan yang  dimulai pukul empat sore. Ayda bertugas membantu registrasi dan mengantarkan data pasien ke ruang dokter.

Satu persatu pasien berdatangan. Klinik ini cukup ramai setelah menerima pasien BPJS. Antrean pasien bisa mencapai seratus lebih.
Aida mengantarkan lima data pasien ke ruangan dokter Fatur. “Assalamualaikum, dok, ini datanya.” Karena baru pertama masuk, Ayda mengucapkan salam untuk menghormati.

“Waalaikumsalam, thanks.” Pria berambut hitam tebal itu melihat ke arahnya sekilas, lalu kembali asyik dengan beberapa berkas di atas meja.

Ayda segera kembali ke ruangan. Dia pun tenggelam dalam pekerjaan yang melelahkan. Selama bolak balik mengantar data, tak ada perkataan apa pun yang keluar antara dia dan dokter itu. Hanya sesekali Fatur melihat ke arahnya. Itu pun dengan tatapan datar.

“Hoaaa, akhirnya beres juga, cape bangeeet! “Sita menggeliat, menghentakkan tangan ke atas sampai berbunyi krek.
“Ay, ganteng, kan?” tanya Ani dengan wajah berbinar.
“Siapa?”
“Pak dokter, lah!”
“Mmm, ganteng sih, tapi … jutek!“
“Ehmmm!“

Mati gue …!
Ketiga gadis itu terkesiap mendengar suara orang yang sedang mereka bicarakan. Ayda menutup mulut, berharap ucapan tadi tidak terdengar oleh Fatur.

“Permisi, saya duluan.” Fatur melangkah meninggalkan mereka yang masih syok.
***

Seminggu berlalu. Sikap dokter Fatur masih sama, irit bicara, wajah tanpa ekspresi. Untung saja ganteng, kalau jelek, udah gak laku, celoteh teman-teman Ayda. Meski demikian tetap saja para gadis itu selalu salah tingkah di hadapan sang dokter.

“Tolong buatkan saya teh manis!” perintah Fatur tanpa menoleh pada Ayda. Meski dongkol, dibuatkan juga. Gadis itu tak bisa menyembunyikan kekesalan uda, sudah jutek, main perintah saja. Ambilkan ini, itu. Simpan disini, di sana. Padahal itu tak termasuk bagian dari tugasnya

“Buat siapa, Ay?”
“Buat suami!” rungut Ayda. Namun,  langkahnya tertahan, mata membesar melihat pria itu berdiri di depan sana. Wajah Aida memerah menahan malu mengucapkan kata itu cukup keras. Ani yang menyaksikan kejadian ini, sekilas menahan tawa.
Rasanya ingin lari dan tak kembali.
Ya Alloh ….

==========
#1b-

Ayda meletakkan teh manis di meja Fatur. Kegugupan kentara dari getaran tangan. Dia masih syok dengan ucapan konyolnya.

“Setiap hari saya minta dibuatkan teh manis, gulanya satu sendok,” pinta Fatur dengan nada datar.

Ayda bernafas lega karena Fatur tak memperlihatkan gejala bahwa dia mendengar kekonyolannya. Gadis itu masih berdiri menatap dokter yang sedang minum teh manis.

“Mau diperiksa?” Fatur balas menatap Ayda.
Waaa …!
Wajah Ayda memerah seketika. Malu tingkat dewa.

“Eh, gak kok, Pak.”
“Terus?”
“Cuma mau nanya, teh manisnya, manis gak?”

Aiiyyaah bego banget gue …!
Fatur menatap Ayda lebih intens. Kedua tangannya ditopangkan ke dagu. “Manis,” jawabnya lembut tanpa mengalihkan pandangan.
Ditatap begitu dalam, Ayda salah tingkah. Sebelum jantungnya melompat, dia segera berlalu dari hadapan dokter tampan.

Ayda kembali ke ruang registrasi klinik dengan detak jantung yang masih mengencang.

“Ehemm, ehemm, lama bener di dalem,“ bisik Ita.
“Teh Ita, udah deh, aku takut keceplosan lagi, malu tau,” tukas Ayda. Matanya dibuat menghiba.
“Kek, nya bukan keceplosan, tapi dari hati.” Ani cekikikan.
“Teh Aniiiii, plis,” hiba Ayda.

Sampai jam pulang, Mereka tetap menggoda Ayda. Telinga sampai panas dibuatnya. Secepat kilat  mengayuh sepeda meninggalkan tim gosip klinik itu.
***

“Mulai hari ini, sepulang sekolah, Ayda dan Rendi, bimbingan matematika sama bapak,” terang Zul. Mereka berdua masuk ke dalam babak penyisihan setelah lulus dua kali seleksi.
“Siap, Pak!” seru Rendi.
“Berapa jam, Pak?” tanya Ayda.
“Sekitar dua jam,” jawab Zul.
“Waduh, saya gak bisa, Pak. Soalnya kerja di klinik,” tukas Ayda.
“Masalahnya waktu kita mepet, babak penyisihan seminggu lagi,” tukas Zul.
“Emang gak bisa izin, Ay?” tanya Rendi
“Gak bisa, Ren, soalnya kalau kita masuk dua puluh besar bakal dikarantina, otomatis gua cuti kerja,” ucap Ayda.
“Saya kerjain di rumah tugas-tugas dari bapak. Jadi ikut bimbingan sejam aja.  Gimana, Pak?”
“Yaudah, gak apa-apa deh, mulai besok, ya.”
“Siap, Pak!“ Rendy dan Ayda kompak mengiyakan.

