Cerita Bersambung
"Tante ke situ sekarang" Tanpa menunggu jawaban Tania, aku langsung menutup teleponnya dan segera bersiap ke rumah Mbak Ratih. Sebelum pergi tak lupa ku titipkan kunci rumah kepada tetangga yang tak lain adalah Kakakku sendiri, sekalian pamit dan minta tolong menjaga Zaki saat dia pulang sekolah nanti, sebelum aku kembali ke rumah. Akupun segera melajukan motor menuju rumah Mbak Ratih.
***
Pintu rumah terbuka, aku langsung masuk terburu buru tanpa mengucap salam. Langkahku terhenti sampai di ruang tengah, rupanya sudah ada dokter yang biasa memeriksa Mbak Ratih. Hatiku lega.
"Tadi ada Ikbal ke sini Tante, jadi aku suruh dia jemput Dokter Hadi buat periksa Mama" Bisik Tania yang sudah berdiri di hadapanku.
Ikbal adalah pemuda yang bekerja di warung Mas Tedi.
"Sekarang keadaan Mama kamu gimana?" Tanyaku penasaran.
"Masih sama aja Tante, Mama kayaknya lagi banyak masalah deh" Gadis itu menunjukan raut cemasnya.
Mendengar ucapan Tania, otakku seolah menerawang, memikirkan apa yang sebenarnya telah di lakukan Mas Tedi. Mengingat bahwa selama ini aku selalu menyangka hidup Mbak Ratih teramat di prioritaskan oleh Mas Tedi. Tapi sepertinya sangkaanku salah.
"Dokter!" Suara Tani memecah lamunanku. Akupun mengikutinya menghampiri Dokter Hadi yang baru saja selesai memeriksa Mbak Ratih.
"Keadaan Mama gimana Dokter?" Gadis itu terlihat begitu cemas dengan kondisi Mbak Ratih.
"Mama kamu jangan di biarkan banyak pikiran". Dokter paruh baya itu menatap wajah Tania yang cemas, "Gula darah dan tekanan darah Mama kamu cukup tinggi. Jadi harus kamu jagain makanananya".
Gadis itu mengangguk mendengar arahan Dokter Hadi.
Aku baru tau, ternyata Mbak Ratih punya diabetes dan darah tinggi. Sekarang pikiranku mulai tertuju pada Mas Tedi, di mana dia sekarang? Ternyata selain angkuh, dia juga kejam, tega sekali meninggalkan Mbak Ratih dalam kondisi seperti ini.
"Saya pamit ya Mbak Avi".
"Oh, iya Dok" Aku terlonjak, kaget dengan suara Dokter Hadi yang lewat di depanku. Tania mengikutinya, hendak mengantar sampai teras. Aku yang sedari tadi melamun, segera melangkah menghampiri Mbak Ratih yang terbaring lemas di kamarnya.
"Mbak kenapa?" Aku duduk di sisi ranjang menatap lekat wanita itu.
"Gak kenapa napa kok Vi, Mbak cuma kecapean". Suaranya terdengar begitu lemah.
"Mbak jangan terlalu banyak kegiatan, dan jangan terlalu banyak pikiran juga". Aku berusaha menguatkannya, walau nyatanya ucapanku tidak akan memperbaiki keadaan.
"Gimana Mama gak banyak pikiran Tante" Suara Tania yang tiba tiba datang, "Papa sekarang jarang pulang, mungkin lebih betah sama Tante".
"Tania!" Suara lemah Mbak Ratih berusaha menghentikan ucapan Tania.
Gadis itu sangat polos, dia mengucapkan apa yang ada di kepalanya begitu saja. Tapi aku tidak begitu menghiraukannya, fokusku tetap pada Mbak Ratih.
"Mas Tedi jarang pulang ke sini Mbak?" Ku tatap lekat mata sayu itu, berharap mendapat jawaban dari pemiliknya. Tapi Mbak Ratih hanya mengusap punggung tanganku, kemudian memejamkan matanya, seolah hendak melepaskan beban berat dari memorinya.
Tak puas dengan tanggapan Mbak Ratih, ku alihkan tatapanku pada Tania, aku yakin gadis itu tau banyak.
"Papa sekarang gak betah lama lama di sini Tante" Gadis itu mulai menunjukkan raut kesalnya.
Melihat Mbak Ratih yang masih memejamkan mata, aku segera memberi kode pada Tania untuk keluar dari kamar, agar tidak mengganggu Mbak Ratih. Kamipun duduk di ruang tamu untuk melanjutkan perbincangan yang membuatku penasaran.
"Ceritakan semua sama Tante, Tania!" Aku tatap gadis itu dengan penuh keyakinan.
"Minggu minggu ini sikap Papa berubah Tante, jadi lebih cuek sama aku dan Mama", wajah Tania berubah sendu, "Terus udah 2 kali bagian tinggal di sini, Papa cuma tinggal 5 hari aja".
Aku benar benar kaget dengan penuturan Tania. Karena hampir setiap tinggal di rumahkupun Mas Tedi jarang tinggal sampai seminggu, sebenarnya apa yang dia sembunyikan?
"Kamu pernah nanya alasannya ke Papa?" Aku semakin penasaran.
Mata gadis itu membulat, pandangannya seolah menerawang.
"Pernah, Papa bilang wajar, karena sekarang Papa punya istri muda", Tania terlihat cemberut, "Papa juga bilang, salahnya Mama sendiri nyuruh Papa nikah sama Tante".
Aku mengernyitkan dahi mendengar pernyataan itu. Rupanya selain angkuh Mas Tedi juga orang yang munafik, resmi sudah rasa benci di hatiku padanya.
"Kayaknya Papa cinta banget ya sama Tante?" Pertanyaan Tania membuyarkan lamunanku.
"Hah?" Aku tercekat, "Pastinya Papa lebih cinta sama Mama kamu lah. Tante kan cuma pelengkap aja". Aku bicara sekenanya, karena bingung harus menjawab apa.
"Ya udah, sekarang kita masak yuk, buat persiapan makan siang" Aku mencoba mengalihkan perhatian Tania, agar tidak membahas lagi tentang Mas Tedi.
"Tapi kira kira sekarang Papa di mana ya Tante?" Gadis itu masih penasaran, "Kasihan Mama". Wajahnya begitu khawatir.
"Tante pasti usahain Papa datang ke sini, kamu tenang aja". Aku berusaha meyakinkan Tania agar dia tidak khawatir lagi.
Kamipun bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan siang, di sela aktivitas memasak ku sempatkan mengirim pesan kepada Mas Tedi.
[Assalamu alaikum, Mas]
[Aku sekarang di rumah Mbak Ratih, dia sakit]
[Mas bisa ke sini secepatnya]
Ku kirim 3 pesan beruntun kepada Mas Tedi, ku harap dia segera membacanya.
Selepas sholat dzuhur, aku menyuapi makan siang pada Mbak Ratih, kemudian di lanjut dengan makan siangku bersama Tania di ruang tengah, sambil menonton TV.
Saking asyiknya nonton, kami tak menyadari bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam rumah.
"Assalamu alaikum" Suara Mas Tedi.
Sontak aku dan Tania kaget, karena Mas Tedi sudah berdiri di samping kami yang duduk lesehan.
"Waalaikum salam" Aku menjawab lirih.
"Papa" Tania langsung berdiri, dia terlihat antusias dengan kehadiran Mas Tedi.
"Katanya Mama sakit?" Mas Tedi terlihat khawatir.
"Iya Pa, tadi Mama hampir pingsan, untung ada Ikbal yang bantu jemput Dokter Hadi buat meriksa Mama, dan ada Tante Avi yang bantu Tania jagain Mama". Gadis itu tersenyum kepadaku.
Tania terlihat begitu menyayangi Mbak Ratih. Gadis 16 tahun itu di adopsi oleh Mbak Ratih saat usianya 7 tahun, saat itu Ibu kandung Tania meninggal karena serangan Jantung. Sedangkan Ayahnya sudah menikah lagi dan tidak begitu perduli pada Tania.
Mas Tedi bergegas masuk ke kamar Mbak Ratih, dan di ikuti oleh Tania, sementara aku tetap duduk menyelesaikan makan siangku. Selesai makan aku segera membereskan bekas makanku dan Tania, membawanya ke dapur, dan mencuci piring yang kotor.
Keluar dari dapur, aku melihat Tania yang sedang duduk bermain HP.
"Tania" Aku segera duduk di sampingnya.
"Iya Tante" Matanya tetap fokus ke layar HP.
"Karena Papa sudah datang, Tante pamit pulang ya".
Belum sempat Tania menjawab ucapanku, tiba tiba Mas Tedi keluar dari kamar Mbak Ratih.
"Kamu harus nginep di sini". Ucapannya terdengar datar, tapi tatapannya mengisyaratkan sebuah keharusan untukku.
Aku mencoba mencari alasan, "Tapi Mas, aku gak ngasih tau dulu Zaki waktu mau ke sini. Kasihan nanti dia nyariin".
"Kamu tinggal telepon Mas Andra, sekalian nitipin Zaki buat nginep di rumahnya malam ini". Mas Tedi tak mau kalah.
Sebenarnya itu sudah ku lakukan sejak pagi tadi, tapi rasanya tidak nyaman saja jika harus menginap di sini. Pasti aku akan di suguhkan dengan sikap manis Mas Tedi kepada Mbak Ratih. Sudah cukup aku bersabar menghadapi sikap dingin Mas Tedi terhadapku selama ini, aku tidak mau jika harus menambah beban di hati dengan melihat keharmonisan mereka.
Ingin rasanya aku menolak perintah Mas Tedi, tapi aku tidak berani. Selama ini kami tidak pernah mendebatkan apapun, lebih tepatnya dia jarang mengajakku bicara, kecuali bila di tengahi oleh Zaki.
Aku menatap Tania, seolah meminta pendapatnya untuk menginap di rumah ini. Dan Taniapun mengangguk di sertai senyuman yang terlihat ragu. Baiklah aku akan menginap walau terpaksa.
"Aku lapar, belum makan siang". Mas Tedi masih berdiri di depan pintu kamar Mbak Ratih.
"Biar Tania siapin Pa!" Gadis itu tampak bersemangat.
"Gak usah, biar Tante Avi aja yang siapin makanan buat Papa". Mas Tedi berjalan ke arahku, seolah memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Tania terlihat kesal atas penolakan Papanya, diapun kembali fokus pada layar HP dengan bibir yang mencucu.
==========
Tania terlihat kesal atas penolakan Papanya, diapun kembali fokus pada layar HP dengan bibir mencucu.
Di meja makan, aku mulai menyiapkan makanan untuk Mas Tedi, setelah semua ku rasa lengkap, akupun segera kembali ke ruang tengah, untuk menemani Tania menonton TV. Namun langkahku terhenti.
"Duduk di sini, temani aku makan." Dagu Mas Tedi menunjuk ke arah kursi di depannya.
Akupun urung melangkah ke ruang tengah, dan segera duduk di kursi yang di tunjuk Mas Tedi. Tidak ada percakapan apapun di antara kami, hanya ada bunyi sendok yang beradu dengan piring yang di pakai Mas Tedi. Aku semakin heran dengan sikap yang dia tunjukkan, apa maksud sikapnya ini?
***
Semburat jingga di langit mulai pudar, di jemput lantunan suara adzan Maghrib yang membawa gelap malam. Aku, Tania, dan Mbak Ratih melaksanakan 3 rakaat di rumah, sedangkan Mas Tedi sudah pergi ke Mesjid dari sebelum adzan berkumandang.
Selesai sholat, aku segera menyiapkan hidangan makan malam, yang sudah ku masak sore tadi. Saat tanganku sedang sibuk menata piring dan gelas di meja makan, tiba tiba Mbak Ratih menghampiriku, dia memilih kursi yang berada persis di hadapanku untuk tempatnya duduk.
"Mbak sudah lapar ya?" Aku berusaha mencairkan suasana, mengulumkan sedikit senyum dalam pertanyaanku.
"Belum, Mbak cuma mau nemenin kamu, kasihan sibuk sendiri. Tania malah asik main HP." Mata Mbak Ratih melirik ke arah Tania yang sedang sibuk dengan benda pipih canggih tersebut, dari meja makan memang kami bisa melihat langsung ke arah ruang TV dari lubang pintu.
Mata Mbak Ratih menatap lekat ke arahku, membuatku merasa salah tingkah.
"Vi" Mbak Ratih seperti ingin bicara serius denganku.
"Iya Mbak" Aku menghentikan kegiatanku, kemudian duduk di kursi yang berada di samping tubuhku, menatap ragu pada Mbak Ratih, bersiap mendengarkan ceritanya.
"Vi, apa kamu bahagia bersama Mas Tedi."
'Deg!'
Pertanyaan yang sama sekali tidak ku duga. Aku tidak siap menjawabnya, sebenarnya aku ingin sekali menceritakan semuanya sekarang, tapi karena melihat kondisi Mbak Ratih seperti saat ini, aku sama sekali tidak tega, aku tidak mau menambah beban pikirannya.
"Aku dan Mas Tedi baik baik saja Mbak." Ku coba membohongi hatiku sendiri.
"Itu bukan jawaban dari pertanyaan Mbak, Vi." Mbak Ratih tidak puas dengan jawabanku. Wajah sendu itu terus menatapku, seolah memaksa meminta jawaban.
Aku hanya membisu, tak mampu mengatakan apapun, aku tak bisa jika harus membohongi hatiku, tapi aku juga tak siap jika harus menceritakan semuanya pada Mbak Ratih.
"Assalamualaikum." Ucapan salam Mas Tedi memecah keheningan di antara aku dan Mbak Ratih.
"Waalaikum salam." Serentak aku dan Mbak Ratih menjawab.
Mbak Ratih langsung berdiri menyambut kedatangan Mas Tedi, kemudian mencium punggung tangannya. Sementara aku tetap duduk mematung. Entahlah, aku tidak biasa seperti itu, karena saat bersamaku Mas Tedi tidak pernah mengucap salam selembut itu, baik bila hendak pergi ataupun baru datang.
Tapi pemandangan yang ku lihat tak sehangat biasanya, mereka terlihat hambar. Mungkin karena kondisi Mbak Ratih yang sedang sakit, jadi membuat suasana hati mereka berbeda.
Lamunanku buyar, saat menyadari tangan Mas Tedi sudah terulur di depan wajahku, akupun segera meraih dan mencium punggung tangannya. 'Tumben' batinku.
"Mau makan sekarang?" Aku menatap bergantian ke arah Mas Tedi dan Mbak Ratih.
"Iya, aku sudah lapar." Mas Tedi langsung duduk di kursi yang berdampingan denganku.
Meja makan di rumah ini berbentuk persegi panjang, yang di apit 4 kursi, 2 kursi di satu sisi, dan 2 kursi di sisi lainnya.
Aku yang merasa tak nyaman melirik ke arah Mbak Ratih, meminta persetujuannya. Mbak Ratih hanya membalas dengan senyum kecil seolah menunjukkan bahwa dia baik baik saja. Lalu Mbak Ratih memanggil Tania dengan suara lemahnya, mengajak gadis itu untuk ikut makan malam.
Saat Tania hendak duduk, aku menangkap raut tak senang dari wajahnya. Sepertinya dia tidak suka melihat Mas Tedi lebih memilih duduk di sampingku. Sungguh, situasi ini menyiksaku.
Makan malam kami selesai tepat saat Adzan Isya berkumandang. Mas Tedi mengambil wudhu, kemudian bergegas kembali ke Masjid, sedangkan kami para wanita melaksanakan sholat Isya di rumah.
Aku sholat di kamar Tania, kami sholat bergiliran, dan aku giliran terakhir. Selesai salam aku melihat Mbak Ratih muncul dari balik pintu kamar.
"Ada apa Mbak?"
"Vi, ini Mbak bawain selimut, soalnya di kamar depan gak ada selimut." Mbak Ratih menyerahkan sebuah selimut tebal kepadaku.
"Kenapa harus di kamar depan Mbak? Aku tidur di sini saja sama Tania."
Ku alihkan pandanganku pada Tania yang sedang fokus pada HPnya di atas tempat tidur.
"Tania, Tante boleh tidur di sini kan?"
"Hmh,,, iya boleh" Gadis itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada HPnya.
Aku kembali menatap Mbak Ratih, menunggu tanggapannya.
"Ambil saja selimut ini, barang kali nanti Mas Tedi mau tidur sama kamu. Gak mungkin di kamar Tania kan?" Terlihat senyum tulus dari wajah sendu itu.
Aku tak menkawab apapun, segera kuraih selimut tebal dari tangan Mbak Ratih, kemudian meletakkannya di atas ranjang Tania.
Beberapa saat setelah Mbak Ratih berlalu, ku dengar HP di tangan Tania berdering, sepertinya itu sebuah panggilan telepon. Gadis itu terlihat kikuk saat hendak menerima telepon. Detik kemudian dia keluar dari kamar dengan senyum tersipu. Aku yakin itu kekasihnya.
Tanpa menghiraukan sikap Tania, aku segera melipat rapih mukena yang sudah selesai ku pakai, kemudian mengganti pakaianku dengan baju tidur yang sudah di siapkan Tania. Saat baju itu sudah menempel di tubuhku, aku mulai menyadari sesuatu yang membuatku tak nyaman. Sebuah Piyama daster yang ujungnya tak mampu menutupi lututku. Aku tidak biasa berpakaian seperti ini, sekalipun di hadapan Mas Tedi. Aku akan meminta Tania menggantinya dengan baju lain.
'Ceklek'
Tiba tiba pintu kamar di buka, pasti itu Tania.
"Mas?" Aku tersentak, melihat Mas Tedi yang berdiri di lubang pintu, dia tertegun sejenak, kemudian melangkah menghampiriku.
"Kamu mau tidur di mana?" Kalimatnya tetap datar.
"Aku mau tidur di sini, sama Tania." Segera ku rapatkan bagian atas bajuku yang kancingnya belum terpasang sempurna.
Tiba tiba dia sudah berdiri di belakangku, melingkarkan kedua tangannya di perutku, aku masih terpaku, belum yakin dengan apa yang ku alami. Detik kemudian ujung hidungnya menempel tepat di batang leherku, ku rasakan hembus nafasnya yang mampu membuat pori pori di tanganku terlihat membesar. Jujur, aku menikmati adegan ini, tapi aku juga sadar bahwa ini kamar Tania.
"Mas!" Segera ku tepis tangannya dari tubuhku, dan kubalik tubuhku untuk menatapnya, namun dia hanya menatapku datar.
"Ini kamar Tania Mas, Rumah Mbak Ratih!" Ku tekan nada bicaraku agar tak terdengar keluar.
"Ini rumahku, dan kamu istriku. Tidak ada yang salah." Kalimatnya tetap datar, namun bisa ku rasakan deru nafasnya yang memburu.
"Tapi kenapa harus di sini?" Ku tatap tajam mata pria di hadapanku.
"Sedangkan saat di rumahku Mas Tak pernah bersikap seperti--"
Bibirnya menghentikan kalimatku, membungkam mulutku dengan pagutan yang tak bisa ku hindari. Aku berusaha berontak, namun sia sia, karena kedua tangannya merengkuh kuat di bahu dan pinggangku. Aku tau adegan ini tak salah, tapi kenapa harus di sini?
'Ceklek'
Pintu kamar terbuka, terlihat Tania berdiri di sana, melihat apa yang kami lakukan. Aku yang kaget langsung mendorong tubuh Mas Tedi agar menjauh.
"Maaf!" Tania terlihat marah, aku menangkap raut kebencian di wajahnya.
Gadis itu berlari, aku segera menyusulnya, dan 'Buk'. Ku lihat dia masuk ke kamar Mbak Ratih dan langsung menutup rapat pintunya.
Aku hanya bergeming, tubuhku membeku di depan kamar Tania. Bulir bulir beningpun luruh, merayap membasahi pipiku. Apa yang sebenarnya di pikirkan Mas Tedi? Aku merasa di permainkan!
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Minggu, 31 Oktober 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel