Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 29 Oktober 2021

Madu Pahit #1

Cerita Bersambung
Oleh: Euis AsSaeri

Selepas sholat isya ponselku berbunyi, rupanya ada pesan masuk dari Mbak Ratih, dia mengabarkan bahwa rombongan pengantin sedang dalam perjalanan menuju rumahku. Jantungku semakin berdebar, aku kembali berdiri di depan meja riasku yang sejak tadi terus ku hampiri. Berusaha meyakinkan bahwa tampilanku baik baik saja, walau hanya dengan balutan baju dan make up seadanya.

Tidak sampai 10 menit rombongan pengantin priapun benar benar datang. Aku melihat Mas Tedi calon suamiku, yang tangannya di gandeng oleh Mbak Ratih, istrinya. Ya, calon kakak maduku.
Aku juga melihat Ibunya Mas Tedi, yang biasa mereka panggil Umi. Di sana juga ada Mbak Yana dan Mbak Aira, yang merupakan Kakak Mas Tedi.

Sementara aku duduk di dampingi keluargaku, ada Mas Andra kakak laki lakiku, yang sudah bersiap untuk menjadi wali nikahku. Dan di sebrang tempat dudukku ada Zaki, anak laki laki berusia 10 tahun, buah cintaku dengan Mas Andi, laki laki hebat yang sudah Alloh ambil dariku untuk selamanya.

Zaki duduk di apit oleh Kakek dan Neneknya, tentunya bukan orang tuaku karena aku yatim piatu, mereka adalah orang tua Mas Andi, yang sampai saat ini masih setia membantu kehidupanku dan juga Zaki.
***

Ijab qabulpun di mulai, kami menikah secara resmi menurut hukum Agama juga Negara, semua sudah di atur oleh Mbak Ratih. Saat aku melihat tangan Mas Andra menjabat tangan Mas Tedi, seketika dadaku bergemuruh, kerongkongan serasa tercekik, air matapun menyeruak menerobos pertahanan.

Ada gejolak dahsyat di dalam hatiku, kenapa aku harus mau memenuhi permintaan Mbak Ratih untuk menikah dengan Mas Tedi? Sedangkan aku tidak tau seperti apa perasaan Mas Tedi kepadaku. Untuk membandingkan diriku saja dengan Mbak Ratih aku sudah tak sanggup, apa lagi bila harus mensejajarkan diri sebagai istri Mas Tedi.

Batinku seolah menjerit, saat para saksi mengucapkan kata 'SAH', ingin rasanya ku batalkan semua ini karena ternyata aku tak siap. Tapi apa dayaku? Semua sudah terjadi, air mataku pecah, lidahku terasa kelu, aku tidak tau perasaan apa yang menghinggapiku saat ini. Aku menyeka air mataku, berusaha terlihat baik baik saja di depan semuanya.

Aku melirik ke arah Mas Tedi, ekspresinya datar, aku tidak tau dia sedih, marah, atau bahagia. Akupun melihat ke arah Mbak Ratih, dia wanita dewasa yang begitu cantik, walau usianya 10 tahun lebih tua dariku, tapi penampilannya justru terlihat lebih muda dariku. Dengan tubuh tinggi, langsing, dan kulit wajahnya yang mulus, aku merasa semakin tak ada apa apanya di banding Mbak Ratih, bagaikan langit dan dasar sumur.

Setelah selesai menyantap hidangan sederhana yang di sajikan keluargaku, para kerabat yang datang mulai beranjak pulang, lalu datang Zaki menghampiriku.

"Bunda, Zaki ikut pulang ke rumah Nenek ya" pintanya sambil memeluk pinggangku.

Aku menatap lekat wajah yang selalu mengingatkanku pada sosok Mas Andi.

"Iya sayang" jawabku mengabulkan permintaannya.
"Ibu yang mengajaknya ikut, biarlah sementara waktu Zaki bersama ibu, biar tidak mengganggu Bundanya yang lagi jadi pengantin baru". Ucapan dari Ibu Mas Andi, yang cukup menarik perhatian anggota keluarga yang masih ada.

Detik kemudian Ibu memelukku, seolah memberi selamat, tapi aku merasa tak layak mendapat ucapan selamat. Ingin rasanya ku pecahkan tangis di pelukannya, tapi hanya akan memperburuk keadaanku. Zakipun pamit bersama Kakek dan Neneknya. Keluarga dekatpun sudah tidak terlihat, setelah mereka selesai membereskan sisa makanan dan piring kotor.

Di sudut ruangan masih ada Mbak Ratih, duduk dengan Ibu mertuanya, yang kini sudah menjadi Ibu mertuaku juga. Ada juga Mbak Yana,  Mbak Aira dan suami mereka. Semuanya berpamitan, dan memberikan ucapan selamat kepadaku juga Mas Tedi. Kemudian Mbak Ratih menghampiriku, dia memelukku.

"Titip Mas Tedi ya, semoga dia bisa bahagiain kamu. Jagain dia ya" ucap Mbak Ratih lirih.
"Ngapain minta di jagain sih Mbak, besok atau lusa juga Mbak udah ketemu lagi sama Mas Tedi" pungkasku berusaha mencairkan kekakuan. Mbak Ratih mengernyitkan dahinya.

"Mbak gak akan ganggu pengantin baru. Nanti kalo Mas Tedi sudah seminggu di sini, baru Mbak ambil alih" candanya sambil melepas pelukannya dariku. Kamipun tertawa kecil.

Mbak Ratih aku tau pasti ada luka di hatinya, tapi dia berusaha menutupi itu. Wanita mana yang rela melihat suaminya bersanding dengan wanita lain, walaupun wanitanya hanya seperti aku.

Sekitar 2 bulan yang lalu, dia memintaku untuk menjadi madunya, aku kaget dan merasa tak perlu memenuhi permintaannya, tapi dia berhasil meyakinkanku, karena dia tidak bisa memberi keturunan kepada Mas Tedi. Gadis yang selama ini ku kira sebagai anak Mbak Ratih, ternyata itu adalah anak dari kerabatnya yang sengaja dia rawat. Dan sepengetahuanku, saat inipun kondisi kesehatan Mbak Ratih memang tidak begitu baik.

Sekarang tinggal tersisa aku dan Mas Tedi di sini,  di rumahku, rumah tua warisan orang tuaku. Wajahku terasa panas, dadaku berdebar kencang, entah apa yang harus kulakukan, aku benar benar gugup. Ku coba menarik nafas dan melepaskannya perlahan untuk menenangkan batinku.

"Avi" dia memanggil namaku.
"Iya Mas" jawabku gugup.
"Aku mau ke kamar mandi, di sebelah mana?"
"Di sana" aku menunjuk ke pojok kiri.

Dia membuka Jas hitamnya, dan meletakannya asal, kemudian beranjak ke kamar mandi. Akupun segera mengemas Jas Mas Tedi, juga koper kecil yang berisi baju gantinya, ku letakan di atas meja rias di kamarku. Secepatnya ku ganti bajuku dengan baju tidur terbaik yang ku miliki,walaupun hanya baju piyama merah muda bergambar Hello Kitty, yang ku beli dengan harga 70 ribu dari pasar dekat tempat tinggalku.

Tak sampai 5 menit, Mas Tedi sudah keluar dari kamar mandi, aku merasa canggung dan malu, karena ini pertama kali aku tampil di hadapannya tanpa jilbab. Dia melihat ke arahku heran, tapi tetap dengan ekspresi datar.

Dulu sebelum Mbak Ratih memintanya menikahiku, dia ramah padaku, sama seperti sikapnya kepada orang lain. Tapi setelah aku menyatakan siap memenuhi permintaan Mbak Ratih untuk menikah dengannya, seketika sikapnyapun berubah kepadaku.

"Di mana baju gantiku?"
"Itu Mas, saya simpan di atas meja rias" ku tunjuk tempat koper kecil itu berada.

Entahlah, aku merasa kikuk dan salah tingkah. Sementara Mas Tedi memilih bajunya, aku membaringkan tubuhku di tempat tidur, di sisi kiri dekat tembok, dan memberi ruang untuk Mas Tedi di sebelah kananku.

Aku melihat Mas Tedi membuka kemejanya, kemudian menggantinya dengan kaos tipis berwarna Cokelat, dengan gambar siluet laki laki yang sedang memanjat tebing, tak ku pungkiri ada desiran halus di hatiku.
Kemudian dia merebahkan tubuhnya di sampingku. Sementara tubuhku terlentang kaku, mataku masih terbuka lebar, mengharap sesuatu yang sewajarnya terjadi di malam pertama sebuah pernikahan.

Tak lama berselang, ku dengar dengkuran halus dari sebelahku. Ah, rupanya dia sudah tertidur. Ku palingkan tubuhku menghadap tembok, membelakangi Mas Tedi, menghela nafas panjang, dan mengeluarkannya perlahan, meringankan beban yang menekan berat di dadaku, tak terasa ada bulir bening dari sudut mataku, mengalir lembut membasahi bantal.

Tidakkah dia iba padaku, yang sudah 5 tahun hidup tanpa sentuhan cinta dari seorang pria. Lalu apa artinya pernikahan ini?  Bukankah Mbak Ratih sendiri yang mengatakan bahwa salah satu alasannya memintaku menikah dengan Mas Tedi adalah karena dia tak lagi sempurna dalam melayani Mas Tedi. Tapi kenapa Mas Tedi tak menginginkanku?
***

Malampun berlalu, ku lewati malam ke 2, ke 3, dan ke 4 masih dengan sikap datarnya, dan tanpa sentuhannya. Selepas sholat subuh, tiba tiba ponselku bergetar, rupanya ada pesan dari Mbak Ratih.

[Assalamu alaikum Vi]
[Wa alaikum salam Mbak]~aku
[Vi, buku materi mengajar Mbak, ada yang terbawa di koper bajunya Mas Tedi.
Boleh Mbak ke rumah kamu pagi ini]
[Tentu Mbak, kenapa harus minta izin segala]~aku
[Kan Mbak gak mau ganggu penganti baru]

Mbak Ratih adalah seorang guru di sebuah SMP di dekat rumahnya. Jika di lihat sekilas dia amat sempurna, tubuh yang proporsional, wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, walaupun usianya sudah hampir kepala 4, tapi dia masih terlihat menarik. Tapi di balik kecantikannya yang memikat, Alloh telah mengambil salah satu bentuk kesempurnaan seorang wanita darinya, Mbak Ratih tidak bisa memiliki anak.
Setelah 5 tahun menikah dengan Mas Tedi, rahimnya terpaksa harus di angkat karena penyakit Kanker. Dan sampai saat inipun Mbak Ratih sering kali sakit sakitan.

Waktu sudah lebih dari pukul 6 pagi, aku mendengar suara salam dari luar.

"Assalamu alaikum!"

Segera aku berlari menghampiri pintu dan membukanya.

"Waalaikum salam, ayo masuk Mbak" ajakku pada Mbak Ratih.
"Maaf nih Mbak jadi ganggu" ucapnya.
"Gak apa apa Mbak, saya malah seneng Mbak ke sini" jawabku.

Mbak Ratih yang berjalan di sampingku menoleh ke arah rambutku, kemudian menajamkan tatapannya. Akupun merasa heran.

"Kenapa Mbak? Rambut saya jelek ya? Apa kelihatan kusam?" tanyaku, sambil ku pegang dan ku lirik ujung rambutku.

"Kamu gak abis keramas Vi?" pertanyaannya seolah menyelidikku.
Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.

"Tapi dari setelah menikah Mas Tedi nyentuh kamu kan?" desaknya sambil mempertajam tatapannya kepadaku.

Wajahku serasa memanas, tidak tau harus menjawab apa. Aku hanya diam dan tertunduk, tidak ada kata yang bisa ku ucapkan.

==========

"Tapi dari setelah menikah Mas Tedi nyentuh kamu kan?" desaknya sambil mempertajam tatapannya ke arahku.

Wajahku serasa memanas, tidak tau harus menjawab apa, aku hanya diam dan tertunduk, tidak ada kata yang bisa ku ucapkan.

"Mama..." tiba tiba kami di kejutkan oleh suara Mas Tedi yang baru keluar dari kamar mandi.

Dia terlihat sumringah melihat kedatangan Mbak Ratih. Dia berjalan menghampiri kami, lebih tepatnya menghampiri Mbak Ratih, kemudian mengulurkan tangan kanannya, yang di sambut ciuman di punggung tangannya oleh Mbak Ratih. Mas Tedi mengulum senyum, tangan kirinya memegang pundak Mbak Ratih.

"Mama ada apa ke sini? Kangen sama Papa ya? Candaan yang begitu renyah, di iringi dengan senyum cemerlang ia persembahkan pada Mbak Ratih.
"Atau Mama mau jemput Papa?".

Entahlah, tapi melihat semua ini dadaku terasa sesak, tenggorokanku terasa kaku, dan telingaku terasa panas. Cemburu? Pantaskah aku cemburu? Tapi bila aku tidak berhak cemburu, lalu untuk apa aku di nikahi?

Mbak Ratih melirikku, sepertinya dia merasa tidak enek kepadaku. Dia kemudian menepis tangan Mas Tedi dari pundaknya.

"Apaan sih Pa, Mama ke sini cuma mau ngambil buku materi buat ngajar, yang terbawa di koper baju Papa" ucapnya tegas.
"Bisa kamu ambilkan gak Vi?" pintanya kepadaku.
"Iya Mbak" aku bergegas mengambil buku yang di maksud Mbak Ratih dari koper yang ada di kamarku. Dan akupun segera kembali untuk memberikannya.

"Mama pulangnya Papa anter ya?" ucap Mas Tedi, dengan tatapan yang begitu manis pada Mbak Ratih.
"Gak usah Pa, Mama bisa naik ojeg kok" tolak Mbak Ratih.

Aku berusaha terlibat dalam pembicaraan "Mbak kan mau ngajar, mending di anterin Mas Tedi pake motor biar gak telat, kalo pake ojeg suka lama nyarinya" ucapku meyakinkan.

Mbak Ratih terlihat berpikir, kemudian melihat ke arahku juga ke arah Mas Tedi. Ku rasa ada sesuatu dalam tatapannya.

"Ya sudah, boleh deh. Sekalian ada yang mau Mama omongin sama Papa" ucapnya dengan mata tajam menatap Mas Tedi.

Aku mengernyitkan dahi, merasa heran. Ada apa? Sepertinya serius.

Lalu ku ambil kunci motorku, dan ku berikan pada Mas Tedi. Ya motorku, motor tua yang biasa ku pakai untuk mengantarkan kue kue basah buatanku, yang ku titip di warung besar milik Mas Tedi. Di sanalah kami bertemu, aku, Mas Tedi, dan Mbak Ratih. Hampir setiap hari aku ke sana mengantar kue, berbincang dengan mereka, dan sering kali Mbak Ratih mengajakku ke rumahnya, untuk sekedar ngopi atau masak bersama. Bahkan ketika sakitnya kambuh, aku selalu datang untuk membantu pekerjaan rumah dan merawatnya.

Waktu sudah pukul 8 pagi, aku sudah selesai membuat sarapan untuk Mas Tedi, tapi dia belum kunjung datang. Jika hanya mengantar Mbak Ratih, kenapa lama sekali? Padahal jarak dari rumahku ke rumah Mbak Ratih hanya selang 2 desa,  dan itupun tidak terlalu jauh.
Tapi sudahlah, aku selalu merasa tak berhak untuk berharap banyak.

Tak berapa lama aku mendengar suara pintu di buka, rupanya Mas Tedi sudah kembali, tanpa salam, dan dengan wajah datarnya. Dia menghampiriku di meja makan, ku geser kursi untuk tempat duduknya, setelah melihat Mas Tedi duduk di kursi yang ku sediakan, aku segera berdiri mengambil Nasi Goreng yang ku buat untuknya, semua kami lakukan dengan sewajarnya, tapi tanpa kehangatan, tanpa tatapan manis seperti yang dia berikan pada Mbak Ratih.

Semua masakan yang ku sajikan selalu dia makan, mungkin karena dia memang sudah terbiasa dengan masakanku, yang sering ku bawa ke rumahnya tiap kali Mbak Ratih sakit.
Hanya suara piring dan sendok yang beradu mengiringi sarapan pagi kami.

"Tadi kamu sama Ratih ngomongin apa?" Tanya Mas Tedi, membuka percakapan.
"Tidak ada" aku menggelengkan kepala.
"Dia gak nanyain apa apa ke kamu?" dia menoleh sekilas ke arahku.
"Atau kamu yang cerita aneh aneh ke dia?" tuduhnya dengan wajah yang tetap datar.
Aku menekuk alis, merasa tak nyaman dengan tuduhan itu.

"Aku gak cerita apa apa, Mbak Ratih cuma nanya, kenapa rambut aku kering pagi ini" jawabku sedikit berbohong.
"Terus kamu jawab apa?" tanyanya penasaran.
"Aku gak jawab apa apa, tadi Mas keburu keluar dari kamar mandi".

Dia hanya melirik ke arahku dan kembali melanjutkan sarapan. Ah, aku benci situasi ini, andai aku bisa memutar waktu kembali, aku pasti akan menolak pernikahan ini.

"Vi, hari ini aku mau buka warung lagi. Aku boleh pake motor kamu?" kali ini dia menatapku lebih lama.
"Oh ya, pake saja Mas" ku jawab seperlunya.

Aku merasa menjadi orang lain, ini bukan diriku, aku tak pernah sedatar ini dalam bersikap. Tapi tak mungkin bila aku harus bersikap manis dan sok manja, sementara Mas Tedi sendiri seolah tak suka dengan diriku.

Aku menjalani pagi seperti biasanya, selesai sarapan dengan Mas Tedi, aku mencuci piring,  membereskan rumah, dan mencuci pakaian. Sementara Mas Tedi, dia pergi ke warungnya, dekat tempat tinggalnya dengan Mbak Ratih.
Tapi terasa ada yang hilang dari hari hariku. Zaki, putra tunggalku, sudah 4 hari dia di rumah Neneknya, ingin sekali aku segera menjemputnya, tapi motorku di bawa Mas Tedi.

Ketika hari menjelang petang, aku mendengar suara motor berhenti di halaman rumahku, rupanya Mas Tedi sudah pulang. Aku pikir dia akan langsung menginap di rumah Mbak Ratih.

"Assalamu alaikum" ucapnya saat membuka pintu.
"Waalaikum salam" aku terperangah, mendengar salam yang belum pernah dia ucapkan kepadaku sebelumnya. Dia menghampiriku.

"Vi, aku mau mandi, tapi sore ini rasanya dingin sekali" dia menuangkan air dari gelas yang baru saja dia ambil "Bisa kamu siapkan air panas untukku" pintanya, masih tetap datar.
"Iya Mas" aku segera ke dapur menyiapkan air panas untuk Mas Tedi.

Aku merasa aneh, sikapnya sedikit berbeda, walau masih tetap datar, tapi tidak biasanya dia meminta bantuanku, dia justru selalu menghindari hal hal yang bisa membuatnya butuh bantuanku. Tapi sudahlah aku tidak perduli.

Setelah Mas Tedi keluar dari kamar mandi, akupun bergegas untuk mengambil wudhu, karena waktu maghrib sudah tiba. Di kamar mandi aku membereskan ember bekas air panas yang ku siapkan tadi, mengelap lantai dapur yang basah bekas telapak kaki Mas Tedi, agar saat aku selesai wudhu, Mas Tedi juga sudah selesai sholat maghrib.

Selesai ambil wudhu aku mengintip ke lubang pintu kamar, memastikan Mas Tedi sudah selesai sholat, lalu tiba tiba...

"Avi!"
"Iya Mas" aku kaget dengan suara Mas Tedi yang masih terlihat duduk di atas sajadah.
"Kamu sudah wudhunya?" tanya Mas Tedi.
"Sudah" aku mengangguk.
"Cepat pakai mukenanya, kita sholat maghrib!" perintah Mas Tedi, masih dengan raut yang datar.

Aku segera menggelar sajadah, dan memakai mukenaku. Hatiku penuh tanya, merasa heran dengan apa yang sedang terjadi, sebelumnya Mas Tedi belum pernah mengajakku sholat berjama'ah.
Aku jadi ingat dengan pertanyaan Mbak Ratih pagi tadi. Ah aku yakin semua ini Mas Tedi lakukan karena permintaan Mbak Ratih.

Malam sudah larut, aku dan Mas Tedi sudah selesai sholat isya dan makan malam. Aku segera beranjak ke tempat tidur, berbaring di kiri ranjang dekat tembok. Saat mulai memejamkan mata, aku mendengar pintu kamar berderit. Mas Tedi?

Aku kembali heran, karena sebelumnya jika waktu tidur tiba, dia sengaja menonton TV hingga larut malam, agar aku tidur lebih dulu.

Mas Tedi duduk di sampingku, bersandar pada kepala ranjang. Aku tak berani melihat ke arahnya, aku hanya menarik selimut menutupi kepalaku, dan tidur menghadap tembok.

"Vi" suara bariton itu menyebut namaku.
"Iya Mas" aku menoleh sambil membuka selimut yang menutup wajahku.
"Apa kamu mengharapkan sesuatu dariku, karena pernikahan ini?"

Aku mengernyitkan dahi, merasa kaget dengan pertanyaan itu.

"Entahlah" aku tidak tau harus menjawab apa.
"Kenapa jawabannya begitu?" dia menoleh sejenak.
"Jawab saja aku tidak akan marah" desaknya, membuat jantungku berdegup kencang.
"Aku merasa tidak pantas untuk berharap apapun, karena aku tau Mas tidak menghendaki pernikahan ini". Kerongkonganku serasa tercekik saat mengatakannya, mataku sudah berembun ingin mengeluarkan bulir beningnya.

"Apa kamu yakin? Jujur saja, setiap orang berhak punya harapan". Suara datar itu kembali mendesakku.

Ku hela nafas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan isi hatiku yang sebenarnya.

"Aku hanya wanita biasa Mas, aku wanita normal, sudah cukup lama aku hidup sendiri". Kembali tarik nafas dalam dan menghembuskannya.
"Ku rasa akan sangat wajar, jika aku mengharapkan kehadiran laki laki di hidupku, yang mau menerimaku juga anakku, yang mencurahkan kasih sayangnya untukku juga anakku, dan siap bertanggung jawab lahir batin atas diriku juga anakku".

Ku tutup kalimatku sambil mengulum senyum getir, seraya menggantungkan mimpi pada langit langit kamar yang sejak tadi ku tatap. Akupun segera memejamkan mata, seolah memberi isyarat agar Mas Tedi tidak bertanya lagi.

Ku dengar suara Mas Tedi yang beranjak dari tempat tidur, dan 'TREK' dia mematikan lampu kamar, detik kemudian dia berbaring di sampingku dengan jarak yang lebih dekat dari biasanya. Aku benar benar gugup, keheranan apa lagi yang harus ku rasakan?

Lalu kurasakan tangannya melintas, melingkari perutku, menepi di samping kiri tubuhku, tangan kanannya bertumpu di sana, dan seketika tubuhnya sudah berada di atas tubuhku. Hatiku berdesir, jantungku berdebar kencang.

Kurasakan hangat di keningku karena sentuhan bibirnya, dia menciumku? Kemudian sentuhan itu beralih ke bibirku, ku rasakan deru nafasnya yang memburu, menghembuskan udara panas pada wajahku. Seketika dia menghapus jarak di antara kami berdua.
Dia seolah menjelma menjadi Oase penghapus dahaga dalam gersang jiwaku.

Ya, malam ini tubuhnya menyentuhku, tapi ku yakin hatinya tak turut serta. Semua ini dia lakukan pasti atas desakan Mbak Ratih.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER