#9a-
Irma menerima pinangan Alex dengan syarat keluarga besarnya menerima mereka dengan ikhlas. Pernikahan akan dilangsungkan setelah Ayda lulus sekolah, sekitar tiga bulan lagi. Wanita itu khawatir meninggalkan putrinya hidup sendiri.
Perlahan tapi pasti nama Rian memudar di hatinya, berganti sosok baru yang memberi cinta sepenuh jiwa. Kelembutan dan keromantisan Alex melukiskan bahagia yang pernah dirampas oleh sosok tak bertanggungjawab. Separuh hati itu telah kembali.
Sambutan keluarga Alex jauh berbeda dengan hardikan orangtua Rian Prawiradinata. Kekayaan tak membuat mereka mendudukkan diri sebagai raja. Inilah bayaran tunai atas derita belasan tahun lamanya. Sebuah pengakuan kesetaraan derajat manusia.
Alex merayu Irma untuk menjalani operasi kakinya. Tak mudah meluluhkan wanita yang menempatkan harga diri di garda utama. Apalagi bercampur sifat perasa.
Perlahan tapi pasti nama Rian memudar di hatinya, berganti sosok baru yang memberi cinta sepenuh jiwa. Kelembutan dan keromantisan Alex melukiskan bahagia yang pernah dirampas oleh sosok tak bertanggungjawab. Separuh hati itu telah kembali.
Sambutan keluarga Alex jauh berbeda dengan hardikan orangtua Rian Prawiradinata. Kekayaan tak membuat mereka mendudukkan diri sebagai raja. Inilah bayaran tunai atas derita belasan tahun lamanya. Sebuah pengakuan kesetaraan derajat manusia.
Alex merayu Irma untuk menjalani operasi kakinya. Tak mudah meluluhkan wanita yang menempatkan harga diri di garda utama. Apalagi bercampur sifat perasa.
“Kalau anda malu menikahi wanita cacat seperti saya, tak apa.” Irma memang keras kepala. Sifat itu terbentuk akibat sakit dan derita berkepanjangan.
“Hai, kok bicaranya begitu. Sama sekali aku gak malu. Itu lebih karena rasa sayang padamu,” tutur Alex.
“Kalau Ayda yang seperti itu, pasti kamu akan berjuang agar dia sembuh, bukan? Karena apa itu? Cinta, kan? Nah, aku juga begitu, sayang.”
Irma meremas jari. Pria ini memang lembut namun sulit dibantah. Di hadapannya, dia pasti kalah. Seperti berkuasa penuh atas dirinya. Sangat melindungi, mengayomi juga mencintai.
“Besok aku jemput untuk pemeriksaan awal.”
***
Hari-hari jelang ujian nasional memberi tekanan berat pada siswa kelas dua belas. Hampir tak ada waktu bersantai ria. Wajah mereka berkerut setiap pulang sekolah. Latihan yang tak berkesudahan ditambah les dalam durasi panjang memicu stress berlebihan.
“Oh Tuhan, kapankah derita ini berakhir!” Tita mengangkat tangan tinggi-tinggi.
“Berisik, Lo!” Ayda menepuk punggung temannya dengan kertas.
“Elo enak, otak encer. Lah, gue?”
“Usaha gak mengkhianati hasil, Ta. Kalau kita kerja keras, Insya Allah dipermudah. Cuman, kadang kita aja yang cepet putus asa.”
“Jiaah, lagak, Lo dah kayak motivator lima benua.”
“Dah, sini, mana yang gak ngerti?”
“Semuaaaa!”
“Busyet!” Ayda menepuk jidat. Tita tergelak.
Selepas sekolah, Ayda langsung tancap gas menuju rumah. Masalahnya Om Alex mau datang. Gak mungkin ibu berduaan saja di sana, belum mahrom.
Kadang iri juga melihat pasangan itu, Om Alex satu kali seminggu pasti datang. Sedang Fatur, sudah dua minggu tak muncul juga. Padahal janjinya, tiap minggu mau berkunjung. Selalu saja berhalangan. Ada operasi dadakan, harus menggantikan dokter yang tak hadir atau rapat dengan atasan.
Sementara, rindu kian menggebu. Terlalu berat dan menyiksa ternyata. Tak terasa satu bulir bening jatuh ke telapak tangannya. Kaca-kaca itu kian tak terbendung, meluruh juga.
Kak Fatur aku kangen ...
Ayda turun kembali dari motor, konsentrasinya terganggu, bisa berbahaya nantinya. Dia kembali masuk ke gedung sekolah.
“Ayda!”
Melihat Zul, Ayda buru-buru menyeka airmata.
“Lesu amat. Sakit?”
“Gak, kok. Cuma cape aja.”
“Gara-gara naik panggung, saya jadi gak bebas, Ay. Banyak yang minta foto bareng coba, lucu, kan.” Ayda tertawa.
“Kamu ini, malah ketawa!” Zul menepuk kerudung Ayda.
“Bagus malah, Pak. Jadi seleb,” canda Ayda.
“Rahel itu malah ngajak ketemuan.”
“Masa sih?” Ayda kembali ketawa.
Mereka berbincang di bangku tepi koridor. Sesekali menyapa siswa dan guru yang hilir mudik sepanjangnya. Lambat laun hati Zul mulai mencair. Perasaan menggebu pada Ayda mulai surut. Hubungan mereka pun kembali akrab. Bukan hanya sebagai guru murid, tapi sebagai sahabat atau kakak adik.
Berbincang dengan guru muda itu cukup meredakan emosi kerinduan yang hampir membuncah. Ayda bisa mengemudikan motor dengan tenang. Selang semenit sampai rumah, mobil Om Alex tiba di teras.
Om Alex turun membawa beberapa shopingbag. Pria paruh baya itu selalu terlihat perlente. Badan yang tegap menambah kegagahannya.
Ayda mencium tangan calon ayah tirinya. “Baru pulang, Sayang?” tanyanya sambil menyerahkan shopingbag.
“Iya. Masuk, Om.” Ayda selalu terharu akan kasih sayang Alex padanya. Kehadiran pria itu membasuh kerinduan pada sosok ayah yang bertahun lama dinanti.
“Bu, Bae Yong Joon dateng, tuh,” goda Ayda disambut cubitan pada hidungnya.
“Bu, buka, ya.” Ayda selalu penasaran dengan apa yang dibawa Alex. Seperti anak yang girang dibelikan mainan oleh ayahnya.
“Waaa!” Boneka beruang dengan tulisan ‘Untuk putri papi Alex, Ayda.’ Gadis itu tak kuasa menahan airmata. Dia sesenggukan sambil memeluk boneka.
Papi Alex … makasih.
Alex dan Irma berbincang hangat. Sesekali tertawa bersama. Kadang merona. Degup jantung jangan ditanya, sudah sampai pada oktaf kelima. Jatuh cinta tak pandang usia. Sama saja rasanya. Indah. Dunia serasa milik berdua.
Alex mengeluarkan kotak beludru merah. Saat dibuka nampak seuntai kalung dengan giok hijau sebagai liontinnya.
“Untuk bidadari tercinta.”
==========
#9b-
Pemuda itu memacu mobil menuju tempat sweetheartnya. Dua hari ini gadis cantik itu ngambek. Pesan tak dibalas, telpon tak diangkat. Itu sinyal bahaya namanya. Dia mengakui sangat sibuk di tempat kerja saat ini. Waktu dan tenaga terkuras habis. Istirahat pun sedikit saja.
Selepas dua jam perjalanan, sampai juga di rumah calon istrinya. Pemuda itu disambut ibu dengan senyum terhangat. Karena Ayda belum pulang, Fatur berinisiatif menjemput dengan berjalan kaki. Kebetulan gadis itu tak membawa motor juga.
Senyum terkembang melihat sosok jelita itu keluar gerbang bersama teman-temannya. Riuh tawa dan celotehan canda khas abege terdengar menggelitik saat mereka melihat kedatangannya. Rona merah nampak menyebar penuh di wajah sang kekasih. Melangkah saling mendekat, semakin dekat.
Ayda berjalan bersisian dengan pemuda idaman hati. Tanpa kata, hanya debaran di dalam sana. Rindu pasti, marah juga. Kenapa baru datang? Tak tahukah aku tersiksa? Sebel tapi kangen.
Sesekali Fatur mencuri pandang dengan lemparan senyum semanis madu. Gemas tak direspon sengaja mempersempit jarak. Tangan jahilnya mulai merentang hendak menggoda sang gadis.
“Kak Fatur apaan sih!” Ayda melotot sambil mengerucutkan bibir.
“Abis ngambekan, jadi gemes pengen meluk.” ucapnya cuek. Makin kesal, Ayda mempercepat langkah
“Hai, aku pulang, ya!”
“Bodo!” Ayda terus berjalan sampai menyadari Fatur tak mengikutinya. Apa beneran pulang? Haduh, masa sih? Gadis itu membalikkan badan, tak ada dia di depannya.
“Kak Fatur!” Ayda panik mencari sosok itu. Putus asa, gadis itu duduk di trotoar, menyeka peluh bercampur airmata.
“Aku rindu, sangat rindu, cantik.” Ayda mendongakkan kepala mencari suara yang dirindui siang malam.
“Kak Fatur … Huhuhu!” Gadis itu menangis seperti anak kecil yang baru bertemu ibunya. Fatur duduk bersebelahan memandang jalan yang tampak lengang. Hanya satu dua motor melintasi. Lama keduanya larut dalam netralisir gejolak rindu dendam yang membuat hampir sekarat.
“Kak Fatur pucat. Sakit, ya?” Setelah berjalan sepuluh menit, mereka sampai di depan rumah. Duduk di teras sambil menikmati es teh manis, menjadi favorit keduanya.
“Cape aja, say. Rumah sakitnya besar, jadi kerjaan banyak banget. Sehari aku bisa beberapa kali operasi,” terangnya.
“Harus jaga kesehatan tetep, kalau sakit bagaimana?” Fatur menatap Ayda, menggoda dengan tatapan nakalnya.
“Kan ada Dokter Ayda. Obatnya dipeluk, langsung sembuh, deh.”
“Diiih, siapa juga yang mau meluk. Wee!”
Canda tawa berlangsung berjam-jam. Ibu hanya tersenyum melihat kembalinya wajah ceria sang putri. Setelah ikut pusing melihat uring-uringan tak jelas beberapa hari ini.
“Apa maksudnya ini, Pih?” Fatur melemparkan berkas ke atas meja. Dengan santai papi mengambilnya.
“Yah, tanda tangan saja. Beres, kan!” Seru Pria yang akan berbulan madu di Indonesia satu bulan ke depan.
“Aku tidak mau!”
“Itu untuk masa depanmu. Bisakah kau berfikiran positif padaku?”
“Aku tidak akan kuliah di Jepang kecuali bersama Ayda.”
“Ayda! Apa tak ada yang lain di otakmu, hah? Apa kau mau hidup miskin seperti dia? Ayolah Bung, realistis!”
“Terserah! Aku ambil spesialis di sini saja!”
“Kalau kau tak pergi ke Jepang, kujamin Ayda tak kan bisa kuliah di universitas manapun! Kau tahu kan seberkuasa apa aku? itu perkara mudah, Dokter. Bahkan membuatmu tak bisa bekerja di mana pun, aku bisa lakukan!” Papi melemparkan tatapan mematikan. Konglomerat sadis ini sudah tak diragukan lagi kekejamannya.
“Setelah aku lulus dari Jepang. Apalagi rencana busuk kalian? Menikahkan aku dengan putri bangsawan? Mimpi!”
Fatur membanting pintu hotel sekeras yang dia mampu. Meninggalkan pria yang dadanya tengah turun naik menahan ledakan kemurkaan.
Tekanan kedua orang tuanya makin menggila. Ancaman demi ancaman tak henti menyerang. Kadang dia berpikir apakah mereka tak punya nurani sedikit saja. Belum lagi sikap agresif Ledia, dokter muda anak kolega bisnis mereka yang sengaja didekatkan oleh mami. Itu pun salah satu cara merobohkan ikatannya dengan Ayda.
Pria itu menatap nanar kertas yang di genggam. Helaan nafas makin berat, seakan ada batu yang menghimpit alat pernafasan. Satu tetes bening meluncur begitu saja. Mengapa nasib membawanya pada masalah yang tak berujung. Dia telah mengambil keputusan yang akan mengakhiri segalanya.
Ujian Nasional pun tiba. Seluruh siswa suka tak suka harus mempertaruhkan nasib tiga tahun perjuangan di sana. Berbekal seabrek latihan dan les-les di tiap harinya, mereka semaksimal mungkin mengerjakan soal-soal yang bagi sebagian orang terlihat mengerikan.
Di hari terakhir, para siswa bisa bernafas lega. Bagai terdakwa yang lepas dari tuntutan jaksa. Segala ekspresi nampak di sana. Berteriak, melompat, tertawa, jalan-jalan tak lupa corat coret tentu saja.
Lain halnya dengan Ayda. Justru kecemasan makin nyata. Sudah seminggu Fatur tak berkirim kabar berita. Selalu saja nada panggilan tak aktif didengarnya. Ada apakah gerangan?
Satu bulan berlalu, pemuda itu menghilang bagai ditelan waktu. Airmata sudah kering jua, tak terteteskan lagi. Apakah nasib ibu akan menimpanya? Diberi cinta lantas ditinggal begitu saja?
Ayda makin sengsara saat mendengar berita dari Om Alex yang mengatakan bahwa Fatur mengundurkan diri dari rumah sakit tempatnya bekerja. Tak ada satupun rekan kerja yang tahu kemana pria itu menghilang.
Kak Fatur, kamu di mana?
Kemeriahan pesta perpisahan tak mampu membuatnya bahagia. Gelar ratu sekolah disematkan padanya. Senyum yang di tebar hanya palsu belaka. Puja puji terasa hambar tanpa makna.
Hingga seseorang yang sangat membencinya, datang.
“Ayda, katakan! Kamu sembunyikan di mana Fatur?” Ayda ternganga. Bagaimana mungkin ibu sendiri tak tahu keberadaan putranya?
“Maaf, Tante, saya juga tak tahu. Sudah satu bulan Kak Fatur tak ada kabar berita.”
“Jangan bohong kamu! Bilang saja kalian mau kawin lari. Jangan harap!”
“Terserah Tante! Saya berulang kali menghubungi nomornya tak aktif! Saya juga cemas, bingung, sedih!”
Erika menghempaskan diri di sofa. Nampak raut cemas meliputi wajahnya.
“Aneh.” desisnya.
“Awas kalau kamu bohong!” Erika bangkit dan berlalu menyisakan sejuta tanya di benak Ayda.
Ayda tertegun memandangi kepergian Erika. Segala kebingungan makin menyergapnya. Kecurigaan ini ada kaitan dengan orangtuanya ternyata tak terbukti. Lalu, di mana dia? Kenapa menghilang?
Di dalam mobil, Erika menelpon mantan suaminya.
“Dia tak bersama Ayda! Apa kau sudah dapat kabar?”
“Hai, bodoh sekali anak buahmu. Masa tak bisa menemukan seorang Fatur. Pecat saja mereka!”
“Itu semua karena kau yang terlalu memanjakannya! Anak tak bisa diatur sama sepertimu!” Anggara tak kalah sengit membalas umpatan Erika.
“Brengsek kau! Memang apa bagusnya kamu! Bermain jalang-jalang najis itu? Cih! Aku tak mau tahu, kau harus menemukan Fatur secepatnya!”
Klik! Erika mematikan ponsel. Amarah pasti meledak kalau bicara dengan mantan suaminya. Pria bajingan penggila ranjang. Keputusan bercerai benar-benar tepat menurutnya. Hidup seatap dengan pria batu itu hanya menjeratnya pada lubang sengsara tanpa ujung.
Anggara, Erika dan Alex terus melakukan upaya pencarian Fatur. Mereka mengunakan jalur kepolisian secara rahasia sebab menjaga nama keluarga. Setelah dua bulan, hasilnya masih nihil. Tak ada jejak apapun yang ditinggalkan pemuda itu.
Ayda masih menyimpan harapan besar akan kembalinya sang kekasih. Dia segera berlari saat ada mobil berhenti di depan rumahnya. Namun, kembali kecewa karena bukan Fatur yang turun dari sana. Lalu, masuk kamar dan menderaikan airmata.
Begitulah setiap harinya. Menunggu dan menunggu dengan harapan Fatur akan datang kembali padanya. Namun, kiranya itu tak pernah terwujud.
Irma memeluk putrinya yang meringkuk di atas ranjang. Kali kedua, wanita itu tersayat. Apa yang sangat ditakutkan, terjadi juga. Dia melihat kondisi Irma muda pada diri Ayda.
“Apa sesakit ini, Bu?” Irma mengeratkan pelukannya.
“Katanya mau menikah denganku setelah lulus. Sekarang aku sudah lulus, kenapa dia belum datang?”
“Kenapa, Bu …?”
“Aku rindu, Bu. Aku rinduuu!” Ayda bangun, menjerit, meronta mengguncang-guncang kan tubuh Irma.
“Aku mau Kak Fatur, Bu. Aku mau diaaa!”
“Ayda.” Dengan deraian airmata Irma mencoba menenangkan putrinya. Keduanya menangisi laki-laki kedua yang mengulangi hal sama. Pergi tanpa kembali.
Kak Fatur, kembalilah padaku ….
*****
Anak adalah titipan Yang Maha Kuasa. Orang tua wajib memberi bekal agar mampu memilih jalan yang benar. Mereka wajib mengarahkan bukan memaksakan. Janganlah jadi orangtua egois yang menstandarkan hidupnya pada ambisi kita.
Jangan menunggu perpisahan untuk merasakan betapa berharganya pasangan. Janganlah, saat dia tak ada, baru terasa kebaikannya, padahal semua sudah tak berguna.
Bersambung #10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel