Cerita Bersambung
Setelah beberapa saat, aku berbalik kembali ke kamar Tania. Di sana ku dapati Mas Tedi tengah duduk di sisi ranjang, benar benar tanpa rasa bersalah.
"Sebenarnya maksud Mas apa?" Ku luapkan amarahku dengan tumpahan air mata yang sulit ku hentikan.
"Aku rasa tidak ada yang salah." Dia mulai menatapku tajam, "Sepertinya wajar, bila setelah seminggu bersama Ratih aku merindukanmu."
"Apa? Rindu!" Ketus ku balas kalimatnya, "Sejak kapan Mas bisa rindu sama aku?"
"Sejak aku sadar bahwa kamu lebih menarik dari Ratih." Dia kembali merapatkan tubuhnya kepadaku.
Aku tidak tau apa yang di rencanakannya. Ada desiran halus di dadaku, saat tangannya menyentuh lembut pinggangku. Tapi aku sadar, ini kamar Tania, tempat tinggal Mbak Ratih. Kembali ku dorong tubuh kuat itu agar menjauh.
"Cukup Mas!" Segera ku ambil selimut yang tadi di berikan Mbak Ratih, bergegas ke luar kamar dan membaringkan tubuhku di Sofa ruang tengah. Ku tutup seluruh tubuhku dengan selimut, mencoba memejamkan mata agar air mata ini tak lagi tumpah.
Mas Tedi? Entahlah, dari suara pintu yang ku dengar sepertinya dia tidur di kamar tamu.
***
"Vi... Avi!"
"Bangun, sudah jam 5 pagi." Ku coba mengerjapkan mata yang terasa begitu lengket, kepalakupun terasa sangat berat, mungkin karena terlalu lama menangis tadi malam.
"Sholat Subuh dulu." Suara Mbak Ratih kembali menyadarkanku. Aku segera bangkit, duduk sejenak untuk mengumpulkan kesadaranku.
"Kamu gak apa apa Vi?" Sepertinya Mbak Ratih menyadari bahwa kedua mataku terlihat sembab.
"Gak apa apa Mbak." Aku segera berdiri dan melipat selimut yang sudah ku pakai, tak mau Mbak Ratih berpikir macam macam.
Ku lirik sekilas ke arah Mbak Ratih, sepertinya dia memperhatikan penampilanku.
"Kenapa Mbak?" Aku bertanya heran.
"Kamu cantik." Dia hanya tersenyum.
"Mbak lebih cantik." Jawabku santai, sambil menyimpan selimut yang sudah ku lipat di atas Sofa, kemudian bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Selesai Sholat Subuh, aku segera berganti Pakaian, ingin cepat pergi dari rumah ini. Rasa bersalah pada Tania terus menghantuiku, dia memperlihatkan raut marahnya saat berpapasan denganku di kamar mandi tadi. Belum lagi aku sekarang memakai kamarnya, sedangkan dia masih terus di kamar Mbak Ratih, sepertinya sengaja menghindariku. Padahal aku tau saat ini dia harus bersiap siap untuk pergi sekolah.
Aku segera keluar kamar, agar cepat terbebas dari ketidaknyamanan ini.
"Mbak, aku langsung pulang ya." Aku langsung pamit pada Mbak Ratih, yang juga baru keluar dari kamarnya.
"Lho, kok pagi pagi banget?" Dia terlihat kaget.
"Kasihan Zaki Mbak." Aku mencoba mencari alasan.
"Kamu pulang bareng Mas Tedi?" Dia menghampiriku.
"Enggak Mbak, Mas Tedi biar di sini saja nemenin Mbak." Sebenarnya aku benar benar sedang muak dengan Mas Tedi.
"Gak bisa gitu dong, minggu ini kan bagian di rumah kamu." Tangannya memegang pundakku, "Lagian Mbak sudah lebih sehat kok" Suara lembut itu meyakinkanku.
"Biasanya juga kalau dari pagi sampai sore kan Mas Tedi selalu di sini Mbak!" Ku tatap wajah teduhnya, "Terserah Mas Tedinya saja Mbak." Tambahku.
Mbak Ratih mengernyitkan dahi saat mendengar kalimatku. Mungkin ada yang menurutnya aneh.
"Ya udah Mbak, aku pamit ya. Kasihan Zaki nunggu di rumah."
Aku segera menempelkan kedua pipiku bergantian kepada pipi Mbak Ratih.
Bergegas menuju garasi mengambil motorku. Tapi ternyata Mas Tedi sudah lebih dulu ada di sana.
"Kamu mau pulang?" perhatian, tapi kalimatnya tetap datar.
"Iya." Aku hanya menunduk, tak ingi mata ini bertemu pandang dengannya.
"Aku ikut kamu." tangan kanannya menengadah, meminta kunci motor yang sedang ku pegang.
"Mas di sini saja, temani Mbak Ratih, dia masih sakit." Segera aku berjalan menuju motorku, tak ingin membuang waktu.
"Ratih baik baik saja, dia sudah sehat." hanya pandangannya yang mengikuti langkahku.
Aku yang sudah duduk di atas Jok motor, segera memutar kunci pada mode On, kemudian menyalakan mesinnya. Mas Tedi masih berdiri menatapku, meminta tanggapanku atas permintaannya.
"Tubuhnya mungkin sudah sehat, tapi aku yakin hatinya tidak baik baik saja." ku lajukan motorku mendekati tempat Mas Tedi berdiri.
"Sebaiknya selesaikan dulu urusan Mas dengan Mbak Ratih."
Akupun segera berlalu meninggalkan rumah itu, melewati pintu pagar yang sudah terbuka.
Di sepanjang perjalanan hatiku berkecamuk, aku merasa di peralat oleh Mas Tedi. Aku yakin mereka sedang bertengkar, jadi Mas Tedi memanfaatkanku untuk memanas manasi Mbak Ratih. Tapi bodohnya aku justru menikmati apa yang dia lakukan.
Sampai di depan rumah aku melihat Zaki yang sedang berdiri di teras, sepertinya dia baru pulang dari rumah Mas Andra, pria kecilku itu memang sudah biasa mandiri. Kecuali bila di rumah Neneknya, kadang untuk makanpun harus di suapi.
Segera ku parkirkan motor di halaman rumah. Senyum bahagia Zaki menyambutku yang baru turun dari motor.
"Assalamualaikum anak gantengnya Bunda." Ku usap pucuk kepala putraku yang tingginya sudah menyamai pundakku.
"Waalaikum salam Bundanya Zaki." dia memeluk erat pinggangku, matanya menatapku lekat. "Bunda kenapa? Abis nangis ya?"
Rupanya mata sembabku menarik perhatiannya.
"Enggak kok, Bunda tadi malam gak bisa tidur, gara gara khawatir sama Zaki. Makannya mata Bunda jadi bengkak." Aku berkilah agar putraku tak khawatir.
"Oh iya, Zaki sudah sarapan belum?" Aku mencoba mengalihkan perhatiannya.
"Sudah Bunda, tadi di rumah Om Andra."
"Ya sudah, sekarang kita siap siap pergi ke sekolah ya." Segera ku ajak Zaki masuk ke dalam rumah, mempersiapkan segala keperluannya.
Seperti biasa, ku lakukan aktivitas pagiku dengan seharusnya. Mengantarkan Zaki ke sekolah, sesampainya di rumah aku menyapu lantai yang tidak begitu kotor, kemudian bergegas ke persimpangan jalan yang tidak begitu jauh dari rumahku.
Menghampiri pedagang sayur yang sedari tadi sudah berteriak melalui pengeras suara yang speakernya di simpan di atas mobil.
Dari kejauhan aku melihat mobil tukang sayur itu sudah di kelilingi oleh beberapa Ibu ibu yang hendak belanja. Aku sedikit malas bila bertemu banyak orang di tukang sayur itu, karena semenjak aku menikah dengan Mas Tedi, ada banyak cibiran yang ku terima dari para tetangga yang nyinyir. Mengingat statusku yang dulu janda, dan sekarang menjadi istri muda dari Mas Tedi, yang bisa di bilang lumayan kaya.
"Wah, ada Mbak Avi nih, pagi ini." seorang wanita bertubuh mungil dengan kulit gelap menyambut kedatanganku. "Tumben belanja di sini?" Pertanyaan yang lebih terkesan mengejek.
"Kebetulan stok sayur di rumah saya habis." Segera ku pilih sayuran yang ingin ku beli, mataku hanya fokus pada sayuran di hadapanku, tak mau melihat raut nyinyir dari beberapa wanita di sekitarku.
"Gimana ya rasanya? Udah jadi madu, eh di madu!" Ejek seorang Ibu yang bermake up tebal, yang langsung di sambut gelak tawa dari beberapa Ibu yang lain.
Madu, di madu? Sesaat aku berpikir untuk mencerna kalimat itu. Belum tuntas aku mencerna kalimat itu, si Ibu bertubuh mungil dengan kulit gelap kembali menimpali.
"Kalau di bikin Sinetron, cocoknya di kasih judul 'Pelakor di pelakorin'."
Deg!
Seketika telinga dan hatiku terasa panas, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku mengambil asal beberapa sayuran yang ada di hadapanku, meminta si penjual untuk segera menghitungnya, agar aku bisa cepat pergi dari tempat ini.
"Laki laki mah emang gitu, udah dapat yang mudaan. Eh, pengen yang lebih muda lagi." Cibiran cibiran itu masih terdengar jelas di telingaku. Akupun segera pergi setelah membayar semua yang ku beli.
==========
Sampai di rumah ku simpan sayuran yang baru saja ku beli ke dalam kulkas, berniat ingin menata posisinya dengan rapih, namun hal itu tak terwujud, karena kondisi hatiku tak mendukungnya.
Pikiranku melayang, menerawang banyak hal yang pernah ku lalui. Mengingat setiap kalimat yang kemarin di sampaikan Tania, dalam satu bulan terakhir Mas Tedi hanya 5 hari di rumah Mbak Ratih dan 6 hari di rumahku. Lalu di mana dia tinggal untuk 3 hari yang tersisa?
Banyak dugaan muncul di kepalaku. Apa yang di sembunyikan pria angkuh itu? Akupun teringat pada struk belanjaan dari Minimarket yang ku temukan di saku celana Mas Tedi minggu lalu. Segera aku mencarinya, aku ingat betul saat itu meletakkannya begitu saja di atas rak sandal dekat mesin cuci.
Tidak butuh waktu lama, kertas itu sudah di tanganku, ku baca setiap baris tulisan yang tertera, isinya semua kebutuhan wanita. Waktu itu aku berpikir bahwa semua belanjaan yang tertulis di sini adalah milik Mbak Ratih. Tapi setauku Mbak Ratih tidak pernah belanja di Minimarket, dia selalu mengambil barang barang keperluannya seperti Sabun, Shampo, atau Parfum langsung dari toko miliknya.
Matakupun tertuju pada alamat Minimarket yang tertera pada struk ini. Alamatnya di wilayah tempat tinggalku, padahal di dekat tempat tinggal Mbak Ratih juga ada Minimarket serupa. Aku semakin heran.
Ku tarik nafas dalam, berusaha menetralisir kegundahan yang menyelimuti hati. Aku harus tetap tenang, walau nyatanya sangat sulit.
Apakah aku cemburu? Entahlah, yang jelas saat ini hatiku tidak baik baik saja.
Ku coba meredam semua rasa yang tak jelas ini, melanjutkan hariku dengan sewajarnya, mencuci pakaian, memasak untuk makan siang, dan menjemput Zaki di sekolah. Hariku menjadi lebih baik saat Zaki ada di sampingku.
***
Hari mulai gelap, suara adzan Maghrib mulai ramai terdengar dari beberapa Masjid dan Mushola di sekitar rumahku. Setelah melepas pria kecilku untuk pergi mengaji, akupun segera masuk ke rumah untuk mengambil wudhu dan sholat Maghrib.
Saat hendak menggelar Sajadah, tiba tiba HPku berbunyi, tanda masuk pesan. Ku lirik ke layar HP tertera nama Mbak Ratih di sana. Segera ku buka pesan tersebut, untuk mengobati rasa penasaran sebelum sholat.
[Vi, Mas Tedi sekarang sedang perjalanan ke rumah kamu. Titip dia ya, jangan dulu di ajak bicara yang macam macam]
[Usahain seminggu ini full di rumah kamu].
2 pesan beruntun di kirimkan Mbak Ratih. Aku tertegun sejenak, 2 hari ini aku seperti mendapat begitu banyak kisi kisi untuk menjawab sebuah persoalan besar. Melupakan sejenak persoalan yang sedang kuhadapi, bergegas ku laksanakan 3 rakaat, bersimpuh pada sang pencipta, seraya memohon kemurahannya, agar segala kesulitan dan kesakitanku segera berakhir.
Baru selesai mengucap salam, menutup rakaat ke 3 di sholat Maghribku, aku mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah, ku yakin itu Mas Tedi. Ku acuhkan kedatangannya, lalu melanjutkan munajatku pada sang pemberi kehidupan.
"Assalamualaikum." Mas Tedi sudah berdiri di depan pintu kamar.
"Waalaikum salam." Aku menoleh, Mas Tedi menghampiriku.
"Vi, aku lapar. Dari pagi tadi aku belum makan." wajahnya terlihat begitu kusut, aku menangkap kegusaran dalam tatapannya.
"Mbak Ratih gak masak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Memangnya apa yang bisa dia lakukan, dengan kondisinya yang sedang lemah seperti itu?" Dia tersenyum getir. Ada raut marah dari wajah Mas Tedi yang membuatku bungkam, tak berani bertanya lebih jauh.
Sepertinya aku memang harus mengikuti apa yang di sarankan Mbak Ratih, untuk tidak bicara macam macam pada Mas Tedi. Akupun bergegas ke dapur menyiapkan makan malam untuk Mas Tedi.
Setelah semua tersaji di meja makan, Mas Tedi langsung melahap semua makanan yang ku sajikan di piringnya. Sepertinya dia benar benar kelaparan, karena sebelumnya aku tidak pernah melihatnya makan sebanyak ini.
"Kamu gak makan?" Mas Tedi baru menyadari bahwa sejak tadi aku hanya duduk termenung di hadapannya.
"Enggak Mas, aku makannya nanti aja sama Zaki." Ucapku tak kalah datar dari kalimatnya.
Diapun menyelesaikan makan malamnya. Kemudian aku segera merapikan bekas makan Mas Tedi. Sengaja aku berlama lama di dapur, rasanya sungkan jika saat ini harus berada satu ruangan dengannya, mengingat apa yang sudah dia lakukan padaku kemarin, dan apa yang di katakan Ibu ibu pagi tadi, aku takut hilang kendali dalam mengelola emosiku.
Setelah melakukan banyak hal yang tidak penting di dapur, akhirnya adzan Isyapun berkumandang, aku segera mengambil wudhu dan melaksanakan sholat tanpa menunggu Mas Tedi. Aku takut sholatku jadi tidak sah, jika harus di imami oleh orang yang saat ini sedang ku benci.
Selesai sholat, aku segera pergi menjemput Zaki yang sudah waktunya pulang mengaji.
"Mau kemana?" Tanya Mas Tedi. Wajahnya basah, sepertinya dia baru selesai wudhu.
"Mau jemput Zaki."
Tak ada lagi percakapan, ku lihat Mas Tedi langsung amsuk ke kamar, dan akupun langsung ke luar rumah menuju TPQ tempat Zaki mengaji.
Tak jauh dari TPQ, ku lihat Zaki sedang berdiri di bawah pohon, matanya berkaca kaca. Dia langsung menghambur ke pelukanku.
"Bunda... " Tangisnya pecah.
"Zaki kenapa?" Ku dekap dia dalam pelukan, khawatir hal buruk telah terjadi padanya.
"Sandal Zaki di lempar ke atas pohon sama temen temen." Dia masih terisak di pelukanku.
Ku lihat ke arah kakinya, benar saja, dia hanya memakai sandal yang sebelah kiri. Aku menghembuskan nafas kasar, syukurlah hanya tentang sandal. Ku pikir terjadi hal serius.
Ku lihat sandal Zaki tersangkut di ranting pohon yang tidak terlalu tinggi, tapi sayangnya tubuhku yang terlalu pendek. Dengan tinggi yang hanya satu setengah meter, mana bisa aku mengambil sandal di ranting pohon yang tingginya lebih dari 2 meter.
Ku coba terus melompat, berusaha lebih tinggi, tapi masih juga tak bisa menjangkau ujung rantingnya. Sudah banyak jurus ku keluarkan tapi belum juga membuahkan hasil.
Tiba tiba sebuah tangan menjangkau dengan mudah sandal itu.
"Biar saya ambilkan Mbak." Suara yang berasal dari tubuh tinggi yang berdiri di sampingku.
Aku segera melirik ke arahnya, dan ketika tangan itu hendak memberikan sandal kepadaku, aku dapat melihat jelas raut wajahnya. Tanganku pun kaku saat akan mengambil sandal dari tangannya.
Seketika mataku membulat, jantungku bertalu talu, seperti ada semarak pesta kembang api di dalam hatiku. Tatapan di sebrang sanapun tak kalah antusias melihatku, ada senyum yang terkembang sempurna di wajah itu. Sejenak tatapan kami bertemu.
"Avi... " Ah, dia mengingatku.
"Kak Mirza!" Nama yang selalui menghantui tiap mimpiku saat aku SMP.
"Ini?" Dia menunjuk ke arah Zaki, yang baru saja berdiri di sampingku.
"Ini Zaki, anakku." Ku tatap wajah tampan pria kecilku, kemudian kembali menatap Kak Mirza dengan senyum yang masih terkembang di wajahku.
"Terima kasih ya Om." Ucap Zaki, sambil menerima sandal yang di berikan Kak Mirza, kemudian langsung memakainya.
"Sama sama ganteng." Jawab Kak Mirza sambil mengusap pucuk kepala Zaki.
Tatapanku tak lepas dari wajah itu, wajah yang di tumbuhi begitu banyak bulu bulu tipis di dagu dan rahangnya, wajah yang dulu selalu ku perhatikan dari jauh saat dia sedang menonton pertandingan sepak bola di rumahku bersama Mas Andra.
Ya, dia Kak Mirza, teman satu tongkrongan Mas Andra, Kakakku. Dulu aku begitu menggandrunginya, karena dari semua teman teman Mas Andra yang sering main ke rumah, hanya dia yang tak pernah menggodaku.
Aku begitu kagum padanya kala itu, pria cuek dengan tampilan yang cool, mampu membuat hatiku meleleh setiap waktu. Hingga akhirnya aku harus patah hati, karena Kak Mirza tiba tiba menikah dengan kakak kelasku yang baru lulus SMA, sedangkan aku saat itu baru naik ke kelas 11. Ternyata mencinta dalam diam itu sakit, pake banget.
Tapi karena Alloh itu maha adil, akupun di pertemukan dengan Mas Andi, pria lemah lembut yang meminangku setelah lulus SMA. Aku menikah saat usiaku baru 17 tahun. Walau akhirnya Mas Andi harus pergi di tahun ke 6 pernikahan kami.
"Bunda!" Suara Zaki membuyarkan lamunanku.
"Iya Sayang?"
"Pulang yuk, Zaki lapar." Ucapnya sambil menepuk perut.
"Eu... Kak... Eh!" Aku salah tingkah.
"Ya sudah, silahkan. Saya juga mau langsung ke rumah Mas Husni." Kak Mirza langsung mempersilahkan kami pulang. Mas Husni adalah guru ngaji Zaki, yang kebetulan sepupu Kak Mirza.
"Kami pulang dulu ya Kak." Entah apa yang merasukiku, sejak tadi jantung ini belum berhenti bertalu talu.
"Iya, hati hati." Dia mengangguk, sebelah tangannya di masukan ke dalam saku celana, "Kapan kapan kita ketemu lagi."
Kalimat terakhirnya membuatku yang sudah melangkah pulang kembali menoleh, ada senyum yang masih terkembang di sana. Segera ku katupkan bibirku, berusaha menahan diri agar tak terlalu larut dalam situasi ini, mengingat bahwa diriku mempunyai suami. Ku tundukkan pandanganku, lalu kembali melangkah pulang.
Bersambung #5
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Senin, 01 November 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel