#10a-
Pernikahan Irma dan Alex digelar megah di salah satu ballroom hotel bintang lima. Tamu undangan dari kalangan atas nampak berseliweran. Kalangan pejabat, pengusaha dan artis papan atas tak sulit ditemui.
Mereka bersanding bak ratu dan raja. Decak kagum, puja puji berhamburan. Kedua orang tua Fatur dan pasangannya turut hadir di sana. Senyum palsu memoles kekesalan membabi buta. Bagi mereka, Irma dan Ayda tetaplah berkasta rakyat jelata.
Ayda dan Jonathan tampil bak putri dan pangeran. Senyum, setia menghiasi keduanya. Ada bahagia dan sedih bersamaan saat ini. Sukacita menyaksikan ibunda mendapat pelipur lara. Di sudut lain, hati tetaplah berduka. Dia yang dicinta entah di mana.
“Ay, bengong mulu. Kesambet tau rasa, Lo!”
Jonathan duduk di samping Ayda.
“Kunti juga gak mau ma gue, takut diajarin logaritma,” celoteh Ayda sekenanya. Disambut gelakan tawa Jo.
“Mulai sekarang panggil gue Kak Jo.”
“Weee! Siapa juga yang mau jadi adek, Lo!”
“Trus, mau jadi istri gue, gituh?”
“Apalagi, gak banget!” Jo menoyor kepala Ayda.
“Rese, Lo!”
“Weee!” Jo meleletkan lidah dan segera kabur sebelum diamuk Ayda.
Selepas resepsi pernikahan, pengantin langsung terbang ke Eropa untuk menikmati manisnya bulan madu.
Alex menatap Irma yang sedang mematut diri di depan cermin, bersiap hendak sarapan di restoran hotel tempat mereka menghabiskan indahnya kebersamaan. Kebahagiaan kedua yang baru saja direguk adalah anugerah Yang Maha Pengasih atas kesabaran hamba-Nya. Tak ada derita abadi di fananya dunia, karena kesenangan akan mengiringinya.
“Cantik.” Bisikan pria itu mampu menggetarkan seluruh ruang raga sang wanita. Keduanya bergandengan keluar dari peraduan.
Selepas sarapan mereka berjalan menyusuri pantai. Menikmati hamparan pasir putih, ombak berkejaran dan burung yang beterbangan. Sesekali air laut menyapu kaki saat sang ombak menepi.
Romantisme pasangan ini tak kalah oleh pasangan alay yang belum tentu halal. Meski usia bukan belasan, cinta tetaplah membara. Irma merasakan bahagia sesungguhnya. Masa lalu hanyalah sketsa buruk yang tak patut ditangisi lagi. Kerontang derita bertahun lamanya terbasuh hujan bahagia sekejap saja.
Selama ibu pergi berbulan madu ke Eropa, Ayda diharuskan tinggal di rumah keluarga Alexander sebelum pindah kost di sekitar kampus. Irma tak mengijinkan putrinya tinggal di rumah mereka lagi.
Saat awal memasuki rumah ini, Ayda tak mampu menyembunyikan kekagetan. Seumur hidup baru melihat hunian semegah itu. Penghuni rumah ini ramah padanya, hanya saja, semua anak Alex, laki-laki. Jadi, tetap saja tak punya saudara wanita.
Berada di kamar mewah dengan desain female yang sengaja disiapkan papi Alex, membuatnya betah berlama-lama. Deretan boneka terpajang rapi di lemari kaca. Cat merah muda mendominasi dindingnya.
Hidupnya bagai cinderella kini, segala kemewahan mengalir begitu saja. Alex tak membedakan Ayda dengan anak-anak kandungnya. Apalagi, keluarga ini tak punya anak perempuan. Makinlah berlimpah curahan kasih sayang.
Namun, segala kemewahan itu tak mampu mengobati lara. Dia tetap berduka. Ada yang kosong di sudut hati, separuh jiwanya pergi, entah kemana. Menyisakan luka yang makin menganga.
Fatur terus bermain di lingkaran hayalnya. Senyuman, canda tawa masih terekam sempurna. Tak pernah pergi dari jiwa.
Ayda membuka buku diary. Menoreh kata, merangkai rasa kerinduan teramat dalam.
In my heart you were the only
(Di hatiku engkaulah satu-satunya)
And your memory lives on
(Dan kenangan tentangmu kan abadi)
Why did you leave me
(Mengapa kau tinggalkan aku)
I have nothing … nothing … nothing if i don't have you.
(Tak ada yang kupunya … tak ada … tak ada jika tak kumiliki dirimu)
“Miss you ...!” Ayda membenamkan wajah ke atas bantal, menutup satu lagi ke kepala. Lalu menangis sejadi-jadinya.
***
“Ini teh manisnya, Nak.”
“Terima kasih, Pak!”
“Pengajiannya dimulai sepuluh menit lagi.”
“Iya, saya ke sana sebentar lagi.”
Pemuda berwajah pucat itu mencari kitab kuning yang akan dipelajari pagi ini di ruang belajar pondok pesantren Al Mukaromah. Udara dingin pegunungan membuatnya harus melapisi baju koko dengan jaket.
“Alloh mempunyai cara sendiri untuk menolong hamba-hamba-Nya. Tak ada yang sia-sia dari sebuah doa. Permintaan kita akan dikabulkan pada waktu yang tepat tentu saja.”
“Putus asa dari rahmat Alloh adalah kekufuran yang nyata. Saat ditimpa musibah, ingatlah kita itu lebih banyak bahagia daripada menderita.”
Tausiah kyai begitu menyentuh ruang akal dan hati para santri. Banyak dari mereka yang meneteskan airmata.
“Segala perkataan dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhir masa. Mati bukanlah akhir segalanya, dia hanyalah gerbang penantian untuk menuju kebahagiaan atau penderitaan sesungguhnya.”
“Yang harus ditakutkan bukanlah kematian itu sendiri, tapi khawatirlah apakah sudah cukup bekal kita di keabadian.”
Pengajian selesai pukul sembilan pagi. Para santri bergegas keluar untuk melanjutkan aktivitas masing-masing.
“Wah, antum hebat, udah kelar satu juz.”
“Hebat gimana, lambat gini.”
“Besok maulidan di kota, ikut tak?”
“Gak, saya mau habisin juz 29.”
“Beuh sayang banget, banyak santriwati cantik hehehe!”
“Kamu ini, mau cari ilmu apa cari jodoh?”
“Dua-duanya … hehehe!”
Ditengah asyiknya perbincangan, tiba-tiba di luar terdengar keributan. Kedua pemuda itu mengakhiri obrolan dan berlari menuju sumber kegaduhan. Mereka terkejut melihat seorang santri kejang-kejang.
Pria berkoko biru yang tertutup jaket hitam itu mendekati santri yang sedang kejang.
“Hai apa yang kau lakukan! Tunggu dokter saja!” Seseorang berusaha menghentikannya.
“Saya dokter!”
“Hah!”
Dengan meminta bantuan santri lain, sang dokter berhasil menangani pasien.
“Wah hebat!”
Karena kejadian itu, kepala pesantren memanggilnya. Mencoba mengorek keterangan perihal hidup pemuda yang mereka temukan pingsan di jalan menuju pesantren.
“Saya sakit, usia mungkin tak lama lagi. Saya ingin di sisa hidup menjadi lebih dekat dengan Alloh.”
“Saya bersedia membantu apapun sesuai keahlian yang dimiliki. Juga mengobati secara gratis jika ada sarananya.”
“Bagaimana dengan keluarga Nak Fatur. Orangtua, istri mungkin?”
“Akan lebih menyakitkan kalau mereka tahu.”
Fatur berdiri di atas bukit sekitar pesantren Al Mukaromah. Udara pegunungan mengibarkan syal yang melilit lehernya. Hamparan pohon hijau bak permadani raksasa terbentang sejauh mata memandang. Wajahnya semakin pucat menahan sakit yang terus menggerogoti tubuh. Kanker darah.
Pria itu duduk di rerumputan. Sejenak menghela nafas lalu menggoreskan pena di secarik kertas di antara selipan kitab kuningnya.
Ayda … maaf, mungkin inilah yang terbaik untuk kita. Saling mencinta tapi tak bisa bersama di dunia, entah di akhir sana. Garis takdir kita tidak searah.
Ayda … mungkin kau akan menangis, terluka, sakit juga menderita. Tapi percayalah suatu saat kau akan menemukan pengobat lara. Berbahagialah bersama takdir sesungguhnya.
Terima kasih untuk bahagia yang pernah kau berikan padaku … untuk senyuman … untuk canda tawa … untuk kebersamaan kita.
Satu tetes bening jatuh menyentuh punggung tangannya.
Selamanya aku akan mencintaimu … takkan hilang namamu dari hatiku … tidak terganti hingga berpulang nanti.
Kertas itu memburam, dipenuhi tetesan air yang terus berjatuhan.
Aku mencintaimu dengan raga, di tiap napas, sepenuh jiwa, dalam doa, sepanjang hidup … Aku mencintaimu dulu kini dan nanti.
Tataplah dunia, lanjutkan hidup, raihlah cita-cita.
Ayda … lupakan aku. Cerita kita telah usai.
Goodbye ...!
Fatur menelungkupkan wajah pada kedua lutut. Bahunya berguncang meluapkan kepedihan yang tak kunjung reda. Inilah garis takdir yang harus dijalani, mencintai tanpa bisa bersama.
***
Ayda memasuki gerbang kampus Universitas Indonesia. Impian yang telah ditorehkan jauh di lubuk hati, mulai menampakkan jalannya. Gadis itu merentangkan tangan ke atas mengucap hamdalah entah untuk ke berapa kali. Di hirup dalam-dalam udara yang tak sejuk itu.
Sang gadis melangkah pasti menyusuri koridor kampus menuju tempat perkumpulan mahasiswa baru. Sesekali tersenyum dan mengangguk pada siapapun yang hilir mudik di sana.
Kak Fatur… lihat, aku sedang melangkah menuju impian!
Langkahnya terhenti saat ada yang berdenyut di dada. Masih kuat rasa sakitnya. Terkadang menghimpit memalangi aliran udara.
Kau bilang mau mendampingiku meraih impian? Katanya akan menggenggam tanganku, melangkah bersama mewujudkan cita-cita!
Tanpa terasa luruhan airmata itu sudah jatuh menyentuh lantai koridor. Cepat-cepat disekanya. Sebelum melanjutkan langkah, dihela dulu udara kampus untuk menetralisir sesak yang mulai menggila.
“Ayda!”
“Aryo!”
Pria keturunan Yogyakarta itu setengah berlari menghampiri Ayda. Dengan napas tersengal mencoba menyejajari langkah pemilik mata bulat itu.
“Kamu ke sini juga?”
“Tadinya mau ke UGM, tapi … karena kamu kesini, aku berubah pikiran.”
“Ngapain juga ngikutin aku? gaje!”
“Aku pengen ngalahin kamu!” Aryo mengacungkan tangan ke atas.
“Jiah, lombanya dah beres, kali!”
“Ngalahin hati kamu juga boleh,” goda Aryo.
“Garing!” Aryo tergelak.
Setelah usai masa pengenalan kampus, gadis itu mulai menjalani perkuliahan. Jadwal kuliah dan praktikum yang padat memaksanya untuk bangkit dari keterpurukan. Di semester ini Ayda harus mengikuti mata kuliah biologi molekuler, biologi jaringan serta beberapa mata kuliah wajib lainnya.
Untuk semakin meminimalisir waktu senggang, Ayda terjun di organisasi kerohanian kampus. Selain mendapatkan tambahan ilmu Islam, juga mempererat ikatan ukhuwah yang makin terkikis oleh gaya hidup individualis.
“Kebahagiaan dan kesedihan di dunia ini tidak selamanya. Gak ada orang yang bahagia terus dan gak ada yang selalu menderita. Semua ada masanya. Jadi bagi yang lagi ada masalah, jangan terlalu larut. Ada Alloh yang siap membantu.”
“Alloh membersamakan kemudahan pada tiap kesulitan.” Kajian pertama dari kakak mentor mengalirkan kehangatan pada hati yang masih dingin.
Hatinya semakin tegar dengan motivasi yang selalu diberikan Jonathan. Meski beda fakultas, pemuda itu selalu menyempatkan diri menemui Ayda. Rasa sayang sebagai saudara semakin dalam saja. Canda tawa pemuda itu mampu menghibur di kala lara. Gadis itu serasa memiliki kakak sekaligus sahabat karib.
==========
#10b-
Fatur membantu puskesmas terdekat tanpa digaji. Juga membuka klinik kecil di lingkungan pesantren. Gratis dan terbuka untuk umum. Karena itu namanya menjadi terkenal. Terlebih isu ganteng dan jomblo, memicu makin meroketkan nama hingga sampai ke telinga orang-orang yang ditugaskan mencarinya.
Mereka berpura-pura menjadi pasien untuk memastikan bahwa pria itu memang yang sedang dicari. Setelah bertemu muka, yakinlah bahwa dialah most wanted itu. Tanpa lama, para intel itu melaporkan pada tuan dan nyonya.
Anggara dan Erika segera meluncur menuju pesantren Al Mukaromah. Agar tak mencolok, mereka memakai mobil SUV biasa. Kekhawatiran Fatur kembali kabur, membuat lebih berhati-hati.
Tuan dan nyonya itu diterima langsung oleh pimpinan pondok. Kyai Abdullah terkejut saat tahu bahwa mereka adalah orangtua Fatur, juga perihal perginya pemuda itu tanpa kabar.
Dengan wajah pucat, Fatur pulang ke pondok setelah seharian bertugas di puskesmas. Tanpa curiga dia masuk ke kamarnya. Pemuda itu tertegun saat melihat kedua orang yang dihindari, ada di depan sana.
Mami berlari memeluk, papi diam terpaku. Tangisan wanita itu meledak di dada putranya. Tiga bulan tak tahu kabar berita, sangat menyiksa.
“Kita pulang, ya.” Mami berusaha membujuknya.
“Untuk apa? Untuk menjalankan ambisi kalian? Aku bukan robot!”
“Fatur! Jangan keras kepala, kamu! Merepotkan saja!” Mami mendelik pada papi agar mulutnya diam.
“Umurku tak lama lagi, aku takkan merepotkanmu setelah ini.”
“Jangan ngomong sembarangan, kamu!”
Fatur mencari hasil lab biopsi miliknya. Diserahkan kertas itu pada mami. Seketika bergetar tubuh wanita itu. Papi mengambil dan bereaksi tak jauh beda dari mantan istrinya.
“Harapan kesembuhannya tipis.” ucap Fatur tanpa ekspresi. Mami meraung dipelukan putranya.
“Kamu gak boleh mati! Kita berobat ke rumah sakit terbaik di dunia! Kamu pasti sembuh!” Mami makin histeris.
“Untuk apa sembuh kalau toh jadi robot kembali. Kalian pulang saja, kalau aku meninggal baru datang lagi!”
Plak!
Mata papi berkilat memancarkan amarah dan kesedihan sekaligus.
“Anggara!” Mami tak kalah sengit berteriak pada mantan suaminya.
“Urus saja anakmu itu! Terserah kalau dia mau mati, aku tak peduli!”
Plak! Giliran mami menampar Anggara.
“Bajingan Kau!”
Tubuh tegap pria itu luruh bersama airmata yang langka dia jatuhkan. Keangkuhan dan kekerasan hatinya porak poranda bagai diterjang badai California. Dadanya laksana ditusuk ribuan jarum, sakit.
Fatur berdecak dan meninggalkan mereka. Baru berjalan beberapa langkah, tubuhnya ambruk.
“Fatuur ...!”
Pemuda itu dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan pertama. Wajahnya makin memucat, tubuh pun semakin tak berdaya.
Setelah pingsan seharian, dia siuman. Samar-samar terdengar isakan mami dan helaan napas papi. Fatur mengerjapkan mata, mengedarkan pandangan mencari sumber suara.
“Kamu sadar sayang.” Mami mengusap lembut rambut putra kesayangannya. Papi turut duduk di sampingnya, menggenggam tangan sang putra. Sesuatu yang telah lama dia tinggalkan.
“Mau, ya, berobat. Kita ke Singapura. Mami dan Papi akan lakukan yang terbaik untuk kesembuhanmu.”
Fatur menatap mereka bergantian dan menggeleng perlahan.
“Fatur.” Mami tak mampu membendung airmata sedang papi menatap nanar.
“Kau boleh benci kami, boleh menghukum kami. Tapi jangan begini caranya. Jangan biarkan kami sekarat melihatmu menderita meregang nyawa.” Suara mami sudah bercampur isakan memilukan hati.
“Aku minta maaf atas segala dosaku pada kalian. Keridoan kalian akan memudahkan jalanku ke surga. Sebagai bakti, aku akan mendoakan Mami dan Papi siang dan malam.”
Papi kembali meneteskan airmata. Kata-demi kata yang diucapkan Fatur bagai sayatan belati merajang hati.
“Harapan kalian memisahkan aku dan Ayda sudah tercapai. Bahkan untuk selamanya kami tak bisa bersama. Tolong, jangan mengusik gadis itu lagi, dia sudah cukup menderita.“
“Semoga perpisahan kami menjadikan kalian memaafkan ketidakmampuanku menjaga hati dari cinta Ayda. Mengampuni kesalahanku memilih dia.”
Mami makin tergugu. Papi sibuk menyeka airmata.
“Maafkan Fatur, Mih, Pih. Semoga Alloh mengampuni dan merahmati kalian.”
“Tolong berikan ini pada Ayda setelah aku tiada.” Pemuda itu mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya. Surat yang selalu dia bawa.
Mami meraung frustasi. Semua kata tak mampu lagi meluruhkan tekad baja putranya. Dia ingin menjalani takdir yang digariskan. Menjemput kematian yang telah divoniskan. Sebagai dokter, Fatur paham bahwa kecil kemungkinan untuk sembuh. Daripada menghabiskan waktu di ruang pesakitan, lebih baik menebar banyak kebaikan.
***
Tak ada satu mahluk pun yang mampu menangguhkan atau memajukan kematiannya. Dia itu pasti, mengintai kapan dan di mana pun. Bersembunyilah darinya jika kamu mampu! Sayangnya itu tak mungkin.
Kematian bukan akhir segalanya. Dia hanyalah pintu menuju bahagia atau derita abadi. Sudahkah anda memiliki bekal untuk keabadian di alam sana?
==========
#10b-
“Pucet amat, Lo. Sakit?” Aryo duduk di kursi samping kanan Ayda. Gadis itu hanya menggeleng.
“Nih! Mayan biar gak ngantuk!” Pria itu menyodorkan segenggam permen mint.
“Thanks.” Ayda mengambil dua buah. Aryo malah memberikan semua.
“Dokter Fatur lum ketemu?” Ayda membuang napas kasar. Setiap kali ada kesempatan, Aryo akan menanyakan hal yang sama. Entah apa maksudnya.
“Gue ke toilet dulu, ya.” Sejenak Ayda berdiri, dunia terasa menggelap, mata berkunang-kunang. Tubuhnya limbung.
Hups!
Sigap Aryo menangkap tubuh sang gadis. Samar-samar Ayda masih mendengar orang-orang memanggil namanya, dan semua menghilang.
Aryo menggendong Ayda menuju klinik kampus. Beberapa mahasiswi mengikuti. Lepas membaringkannya, pemuda itu menelpon Jo, namun tak aktif.
Pemuda itu menatap Ayda lekat. Tangannya tanpa sadar menyentuh wajah pucat itu, dingin. Gerakannya terhenti saat dia menyadari Jo tengah memperhatikan.
“Makasih udah nemenin, sekarang biar gue yang jaga!” ucap Jo ketus.
“Sorry gue gak bermaksud ….“
“Baiknya kita hormatin prinsip Ayda!” Aryo terhenyak mendengar ucapan ketus Jo. Dia mengakui barusan sedikit lepas kendali. Tak enak dengan situasi ini, pemuda itu bergegas pergi.
Setelah siuman dan kuat berjalan, Jo membawa Ayda pulang.
“Ngerepotin aja, Lo. Kata gue juga istirahat gak usah masuk.” Ayda mengerucutkan bibir saat mendengarkan petuah panjang saudara tirinya.
“Udah?”
“Dodol, dikasih tahu malah melotot, keknya klo gue jadi laki lo, bakal koit.” Jo menepuk kerudung Ayda.
“Ish, rese!” Jo terkekeh.
“Lo jangan terlalu deket ma Aryo.” Kali ini Jo membuang pandangan keluar jendela mobil. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing sampai memasuki pelataran rumah keluarga Kim.
“Ibu tahu kamu masih sedih. Tapi, jangan menyiksa tubuh begini, Ay.” Ayda langsung menuju kamar diiringi ibu. Di kasur Irma menangkupkan tangan di pipi Ayda.
“Aku cuma lelah, Bu.” Ayda memegang tangan Ibu.
“Tidurlah, supaya besok pulih.” Alex yang masih belum masuk kantor karena belum fit, mengelus rambut Ayda lembut.
“Iya, Pih.” Sinar mata Alex seakan mentari pagi yang selalu menghangatkan hati yang rindu kasih seorang ayah.
Pagi hari, seperti biasa mereka sarapan bersama sebelum terjun pada aktivitas masing-masing. Ruang makan dipenuhi canda tawa Jo dan saudara-saudaranya. Ditengah keasyikan makan, salah satu asisten rumah mereka datang memberitahu ada tamu yang mencari Ayda.
Gadis itu bergegas menuju ruang tamu. Mata membulat, degup jantung pun mengencang saat melihat wanita yang pagi-pagi datang bertandang.
“Ayda, ada yang harus tante bicarakan.”
“Iya, Tante.”
Ayda dan Erika duduk berhadapan. Keduanya terjeda dalam diam. Meski seribu tanya menyerbu pikiran, dia cukup tahu diri untuk tak memulai percakapan.
Mami menyodorkan kertas hasil lab biopsi Fatur. Meski heran, Ayda mengambilnya. Mulut ternganga demi melihat apa yang tertera di sana.
“Kanker darah? Kak Fatur? Apa benar, Tante?” Nafas Ayda memburu, jantungnya makin berdegup tak beraturan.
Erika tak menjawab, tangannya sibuk menyeka airmata. Satu lagi disodorkan surat dari Fatur. Ayda membaca dengan tangisan yang membasahi lembaran putih itu. Tangannya bergetar hingga benda tersebut jatuh.
“Kak Fatur ….“
“Ayda, tolong Fatur.” Mami bicara terbata-bata.
“Dia tak mau berobat. Fatur ingin menjalani takdir kematiannya.” Erika bangkit menghambur memeluk Ayda, menangis sejadinya. Keangkuhan dan keegoisan menghilang entah kemana. Di benaknya hanya ada satu hal. Kesembuhan sang putra. Sejatinya uang pangkat, kehormatan tak kan mampu menolong nyawa manusia.
“Tante ….” Ayda menutup mulut dengan tangan kanan. Airmata berlomba jatuh dari pelupuknya.
Ibu dan papi tak kalah kaget saat mengetahui siapa yang datang, terlebih berita yang dibawanya.
“Izinkan saya membawa Ayda,” pinta Erika pada Alex dan Irma.
“Kami ikut serta.” ucap Alex.
Tanpa lama, mereka berempat pergi ke Pesantren Al Mukaromah. Membutuhkan waktu enam jam untuk sampai ke sana. Perjalanan terasa begitu lama dan berat bagi keempat orang itu. Mereka berpacu dengan nyawa seseorang yang sangat dicinta.
Akhirnya sampai juga di pesantren itu. Keempatnya disambut hangat oleh para pengurus yang kesemuanya adalah lelaki. Jantung Ayda terus memacu seiring derap langkah yang makin mendekati kamar pria yang sangat dirindui.
Pintu kamar terbuka. Pandangannya bertemu dengan tatapan sayu sang pemuda yang duduk bersandar di atas ranjang sederhana. Mulut pria itu ternganga.
Satu langkah … dua langkah gadis itu mendekati pria yang terlihat tanpa daya.
“Ayda ….”
“Kak Fatur ….”
Hatinya bagai diiris sembilu menyaksikan Fatur terduduk lemah. Tak ada ceria, apalagi tawa. Keduanya bertatapan dalam diam. Helaan demi helaan terdengar menyedihkan. Airmata mulai meluruh bagai rinai di musim penghujan.
“Kenapa pergi?”
“Kenapa meninggalkan aku?”
“Jawab!”
Suara Ayda serak berpadu tangisan. Fatur memalingkan pandangan. Setetes dua tetes mulai berjatuhan.
“Katamu mau menikahiku setelah lulus! Kau bohong!”
“Katamu mau mendampingiku mewujudkan impian! Mengapa menghilang?”
Fatur membiarkan air terus membasahi pipi. Hati luluh lantak merasakan luapan emosi gadis yang sangat dicintai.
“Tiap hari aku menunggumu! Menunggumu kau tahu! Menunggumu!” Ayda histeris, tubuhnya luruh ke lantai, tergugu pilu di tepi ranjang.
“Maaf …,” desis Fatur. Keduanya menangisi keadaan yang terus melukai.
“Aku sakit … aku akan mati … aku tak bisa menikahimu, pergilah!”
Tangisan Ayda makin menjadi. Bahunya berguncang keras menandakan tekanan yang teramat dalam.
“Tidak mau! Aku tidak akan pergi!” Gadis itu mendongakkan kepala. Menatap tajam dalam uraian airmata. Fatur terbelalak.
“Aku akan di sini mati bersamamu! Aku akan berhenti kuliah. Aku takkan mencari ayah!”
“Jangan bodoh! Jalan hidupmu masih panjang. Aku tak bisa memberi apapun selain kesusahan.”
“Aku tak bisa menjalaninya sendiri. Aku mau sama kamu!” Ayda menantang mata Fatur. Kekerasan tabiatnya tak kan luluh oleh hardikan apapun. Pemuda itu harus diruntuhkan.
Fatur berdecak, menghempaskan nafas kasar. Kaki dijuntaikan ke lantai. Tangannya hendak meraih wajah Ayda. Namun, tertahan di udara.
“Pulanglah. Lupakan aku dan semua kenangan kita. Anggap semua tak pernah terjadi.”
Ayda menatap tajam pada pria di depannya. Kilatan mata makin benderang. Menghujam menembus ruang kesadaran.
“Melupakan semuanya katamu? Melupakan! Mari mati bersama!”
“Ayda …!” Fatur mencengkram besi ranjang.
“Cukup! Aku tak mau dengar! Kalau tak bisa hidup denganmu, maka, aku akan mati bersamamu, titik!“
Fatur mengacak rambutnya frustasi. Sorot matanya melembut.
“Apa maumu?” tanyanya.
“Kita menikah dan berjuang bersama untuk kesembuhan. Untuk masa depan!”
“Ayda, itu tak mungkin. Kau akan jadi janda di usia belia.”
“Apa kau Tuhan? Berani menggariskan masa depan!” Fatur terdiam. Sudah habis kata-katanya untuk membantah Ayda.
“Kak Fatur … dalam diaryku tertulis di baris terakhir ‘Aku ingin menikah dengan seorang dokter’, kau ingat, kan? Kalau kau mati, maka impian itu tinggal impian.”
Keduanya bertatapan dalam diam. Mencoba mencari apa yang hilang, keyakinan. Mencoba mengais serpihan cinta yang terserak. Ada harapan di bola mata itu.
Air mata Erika berderaian, Ayda adalah harapan terakhirnya. Siapa sangka, gadis yang paling dibenci kini jadi topangan terakhir hidup dan mati. Lutut bergetar hebat, tiba-tiba semua gelap. Kelelahan lahir batin menjatuhkan raganya ke lantai.
Fatur membelai wajah ibundanya. Garis lelah nampak jelas di sana. Segala kebencian pada wanita ini, sirna begitu saja. Peristiwa ini telah mengungkap kasih yang lama terkubur keangkuhan.
“Sayang, maafkan mami.” Fatur mengusap airmata wanita yang telah melahirkannya.
“Kamu harus sembuh untuk mami, untuk papi, untuk Ayda, gadis pilihan hatimu. Mama ikhlas kalau kalian bersama.” Erika bangkit, menangkupkan kedua tangan di pipi putranya. Keduanya berpelukan dalam tangis mengharu biru. .
Anggara datang, tergopoh memasuki kamar. Melihat mantan istri dan putranya berpelukan, pria itu mendekati mereka. Dia merangkul Fatur dari belakang, ikut larut dalam kepedihan.
“Maafkan Papi ….”
“Tak ada yang tak mungkin bagi Alloh Pemilik Jagat Raya. Meski bagi kita harapan kesembuhan itu hanya 1%, bagi-Nya bisa menjadi 100%. Alloh mudah saja membelahkan lautan untuk kaum Nabi Musa, bukan? Tak sulit Alloh menyelamatkan kaum Nabi Nuh dari banjir dahsyat yang menenggelamkan satu negeri.” Kyai datang menemui Fatur, mencoba memberi motivasi.
“Berjuanglah Nak Fatur. Alloh lebih menyukai hamba-Nya yang kuat daripada yang lemah. Jika sehat kembali, jalan menebar kebaikan menjadi lebih terbentang, bukan?” Keduanya berpelukan erat.
Fatur setuju untuk berobat ke Singapura. Ayda meminta pernikahan mereka dilaksanakan hari ini juga. Meski pemuda itu menolak dengan alasan belum jelas proyeksi kesembuhan, gadis itu memaksa dengan alasan agar tak terhalang merawatnya.
Pemuda itu kalah dibawah kekuatan tekad sang gadis. Akad nikah mereka diselenggarakan dengan wali hakim dari petugas KUA setempat. Erika melepaskan cincin berlian untuk dijadikan mahar pernikahan.
Fatur mengucapkan ijab kabul dengan menahan sakit yang terus mendera. Hamdalah terucap saat janji itu telah terlantunkan. Kini keduanya resmi menjadi suami istri.
Selepas akad, Fatur kembali pingsan. Kali kedua, dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ayda berusaha menegarkan jiwa bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi pada suaminya.
Selepas sholat di mushola rumah sakit, Ayda sejenak memandangi kilauan perak di kelamnya malam. Hembusan angin malam membelai lembut kerudung. Setelah menghela nafas, bergegas menuju ruang rawat suaminya kembali.
Dengan dada berdesir, perlahan mendekati suaminya yang terbaring tenang. Besok rencananya mereka akan terbang ke Singapura. Anggara langsung mengurusi administrasi perawatan Fatur di sana.
Untuk pertama kali, Ayda menyentuh tangan pemuda yang sangat dicintai. Menciumnya berulang. Berlanjut membelai wajah dan rambut. Satu dua tetes air berjatuhan.
“Kak Fatur, ayo kita berjuang sampai Alloh memberi keputusan.” Ayda menelungkupkan wajah di samping tangan sang suami. Menangis perlahan.
Erika memasuki ruangan, mendekati menantu barunya.
“Ayda, makan dulu, kamu harus jaga kesehatan supaya bisa merawat Fatur.”
“Saya gak laper, Tante.”
“Kalau kamu sakit, Fatur akan kehilangan semangat kembali. Bukankah kalian ingin bersama-sama. Sana makan dulu. Biar tante yang jaga.”
“Iya Tante.” Meski enggan, Ayda menuruti juga perintah Erika.
“Ayda, terima kasih, ya.” Ayda tersenyum dan bergegas keluar ruangan.
Selepas makan, Ayda kembali ke ruangan. Saking lelah, gadis cantik itu segera terlelap di kursi tunggu dengan wajah ditelungkupkan di sisi tangan Fatur. Dia terbangun saat merasakan sentuhan di pipi dan kepalanya. Ayda mendongakkan kepala, selarik senyum terukir di bibir suaminya.
“Tolong bantu aku duduk,” ucap Fatur perlahan. Ayda mencari alat untuk mengubah ranjang ke posisi agak tegak.
“Sini.” Fatur memberi isyarat agar Ayda duduk di sampingnya.
“Boleh peluk, kan?” bisiknya mesra. Seketika rona merah menerpa wajah Ayda. Fatur menyandarkan kepala sang istri di dadanya. Mengelus kepala dan punggung bergantian.
Hening ….
Detak jantung mulai tak beraturan. Bunga-bunga cinta itu kembali bermekaran. Lebih indah dan memabukkan.
“Ay sayang, malam pertamanya gak bisa sekarang, ya. Jangan ngambek,” canda Fatur.
“Kak Fatur apa sih!” Ditepuk perlahan dada tempatnya bersandar. Terdengar tawa bahagia meski perlahan.
“Kalau cium, masih bisa, kok. Mau?” Wajah Ayda makin menghangat. Fatur melepas pelukan perlahan, membawa wajah gadis itu ke dekatnya.
Ceklek!
“Aduh, maaf, ibu ganggu, ya. Lanjutkan saja dulu.” Irma mengerling nakal dan segera menutup pintu.
Huaaa maluuu!
Fatur tertawa cukup keras. Ayda memukul dadanya perlahan, mereka pun berpelukan.
Pagi hari, gadis itu membantu suami membersihkan diri dan berganti pakaian. Setengah mati menekan rasa malu dan gugup saat melakukan prosesi itu. Ditambah sikap Fatur yang selalu menggodanya, makin saja dia belingsatan.
“Terpesona, ya?” Fatur mencolek hidung Ayda.
“Wee!”
“Mau? Nanti, ya kalau aku udah kuat.” Fatur tergelak melihat sikap istri yang malu tiada tara.
“Udah, ah makannya, kenyang.” Selesai prosesi berpakaian, Ayda dengan telaten menyuapinya.
“Diih, pokoknya wajib habis. Ayo, aaaa!”
Fatur terpaksa membuka mulut kembali daripada diamuk sang putri.
Sebelum keberangkatan ke Singapura, Fatur meminta mengunjungi pesantren terakhir kali untuk berpamitan dengan seluruh penghuninya.
“Semoga Alloh mengangkat penyakit Nak Fatur, semoga pernikahannya sakinah mawaddah warohmah.” Kyai memeluk Fatur erat.
Peluk tangis, ucap pisah memenuhi pondok.
“Dokter, aku pasti akan merindukanmu. Syafakallah akhi.”
“Aamiin, jazakallah.“
“Pantesan gak nyari santriwati, udah punya toh. Cuantik hehehe!”
Fatur mengajak Ayda ke bukit di belakang pondok. Menikmati sejuknya udara pagi pegunungan. Keduanya duduk di rerumputan. Pemuda itu memeluk istrinya dari belakang. Wajah diletakkan pada pundak wanita tercinta. Berbincang hangat, diselingi canda tawa. Kebahagiaan yang sempat hilang, kembali mengalir ke seluruh ruang raga.
“Ay sayang, jika aku tak sembuh lalu berpulang, kamu harus janji untuk tetap melanjutkan hidup, meraih semua impian.”
Deg!
“Kamu harus menikah lagi, punya anak, punya cucu. Kamu harus jadi dokter, harus membangun rumah sakit. Kamu harus bertemu ayah, tanyakan padanya kenapa tak kembali.”
Ayda membalikkan badan, membenamkan kepala di dada suami tersayang. Sesenggukan.
“Kak Fatur akan sembuh, kita akan punya anak, punya cucu, menua bersama.”
“Kak Fatur akan berdiri di sampingku saat wisuda. Kita bangun rumah sakit bersama. Kita temui ayah.”
Fatur melepaskan pelukan, mengusap airmata Ayda. Menatapnya dalam-dalam. Mengecup bibirnya perlahan.
“Aku mau sembuh, aku mau bersamamu sekarang dan selamanya.”
“Love you ....”
Meski kesembuhan masih menjadi pertaruhan, harapan itu tetap terbentang. Manusia hanya berupaya, Alloh juga yang menentukan segalanya. Fatur dan Ayda terbang ke Singapura menjalani ikhtiar untuk menjemput sebuah impian.
Pernikahan Irma dan Alex digelar megah di salah satu ballroom hotel bintang lima. Tamu undangan dari kalangan atas nampak berseliweran. Kalangan pejabat, pengusaha dan artis papan atas tak sulit ditemui.
Mereka bersanding bak ratu dan raja. Decak kagum, puja puji berhamburan. Kedua orang tua Fatur dan pasangannya turut hadir di sana. Senyum palsu memoles kekesalan membabi buta. Bagi mereka, Irma dan Ayda tetaplah berkasta rakyat jelata.
Ayda dan Jonathan tampil bak putri dan pangeran. Senyum, setia menghiasi keduanya. Ada bahagia dan sedih bersamaan saat ini. Sukacita menyaksikan ibunda mendapat pelipur lara. Di sudut lain, hati tetaplah berduka. Dia yang dicinta entah di mana.
“Ay, bengong mulu. Kesambet tau rasa, Lo!”
Jonathan duduk di samping Ayda.
“Kunti juga gak mau ma gue, takut diajarin logaritma,” celoteh Ayda sekenanya. Disambut gelakan tawa Jo.
“Mulai sekarang panggil gue Kak Jo.”
“Weee! Siapa juga yang mau jadi adek, Lo!”
“Trus, mau jadi istri gue, gituh?”
“Apalagi, gak banget!” Jo menoyor kepala Ayda.
“Rese, Lo!”
“Weee!” Jo meleletkan lidah dan segera kabur sebelum diamuk Ayda.
Selepas resepsi pernikahan, pengantin langsung terbang ke Eropa untuk menikmati manisnya bulan madu.
Alex menatap Irma yang sedang mematut diri di depan cermin, bersiap hendak sarapan di restoran hotel tempat mereka menghabiskan indahnya kebersamaan. Kebahagiaan kedua yang baru saja direguk adalah anugerah Yang Maha Pengasih atas kesabaran hamba-Nya. Tak ada derita abadi di fananya dunia, karena kesenangan akan mengiringinya.
“Cantik.” Bisikan pria itu mampu menggetarkan seluruh ruang raga sang wanita. Keduanya bergandengan keluar dari peraduan.
Selepas sarapan mereka berjalan menyusuri pantai. Menikmati hamparan pasir putih, ombak berkejaran dan burung yang beterbangan. Sesekali air laut menyapu kaki saat sang ombak menepi.
Romantisme pasangan ini tak kalah oleh pasangan alay yang belum tentu halal. Meski usia bukan belasan, cinta tetaplah membara. Irma merasakan bahagia sesungguhnya. Masa lalu hanyalah sketsa buruk yang tak patut ditangisi lagi. Kerontang derita bertahun lamanya terbasuh hujan bahagia sekejap saja.
Selama ibu pergi berbulan madu ke Eropa, Ayda diharuskan tinggal di rumah keluarga Alexander sebelum pindah kost di sekitar kampus. Irma tak mengijinkan putrinya tinggal di rumah mereka lagi.
Saat awal memasuki rumah ini, Ayda tak mampu menyembunyikan kekagetan. Seumur hidup baru melihat hunian semegah itu. Penghuni rumah ini ramah padanya, hanya saja, semua anak Alex, laki-laki. Jadi, tetap saja tak punya saudara wanita.
Berada di kamar mewah dengan desain female yang sengaja disiapkan papi Alex, membuatnya betah berlama-lama. Deretan boneka terpajang rapi di lemari kaca. Cat merah muda mendominasi dindingnya.
Hidupnya bagai cinderella kini, segala kemewahan mengalir begitu saja. Alex tak membedakan Ayda dengan anak-anak kandungnya. Apalagi, keluarga ini tak punya anak perempuan. Makinlah berlimpah curahan kasih sayang.
Namun, segala kemewahan itu tak mampu mengobati lara. Dia tetap berduka. Ada yang kosong di sudut hati, separuh jiwanya pergi, entah kemana. Menyisakan luka yang makin menganga.
Fatur terus bermain di lingkaran hayalnya. Senyuman, canda tawa masih terekam sempurna. Tak pernah pergi dari jiwa.
Ayda membuka buku diary. Menoreh kata, merangkai rasa kerinduan teramat dalam.
In my heart you were the only
(Di hatiku engkaulah satu-satunya)
And your memory lives on
(Dan kenangan tentangmu kan abadi)
Why did you leave me
(Mengapa kau tinggalkan aku)
I have nothing … nothing … nothing if i don't have you.
(Tak ada yang kupunya … tak ada … tak ada jika tak kumiliki dirimu)
“Miss you ...!” Ayda membenamkan wajah ke atas bantal, menutup satu lagi ke kepala. Lalu menangis sejadi-jadinya.
***
“Ini teh manisnya, Nak.”
“Terima kasih, Pak!”
“Pengajiannya dimulai sepuluh menit lagi.”
“Iya, saya ke sana sebentar lagi.”
Pemuda berwajah pucat itu mencari kitab kuning yang akan dipelajari pagi ini di ruang belajar pondok pesantren Al Mukaromah. Udara dingin pegunungan membuatnya harus melapisi baju koko dengan jaket.
“Alloh mempunyai cara sendiri untuk menolong hamba-hamba-Nya. Tak ada yang sia-sia dari sebuah doa. Permintaan kita akan dikabulkan pada waktu yang tepat tentu saja.”
“Putus asa dari rahmat Alloh adalah kekufuran yang nyata. Saat ditimpa musibah, ingatlah kita itu lebih banyak bahagia daripada menderita.”
Tausiah kyai begitu menyentuh ruang akal dan hati para santri. Banyak dari mereka yang meneteskan airmata.
“Segala perkataan dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhir masa. Mati bukanlah akhir segalanya, dia hanyalah gerbang penantian untuk menuju kebahagiaan atau penderitaan sesungguhnya.”
“Yang harus ditakutkan bukanlah kematian itu sendiri, tapi khawatirlah apakah sudah cukup bekal kita di keabadian.”
Pengajian selesai pukul sembilan pagi. Para santri bergegas keluar untuk melanjutkan aktivitas masing-masing.
“Wah, antum hebat, udah kelar satu juz.”
“Hebat gimana, lambat gini.”
“Besok maulidan di kota, ikut tak?”
“Gak, saya mau habisin juz 29.”
“Beuh sayang banget, banyak santriwati cantik hehehe!”
“Kamu ini, mau cari ilmu apa cari jodoh?”
“Dua-duanya … hehehe!”
Ditengah asyiknya perbincangan, tiba-tiba di luar terdengar keributan. Kedua pemuda itu mengakhiri obrolan dan berlari menuju sumber kegaduhan. Mereka terkejut melihat seorang santri kejang-kejang.
Pria berkoko biru yang tertutup jaket hitam itu mendekati santri yang sedang kejang.
“Hai apa yang kau lakukan! Tunggu dokter saja!” Seseorang berusaha menghentikannya.
“Saya dokter!”
“Hah!”
Dengan meminta bantuan santri lain, sang dokter berhasil menangani pasien.
“Wah hebat!”
Karena kejadian itu, kepala pesantren memanggilnya. Mencoba mengorek keterangan perihal hidup pemuda yang mereka temukan pingsan di jalan menuju pesantren.
“Saya sakit, usia mungkin tak lama lagi. Saya ingin di sisa hidup menjadi lebih dekat dengan Alloh.”
“Saya bersedia membantu apapun sesuai keahlian yang dimiliki. Juga mengobati secara gratis jika ada sarananya.”
“Bagaimana dengan keluarga Nak Fatur. Orangtua, istri mungkin?”
“Akan lebih menyakitkan kalau mereka tahu.”
Fatur berdiri di atas bukit sekitar pesantren Al Mukaromah. Udara pegunungan mengibarkan syal yang melilit lehernya. Hamparan pohon hijau bak permadani raksasa terbentang sejauh mata memandang. Wajahnya semakin pucat menahan sakit yang terus menggerogoti tubuh. Kanker darah.
Pria itu duduk di rerumputan. Sejenak menghela nafas lalu menggoreskan pena di secarik kertas di antara selipan kitab kuningnya.
Ayda … maaf, mungkin inilah yang terbaik untuk kita. Saling mencinta tapi tak bisa bersama di dunia, entah di akhir sana. Garis takdir kita tidak searah.
Ayda … mungkin kau akan menangis, terluka, sakit juga menderita. Tapi percayalah suatu saat kau akan menemukan pengobat lara. Berbahagialah bersama takdir sesungguhnya.
Terima kasih untuk bahagia yang pernah kau berikan padaku … untuk senyuman … untuk canda tawa … untuk kebersamaan kita.
Satu tetes bening jatuh menyentuh punggung tangannya.
Selamanya aku akan mencintaimu … takkan hilang namamu dari hatiku … tidak terganti hingga berpulang nanti.
Kertas itu memburam, dipenuhi tetesan air yang terus berjatuhan.
Aku mencintaimu dengan raga, di tiap napas, sepenuh jiwa, dalam doa, sepanjang hidup … Aku mencintaimu dulu kini dan nanti.
Tataplah dunia, lanjutkan hidup, raihlah cita-cita.
Ayda … lupakan aku. Cerita kita telah usai.
Goodbye ...!
Fatur menelungkupkan wajah pada kedua lutut. Bahunya berguncang meluapkan kepedihan yang tak kunjung reda. Inilah garis takdir yang harus dijalani, mencintai tanpa bisa bersama.
***
Ayda memasuki gerbang kampus Universitas Indonesia. Impian yang telah ditorehkan jauh di lubuk hati, mulai menampakkan jalannya. Gadis itu merentangkan tangan ke atas mengucap hamdalah entah untuk ke berapa kali. Di hirup dalam-dalam udara yang tak sejuk itu.
Sang gadis melangkah pasti menyusuri koridor kampus menuju tempat perkumpulan mahasiswa baru. Sesekali tersenyum dan mengangguk pada siapapun yang hilir mudik di sana.
Kak Fatur… lihat, aku sedang melangkah menuju impian!
Langkahnya terhenti saat ada yang berdenyut di dada. Masih kuat rasa sakitnya. Terkadang menghimpit memalangi aliran udara.
Kau bilang mau mendampingiku meraih impian? Katanya akan menggenggam tanganku, melangkah bersama mewujudkan cita-cita!
Tanpa terasa luruhan airmata itu sudah jatuh menyentuh lantai koridor. Cepat-cepat disekanya. Sebelum melanjutkan langkah, dihela dulu udara kampus untuk menetralisir sesak yang mulai menggila.
“Ayda!”
“Aryo!”
Pria keturunan Yogyakarta itu setengah berlari menghampiri Ayda. Dengan napas tersengal mencoba menyejajari langkah pemilik mata bulat itu.
“Kamu ke sini juga?”
“Tadinya mau ke UGM, tapi … karena kamu kesini, aku berubah pikiran.”
“Ngapain juga ngikutin aku? gaje!”
“Aku pengen ngalahin kamu!” Aryo mengacungkan tangan ke atas.
“Jiah, lombanya dah beres, kali!”
“Ngalahin hati kamu juga boleh,” goda Aryo.
“Garing!” Aryo tergelak.
Setelah usai masa pengenalan kampus, gadis itu mulai menjalani perkuliahan. Jadwal kuliah dan praktikum yang padat memaksanya untuk bangkit dari keterpurukan. Di semester ini Ayda harus mengikuti mata kuliah biologi molekuler, biologi jaringan serta beberapa mata kuliah wajib lainnya.
Untuk semakin meminimalisir waktu senggang, Ayda terjun di organisasi kerohanian kampus. Selain mendapatkan tambahan ilmu Islam, juga mempererat ikatan ukhuwah yang makin terkikis oleh gaya hidup individualis.
“Kebahagiaan dan kesedihan di dunia ini tidak selamanya. Gak ada orang yang bahagia terus dan gak ada yang selalu menderita. Semua ada masanya. Jadi bagi yang lagi ada masalah, jangan terlalu larut. Ada Alloh yang siap membantu.”
“Alloh membersamakan kemudahan pada tiap kesulitan.” Kajian pertama dari kakak mentor mengalirkan kehangatan pada hati yang masih dingin.
Hatinya semakin tegar dengan motivasi yang selalu diberikan Jonathan. Meski beda fakultas, pemuda itu selalu menyempatkan diri menemui Ayda. Rasa sayang sebagai saudara semakin dalam saja. Canda tawa pemuda itu mampu menghibur di kala lara. Gadis itu serasa memiliki kakak sekaligus sahabat karib.
==========
#10b-
Fatur membantu puskesmas terdekat tanpa digaji. Juga membuka klinik kecil di lingkungan pesantren. Gratis dan terbuka untuk umum. Karena itu namanya menjadi terkenal. Terlebih isu ganteng dan jomblo, memicu makin meroketkan nama hingga sampai ke telinga orang-orang yang ditugaskan mencarinya.
Mereka berpura-pura menjadi pasien untuk memastikan bahwa pria itu memang yang sedang dicari. Setelah bertemu muka, yakinlah bahwa dialah most wanted itu. Tanpa lama, para intel itu melaporkan pada tuan dan nyonya.
Anggara dan Erika segera meluncur menuju pesantren Al Mukaromah. Agar tak mencolok, mereka memakai mobil SUV biasa. Kekhawatiran Fatur kembali kabur, membuat lebih berhati-hati.
Tuan dan nyonya itu diterima langsung oleh pimpinan pondok. Kyai Abdullah terkejut saat tahu bahwa mereka adalah orangtua Fatur, juga perihal perginya pemuda itu tanpa kabar.
Dengan wajah pucat, Fatur pulang ke pondok setelah seharian bertugas di puskesmas. Tanpa curiga dia masuk ke kamarnya. Pemuda itu tertegun saat melihat kedua orang yang dihindari, ada di depan sana.
Mami berlari memeluk, papi diam terpaku. Tangisan wanita itu meledak di dada putranya. Tiga bulan tak tahu kabar berita, sangat menyiksa.
“Kita pulang, ya.” Mami berusaha membujuknya.
“Untuk apa? Untuk menjalankan ambisi kalian? Aku bukan robot!”
“Fatur! Jangan keras kepala, kamu! Merepotkan saja!” Mami mendelik pada papi agar mulutnya diam.
“Umurku tak lama lagi, aku takkan merepotkanmu setelah ini.”
“Jangan ngomong sembarangan, kamu!”
Fatur mencari hasil lab biopsi miliknya. Diserahkan kertas itu pada mami. Seketika bergetar tubuh wanita itu. Papi mengambil dan bereaksi tak jauh beda dari mantan istrinya.
“Harapan kesembuhannya tipis.” ucap Fatur tanpa ekspresi. Mami meraung dipelukan putranya.
“Kamu gak boleh mati! Kita berobat ke rumah sakit terbaik di dunia! Kamu pasti sembuh!” Mami makin histeris.
“Untuk apa sembuh kalau toh jadi robot kembali. Kalian pulang saja, kalau aku meninggal baru datang lagi!”
Plak!
Mata papi berkilat memancarkan amarah dan kesedihan sekaligus.
“Anggara!” Mami tak kalah sengit berteriak pada mantan suaminya.
“Urus saja anakmu itu! Terserah kalau dia mau mati, aku tak peduli!”
Plak! Giliran mami menampar Anggara.
“Bajingan Kau!”
Tubuh tegap pria itu luruh bersama airmata yang langka dia jatuhkan. Keangkuhan dan kekerasan hatinya porak poranda bagai diterjang badai California. Dadanya laksana ditusuk ribuan jarum, sakit.
Fatur berdecak dan meninggalkan mereka. Baru berjalan beberapa langkah, tubuhnya ambruk.
“Fatuur ...!”
Pemuda itu dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan pertama. Wajahnya makin memucat, tubuh pun semakin tak berdaya.
Setelah pingsan seharian, dia siuman. Samar-samar terdengar isakan mami dan helaan napas papi. Fatur mengerjapkan mata, mengedarkan pandangan mencari sumber suara.
“Kamu sadar sayang.” Mami mengusap lembut rambut putra kesayangannya. Papi turut duduk di sampingnya, menggenggam tangan sang putra. Sesuatu yang telah lama dia tinggalkan.
“Mau, ya, berobat. Kita ke Singapura. Mami dan Papi akan lakukan yang terbaik untuk kesembuhanmu.”
Fatur menatap mereka bergantian dan menggeleng perlahan.
“Fatur.” Mami tak mampu membendung airmata sedang papi menatap nanar.
“Kau boleh benci kami, boleh menghukum kami. Tapi jangan begini caranya. Jangan biarkan kami sekarat melihatmu menderita meregang nyawa.” Suara mami sudah bercampur isakan memilukan hati.
“Aku minta maaf atas segala dosaku pada kalian. Keridoan kalian akan memudahkan jalanku ke surga. Sebagai bakti, aku akan mendoakan Mami dan Papi siang dan malam.”
Papi kembali meneteskan airmata. Kata-demi kata yang diucapkan Fatur bagai sayatan belati merajang hati.
“Harapan kalian memisahkan aku dan Ayda sudah tercapai. Bahkan untuk selamanya kami tak bisa bersama. Tolong, jangan mengusik gadis itu lagi, dia sudah cukup menderita.“
“Semoga perpisahan kami menjadikan kalian memaafkan ketidakmampuanku menjaga hati dari cinta Ayda. Mengampuni kesalahanku memilih dia.”
Mami makin tergugu. Papi sibuk menyeka airmata.
“Maafkan Fatur, Mih, Pih. Semoga Alloh mengampuni dan merahmati kalian.”
“Tolong berikan ini pada Ayda setelah aku tiada.” Pemuda itu mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya. Surat yang selalu dia bawa.
Mami meraung frustasi. Semua kata tak mampu lagi meluruhkan tekad baja putranya. Dia ingin menjalani takdir yang digariskan. Menjemput kematian yang telah divoniskan. Sebagai dokter, Fatur paham bahwa kecil kemungkinan untuk sembuh. Daripada menghabiskan waktu di ruang pesakitan, lebih baik menebar banyak kebaikan.
***
Tak ada satu mahluk pun yang mampu menangguhkan atau memajukan kematiannya. Dia itu pasti, mengintai kapan dan di mana pun. Bersembunyilah darinya jika kamu mampu! Sayangnya itu tak mungkin.
Kematian bukan akhir segalanya. Dia hanyalah pintu menuju bahagia atau derita abadi. Sudahkah anda memiliki bekal untuk keabadian di alam sana?
==========
#10b-
“Pucet amat, Lo. Sakit?” Aryo duduk di kursi samping kanan Ayda. Gadis itu hanya menggeleng.
“Nih! Mayan biar gak ngantuk!” Pria itu menyodorkan segenggam permen mint.
“Thanks.” Ayda mengambil dua buah. Aryo malah memberikan semua.
“Dokter Fatur lum ketemu?” Ayda membuang napas kasar. Setiap kali ada kesempatan, Aryo akan menanyakan hal yang sama. Entah apa maksudnya.
“Gue ke toilet dulu, ya.” Sejenak Ayda berdiri, dunia terasa menggelap, mata berkunang-kunang. Tubuhnya limbung.
Hups!
Sigap Aryo menangkap tubuh sang gadis. Samar-samar Ayda masih mendengar orang-orang memanggil namanya, dan semua menghilang.
Aryo menggendong Ayda menuju klinik kampus. Beberapa mahasiswi mengikuti. Lepas membaringkannya, pemuda itu menelpon Jo, namun tak aktif.
Pemuda itu menatap Ayda lekat. Tangannya tanpa sadar menyentuh wajah pucat itu, dingin. Gerakannya terhenti saat dia menyadari Jo tengah memperhatikan.
“Makasih udah nemenin, sekarang biar gue yang jaga!” ucap Jo ketus.
“Sorry gue gak bermaksud ….“
“Baiknya kita hormatin prinsip Ayda!” Aryo terhenyak mendengar ucapan ketus Jo. Dia mengakui barusan sedikit lepas kendali. Tak enak dengan situasi ini, pemuda itu bergegas pergi.
Setelah siuman dan kuat berjalan, Jo membawa Ayda pulang.
“Ngerepotin aja, Lo. Kata gue juga istirahat gak usah masuk.” Ayda mengerucutkan bibir saat mendengarkan petuah panjang saudara tirinya.
“Udah?”
“Dodol, dikasih tahu malah melotot, keknya klo gue jadi laki lo, bakal koit.” Jo menepuk kerudung Ayda.
“Ish, rese!” Jo terkekeh.
“Lo jangan terlalu deket ma Aryo.” Kali ini Jo membuang pandangan keluar jendela mobil. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing sampai memasuki pelataran rumah keluarga Kim.
“Ibu tahu kamu masih sedih. Tapi, jangan menyiksa tubuh begini, Ay.” Ayda langsung menuju kamar diiringi ibu. Di kasur Irma menangkupkan tangan di pipi Ayda.
“Aku cuma lelah, Bu.” Ayda memegang tangan Ibu.
“Tidurlah, supaya besok pulih.” Alex yang masih belum masuk kantor karena belum fit, mengelus rambut Ayda lembut.
“Iya, Pih.” Sinar mata Alex seakan mentari pagi yang selalu menghangatkan hati yang rindu kasih seorang ayah.
Pagi hari, seperti biasa mereka sarapan bersama sebelum terjun pada aktivitas masing-masing. Ruang makan dipenuhi canda tawa Jo dan saudara-saudaranya. Ditengah keasyikan makan, salah satu asisten rumah mereka datang memberitahu ada tamu yang mencari Ayda.
Gadis itu bergegas menuju ruang tamu. Mata membulat, degup jantung pun mengencang saat melihat wanita yang pagi-pagi datang bertandang.
“Ayda, ada yang harus tante bicarakan.”
“Iya, Tante.”
Ayda dan Erika duduk berhadapan. Keduanya terjeda dalam diam. Meski seribu tanya menyerbu pikiran, dia cukup tahu diri untuk tak memulai percakapan.
Mami menyodorkan kertas hasil lab biopsi Fatur. Meski heran, Ayda mengambilnya. Mulut ternganga demi melihat apa yang tertera di sana.
“Kanker darah? Kak Fatur? Apa benar, Tante?” Nafas Ayda memburu, jantungnya makin berdegup tak beraturan.
Erika tak menjawab, tangannya sibuk menyeka airmata. Satu lagi disodorkan surat dari Fatur. Ayda membaca dengan tangisan yang membasahi lembaran putih itu. Tangannya bergetar hingga benda tersebut jatuh.
“Kak Fatur ….“
“Ayda, tolong Fatur.” Mami bicara terbata-bata.
“Dia tak mau berobat. Fatur ingin menjalani takdir kematiannya.” Erika bangkit menghambur memeluk Ayda, menangis sejadinya. Keangkuhan dan keegoisan menghilang entah kemana. Di benaknya hanya ada satu hal. Kesembuhan sang putra. Sejatinya uang pangkat, kehormatan tak kan mampu menolong nyawa manusia.
“Tante ….” Ayda menutup mulut dengan tangan kanan. Airmata berlomba jatuh dari pelupuknya.
Ibu dan papi tak kalah kaget saat mengetahui siapa yang datang, terlebih berita yang dibawanya.
“Izinkan saya membawa Ayda,” pinta Erika pada Alex dan Irma.
“Kami ikut serta.” ucap Alex.
Tanpa lama, mereka berempat pergi ke Pesantren Al Mukaromah. Membutuhkan waktu enam jam untuk sampai ke sana. Perjalanan terasa begitu lama dan berat bagi keempat orang itu. Mereka berpacu dengan nyawa seseorang yang sangat dicinta.
Akhirnya sampai juga di pesantren itu. Keempatnya disambut hangat oleh para pengurus yang kesemuanya adalah lelaki. Jantung Ayda terus memacu seiring derap langkah yang makin mendekati kamar pria yang sangat dirindui.
Pintu kamar terbuka. Pandangannya bertemu dengan tatapan sayu sang pemuda yang duduk bersandar di atas ranjang sederhana. Mulut pria itu ternganga.
Satu langkah … dua langkah gadis itu mendekati pria yang terlihat tanpa daya.
“Ayda ….”
“Kak Fatur ….”
Hatinya bagai diiris sembilu menyaksikan Fatur terduduk lemah. Tak ada ceria, apalagi tawa. Keduanya bertatapan dalam diam. Helaan demi helaan terdengar menyedihkan. Airmata mulai meluruh bagai rinai di musim penghujan.
“Kenapa pergi?”
“Kenapa meninggalkan aku?”
“Jawab!”
Suara Ayda serak berpadu tangisan. Fatur memalingkan pandangan. Setetes dua tetes mulai berjatuhan.
“Katamu mau menikahiku setelah lulus! Kau bohong!”
“Katamu mau mendampingiku mewujudkan impian! Mengapa menghilang?”
Fatur membiarkan air terus membasahi pipi. Hati luluh lantak merasakan luapan emosi gadis yang sangat dicintai.
“Tiap hari aku menunggumu! Menunggumu kau tahu! Menunggumu!” Ayda histeris, tubuhnya luruh ke lantai, tergugu pilu di tepi ranjang.
“Maaf …,” desis Fatur. Keduanya menangisi keadaan yang terus melukai.
“Aku sakit … aku akan mati … aku tak bisa menikahimu, pergilah!”
Tangisan Ayda makin menjadi. Bahunya berguncang keras menandakan tekanan yang teramat dalam.
“Tidak mau! Aku tidak akan pergi!” Gadis itu mendongakkan kepala. Menatap tajam dalam uraian airmata. Fatur terbelalak.
“Aku akan di sini mati bersamamu! Aku akan berhenti kuliah. Aku takkan mencari ayah!”
“Jangan bodoh! Jalan hidupmu masih panjang. Aku tak bisa memberi apapun selain kesusahan.”
“Aku tak bisa menjalaninya sendiri. Aku mau sama kamu!” Ayda menantang mata Fatur. Kekerasan tabiatnya tak kan luluh oleh hardikan apapun. Pemuda itu harus diruntuhkan.
Fatur berdecak, menghempaskan nafas kasar. Kaki dijuntaikan ke lantai. Tangannya hendak meraih wajah Ayda. Namun, tertahan di udara.
“Pulanglah. Lupakan aku dan semua kenangan kita. Anggap semua tak pernah terjadi.”
Ayda menatap tajam pada pria di depannya. Kilatan mata makin benderang. Menghujam menembus ruang kesadaran.
“Melupakan semuanya katamu? Melupakan! Mari mati bersama!”
“Ayda …!” Fatur mencengkram besi ranjang.
“Cukup! Aku tak mau dengar! Kalau tak bisa hidup denganmu, maka, aku akan mati bersamamu, titik!“
Fatur mengacak rambutnya frustasi. Sorot matanya melembut.
“Apa maumu?” tanyanya.
“Kita menikah dan berjuang bersama untuk kesembuhan. Untuk masa depan!”
“Ayda, itu tak mungkin. Kau akan jadi janda di usia belia.”
“Apa kau Tuhan? Berani menggariskan masa depan!” Fatur terdiam. Sudah habis kata-katanya untuk membantah Ayda.
“Kak Fatur … dalam diaryku tertulis di baris terakhir ‘Aku ingin menikah dengan seorang dokter’, kau ingat, kan? Kalau kau mati, maka impian itu tinggal impian.”
Keduanya bertatapan dalam diam. Mencoba mencari apa yang hilang, keyakinan. Mencoba mengais serpihan cinta yang terserak. Ada harapan di bola mata itu.
Air mata Erika berderaian, Ayda adalah harapan terakhirnya. Siapa sangka, gadis yang paling dibenci kini jadi topangan terakhir hidup dan mati. Lutut bergetar hebat, tiba-tiba semua gelap. Kelelahan lahir batin menjatuhkan raganya ke lantai.
Fatur membelai wajah ibundanya. Garis lelah nampak jelas di sana. Segala kebencian pada wanita ini, sirna begitu saja. Peristiwa ini telah mengungkap kasih yang lama terkubur keangkuhan.
“Sayang, maafkan mami.” Fatur mengusap airmata wanita yang telah melahirkannya.
“Kamu harus sembuh untuk mami, untuk papi, untuk Ayda, gadis pilihan hatimu. Mama ikhlas kalau kalian bersama.” Erika bangkit, menangkupkan kedua tangan di pipi putranya. Keduanya berpelukan dalam tangis mengharu biru. .
Anggara datang, tergopoh memasuki kamar. Melihat mantan istri dan putranya berpelukan, pria itu mendekati mereka. Dia merangkul Fatur dari belakang, ikut larut dalam kepedihan.
“Maafkan Papi ….”
“Tak ada yang tak mungkin bagi Alloh Pemilik Jagat Raya. Meski bagi kita harapan kesembuhan itu hanya 1%, bagi-Nya bisa menjadi 100%. Alloh mudah saja membelahkan lautan untuk kaum Nabi Musa, bukan? Tak sulit Alloh menyelamatkan kaum Nabi Nuh dari banjir dahsyat yang menenggelamkan satu negeri.” Kyai datang menemui Fatur, mencoba memberi motivasi.
“Berjuanglah Nak Fatur. Alloh lebih menyukai hamba-Nya yang kuat daripada yang lemah. Jika sehat kembali, jalan menebar kebaikan menjadi lebih terbentang, bukan?” Keduanya berpelukan erat.
Fatur setuju untuk berobat ke Singapura. Ayda meminta pernikahan mereka dilaksanakan hari ini juga. Meski pemuda itu menolak dengan alasan belum jelas proyeksi kesembuhan, gadis itu memaksa dengan alasan agar tak terhalang merawatnya.
Pemuda itu kalah dibawah kekuatan tekad sang gadis. Akad nikah mereka diselenggarakan dengan wali hakim dari petugas KUA setempat. Erika melepaskan cincin berlian untuk dijadikan mahar pernikahan.
Fatur mengucapkan ijab kabul dengan menahan sakit yang terus mendera. Hamdalah terucap saat janji itu telah terlantunkan. Kini keduanya resmi menjadi suami istri.
Selepas akad, Fatur kembali pingsan. Kali kedua, dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ayda berusaha menegarkan jiwa bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi pada suaminya.
Selepas sholat di mushola rumah sakit, Ayda sejenak memandangi kilauan perak di kelamnya malam. Hembusan angin malam membelai lembut kerudung. Setelah menghela nafas, bergegas menuju ruang rawat suaminya kembali.
Dengan dada berdesir, perlahan mendekati suaminya yang terbaring tenang. Besok rencananya mereka akan terbang ke Singapura. Anggara langsung mengurusi administrasi perawatan Fatur di sana.
Untuk pertama kali, Ayda menyentuh tangan pemuda yang sangat dicintai. Menciumnya berulang. Berlanjut membelai wajah dan rambut. Satu dua tetes air berjatuhan.
“Kak Fatur, ayo kita berjuang sampai Alloh memberi keputusan.” Ayda menelungkupkan wajah di samping tangan sang suami. Menangis perlahan.
Erika memasuki ruangan, mendekati menantu barunya.
“Ayda, makan dulu, kamu harus jaga kesehatan supaya bisa merawat Fatur.”
“Saya gak laper, Tante.”
“Kalau kamu sakit, Fatur akan kehilangan semangat kembali. Bukankah kalian ingin bersama-sama. Sana makan dulu. Biar tante yang jaga.”
“Iya Tante.” Meski enggan, Ayda menuruti juga perintah Erika.
“Ayda, terima kasih, ya.” Ayda tersenyum dan bergegas keluar ruangan.
Selepas makan, Ayda kembali ke ruangan. Saking lelah, gadis cantik itu segera terlelap di kursi tunggu dengan wajah ditelungkupkan di sisi tangan Fatur. Dia terbangun saat merasakan sentuhan di pipi dan kepalanya. Ayda mendongakkan kepala, selarik senyum terukir di bibir suaminya.
“Tolong bantu aku duduk,” ucap Fatur perlahan. Ayda mencari alat untuk mengubah ranjang ke posisi agak tegak.
“Sini.” Fatur memberi isyarat agar Ayda duduk di sampingnya.
“Boleh peluk, kan?” bisiknya mesra. Seketika rona merah menerpa wajah Ayda. Fatur menyandarkan kepala sang istri di dadanya. Mengelus kepala dan punggung bergantian.
Hening ….
Detak jantung mulai tak beraturan. Bunga-bunga cinta itu kembali bermekaran. Lebih indah dan memabukkan.
“Ay sayang, malam pertamanya gak bisa sekarang, ya. Jangan ngambek,” canda Fatur.
“Kak Fatur apa sih!” Ditepuk perlahan dada tempatnya bersandar. Terdengar tawa bahagia meski perlahan.
“Kalau cium, masih bisa, kok. Mau?” Wajah Ayda makin menghangat. Fatur melepas pelukan perlahan, membawa wajah gadis itu ke dekatnya.
Ceklek!
“Aduh, maaf, ibu ganggu, ya. Lanjutkan saja dulu.” Irma mengerling nakal dan segera menutup pintu.
Huaaa maluuu!
Fatur tertawa cukup keras. Ayda memukul dadanya perlahan, mereka pun berpelukan.
Pagi hari, gadis itu membantu suami membersihkan diri dan berganti pakaian. Setengah mati menekan rasa malu dan gugup saat melakukan prosesi itu. Ditambah sikap Fatur yang selalu menggodanya, makin saja dia belingsatan.
“Terpesona, ya?” Fatur mencolek hidung Ayda.
“Wee!”
“Mau? Nanti, ya kalau aku udah kuat.” Fatur tergelak melihat sikap istri yang malu tiada tara.
“Udah, ah makannya, kenyang.” Selesai prosesi berpakaian, Ayda dengan telaten menyuapinya.
“Diih, pokoknya wajib habis. Ayo, aaaa!”
Fatur terpaksa membuka mulut kembali daripada diamuk sang putri.
Sebelum keberangkatan ke Singapura, Fatur meminta mengunjungi pesantren terakhir kali untuk berpamitan dengan seluruh penghuninya.
“Semoga Alloh mengangkat penyakit Nak Fatur, semoga pernikahannya sakinah mawaddah warohmah.” Kyai memeluk Fatur erat.
Peluk tangis, ucap pisah memenuhi pondok.
“Dokter, aku pasti akan merindukanmu. Syafakallah akhi.”
“Aamiin, jazakallah.“
“Pantesan gak nyari santriwati, udah punya toh. Cuantik hehehe!”
Fatur mengajak Ayda ke bukit di belakang pondok. Menikmati sejuknya udara pagi pegunungan. Keduanya duduk di rerumputan. Pemuda itu memeluk istrinya dari belakang. Wajah diletakkan pada pundak wanita tercinta. Berbincang hangat, diselingi canda tawa. Kebahagiaan yang sempat hilang, kembali mengalir ke seluruh ruang raga.
“Ay sayang, jika aku tak sembuh lalu berpulang, kamu harus janji untuk tetap melanjutkan hidup, meraih semua impian.”
Deg!
“Kamu harus menikah lagi, punya anak, punya cucu. Kamu harus jadi dokter, harus membangun rumah sakit. Kamu harus bertemu ayah, tanyakan padanya kenapa tak kembali.”
Ayda membalikkan badan, membenamkan kepala di dada suami tersayang. Sesenggukan.
“Kak Fatur akan sembuh, kita akan punya anak, punya cucu, menua bersama.”
“Kak Fatur akan berdiri di sampingku saat wisuda. Kita bangun rumah sakit bersama. Kita temui ayah.”
Fatur melepaskan pelukan, mengusap airmata Ayda. Menatapnya dalam-dalam. Mengecup bibirnya perlahan.
“Aku mau sembuh, aku mau bersamamu sekarang dan selamanya.”
“Love you ....”
Meski kesembuhan masih menjadi pertaruhan, harapan itu tetap terbentang. Manusia hanya berupaya, Alloh juga yang menentukan segalanya. Fatur dan Ayda terbang ke Singapura menjalani ikhtiar untuk menjemput sebuah impian.
(END)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel