Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 30 Oktober 2021

Madu Pahit #2

Cerita Bersambung

Malam telah berlalu, dan fajarpun mulai menjemput. Ku jalani pagiku seperti biasa, mengerjakan semua yang harus ku kerjakan, dan menikmati sarapan bersama Mas Tedi.

Hari ini aku minta izin pada Mas Tedi, untuk pergi menjemput Zaki di rumah Neneknya, dan diapun mengizinkan.
Kemudian kami sama sama pergi, tapi Mas Tedi pergi ke warungnya menggunakan ojeg, sementara aku pergi menjemput Zaki dengan motorku.
"Bunda... " teriak pria kecilku, saat aku hendak memarkirkan motor di halaman rumah Neneknya.

"Sayang, Bunda kangen" ku percepat langkahku, untuk segera memeluknya yang sedang berlari ke arahku.
"Zaki juga kangen banget sama Bunda" ucapnya seraya menghambur memelukku dengan begitu erat. Pria kecilku, ternyata sekarang dia sudah besar, aku bahkan sudah tak perlu jongkok untuk memeluknya.
"Avi... " suara ibu, yang baru saja berdiri di lubang pintu.

Aku segera menghampirinya dan mencium punggung tangannya.

"Ibu sehat?" tanyaku sambil menatap wajah teduhnya.
"Alhamdulillah, Ibu sehat. Kamu gimana kabarnya?"
"Avi baik bu, Alhamdulillah" aku jawab pertanyaan Ibu sambil mengulum senyum terbaik, agar aku terlihat bahagia.
"Suami kamu gimana?" Ibu bertanya sambil menuntun tanganku agar masuk ke dalam rumah.
"Dia baik bu, dia juga titip salam buat Ibu katanya" aku berbohong, padahal Mas Tedi tidak mengatakan apapun saat aku pamit tadi.
"Oh ya? Waalaikum salam" Ibu tersenyum antusias, mungkin dia pikir ucapanku benar.
"Ibu senang dengernya, berarti Zaki punya Ayah baru yang baik".
"Iya bu" mendengar kalimat Ibu, tenggorokanku rasanya seperti tercekik, tarikan nafaspun terasa lebih berat dari sebelumnya.
"Kamu mau jemput Zaki ya?" seketika raut ibu berubah menjadi sayu.
"Iya bu" ku jawab singkat, ada rasa tidak enak pada Ibu.
"Ibu seneng kalo Zaki di sini, Ibu jadi punya teman, punya kegiatan" Mata ibu mulai berembun. "Kalo gak ada Zaki Ibu cuma diem aja, gak ngapa ngapain".

Ku raih tangan Ibu, dan ku tatap lekat matanya "Tapi kan bu, Zaki harus sekolah, harus ngaji. Avi janji, akan selalu nganterin Zaki ke sini tiap ada waktu luang".
Ku bulatkan mata dengan senyum yang lebar untuk meyakinkan Ibu.

"Sekarang kan Zaki udah punya keluarga yang lengkap, pasti dia jadi jarang ke sini, dan lebih senang main sama Ayah barunya". Raut Ibu terlihat cemas.
"Enggak bu, Mas Tedi kan gak selalu di rumah Avi, ada waktunya dia di rumah Mbak Ratih. Lagi pula tiap hari kan dia kerja, jagain warung sampai jam 5 sore". Ku yakinkan Ibu agar tak lagi mencemaskan soal Zaki.
"Iya ya" Ibu kembali terlihat antusias.

Ku habiskan waktu untuk berbincang banyak hal dengan Ibu, mengenang masa masa saat bersama Mas Andi, suami tercintaku dan anak kesayangan Ibu.

Hari sudah menjelang sore, aku segera pamit kepada Ibu. Ibu terlihat sedih karena harus berpisah dengan Zaki.

"Hati hati di jalan ya Vi. Titip cucu Ibu" ucap Ibu sambil mengecup kening Zaki.
"Iya bu, Ibu juga jaga kesehatan ya. Avi titip salamnya aja buat Bapak". Segera ku raih tangan Ibu, dan ku cium ta'dzim punggung tangan itu.
"Iya Nak, nanti Ibu sampaikan". Jawabnya lembut, sambil mengusap kepalaku yang sedang tertunduk mencium punggung tangannya.

Akupun segera berlalu dengan membawa serta Zaki, tanpa lupa mengucapkan salam kepada Ibu. Ibu terlihat sedih karena harus berpisah dengan Zaki, Ibu bilang Zaki itu pengganti Mas Andi.
Walau sebenarnya Mas Andi memiliki seorang Kakak perempuan, dan seorang adik laki laki, tapi itu tidak cukup untuk mengobati luka hati Ibu atas kepergian Mas Andi.

Sejak kepergian Mas Andi, Ibu sering memintaku untuk tetap tinggal di rumahnya, karena dia tidak mau berpisah dengan Zaki. Tapi aku menolak, aku merasa sudah tidak pantas tinggal di sana, karena Mas Andi sudah meninggal.
Bahkan Ibu pernah ingin mengambil Zaki dariku, dia bilang aku bisa hidup bebas, dan cepat punya suami baru bila Zaki ikut bersama Ibu.
Kejadian itu sempat membuat hubungan kami menjadi renggang, karena aku merasa tersinggung dengan penawaran Ibu.
Tapi kemudian hubungan kami kembali baik, bahkan jauh lebih baik. Karena Ibu tetap Neneknya Zaki, dan aku tetap menantu Ibu.
Kehidupan aku dan Zaki selalu di bantu Ibu dan saudara saudara Mas Andi. Jadi walaupun Mas Andi sudah tiada, kami semua tetap dekat seperti keluarga.
***

Saat sampai di depan rumah, aku melihat mobil Pick up milik Mas Tedi sudah terparkir di sana, aku keduluan!
Ku lihat Mas Tedi sedang duduk di kursi anyaman rotan di teras rumah, segera ku hampiri dia karena merasa bersalah.

"Assalamu alaikum, Mas udah lama nunggu?"
"Waalaikum salam, lumayan" datar, sedatar datarnya.

Aku segera merogoh tas kecilku mencari kunci rumah, dan bergegas membukanya.

"Assalamu alaikum, Ayah!"

Aku yang sedang memutar kunci seketika menoleh, mendengar suara pria kecilku memanggil Mas Tedi dengan sebutan Ayah. Jantungku berdegup kencang, aku takut jika Mas Tedi tidak suka dengan panggilan itu, aku takut Zaki kecewa karena tidak mendapatkan respon sesuai harapannya.

"Waalaikum salam, anak ganteng" Mas Tedi menjawab dengan senyum manis yang biasa dia berikan pada Mbak Ratih. Diapun merangkul pundak Zaki yang kemudian berjalan di belakangku, menantiku membukakan pintu.

Segera ku palingkan wajah, agar mereka tak melihat ada air mata yang merayap membasahi pipiku, rasa haru dan bahagia seolah membuncah di dalam dadaku.
Aku tak perduli sedingin apapun sikap Mas Tedi terhadapku, yang pasti aku bahagia melihat dia mau bersikap manis kepada anakku.

Segera ku buka pintu, mempersilahkan mereka masuk lebih dulu. Dan aku langsung berjalan menuju dapur, menyiapkan makanan yang ku bawa dari rumah Ibu.

Selepas sholat maghrib, kami sudah bersiap untuk makan malam, aku begitu antusias, karena ini pertama kalinya makan bersama Mas Tedi dan Zaki sekaligus. Semoga kehadiran Zaki bisa mencairkan kebekuan di antara aku dan Mas Tedi.

"Ayah" Zaki memandang Mas Tedi dengan antusias, yang kemudian duduk di depan sepiring nasi yang sudah ku siapkan.
"Hmmh" Mas Tedi melirik sekilas ke arah Zaki.
"Mobil di depan itu punya Ayah?"
"Iya, memang kenapa?" tanya Mas Tedi heran.
"Besok, boleh gak Zaki minta di anterin sekolah pake mobil itu?"

Aku yang sedang menyodorkan sepiring nasi pada Mas Tedi merasa kaget, aku takut Mas Tedi tidak suka dengan permintaan Zaki yang cukup berani itu.

"Sayang,  Ayah kan harus kerja, kalo nganterin Zaki dulu, nanti takut --"

Kalimatku terhenti, karena tatapan Mas Tedi yang seolah memintaku untuk diam.

"Iya, besok Ayah yang anterin ke Sekolah pake mobil ya".

Mataku menbulat, merasa begitu bahagia mendengar jawaban Mas Tedi, dan Zaki pun tak kalah antusias.

"Hore... Besok Zaki ke sekolah naik mobil". Pria kecilku bersorak gembira, ini akan jadi pengalaman pertamanya pergi ke sekolah di antar oleh seorang Ayah.
"Ya udah, sekarang Zaki habisin ya makannya". Akupun segera memulai makan malamku dengan perasaan campur aduk, antara bahagia melihat Zaki, dan heran dengan sikap Mas Tedi.

==========

Setelah selesai makan malam, kami lanjut dengan sholat isya yang di imami oleh Mas Tedi. Ini hari ke 5 Mas Tedi di rumahku, tapi dia masih enggan untuk sholat berjama'ah di Masjid, padahal setauku dia rajin sholat berjama'ah bila di rumah Mbak Ratih. Tapi aku tidak tau apa alasannya, dan malas juga bila harus bertanya. Lebih tepatnya aku tidak berani menanyakan alasannya.

Selesai sholat aku menemani Zaki di kamarnya, meneunggu sampai dia tertidur. Padahal sebelum ada Mas Tedi, biasanya kami tidur berdua di depan Televisi, 2 kamar di rumah ini hampir tak pernah di pakai tidur.

"Bunda, kenapa Zaki harus tidur di kamar?" Zaki terlihat kurang nyaman.
"Kan di ruang TVnya ada Ayah, Nak". Aku mencoba memberi pengertian.
"Ya gak apa apa dong, Ayah kan udah jadi suami Bunda, jadi kita bisa tidur bertiga". Permintaannya membuatku bingung.
"Tapi Ayah nonton berita terus, Bunda gak suka nontonnya, mending di sini aja nemenin Zaki". Aku berusaha mencari alasan agar Zaki tak lagi meminta tidur di depan TV bersama Mas Tedi.

Aku sungkan bila harus mengganggu Mas Tedi yang sedang asyik nonton, aku tak mau sikapnya yang manis terhadap Zaki bisa berubah bila terlalu sering di usik.
Dan alhamdulillah pria kecilku mengerti, dia sudah cukup besar, dia sadar bahwa Mas Tedi hanya Ayah sambung, aku mewanti wanti agar dia tetap bersikap baik pada Mas Tedi, agar Ayah sambungnya itu bisa menerima dan menyayanginya.

Malam sudah larut, Zakipun sudah terlelap. Aku segera beranjak untuk pindah ke kamarku, ku lihat Mas Tedipun sepertinya sudah selesai menonton TV. Aku segera membaringkan tubuhku di ranjang, melirik sekilas ke arah Mas Tedi, memastikan apakah dia akan mematikan lampu lagi seperti malam kemarin.
Ah, rupanya tidak. Dia langsung berbaring di sampingku dan memejamkan mata. Tiba tiba aku ingat sesuatu.

"Mas". Ku ubah posisi tubuhku menghadap ke arahnya.
"Hmm". Dia hanya membuka kembali matanya tanpa menoleh kepadaku.
"Terima kasih ya".
"Untuk apa?" Dia menoleh.
"Terima kasih karena Mas sudah berbaik hati kepada Zaki". Aku segera mengubah posisiku kembali, rasanya canggung sekali bila harus saling menatap.
"Iya". Jawaban yang selalu datar.

Aku tidak tau apakah ini layak di sebut rumah tangga. Ini baru hari ke 5, harusnya aku merasa ingin selalu berada di sampingnya, tapi aku justru merasa lebih nyaman saat dia tidak ada. Sekarang aku benar benar merasa terjebak dalam pernikahan ini.

Aku terjebak angan angan memiliki suami yang matang dan mapan. Ya, Mas Tedi memang matang, usianya 40 tahun, 12 tahun lebih tua dariku. Dia juga mapan, memiliki toko sembako yang cukup besar di wilayah Kecamatan, dan sebuah warung besar di dekat rumahnya bersama Mbak Ratih.
Tapi sayangnya matang dan mapan itu tidak jadi berguna, karena nyatanya Mas Tedi tidak menginginkan kehadiranku.

Aku segera memejamkan mata, berusaha menghilangkan keruwetan di hati dan pikiran ini, berharap diri ini segera terlelap dalam buaian malam, agar pagi segera menjemput.
Ah, tapi kantuk sepertinya belum datang, andai aku dan Mas Tedi berada dalam pernikahan yang sewajarnya, mungkin moment ini akan membahagiakan.
Tak bisa ku pungkiri, walaupun sikap Mas Tedi selalu dingin, dan akupun belum mencintainya, tapi aku selalu berharap agar dia mau membuka sedikit hatinya untukku, berusaha bersikap hangat kepadaku.

Ingin sekali rasanya aku menggelayut manja pada pria di sampingku ini, tapi dengan sikapnya yang begitu dingin, aku tak mungkin berani melakukannya. Kalau di pikir dengan akal sehat, sepertinya tak ada gunanya aku punya suami.

Mungkin aku yang terlalu bodoh, mau mengorbankan perasaan hanya karena alasan balas budi atas kebaikan Mbak Ratih.
***

Akhirnya pagipun menjemput. Selesai sholat subuh aku segera turun ke dapur menyiaokan sarapan untuk Zaki juga Mas Tedi.
Zaki, pria kecilku itu hampir lupa ku bangunkan, mungkin karena kepalaku yang terasa begitu berat akibat sulit tidur semalaman, aku jadi tidak fokus melakukan tugasku.

Jam setengah 7 kami sudah siap di depan piring masing masing, menikmati Nasi hangat dan Opor Ayam menu favorit Zaki, di temani Krupuk putih kriting sebagai pelengkap.
Aku memang membiasakan Zaki sarapan pagi dengan Nasi sebelum pergi Sekolah, agar lambungnya kuat menerima jajanan jajanan aneh yang dia makan di Sekolah.
Walau terkadang ada kerabat atau tetangga yang mengatai kami dengan sebutan 'Perut kampung', aku tidak perduli.

Senyuman  Zaki terlihat begitu mengembang, ketara sekali kalau dia sedang begitu antusias karena akan berangkat Sekolah dengan mobil Mas Tedi.
Kasihan sekali anakku, hanya karena pergi sekolah dengan mobil Pick up saja dia seantusias itu. Mungkin dia sudah terlalu bosan di antar jemput dengan motor bututku.

Ku lihat, sepertinya Mas Tedi turut memperhatikan pancaran bahagia dari wajah Zaki. Dan ku harap Mas Tedi tidak berubah pikiran, aku tidak mau Zaki kecewa.

"Mas".
"Hmmh" Mas Tedi hanya melirikku dengan sudut matanya.
"Mas jadi antar Zaki sekolah?" Tanyaku hati hati.
"Iya" Jawabnya singkat, dia kemudian meneguk air dari gelas yang baru saja di ambilnya.

Ku lihat Zaki tersenyum semakin lebar, dengan semangat dia segera menghabiskan nasi dari piringnya, sepertinya dia sudah tidak sabar. Mas Tedipun sepertinya sudah selesai dengan sarapannya.

"Vi" Dia menatapku datar.
"Iya Mas"
"Mulai sore ini aku pulangnya ke rumah Ratih ya".

Aku sedikit mengernyitkan dahi, merasa heran. Bukankah seminggu itu 7 hari? Mas Tedi di sini baru 6 hari. Tapi ya sudah lah, aku selalu merasa tak punya hak atas dirinya.

"Iya Mas" Aku menjawab sekenanya.

Selesai sarapan, Mas Tedi dan Zaki bersiap pergi. Ku cium kening dan kedua pipi pria kecilku, membisikkan pesan pesan baik untuk bekalnya di Sekolah.

Ku lanjutkan kegiatan rutinku di dapur selepas Zaki dan Mas Tedi pergi. Sebenarnya aku mulai merasa jenuh, karena aku terbiasa bekerja, biasanya setiap pagi aku mengantar Zaki sekolah, sambil membawa kue kue basah yang akan ku titipkan di beberapa warung, termasuk di warung Mas Tedi. Tapi semua kegiatan itu harus ku hentikan atas permintaan Mbak Ratih.
***

Memasuki bulan ke 3 pernikahanku dengan Mas Tedi, semua masih tetap sama, dia tetap datar, tak pernah sedikitpun bersikap hangat kepadaku, semua kegiatan yang dia lakukan bersamaku hanya sekedar formalitas.

Belum genap setahun kami menikah, tapi pertahananku mulai goyah, aku mulai muak dengan hari hari yang ku lalui sebagai istri Mas Tedi. Dia terlalu angkuh dan egois, tapi aku belum punya keberanian untuk memberontak dari semua ini.

Mas Tedi nyaris tak pernah adil dalam memberikan hak antara aku dan Mbak Ratih, baik itu dari segi lahir ataupun batin. Dan sepertinya sekarang Mbak Ratih sudah tidak begitu perduli dengan sikap cuek Mas Tedi terhadapku. Aku merasa di permainkan.

Minggu ini adalah bagian Mas Tedi bersamaku, dan belum sampai 7 hari dia sudah pamit untuk pulang ke rumah Mbak Ratih seminggu ke depan. Bukan seminggu, lebih tepatnya 8 hari.
Ya, dari 14 hari yang seharusnya saat di bagi 2 menjadi 7, dia ubah hitungannya jadi 6 dan 8. Alangkah tidak adilnya dia kepadaku.

Seminggu kemudian, tepat di hari ke 7 Mas Tedi di rumah Mbak Ratih, aku mendapat telepon dari nomer yang tidak ku kenal, segera ku angkat.

"Assalamu alaikum" Suara di ujung sana terdengar sendu.
"Waalaikum salam".
"Tante" Suara yang familiar di telingaku.
"Tania?" Tanyaku untuk memastikan.
"Iya Tante, aku Tania" Suaranya terdengar panik, ada apa dengan gadis itu?
"Ada apa? Ada yang bisa Tante bantu?"
"Boleh bicara sama Papa gak? Soalnya HPnya Papa gak aktif, jadi aku telepon Tante".

Gadis itu menanyakan Ayah angkatnya. Aku kaget, bukannya Mas Tedi ada di sana?

"Papa gak di sini Tania, bukannya Papa masih di sana?" Aku bertanya karena benar benar bingung, kemana pria angkuh itu?
"Enggak Tante, kemarin Papa bilang mau pulang ke rumah Tante" Aku semakin bingung mendengar penuturan gadis itu.
"Ada yang bisa Tante bantu?" Aku berusaha melupakan sejenak tentang Mas Tedi, karena sepertinya Tania tidak baik baik saja.
"Mama sakit Tante, tubuhnya lemes banget. Aku gak tau harus minta tolong siapa".
"Tante ke situ sekarang" Tanpa menunggu jawaban Tania, aku langsung menutup teleponnya dan segera bersiap untuk pergi ke rumah Mbak Ratih.

Sebelum pergi tak lupa ku titipkan kunci rumah kepada tetangga yang tak lain adalah Kakakku sendiri, sekalian pamit dan minta tolong menjaga Zaki saat pulang sekolah nanti, sebelum aku kembali ke rumah. Akupun segera melajukan motorku menuju rumah Mbak Ratih.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER