Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 02 November 2021

Madu Pahit #5

Cerita Bersambung

Sampai di rumah, ku lihat Mas Tedi sudah berbaring di tempat tidur, sepertinya dia memang sedang punya masalah, tapi aku tak begitu menghiraukannya.

Setelah makan malam bersama Zaki, aku memutuskan untuk tidur besamanya.
Melewati malam dengan segudang pertanyaan di kepala sungguh membuatku tidak nyaman. Tapi ketidak nyamanan itu seketika berubah, ketika wajah Kak Mirza kembali terlintas dalam ingatan.

Akupun tersenyum geli membayangkan diriku sendiri. Bagaimana bisa aku tersenyum manis membayangkan suami orang, dan menekuk wajah saat membayangkan suami sendiri? Ah, sudahlah.

Pagipun tiba, ku lalui seperti biasa. Saat semua hidangan sudah tersaji di meja makan, dan pria kecilku sudah duduk di depan piringnya, mataku kemudian mencari sosok pria yang katanya suamiku. Setelah sholat subuh tadi dia kembali berbaring di tempat tidur, lebih baik aku tidak membangunkannya.

Ku lanjutkan sarapanku bersama Zaki, kemudian mengantarnya sekolah. Sepulang mengantar Zaki, ku lihat Mas Tedi masih tidur, dan belum menyentuh sarapannya. Aku segera menghampirinya di tempat tidur, lalu duduk di sisi ranjang.

"Mas!" Ku tepuk lembut bahunya, belum ada reaksi.
"Mas, bangun!" Ku perkuat tepukan di bahunya.
"Hmmh." Dia menggeliat dan mengerjapkan mata.
"Sarapan dulu, nanti baru tidur lagi."

Dia kemudian membuka kedua matanya dengan sempurna.

"Aku belum mau sarapan."
"Ya sudah."

Akupun bangkit, hendak beranjak. Tapi gerakanku tertahan, dengan sigap Mas Tedi meraih pinggangku, dan menarikku dalam dekapannya. Aku yang terkejut hanya memandangnya dengan penuh tanya.

"Ini di rumah kamu, kamar kita." Ada yang berbeda dari tatapannya, "Di sini tidak ada Ratih dan Tania, Zaki juga sudah pergi sekolah kan?"

Aku masih membisu, ada perasaan yang sulit di gambarkan dalam hatiku. Apa mungkin dia mulai menerimaku? Tidak! Ucapan Tania dan Ibu ibu di tukang sayur kemarin seolah menghalangiku untuk berpikir demikian.

Mas Tedi tidak menghiraukan kebisuanku, dia tetap melanjutkan apa yang ingin dia lakukan. Aku merasakan hal berbeda, ada hasrat yang tersirat di setiap sentuhannya. Bila biasanya dia melakukan hanya atas dasar kewajiban, bahkan sekedar formalitas, kali ini berbeda. Aku merasa seperti di inginkan.
Ah, Mas Tedi. Mengapa sikapnya justru menumbuhkan berjuta tanya di kepalaku.

Tanpa sadar aku tertidur dalam pelukannya, menempelkan sebelah pipiku di dada bidangnya. Hingga akhirnya tidurku harus terganggu oleh suara gemerucuk dari perut Mas Tedi, aku langsung mendongak melihat wajah Mas Tedi, rupanya dia tidak tidur.

"Itu suara perut Mas?" Tanyaku, dengan mata yang masih mengerjap.
"Aku lapar." jawabnya datar.

Aku segera bangkit, memungut baju yang berserakkan dan memakainya. Bergegas ke dapur menyiapkan sarapan Mas Tedi yang tertunda. Diapun mengikutiku, kemudian duduk di kursi yang ku sediakan, ada senyum tipis di wajah itu, senyum pertama yang dia tunjukkan kepadaku, setelah tiga bulan lebih menjadi suamiku.

Aku terpaku dengan sikapnya, ada desiran halus di dadaku. Tak bisa ku pungkiri, bahwa aku bahagia dengan sikapnya. Ahhhh, wanita memang mudah luluh.

Aku menjalani hari hari yang lebih baik dengan Mas Tedi, hingga aku lupa mempertanyakan tentang omongan tetangga di tukang sayur tempo hari. Mungkin aku terlalu antusias menikmati moment ini, hingga tak mau merusaknya dengan pertanyaan yang beresiko mengganggu sikap Mas Tedi yang sedang baik kepadaku seminggu ini.
Toh Mbak Ratih juga memintaku untuk menahan Mas Tedi, agar tinggal seminggu penuh di rumahku.

Kini sudah waktunya Mas Tedi kembali ke rumah Mbak Ratih. Dengan meninggalkan kesan yang cukup baik untukku, rasanya tidak berlebihan jika aku menganggap ini sebagai minggu terindahku bersama Mas Tedi.
_________________________________

Setelah Mas Tedi pergi, aku kembali teringat dengan semua omongan Tania dan Ibu ibu di tukang sayur. Aku harus mencari tau, aku tidak mau terbuai dengan sikap Mas Tedi yang lebih baik padaku secara tiba tiba. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.

Hari ini Zaki libur sekolah, karena Kakak kelas enamnya sedang Ujian. Dia mengajakku menginap di rumah Neneknya, kamipun pergi. Tentu sebelumnya aku menelpon Mas Tedi dulu untuk meminta izin.

Di rumah Ibu, Zaki di perlakukan tak ubahnya seperti seorang Raja. Semua yang dia minta selalu di turuti oleh Kakek dan Neneknya. Sebenarnya aku tidak setuju dengan cara mereka memperlakukan Zaki, tapi aku sadar betul, bahwa itu adalah bentuk kasih sayang Ibu dan Bapak kepada Zaki sebagai cucunya. Aku justru merasa beruntung dengan adanya mereka.

"Vi, apa kamu gak ada niatan ngasih adik buat Zaki?" Tanya Ibu, sambil mengupaskan Jeruk untuk Zaki.

"Belum waktunya mungkin bu." Dalam kondisi rumah tanggaku yang seperti sekarang, aku belum mengharapkan adanya anak di antara aku dan Mas Tedi.

"Mau kapan lagi Vi? Zaki kan sudah besar." Timpal Bapak, yang sedang asik melihat tayangan Talk show tentang politik di TV.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Bapak, "Iya Pak."
"Kalau Zaki punya adik, Ibu jadi seneng. Soalnya cucu Ibu nambah." Ucap Ibu dengan tatapan yang berbinar.

Mendengar ucapan Ibu, seperti ada tetesan embun yang meresap sejuk di seluruh pembulu darahku. Ku tatap lekat wajah sepuh itu, ada rasa haru dan bahagia menyeruak di dalam dadaku.

"Vi, sama seperti halnya Zaki, kalau kamu punya anak lagi, berarti anak itu juga cucu Ibu." ada senyum tulus di raut itu, "Karena kamu tetap anak Ibu." Tambahnya.

Seketika air mata yang sejak tadi tertahan, kini benar benar luruh. Ku peluk erat tubuh Ibu, betapa dia adalah salah satu anugrah terindah yang Alloh hadirkan untuk hidupku.

"Anggaplah kami di sini sebagai tempatmu pulang."

Suara Bapak semakin membesarkan hatiku yang sebenarnya sedang rapuh. Semakin ku eratkan pelukanku kepada Ibu, mengucapkan terimakasih berkali kali kepada Ibu dan Bapak.

"Sebenarnya kamu kenapa Vi?" Sepertinya Ibu curiga dengan sikapku, "Gak biasanya kamu nangis kayak gini." kemudian Ibu melepaskan pelukanku.
"Enggak apa apa kok bu." Aku segera menghapus air mataku, akhir akhir ini aku memang lebih cengeng.

"Kamu lagi ada masalah?" Tangannya mengusap bahuku.

Aku hanya menggeleng, sejujurnya ingin mengungkapkan banyak hal pada Ibu, tapi waktunya tidak tepat.

"Vi, selama suami kamu masih bertanggung jawab lahir dan batin, dan dia juga tidak bersikap kasar terhadap kamu dan Zaki, berarti dia baik." Tutur Ibu.

Nasehat Ibu ada benarnya, Mas Tedi memang bertanggung jawab lahir batin, dan dia juga tidak pernah bersikap kasar.

Tapi aku masih muda, ada saat di mana aku ingin dia memanggilku dengan sebutan 'Sayang', ada saat di mana aku ingin di ajak pergi berdua selayaknya suami istri yang saling mencintai, ada saat di mana aku ingin di akui di hadapan teman temannya. Dan semua itu tidak ku dapatkan dari Mas Tedi.

Setiap kali ada undangan pernikahan atau acara apapun, dia tak pernah mengajakku. Bahkan ketika Mbak Ratih sakit sekalipun, dia lebih memilih pergi sendiri dari pada harus pergi bersamaku.

Ah, andai Ibu tau semua itu!

Malam semakin larut. Aku, Ibu, dan Zaki memilih tidur di ruang tengah beralaskan kasur lantai. Malam ini rasanya begitu tentram, aku melewati lelapku dengan hati yang damai.

Hingga pagi tiba, aku memilih untuk segera pulang, sedangkan Zaki memilih untuk tetap tinggal hingga liburannya selesai. Tentu aku tidak akan bisa melarangnya.

Sebelum pulang Ibu memberiku tiga kantong plastik besar, yang setiap kantongnya berisi macam macam hasil kebun, seperti Ubi, Singkong, Kentang, dan Timun.

"Sebanyak ini mau Avi apain bu?" Tanyaku heran.
"Ya kamu bagikan, Ibu juga kira kira." Jawabnya sambil mengikat kantong plastik itu satu persatu, "Yang dua kamu kasih ke Mas Andra sama Nak Ratih. Jadi buat kamunya satu kantong aja."
"Iya bu." Jawabku, sambil tersipu malu karena sudah salah sangka.

Akupun segera pamit, salim pada Ibu dan Bapak, juga memeluk dan mengecup kening putraku. Bergegas pergi dengan membawa tiga bingkisan spesial dari Ibu. Tujuan pertamaku adalah menuju rumah Mbak Ratih untuk memberikan titipan Ibu. Semoga dia ada di rumah.

Sampai di tempat tujuan, ku hentikan motorku di depan pagar rumah, tidak perlu di bawa ke dalam, karena niatku hanya memberikan titipan Ibu. Dari kejauhan aku melihat pintu rumah sudah terbuka, sepertinya ada orang di sana.

Saat kakiku baru menginjak lantai Marmer yang berjarak tiga meter dari lubang pintu yang terbuka, seketika itu langkahku terhenti.

"Karena dari dulu yang ku inginkan adalah Dita, bukan Avi!"

Teriakan dari laki laki yang suaranya sangat tidak asing bagiku.

"Lalu kenapa waktu itu kamu mau menikahi Avi, Mas?" Lirih suara Mbak Ratih.
"Karena kamu yang memaksaku, kamu yang mengancam akan meminta cerai jika aku lebih memilih Dita di banding Avi."

Lagi, ku dengar teriakan penuh amarah dari laki laki yang memang terpaksa menikahiku.

Serasa ada dentuman dahsyat di dalam dadaku, ada gemuruh yang memekakkan indra pendengaranku. Tanpa sadar bahuku berguncang, air mata luruh laksana derasnya hujan. Tubuhku mematung, kaku tanpa arah.

==========

[POV Mas Tedi]

"Aku ikhlas kalau kamu menikah lagi Mas." Ucap Ratih penuh keyakinan.

Kami sudah lima belas tahun menikah, tapi tidak ada buah cinta di antara kami. Setelah lima tahun pernikahan kami, Ratih harus merelakan Rahimnya di angkat karena penyakit Kanker.

Aku tau, salah satu alasan Ratih mengatakan itu adalah karena desakkan Umi.

Sebenarnya, setelah Rahim Ratih di angkat, kami mengadopsi seorang anak perempuan, yang merupakan anak dari kerabat Ratih. Sekarang dia sudah remaja, namanya Tania.
Tapi siapa sangka, setelah mengadopsi Tania, sikap Umi jadi berbeda terhadapku dan juga Ratih. Umi bilang mengadopsi bukan jalan yang tepat, terlalu riskan. Karena Tania bukan mahromku, dan hak perwaliannya kelak akan jadi rumit, karena Ayah Tania pergi begitu saja setelah Ibunya meninggal.

Dan saat ini, Umi sering kali menyinggung masalah anak kepadaku juga Ratih. Mungkin karena aku anak laki laki satu satunya, jadi Umi sangat mengharapkan kehadiran cucu dariku.

Berhari hari aku memikirkan ucapan Ratih, rasanya sangat sulit mengabulkan permintaannya yang satu ini, lebih tepatnya permintaan Umi.

Aku sangat mencintai Ratih, aku tak pernah mempermasalahkan kekurangannya. Tapi aku tak menyangka, dia bisa seyakin itu memintaku untuk menikah lagi.

Awalnya aku menolak keras permintaannya untukku menikah lagi. Tapi kemudian penolakkanku mulai goyah, ketika aku bertemu Dita. Kasir baru di toko sembakoku.

Gadis cantik dengan tubuh semampai itu sangat menarik perhatianku, dia begitu ramah dan perhatian, sikap manja yang selalu dia tunjukkan padaku seolah menjadi candu, yang selalu ingin ku nikmati setiap hari.

Akhirnya hatiku mantap, aku akan menjadikan Dita, sebagai istri mudaku. Akupun mulai merencanakan kapan dan bagaimana aku mempertemukan Dita kepada Ratih.

Namun semua tidak sesuai harapan, rupanya Ratih sudah tau hubunganku dan Dita. Awalnya aku pikir ini tidak akan menjadi masalah, tapi ternyata aku salah, karena Ratih sudah memilihkan calon istri untukku, yang tentunya bukan Dita.

Dia memintaku menikahi Avi, seorang janda beranak satu, penjual kue basah yang biasa di titipkan di warungku. Tentu aku menolak, Avi tidak buruk, hanya saja dia tidak lebih cantik dari Dita ataupun Ratih, penampilannya sangat sederhana, terlalu kampungan.

"Papa gak mau menikahi Avi." Tolakku tegas pada Ratih.
"Tapi Pa, dia kan masih muda, cantik. Dengan menikahi Avi, kita bisa ikut membantu kehidupannya." Ratih tak mau kalah.
"Tapi Papa gak cinta sama dia. Papa gak mau nikah hanya karena kasihan." Tambahku lagi.
"Terus kalau sama Dita, Papa cinta? Iya?" Tanya Ratih, air matanya mulai tumpah.
"Papa mohon, bukannya Mama sendiri yang minta Papa menikah lagi." Ucapku sambil memegang kedua pundak Ratih yang mulai berguncang, "Biarkan Papa mementukan pilihan." Tambahku.
"Jadi Papa tetap ingin menikahi Dita?" Ucapnya lirih.
"Iya." Jawabku penuh keyakinan.
"Baik, silahkan." Kemudian Ratih menghela nafas panjang, "Tapi ceraikan aku dulu."

Aku terhenyak, sedikitpun tak menyangka dengan apa yang baru saja di ucapkan Ratih. Bagaimana mungkin aku sanggup meninggalkan wanita yang sudah lima belas tahun hidup bersamaku dalam suka dan duka.

"Kenapa Mama bisa ngomong gitu?" Tanyaku heran.
"Aku tidak mau di sejajarkan dengan wanita seperti Dita." Jawabnya datar.

Aku mengerti apa yang di maksud Ratih. Mungkin karena Dita sering kali berpakaian minim. Jauh berbeda dengan Avi, yang sehari harinya selalu memakai gamis, dan jilbab yang panjangnya menutupi dada, bahkan lebih tertutup dari Ratih yang masih suka memakai pasmina yang di lilit di leher.

Akupun mengalah, tak ingin berdebat lebih panjang lagi dengan Ratih.
***

Setelah beberapa hari dari perdebatanku dengan Ratih, aku menemui Umi. Karena bagaimanapun dialah yang menyarankan pernikahan kedua untukku. Ku ceritakan semua yang terjadi antara Aku, Ratih, Dita, dan Avi.

Di luar dugaanku, ternyata Ratih sudah lebih dulu menceritakan kepada Umi tentang rencananya melamarkan Avi untukku, bahkan Ratih sudah menceritakan semua tentang Avi kepada Umi.

"Nak, Ibu lebih setuju pada pilihan istrimu." Tuturnya begitu tenang.
"Avi itu janda yang di tinggal suaminya meninggal, yang juga berarti anak semata wayangnya itu adalah anak yatim. Dengan kamu menikahi Avi, berarti kamu berpoligami dengan berlandaskan Syari'at. Karena kamu telah turut bertanggung jawab dalam kepengurusan anak yatim, dan kamu juga membantu kehidupan Avi, karena selain janda dia juga yatim piatu." Sorot matanya tetap teduh menatapku.
"Sedangkan bila kamu menikahi Dita, poligami yang kamu lakukan hanya berlandaskan nafsu, syahwat. Belum lagi istrimu tidak ridho terhadapmu dan Dita, pernikahan kalian juga tidak akan berkah. Lebih banyak mudhorotnya."

Mendengar semua nasehat Umi, aku tak bisa menyangkal lagi. Bisa apa aku saat ini? Selain mengikuti perintah dari dua wanita yang aku cintai, aku tidak punya pilihan lain.
***-

Akhirnya aku menikahi Avi. Pernikahan kami di laksanakan malam selepas sholat isya, aku melihat penampilannya sedikit berbeda, ada sedikit sentuhan make up di wajahnya. Tak ku pungkiri, dia lebih menarik dari biasanya, tapi itu tak kan merubah perasaanku padanya.

Menikahi Avi tak serta merta membuat hubunganku dan Dita berakhir. Kami tetap intens berkomunikasi, karena dia tetap bekerja di tokoku.

Selepas akad nikah, semua orang meninggalkanku di rumah Avi, termasuk Ratih. Hanya tersisa kami berdua, aku sempat tertegun, melihat penampilannya tanpa jilbab, dengan rambut hitam sebahu, dan kulit kuning langsat, dia nampak sederhana tapi mempesona. Namun sayang, bayangan cantik Dita tak mampu di hapuskan begitu saja, dia begitu istimewa.
Maka di malam pertama aku tak sidikitpun menyentuh Avi.

Pagi ke empat di rumah Avi. Saat keluar dari kamar mandi aku melihat ada Ratih di ruang tamu. Aku merindukannya, tapi aku lebih merindukan Dita. Ku hampiri dia, yang ternyata datang untuk mengambil bukunya yang tertinggal di koperku.

Entah apa yang sudah di bicarakannya dengan Avi, karena di saat aku mengantarkannya pulang, dia terus mempertanyakan perlakuanku terhadap Avi.

Apa mungkin Avi bercerita pada Ratih bahwa aku tak pernah menyentuhnya.

"Mas, tujuan Mas menikahi Avi adalah untuk mendapat keturunan. Perlakukan dia dengan seharusnya, jangan sampai Mas jadi suami yang dzolim." Ucapnya saat aku hendak kembali ke rumah Avi.

Ucapan Ratih seperti angin lalu di telingaku, yang ku pikirkan saat ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa menemui Dita, karena sudah hampir dua minggu aku tak bertemu dengannya.

Tiba di rumah Avi, dia sudah menyiapkan sarapan untukku. Di sela makan aku menanyakan apa yang dia katakan pada Ratih, namun dia mengaku tak mengatakan apapun. Sebenarnya aku tak begitu perduli.

Teringat dengan kunci motor yang ada di saku celanaku, aku mencoba meminjamnya pada Avi, dengan alasan akan kembali membuka warung, dan diapun mengizinkan.

Selesai sarapan aku segera pergi menuju toko sembakoku di wilayah kecamatan, untuk menemui Dita.

Rindu yang selama ini ku tahan akhirnya terobati, gadis cantik yang selalu tampil menarik itu menyambutku dengan senyum manisnya. Kepalakupun di buat pusing dengan baju yang dia kenakan, ada banyak pemandangan indah yang tanpa sengaja bisa ku saksikan.

Sepertinya dia sengaja memakai pakaian seperti itu untuk menarik perhatianku. Padahal tanpa pakaian seperti itupun dia sudah bisa mengalihkan duniaku dari Ratih dan juga Avi.

"Kamu gak perlu pake baju kayak gitu lagi, perasaan aku ke kamu gak akan berubah. Jangan khawatir." Ucapku meyakinkannya.
"Tapi Mas suka kan, lihat aku kayak gini?" Dia menggelayut manja di lenganku, dan mengerling nakal, membuat ludahku sulit di telan.

Akupun melepas rindu, berbicara banyak hal dengan gadis pujaanku, hingga jam kerjanya selesai. Kebetulan tempat tinggal Dita memang satu wilayah dengan Avi, jadi aku tak perlu memutar arah untuk mengantarkan Dita pulang.

Setelah puas berbincang dengan orang tua Dita di rumahnya, aku segera pamit pulang, karena hari hampir petang.

Sampai di rumah Avi, aku teringat ucapan Ratih untuk memperlakukannya lebih baik. Ku coba lebih baik, walau nyatanya hatiku tetap hambar. Dia sendiri terlihat datar, tak ada ekspresi yang bisa ku tangkap dari rautnya, entah dia sedih, marah, atau bahagia, aku tidak tau. Yang pasti dia memperlakukanku dengan baik.

Setelah seharian bersama Dita dengan pakaian minimnya, ada gejolak yang mengusik naluri lelakiku. Tentu, aku pria normal. Namun aku masih punya iman, tak mungkin ku salurkan hasrat itu pada Dita, yang belum halal bagiku.

Ya, malam ini, menjadi malam pertamaku bersama Avi. Menyentuhnya, dalam bayangan Dita.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER