“Saya dan dokter Ryan berprofesi sama, dari kalangan sama. Tapi, kami berbeda. Saya sanggup melepas semua demi Ayda. Apapun yang terjadi saya takkan meninggalkannya.”
Fatur menatap kedua wanita itu bergantian. Berupaya meyakinkan akan kesungguhannya. Ayda bertemu pandang pada titik tertentu. Ragu itu terlihat nyata.
“Saya tak punya jaminan apapun untuk membuktikan kebenaran ucapan ini. Hanya Alloh saja saksinya.”
Ayda tertunduk. Perlahan keyakinan itu tumbuh kembali. Cinta mereka sedang diuji, harus sanggup dilewati. Ayo, perjuangkan bersama!
Irma menatap pemuda yang mencintai putrinya, lekat. Ada kejujuran di sana. Satu hal yang berbeda dengan masa lalunya adalah keberanian memperjuangkan.
“Bagaimanapun juga, nyonya Erika adalah ibu Nak Fatur. Kewajiban berbakti harus dijalankan. Mintalah pada Alloh untuk menundukkan hatinya. Tetaplah bersikap baik padanya.”
“Meski seorang pria tak perlu izin siapapun untuk menikah. Memperjuangkan restu tetap harus dilakukan. Alloh pasti menolong hamba-hamba yang menghiba padaNya.”
Fatur menatap kedua wanita itu bergantian. Berupaya meyakinkan akan kesungguhannya. Ayda bertemu pandang pada titik tertentu. Ragu itu terlihat nyata.
“Saya tak punya jaminan apapun untuk membuktikan kebenaran ucapan ini. Hanya Alloh saja saksinya.”
Ayda tertunduk. Perlahan keyakinan itu tumbuh kembali. Cinta mereka sedang diuji, harus sanggup dilewati. Ayo, perjuangkan bersama!
Irma menatap pemuda yang mencintai putrinya, lekat. Ada kejujuran di sana. Satu hal yang berbeda dengan masa lalunya adalah keberanian memperjuangkan.
“Bagaimanapun juga, nyonya Erika adalah ibu Nak Fatur. Kewajiban berbakti harus dijalankan. Mintalah pada Alloh untuk menundukkan hatinya. Tetaplah bersikap baik padanya.”
“Meski seorang pria tak perlu izin siapapun untuk menikah. Memperjuangkan restu tetap harus dilakukan. Alloh pasti menolong hamba-hamba yang menghiba padaNya.”
Fatur terkesima dengan ucapan Irma. Wanita itu luar biasa. Bodoh sekali pria yang telah meninggalkannya.
“Ay, maafkan mami, ya.” Ayda tersenyum tipis. Tak dipungkiri, hatinya sangat sakit dihina begitu rupa.
“Lusa, babak sepuluh besar, kan?”
“Iya.”
“Istirahat yang cukup, minum vitamin yang aku kasih, ya,”
“Hay, jangan melamun terus. Semangat!” Fatur menepuk kerudungnya.
“Iiiih, berantakan!”
“Aku pulang, ya.“
“Iya.“
Fatur berjalan dalam rinai hujan menuju mobil diringi Ayda. Keduanya membiarkan tubuh terbasuh air langit. Pemuda itu merentangkan tangan, menyambut titik-titik bening yang berhamburan. Perlahan, mengusap wajah yang dibasahi percampuran air mata dan hujan. Dikeluarkan sesak yang tertahan. Perjalanan cinta tak seindah bayangan. Ada badai menghantam. Ada karang menjulang. Entah apakah sanggup sampai ketepian, bersama gadis pujaan.
Dia tahu, sangat tahu kerasnya mami dan egoisnya papi. Tak mudah meruntuhkan manusia bergulung nafsu. Demi ego diri logika pun dilingkari, naluri bersiap mati. Sulit, itu terlalu sulit ditandingi. Namun, dia adalah gabungan keduanya. Tak ada kata prustasi, tak mungkin mengakhiri apa yang telah diawali. Seterjal apapun itu akan dihadapi.
Ayda membiarkan derasnya hujan mengaliri sekujur tubuh. Airmata luruh bersama dinginnya bulir-bulir bening, membawa sakit menghimpit jiwa. Ingin berlari memeluk tubuh kekar itu, menumpahkan pedih yang mendera di dada. Namun, tak mungkin, sangat tak mungkin.
Mengapa jalan hidup begitu sulit. Semua harus diperjuangkan, berliku, mendaki. Ayah yang entah di mana, kuliah yang entah apakah akan teraih. Belum lagi kerasnya mencari penghidupan, hampir sedikit waktu merebahkan kepenatan. Sekarang, saat cinta membawa secercah bahagia, pun tak sepi dari badainya.
“Aydaa … menangis saja! Teriak saja!” Teriakan Fatur seolah ingin mengalahkan gemuruh hujan.
“Iyaa!” Suara Ayda begitu parau.
“Aydaa … kita pasti bisa melewatinya! Bersama memperjuangkannya!” Suara Fatur tertelan gelegar guntur yang mengiringi kilat membelah langit petang jelang senja.
Irma tak kuasa menahan tangis menyaksikan sepasang manusia yang terpasung arogansi berbalut kasta. Mengapa harus terulang episode kelam itu? Tak cukupkah penderitaannya?
Hujan semakin menunjukkan kegagahannya. Mengguyur bumi tanpa henti, membasahi apapun yang terlewati. Sesekali diiringi kilatan cahaya dan guntur memekakkan telinga.
***
Babak sepuluh besar tinggal menghitung hari. Zul mundur sebagai pembimbing. Lia maju mengganti posisi. Meski lebih nyaman bersama guru wanita, tak dipungkiri hatinya sedih melihat perubahan sang guru.
Pria itu telah membentangkan jarak yang tak terlampaui. Sikapnya sedingin salju. Tatapan tak bersahabat kerap menyorot tajam, menusuk, mengoyak separuh hati. Sikap Zul menambah deretan kepedihan hati. Membuatnya makin sengsara.
Hari-hari terasa berat dilalui. Tekanan olimpiade memaksanya menguras pikiran sampai ke dasar otak. Belum lagi bayangan orangtua Fatur yang terus menjajah benak. Ketakutan akan masa depan mampu mengurai benang-benang konsentrasi.
“Ay, kamu pulang aja. Istirahat yang banyak. Persiapan untuk besok,” perintah Lia.
Ayda tak membantah. Badannya memang terasa tak enak sedari pagi. Kepala pusing, perut mual, badan pun menggigil. Dalam sekejap, dia menghilang dari pandangan Lia. Gadis itu menjalankan motor maticnya perlahan. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai ke rumah.
Badan yang semakin menggigil, memaksanya untuk merebahkan diri tanpa sempat berganti pakaian. Menarik selimut dan terbang ke alam mimpi.
Sayup-sayup Ayda mendengar pintu kamar dibuka. Samar terlihat ibu menghampiri. Mencoba bangkit, tapi badannya terlalu lemah untuk sekedar duduk.
“Kamu panas banget, Ay!”
Ibu terlihat cemas melihat merahnya wajah Ayda. Selanjutnya gadis itu tak lagi mendengar suara ibu. Yang ada gelap, panas, tubuhnya seperti dipaksa masuk ke alam tak dikenal.
Ibu panik melihat tubuh Ayda bergetar dan mulutnya meracau. Tindakan mengompres tidak membuahkan hasil. Dia mencari gawai Ayda, berharap menemukan nomor kontak Fatur. Sia-sia tak ada nama itu. Mencoba menelusuri WA, tak ada juga. Tapi tunggu, matanya tertuju pada satu nama ‘dokter jutek’ berada diposisi teratas.
Irma membuka chat tersebut. Wanita itu melakukan panggilan WA, tak diangkat. Mencoba beberapa kali, tetap sama. Dia semakin panik melihat kondisi Ayda yang mengkhawatirkan.
Tiba-tiba satu panggilan masuk.
“Sayang, ada apa?” tanya suara di ujung sana.
“Nak Fatur, ini ibu. Tolong, Ayda sakit!”
“Saya kesana sekarang, Bu!”
Lima menit, mobil Fatur sudah terparkir di depan rumah. Tanpa banyak kata, masuk untuk memeriksa Ayda.
“Bagaimana, Dok?”
“Ayda kelelahan. Terlalu terkuras tenaga dan pikiran. Imunitasnya rendah. Harus istirahat total,” jawab Fatur.
“Besok dia olimpiade, Bagaimana ini?”
“Kita lihat besok, Kalau membaik, saya akan mengantarnya. Kalau tidak, dia tak boleh pergi. Terlalu beresiko.”
“Ya Alloh!”
“Saya ke klinik dulu, kalau ada apa-apa hubungi saya.”
“Iya, terimakasih, Nak Fatur.”
Selepas kepergian Fatur, Irma kembali masuk ke kamar Ayda. Putrinya sudah nampak tenang setelah disuntik penurun panas. Dibukanya kerudung sekolah yang belum sempat dilepas. Rambut gadis itu dibelai lembut. Rasa bersalah menyelusup ke dalam hati. Diusia belia, harus ikut mengayuh roda ekonomi. Nampak sekali gurat kelelahan di wajah putih itu. Namun, gadis itu tak pernah mengeluh. Selelah dan sesakit apapun selalu mencoba bahagia di depannya.
Pukul sembilan malam, Fatur datang kembali ke rumah memastikan keadaan Ayda. Kali ini bersama Ita dan Ani. “Jiaah yang demam cinta,” goda Ani.
“Gini, nih kalau terlalu hot,” timpal Ita. Ayda hanya tersenyum menanggapi candaan kedua temannya. Untuk sekedar bicara pun dirinya merasa lemah.
“Hay, aku pulang, ya,” bisik Fatur.
“Love you.” Ayda bergetar mendengar bisikan mesra itu. Wajah bersemu merah, riuh sudah suara hatinya. Fatur adalah pelipur lara, pembasuh dahaga. Dia selalu ada untuknya, berbuat apapun untuk membuatnya bahagia.
Pagi hari
“Ay, badanmu drop. Kamu gak boleh pergi!”
“Fatur benar, Ay. Istirahat saja!” Irma menimpali.
“Kalau gak dateng, berarti gugur. Aku gak mau!” Sekuat tenaga Ayda bangun dari kursi.
“Lupakan olimpiade itu! Kesehatanmu lebih penting!” Fatur mulai jengkel dengan kekerasan gadisnya.
Ayda mengabaikan ucapan Fatur. Dia merayap keluar rumah. Baru beberapa langkah, badannya ambruk. Dengan sigap sang pemuda merengkuh tubuh itu.
Berada dalam dekapan Fatur membuat Ayda merinding, wajahnya terbenam di dada sang dokter. Salah, ini salah. Tapi fisiknya tak mampu untuk menghindari. Pemuda itu menggendongnya ke kursi.
“Gimana mau pergi? Jalan segitu aja jatuh,” ucap Fatur lembut.
Irma duduk di samping putrinya. Menggenggam tangan, memeluknya erat. Perlahan Ayda terisak, lalu tangisannya semakin keras. Ibu pun larut dalam deraian air mata.
Fatur tertegun menyaksikan tangisan kedua wanita itu. Dia mampu merasakan kecewa teramat dalam pada diri Ayda, pun dengan Irma. Betapa gadis itu telah berkorban sangat besar untuk perlombaan ini. Haruskah berakhir sebelum mencapai garis finis?
“Kumohon izinkan aku pergi!” Ayda bergantian menatap kedua orang yang dicintainya.
“Ay …!”
“Aku harus berjuang untuk masa depan. Aku harus jadi dokter. Aku harus membuktikan pada dunia bahwa Ayda Prawiradinata pantas menjadi putri Ryan Prawiradinata, layak bersanding dengan Fatur Rajendrajaya.” Ucapan Ayda diiringi deraian airmata.
Hati Fatur luruh menyaksikan kekuatan tekad dibalik tubuh ringkih gadisnya.Kelemahan fisik tak menjadikannya patah dalam memperjuangkan cita-cita.
“Ayo kita berangkat!” Ayda dan Irma menatapnya lekat. Seketika senyuman terkembang. Fatur segera menelpon pak Amin untuk membawa kursi roda klinik ke rumah Ayda.
“Aku pakai kursi roda?”
“Gak mau? Pengen kugendong?”
Waaa! Muka Ayda bersemu merah. Irma tersenyum geli melihat pasangan unik di depannya. Meski dokter itu jutek dan kadang galak, namun dia melihat pria itu begitu tulus dan perhatian pada putrinya.
Fatur dan Lia mengantar Ayda ke tempat lomba. Kali ini, acara akan disiarkan langsung oleh salah satu channel televisi. Perlombaan akan dilaksanakan lima hari hingga tersisa lima peserta saja.
Saat memasuki tempat acara, Ayda di sambut teman-teman peserta yang sudah saling kenal sebelumnya. Semua orang terkejut melihatnya duduk di kursi roda dengan wajah seputih kapas.
“Ayda, lo sakit apa?”
“Cuma kecapean, bentar juga baikan,” jawabnya santai.
“Kecapean ampe di kursi roda, ngapain aja, lo. Jangan-jangan, cape pacaran!” Jonathan jongkok di depan Ayda. Yang lain tertawa mendengarnya.
“Itu seh, Lo, Jo!” Aryo ikut jongkok di samping Ayda.
“Bukan pacaran. Keknya, tunangan deh. Tuh, cincinnya. Acieee, gosip hot, ney!” Stevia mengerling nakal.
Ucapan Stevia membuat yang lain ikut memperhatikan jari Ayda. Diperhatikan begitu, dia jadi kikuk.
“Wiiih! Gak asik, lo Ay. Gue dilangkahin!” Geby menepuk pundak Ayda.
Canda tawa berlanjut seru. Wajah Ayda sampai panas menghadapi candaan teman-temannya.
“Aku pulang, ya. Jaga diri baik-baik. Jangan telat minum obat. Kalau ada apa-apa cepat hubungi. Jangan terlalu dekat dengan cowok. dan ….”
Ayda mengerjapkan mata, dahinya mengerenyit. Fatur mendekatkan wajah ke telinganya dan membisikkan sesuatu. Terang saja gadis itu blushing.
“Apaan sih!” Ayda menghindari tatapan nakal Fatur. Geby yang diam-diam memperhatikan, merasa kalau hubungan mereka tak seperti saudara.
“Ay, dokter itu, ya, tunangan, Lo?” Setelah mereka sampai di kamar, Geby langsung memberondong Ayda.
“Sotoy, Lo!” Ayda berusaha menutupi kegrogiannya.
“Eh, apa? Dokter, tunangan Ayda. Beneran, Ay? Sodara ketemu gede dong? Pantesan aja, kok gue berasa aneh ma sikap doi waktu itu ke Elo, ehm, mesra gitu!” Stevia nyerocos di samping Geby.
“Udah, ah. Gue lemes, niy. Mesti istirahat! Pingsan, Lo berdua tanggung jawab!“ Ayda berusaha mengalihkan pembicaraan. Kedua gadis itu pun teralihkan, lantas membantunya mengemasi barang.
Perlombaan babak satu dimulai. Karena acara ini akan disiarkan secara langsung, Semua peserta didandani oleh perancang dan perias profesional agar tampil cetar di depan kamera.
Penilaian kali ini melibatkan juri formal yang telah ditunjuk juga dukungan suara pemirsa televisi, layaknya acara-acara idol selebritis.
Saat sesi perkenalan, semua peserta harus menjawab pertanyaan juri dengan lugas.
“Nona Ayda Prawiradinata, jika menang, untuk siapa kemenangan itu anda persembahkan?”
Sesaat Ayda meremas jari jemarinya, duduk tegap di atas kursi roda. Dia mencoba tampil prima meski badannya masih lemas.
.
“Untuk Ibu saya, Irma Sodikin. Beliau adalah sosok yang paling berjasa menjadikan saya hingga berada di sini saat ini. Meski demikian, persembahan saya tidaklah mungkin membayar jasanya.”
“Beliau ibu sekaligus ayah bagi saya. Seorang wanita tangguh yang sendirian memperjuangkan hidup kami. Dengan ketidaksempurnaan fisiknya, Ibu tak pernah mengeluh, tak pernah meratap, tak pernah menyerah.” Ayda tak kuasa membendung airmata. Juri menghela nafas. Satu juri wanita nampak menyeka sudut matanya.
“Untuk ayah saya … yang darahnya mengalir di tubuh ini!” Ayda kembali menangis. Lidahnya kelu untuk melanjutkan kata-kata. Gadis itu mencoba menetralisir gemuruh yang mendera saat terucap kata ayah.
“Untuk para guru. Yang tanpa lelah, tanpa pamrih membimbing dan mengayomi hingga memahami ilmu. Mereka adalah orangtua kedua saya.”
“Untuk teman-teman. Yang telah berbagi suka, juga duka. Keberadaan mereka yang menjadikan hilangnya kesepian diri.”
“Dan untuk seseorang ….” Ayda tersenyum manis saat kalimat ini terlontar dari bibir. Tiba-tiba wajahnya menghangat, bersemu merah muda.
“Hmm … seseorang? Boleh saya kenalan?” canda seorang juri. Disambut senyum dan tawa juri lain.
***
“Cari tahu latar belakang Ayda Prawiradinata!”
“Baik, Tuan!”
==========
#8b-
Hidup adalah perjuangan menyelesaikan masalah. Lari darinya hanya menciptakan masalah lebih besar, bebanmu kian berat. Selesaikanlah! maka ringan hidupmu.
Masalah itu bukan soal besar atau kecil, banyak atau sedikit. Tapi lebih di mana kita meletakkannya dan bagaimana menyelesaikannya. Simpan masalah di tangan bukan di hati. Lalu berpikirlah jernih dan beningkan hati. Mintalah pada Sang Pemberi Solusi untuk menuntun dan mengayomi, hingga terurai pasti.
***
“Ini keterangan lengkap terkait Ayda Prawiradinata, Tuan.”
“Kau boleh pergi!”
“Baik, Tuan.”
“Ceraikan dia, Rian!”
“Aku mencintai Irma! Aku takkan menceraikannya!”
“Kurang ajar!”
Plak!
“Ceraikan atau lepaskan nama Prawiradinata!”
Rian mengusap sudut bibir yang mengeluarkan darah akibat kerasnya tamparan papi.
“Aku takkan melepas Irma!” Meski terus memaksa dengan cacian, umpatan dan sumpah serapah, Rian bergeming. Dengan kemurkaan teramat sangat keduanya meninggalkan rumah Irma.
“Maafkan Papi dan Mami, ya sayang.” Rian memeluk istri yang baru dinikahi enam bulan tanpa sepengetahuan orangtuanya. Hidup mereka damai sampai mata-mata papi mengetahui kenyataan ini.
Irma hanya terdiam dalam leleran airmata. Segala penghinaan silih berganti menghantui kepalanya.
“Hai, Jalang, Kau hanya mau harta kami, kan?”
“Dasar gembel!”
“Kita itu keturunan ningrat, konglomerat papan atas! Mau ditaruh di mana nama keluarga, haaah!”
Sakit yang tak berdarah ini ternyata hanya permulaan. Papi mengambil seluruh fasilitas kekayaan Rian. Bahkan dengan kekuasaannya, pemuda itu tak bisa bekerja di fasilitas kesehatan manapun. Apalagi dia dokter muda yang baru saja lulus. Terpaksa untuk mencari penghidupan, kerja apa saja dilakoni. Karena tak biasa hidup susah, Rian pun jatuh sakit.
“Maaf, karena aku, Mas jadi menderita.” Irma menangis dalam pelukan suaminya.
“Ssst, semua pasti berlalu. Aku pasti dapat pekerjaan lebih baik.” Dengan menahan sakit lahir batin, Rian mencoba menenangkan istrinya.
Semakin lama, sakitnya bertambah parah. Sampai suatu hari, utusan keluarga Rian menjemput paksa pria yang hampir tak sadarkan diri. Meski memaksa, Irma tak diizinkan menyertai mereka ke rumah sakit.
“Mas Riaaan …!” Irma hanya bisa berlari mengejar mobil yang membawa suaminya. Dalam deras hujan, wanita itu meraung, memanggil nama yang pada akhirnya tak pernah kembali.
“Mas Riaaan …!”
Hhhh! Hhhh!
“Arggh!”
“Kenapa sayang? Mimpi buruk lagi?”
“Tak apa. Ayo tidur, masih malam”
Irma …!
Maaf … maaf …!
Sebulir bening meluncur bebas dari mata yang pernah berbagi rasa dengan seseorang nun jauh di sana. Terkenang kisah yang selalu menyisakan pilu yang terus mendera meski telah berlalu bertahun lamanya.
***
Perlombaan babak satu dimulai. Setelah sesi perkenalan. Peserta dipanggil satu-persatu untuk menjawab semua pertanyaan juri. Acara disiarkan langsung ke seluruh penjuru tanah air. Bisa diakses juga lewat live streaming.
Dukungan penonton berfungsi untuk menentukan peserta favorit sekaligus penentu kelolosan satu orang jika nilai dua peserta sama.
Aryo tampil prima dan memukau juri sekaligus pemirsa, terlihat dari dukungan votenya tinggi. Berbekal kejeniusan serta ketampanan di atas rata-rata, dia berhasil menarik simpati kalangan remaja putri.
Lomba unik ini menempatkan peserta sebagai ilmuwan sekaligus selebritis kilat. Nama kesepuluh peserta dalam waktu singkat menjadi hot gosip di seantero negeri.
Posisi nilai terbaik sementara di kantongi Geby diurutan pertama, Aryo kedua dan Ayda ketiga. Sedangkan dukungan suara disematkan pada Ayda pertama, Aryo kedua, dan Jonathan, pemilik wajah oppa korea di posisi ketiga.
Jawaban Ayda di sesi perkenalan sontak mendongkrak namanya. Simpati mengalir dari penjuru negeri. Terlebih tampilannya di kursi roda makin menambah nilai plus.
“Yang harus pulang malam ini … Krisandi Alvaro!”
Kris membungkukkan badan sebagai penghormatan. Teman-teman mengerubungi mengucapkan selamat jalan. Yang pria memeluk dan menepuk punggungnya. Yang wanita menyalami.
Hups!
Ayda naik ke atas ranjang dengan susah payah. Kelelahan berpadu kelemahan fisik menambah semangatnya untuk segera merebahkan diri.
Tapi tunggu! Ayda teringat pesan seseorang untuk selalu menghubungi di waktu istirahat.
Gadis itu merogoh tas yang terletak di atas nakas sebelah kiri ranjang. Ponsel pemberian Zul tak sulit ditemukan. Ayda tak sabar menunggu gawai itu sempurna menyala.
Drrrrt!
Ratusan pesan berhamburan, dari guru, teman-teman dan Fatur.
‘Kereen, Ay.’
‘Seseorang siapa, nih?’
‘Anjay gue mewek!’
‘Berjuang terus, Ay.’
Ayda sesekali tersenyum geli membaca chat alay teman-teman. Belum sempat membuka chat Fatur, terlihat pria itu sedang mengetik. Matanya langsung berbinar.
‘Pasti nungguin aku, ya?’
‘Gak, wee!’
‘Seseorangnya siapa, ya?’
‘Siapa coba?’
‘Yang paling ganteng.’
‘Yang paling keren.’
Ayda mengirim emoticon meleletkan lidah. Dibalas emoticon tertawa.
‘Udah baikan, lum?’
‘Alhamdulillah, udah enak. Besok gak pake kursi roda, deh.”
‘Yang gak enak, aku sekarang.’
‘Kenapa? Sakit? Sakit apa?’
‘Rindu Kamu ….‘
Ish, wajah Ayda menghangat, jantung berdebar lebih kencang.
‘Pengen peluk, pengen ….‘
‘Horor, ah.’
Emoticon tertawa
***
Pukul delapan pagi peserta diberikan bimbingan oleh para mentor yang ditunjuk penyelenggara.
Pada sesi ini, peserta ibarat belajar pada para pakar langsung. Mereka berdiskusi, tukar pendapat dan saling debat terkait berbagai bahan ujian matematika.
Semua peserta memanfaatkan momen ini sebaik-baiknya. Sesi bimbingan dilanjutkan setelah Zuhur hingga Ashar. Pukul empat mereka harus tampil untuk mempertunjukkan bakat. Tes sendiri dilaksanakan malam hari.
Lea mempertunjukkan kemampuan bernyanyi. Suaranya merdu, memukau siapapun yang mendengarnya. Andre mengeluarkan jurus stand up komedi. Tak satupun yang tak tertawa di ruangan. Aryo memainkan gitar, makin terlihat keren saja.
Jonathan dengan taekwondonya. Stevia menari, Geby memainkan piano. Ayda terpaku, dia tak memiliki bakat seni apapun. Bingung, apa yang harus ditampilkan. Satu-satunya yang dia tahu adalah dunia kesehatan.
Cerpen!
Dia ingat pernah membuat cerpen untuk memenuhi tugas dari bu Wida. Ayda merekam ulang alur cerpen tersebut dan menulis kembali. Mengedit yang masih terasa kurang pas dan menambahkan sedikit alur hingga mencapai akhir, sad ending. Yup, selesai!
Ayda tampil membawa naskah yang ditulis seadanya dalam waktu kilat.
“Apa karyamu saudari Ayda?”
“Cerpen.”
“Wow! Silahkan!”
‘Lima purnama telah kita lewati bersama. Berbagi rasa, menikmati senja, meluruhkan puing-puing kesepian. Seakan waktu berpihak padaku, juga padamu. Gulirannya melambat.’
Ayda membawakan cerpen seolah memainkan drama. Dia tanpa sadar tersenyum bahkan menangis. Seolah Fatur ada di depannya, menjadi pemeran dalam cerita tersebut.
“Jahat, kamu jahat …!” Gadis itu berlari menghambur pada seseorang yang menghilang setahun lamanya. Pemuda itu terpaku di kursi roda, wajahnya sepucat kapas.
“Aku rindu, sangat rindu …!” Kursi roda itu terdorong hingga tertahan daun pintu.
‘Di sinilah aku sekarang, menatap pusara di derasnya hujan.’
Ayda mengusap sudut matanya. Berdiri dalam helaan terdalam.
Hening!
Tepuk tangan membahana dalam jeda sedetik kemudian. Beberapa wanita mengusap pipinya yang basah.
“Saya pesan novelnya, ya.” celoteh seorang juri. Seisi ruangan kembali tertawa.
Pukul tujuh malam, peserta naik kembali ke panggung. Kali ini mereka di tes bersamaan. Teknik cerdas cermat diambil dalam sesi ini. Juri melemparkan pertanyaan, peserta langsung menjawab.
“Kecepatan suatu benda bergerak adalah v(t)=5+2(t), jika s(t) =v(t),dengan s(t) adalah jarak benda saat t detik. Tentukan rumus umum jarak benda tersebut!”
Teeet!
Teeet!
“Ya, Andre!”
“Rumus umumnya adalah s(t) =5t+1/2t2+c.”
“Ya, Anda benar!”
“Sudut antara pohon A dan pohon B dengan arah mendatar adalah 45°, bila garis antara puncak pohon A dan pohon B adalah 6 cm, berapa sudut depresinya?”
Teeet!
Teeet!
“Ya, Aryo!”
“Sudut depresinya adalah 60°.”
“Benar!”
Plok! Plok! Plok!
Perlombaan makin panas. Peserta berpacu dengan waktu yang hampir finish. Ketajaman berpikir serta pengendalian emosi sangat dibutuhkan saat ini. Panik, habis sudah.
Pengumuman elemiminasi kedua pun tiba. Peserta yang harus menyusul Kris adalah Andin. Tangisan gadis itu pecah. Teman-teman mengerubungi untuk menenangkan. Perpisahan menjadi semakin haru saat Andin mengucapkan kata-kata perpisahan.
***
Sebuah sedan lexus berhenti di depan rumah Irma. Seorang pria dengan dandanan khas pengusaha kaya turun di iringi asistennya. Berjalan menghampiri wanita yang sedang terpaku dengan wajah memucat di depan pintu. Sementara jantungnya kian berdegup bergelombang, paru-paru terasa menciut saja.
“Lama tak jumpa, Irma.” Pria itu berdiri tepat di hadapan, menyapa nyaris tanpa senyuman. Tampak nyata kesombongan dalam ucapannya.
Irma mempersilahkan tamu itu masuk. Setelah menyuguhkan teh manis, dia duduk berhadapan dengan tamu dari masa lalunya. Pria yang telah menorehkan luka menganga dan hampir melemparnya ke neraka.
“Tampaknya, kehidupanmu semakin membaik.” Ucapan yang hanya terasa basa basi itu tak diindahkan oleh Irma. Jari jemari yang telah dipenuhi leleran keringat, saling meremas.
“Rian sudah berbahagia dengan istri dan anak-anaknya nun jauh di sana. Meski sempat sakit berbulan lamanya, kini dia telah mencapai kesuksesan.”
Irma merasakan getaran pada tubuhnya semakin menghebat. Sesuatu di pelupuk matanya pun kian mendesak untuk keluar. Rongga bernanah itu terkorek kembali.
“Aku rasa tak tepat jika kebahagiaan mereka diganggu oleh percikan masa lalu yang … sudah separuh perjalanan coba dihapuskan.” Wajah pria tua itu masih saja datar, tanpa ekspresi. Berbanding terbalik dengan lidah tajam yang makin merejam lawan bicaranya.
“Ayda Prawiradinata, gadis cerdas itu sewajah dengan Rian Prawiradinata. Aku tak menyangsikan mereka pasti memiliki hubungan darah, bukan begitu?”
Irma mencoba menatap pria yang tak pernah merubah keangkuhannya. Meski pandangan membayang akibat kaca-kaca yang hampir luruh, wanita itu masih mampu menangkap kekerasan wajah ayah dari suaminya dulu.
“Saya tak pernah disentuh laki-laki selain Rian, putra anda. Seperti itulah kenyataannya. Ayda putri Rian, cucu anda.”
Pria itu menyandarkan tubuhnya pada kursi yang tak empuk. Ada decit di lantai saat punggungnya menempel kuat di sandaran.
“Anak bodoh,” gumamnya.
Arya Prawiradinata melambaikan tangan pada asistennya. Pria paruh baya itu masuk menenteng koper hitam sebesar ukuran laptop limabelas inchi. Setelah meletakkan koper di atas meja, dia berlalu.
“Kurasa ini cukup untuk membantu kehidupan kalian hingga bertahun ke depan.” Arya membuka koper dan menyodorkannya ke hadapan Irma. Raut kaget menerpa wajah wanita itu. Semburat merah mulai terpampang di sana.
“Meski mungkin tak bisa menebus dosaku untuk tetap memisahkan seorang anak dari ayahnya. Biarlah begini adanya. Ayda akan hidup bersamamu. Kami tetap dengan jalan sendiri. Anggap tak pernah terjadi apa-apa.” Pria tua itu melemparkan sorot tajam pada wanita yang pernah merebut putra kesayangannya.
“Ayda adalah putri Rian, sampai kapanpun juga. Nasabnya bertaut pada keturunan sombong Prawiradinata. Sebesar apapun benteng yang anda bangun untuk menghalangi kenyataan itu, sia-sia saja, Tuan.” Getaran suara Irma sangat kentara. Sakit dan marah berpadu menjadi kalimat tajam yang sangat dibenci pria tua itu.
“Kalau kau bersikeras menghubungkan Rian dengan masa lalunya, kujamin Ayda takkan bisa menikmati masa depan yang cerah!”
“Satu senti saja Ayda tergores, saya jamin, Rian akan pergi dari masa depannya dan bertekuk lutut pada saya, masa lalunya!” Pria itu terperangah, hampir saja jantungnya keluar dari rangka.
“Beraninya, Kau!” Tangannya mencengkram kuat ujung meja.
“Sayalah satu-satunya wanita yang Rian cintai. Pertemukan saja kami, jika Anda tak percaya!”
Irma meraih uang dalam koper dan melemparkan ke udara hingga terserak di lantai tanpa keramik itu.
“Simpan kembali uang Anda untuk bekal di alam baka!”
“Pintu keluar di sebelah sana, Tuan Arya Prawiradinata!” Matanya menyorot tajam pada pria yang sangat membencinya. Dada turun naik mengatur nafas yang hampir menyesak. Tangan mengarah pada pintu kayu yang berwarna hampir memudar.
“Sampai kapan pun kalian takkan pernah menjadi bagian keluarga Prawiradinata!”
***
Pada hari kelima lomba, enam peserta diminta menyampaikan cita-cita dan impian hidup mereka. Yang tersisa adalah Aryo, Geby, Ayda, Jonathan, Andre dan Sita.
“Ayda, apa impianmu?”
Ayda berdiri tegap dengan mata lurus ke depan. Tangan kanannya memegang mikrofon. Setelah lima hari lomba, demam panggung sudah mulai hilang. Tak ada lagi getaran saat tampil di atasnya..
“Saat saya kecil, nenek sakit parah. Badannya panas, tangannya meremas dada kuat-kuat. Warga membawanya ke puskesmas lalu dirujuk ke rumah sakit. Karena kami tak punya uang, pelayanan pun lambat, hingga beliau wafat.” Ayda mengusap pipi yang sudah teraliri air mata.
Hening!
“Saat itu, saya hanya bisa menangis, tanpa mampu menolongnya. Sejak itu, saya bercita-cita menjadi dokter, ingin membantu orang lain menemukan kesehatan setelah menderita dalam sakitnya.”
“Saya juga ingin membuat rumah sakit gratis untuk orang tak mampu, agar tak ada lagi yang bernasib sama dengan nenek saya.”
Tepuk tangan membahana di seantero ruangan.
“Ada lagi?”
“Saya ingin bertemu ayah ….” Airmata Ayda kembali meluruh, lebih deras dari sebelumnya.
“Hanya ingin bertemu ….” Isak pilu itu menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
“Lalu … mempertemukannya dengan ibu ….”
*****
Manusia yang hatinya dipenuhi kebencian, logikapun terpatahkan. Disisinya hanya ada kegelapan. Dia benar, yang lain salah, itu prinsip.
Jika kekayaan adalah standar kemuliaan, maka Qorun yang pantas menjad mulia. Jika kekuasaan dijadikan patokan keagungan, maka Firaun layak menjadi manusia agung. Namun, Allah menjadikan takwa sebagai acuan kemuliaan, maka jabatan, harta dan rupa tak di beri ruang untuk mengukur derajat manusia.
Bersambung #9
Part 10 ga bisa dibuka ...
BalasHapusSudah diperbaiki.
HapusTerima kasih koreksi nya