Seminggu ini pikiran dan tenaga Ayda terkuras. Pak Zul termasuk guru yang disiplin dan perfeksionis. Tak boleh ada kesalahan sekecil apapun. Dia dan Rendi benar-benar kewalahan.
Disela-sela kesibukannya menjalankan tugas di klinik, Ayda menyempatkan diri mengerjakan tugas dari pak Zul.

“Lagi apa sih, serius bingit?” Ita melongok ke arah kertas yang dipegang Ayda.
“Hiiiiy.” Ita bergidik melihat angka-angka menakutkan di lembar tugas Ayda.
“Ujian kan masih lama, Ay. Kok, udah sibuk belajar?”
“Aku ikut olimpiade matematika, senin depan babak penyisihan satu,  jadi mesti ngebut, teh.”
“Teh yakin kamu lolos, pinter sih.” Ita menepuk bahu Ayda.
“Aamiin, makasih ya, teh.”
“Tuh, data pasien kasihin ke suamimu,” goda Ita.
“Wew!” Ayda bergegas ke ruang Fatur.

Setelah meletakkan berkas pasien di meja Fatur, Ayda segera membalikkan badan.

“Tolong belikan dua juice stroberi dan dua dus roti keju!” Ayda menghentikan langkah dan membalikkan kembali badannya. Fatur mengeluarkan selembar merah bergambar  presiden RI pertama.

Setengah mati menahan kesal, Ayda menghirup udara sepanjang mungkin dan menghembuskannya kasar.
Ngeselin banget …!

“Kenapa?” Mendengar dengusan kasar Ayda, Fatur menatapnya datar.
“Gak ikhlas?”
Banget …!

Ayda mengambil lembaran merah itu. Tanpa kata dia berlalu.

“Kalau sama suami mesti ikhlas!”

Deg! Jantung Ayda serasa melompat dari rangkanya. Jadi … huaaaa ….
Ayda mengayuh sepeda mencari pesanan dokter plat itu. Hatinya kesal sekaligus malu.

“Suami koplak,” rungut Ayda.
“Dasar dokter plat!“
“Argh!”

Sepanjang jalan Ayda meracau, menumpahkan emosi. Lelah, kesal, malu, berpadu di dirinya.  Dia menepikan sepeda untuk menyeka air mata. Gadis itu duduk di trotoar seperti orang linglung.

“Ayda, lagi ngapain?” Zul menepikan motor melihat Ayda duduk di trotoar.
“Eh, gak apa-apa, cuma cape aja,” kilah Ayda.
“Mau magrib, ayo pulang,” ucap Zul lembut.
“Saya mau beli sesuatu dulu, Pak,” tukasnya.
“Oh gitu, mau diantar?” tawar Zul.
“Saya naek sepeda aja, duluan ya, Pak.” Sebelum Zul bicara lagi, Ayda segera berlalu. Guru muda itu memandangi kepergian murid yang membuat malam-malamnya diselimuti kegelisahan.

Ayda memarkirkan sepeda di depan klinik. Dia bergegas masuk menuju ruangan pak Fatur. Terlihat pasien masih mengantri menunggu giliran diperiksa. Berita ketampanan dokter muda itu cepat menyebar. Tak heran, makin banyak gadis-gadis berobat ke sini.

Setelah pasien keluar, Ayda masuk dan meletakkan sekantung pesanan Fatur.

“Duduk!” perintahnya.
“Sa … saya, Pak?” tanya Ayda memastikan.
“Minum!“ Bukannya menjawab, Fatur malah menyodorkan satu cup juice Stroberi.

Emang haus gua ….
Setelah memastikan tak ada orang lain di ruangan, Ayda duduk.dan mengambil juice.

“Habiskan!“

Ragu-ragu Ayda menyesap juice. Seketika haus yang menggila, sirna. Rasa asam dan manis berpadu memanjakan lidahnya. Gadis itu sampai memejamkan mata menikmati sensasi luar biasa. Tanpa dia sadari, Fatur memperhatikannya.

“Makan!” Fatur menyodorkan dus yang berisi roti. Seperti robot, Ayda mengambil satu roti dan memakannya.

Dikira gua robot ….
Tapi … enak banget sumpah ….

“Ambil lagi!“
Busyet nih cowok, kenyang woy …!

“Saya udah kenyang, Pak, makasih.”
“Satu lagi!”
Et daaah ….
“Nanti ini bagikan ke teman-teman!” Fatur menyodorkan satu dus roti.

Setelah menghabiskan dua roti, Ayda pamit keluar sebelum disuruh makan yang ketiga. Terang saja, teman-temannya melongo saat melihat Ayda baru keluar lima belas menit kemudian.

“Bulan madu, ya. Lama amit. Noh, pasien ngantri!”
“Kepo,” tukas Ayda.
“Diiiih, beneran kebelet nih anak.”
“Wew!”

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER