Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 03 November 2021

Madu Pahit #6

Cerita Bersambung

Tubuhku limbung, saat mendengar secara langsung pengakuan Mas Tedi yang memang tak menghendakiku. Tapi aku tak mau di kalahkan takdir, ku sejajarkan kedua kakiku, berdiri tegak di teras rumah ini, berusaha menguatkan hati untuk mendengar kenyataan pahit yang sedang tersaji.

"Aku sudah mengikuti permintaanmu untuk menikahi Avi. Jadi sekarang giliran kamu mengikuti permintaanku untuk mau menerima Dita." Lantang, suara pria itu meneriaki Mbak Ratih.
"Tapi kenapa kamu menikahi Dita secara diam diam, Mas?" Suara itu bergetar, sepertinya Mbak Ratih menangis.

"Karena aku yakin kamu tidak akan mengizinkan." Tajam, suara itu menusuk hingga ke hati.

Aku membekap mulutku dengan telapak tangan, tak ingin ada suara yang keluar dari tangis ini, air mata luruh menghujani pipi, dada terasa sesak dan terbakar. Aku merasa di permainkan, aku merasa tak di hargai, bahkan mungkin kali ini aku merasa cemburu.

Rupanya Mas Tedi sudah menikah dengan Dita, gadis cantik yang bekerja sebagai kasir di tokonya, dan Dita adalah adik kelasku saat SD, kami tinggal di desa yang sama hingga saat ini, bahkan aku mengenal kedua orang tuanya.

Kenyataan yang lebih pahit adalah ketika aku mengetahui bahwa ternyata Mbak Ratih sudah tau tentang hubungan Dita dan Mas Tedi dari awal. Lantas kenapa harus melibatkan aku?
Dari dalam aku mendengar isakan Mbak Ratih yang semakin kuat, aku tau dia jauh lebih terluka dariku.

"Sekarang mau Mas apa?" Lirih suara itu terdengar.
"Aku mau kamu dan Avi menerima Dita, agar aku tidak perlu lagi menutupi semuanya." Tegas suara itu, seolah memberikan ultimatum pada Mbak Ratih.
"Aku akan mundur." Getir, kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Kini aku sudah berdiri di lubang pintu, memandang nanar pria angkuh yang sudah berhasil membuat hatiku terkoyak.

"Avi!" Mata sembab Mbak Ratih terbelalak melihat kehadiranku, dan sepertinya Mas Tedipun tak kalah kagetnya dari Mbak Ratih.

"Dari awal aku tau, kehadiranku tak di inginkan. Aku ada hanya sebagai pelengkap, karena Mbak Ratih tidak bisa memberi keturunan." Air mataku semakin deras, "Tapi sekarang sudah ada Dita, jadi aku sudah tidak di butuhkan."
"Enggak, Vi." Lirih, Mbak Ratih menatapku.

Ku lihat Mas Tedi hanya memandang ke sembarang arah, dia seolah enggan menanggapi keputusanku.

"Biarkan aku yang menggugat cerai. Aku tidak mau menjadi benalu di kebahagiaan orang lain." Dengan penuh keyakinan ku ucapkan kalimat itu.

Mas Tedi kini menatapku tajam, mungkin dia bahagia mendengar keputusanku.

"Vi!" Tangis Mbak Ratih semakin pecah, tapi aku tidak perduli.
"Aku pamit Mbak." Aku membalik tubuhku.

Langkahku terhenti, saat teringat dengan kantong plastik besar yang menggantung di jari jariku.

"Ini ada titipan dari Ibu." Ku letakan kantong plastik itu di atas meja, dengan tubuh yang tetap membelakangi mereka.

"Terima kasih, sudah menjerumuskanku cukup jauh dalam masalah kalian." Puas ku lontarkan kalimat itu dengan nada penuh penekanan.

Aku segera beranjak keluar, langsung memacu motorku untuk pulang ke rumah.

Sampai di rumah, ku tumpahkan semua tangis dan amarah, ku hamburkan semua baju Mas Tedi dari dalam lemari, tak sudi lagi rasanya jika harus menjadi bagian dari hidupnya. Segera ku ambil koper miliknya dari atas lemari, langsung ku jejali dengan baju bajunya yang sudah berserakan di lantai.

Ku dorong koper itu ke sembarang arah, 'Aku masih baik Mas, buktinya aku masih mau mengemas baju bajumu, untuk kau bawa pulang' batinku.

Seharian ini ku habiskan waktuku untuk menangis dan menyesali apa yang sudah ku lakukan. Kenapa dulu aku harus mau menikah dengan Mas Tedi?
Entahlah, tiba tiba hatiku terhenyak saat tanpa sengaja mataku melihat kalender yang menggantung di ruang tengah.
Tanpa pikir panjang segera ku raih kunci motor yang ku simpan di kamar, bergegas pergi menuju apotek yang paling dekat dari rumah, ada yang harus ku pastikan sebelum aku menggugat cerai Mas Tedi.
***

Segera ku raih benda kecil itu, yang baru saja ku celupkan beberapa saat pada urinku, menanti hasil yang akan segera terpampang di sana.

Air mataku tumpah, tubuhku luruh ke lantai, ku pukul perutku berkali kali.

"Aku benci kehadiranmu."
"Kenapa kamu harus tumbuh dalam rahimku?"
"Aku benci kamu, aku juga benci Ayahmu!"

Aku meraung, berharap semua ini hanya mimpi. Ku lemparkan tespack dengan dua garis merah itu ke sembarang arah, merasa kecewa dengan hasil yang di berikannya.

Hancur, saat ini aku merasa hancur. Bahkan mungkin lebih dari hancur. Terlalu lama bila aku harus menunggu bayi ini lahir, agar bisa bercerai dengan Mas Tedi. Aku sendiri tak yakin akan mampu mempertahankannya dengan kondisi rumah tanggaku yang rumit ini.

Malam ini aku hanya duduk di kamar, bersandar pada kepala ranjang. Merenungi nasib yang aku sendiri tak tau apa solusinya. Andai aku tak ingat pada dosa dan kematian yang bisa datang kapan saja, mungkin aku akan menggugurkan janin yang ada dalam rahimku ini.

Tapi Alloh begitu menyayangiku, tak sedikitpun niat itu muncul dalam pikiranku. Aku hanya benci pada kehadirannya yang tak tepat waktu.

'Drrrttt ... '

HPku bergetar di atas nakas, ku lirik pada layarnya, ada nama Mas Tedi tertera di sana.

[Datanglah ke rumahku besok. Kita semua harus bicara!]

Pesan yang berisi perintah dari Mas Tedi. Dia mengatakan 'Kita semua', pasti Dita termasuk di dalamnya.

Dadaku kembali terasa sesak, mengingat sosok Dita. Dia gadis yang cantik, usianya sekitar tiga tahun lebih muda dariku. Jujur, aku merasa heran, kenapa harus Mas Tedi yang dia pilih? Padahal aku yakin, dia bisa mendapatkan pria single yang lebh tampan dan lebih kaya dari Mas Tedi, bahkan lebih muda dari Mas Tedi.

Ah, sudahlah. Siapa aku? Mas Tedi sendiri tak pernah menghendaki kehadiranku.
***

Pukul 08.45, kepalaku terasa begitu berat, mataku juga sedikit perih. Mungkin karena kurang tidur dan terlalu banyak menangis. Aku hanya berbaring di tempat tidur, membuka aplikasi vidio di HP, berharap bisa menemukan tontonan yang mampu meringankan beban berat di hatiku. Detik kemudian layar HPku menunjukan bahwa ada pesan masuk dari Mas Tedi.

[Aku dalam perjalanan ke rumah Dita, setelah itu aku langsung ke rumah kamu. Segera bersiap siap.]

Segera ku ketik pesan balasan untuk Mas Tedi agar tidak terlambat.

[Tidak perlu ke rumahku, aku akan pergi sendiri membawa motor.]

Tidak sudi rasanya bila aku harus berada satu mobil bersama Dita dan Mas Tedi.

Aku segera bersiap mengganti pakaian, dan memoleskan sedikit bedak dan lipstick, hal yang jarang ku lakukan tapi kali ini aku membutuhkannya untuk menutupi sembab di wajahku.

Saat Tiba di rumah Mbak Ratih, ku lihat mobil Mas Tedi belum terparkir di sana, rupanya aku sampai duluan. Bergegas masuk ke dalam, dan ternyata di sana sudah ada Mbak Ratih di temani Umi. Aku menyalami Umi dan mencium punggung tangannya.

Kami bertiga hanya duduk termenung, tidak ada yang membuka suara. Tak berapa lama Mas Tedipun datang di temani Dita, wanita itu datang dengan tampilan yang mencolok, pakaian minim dan make up tebal. Berbanding terbalik denganku dan Mbak Ratih, yang tampil dengan hiasan mata sembab.

"Aku dan Dita sudah menikah sebulan yang lalu." Mas Tedi membuka suara, setelah dia duduk di sofa bersama Dita.
"Kenapa kamu tidak memberi tau Umi?" Lembut suara itu bertanya, tapi ku tau ada amarah di matanya.
"Karena aku tau, Umi tidak akan merestui pernikahanku." Datar jawaban yang keluar dari mulut Mas Tedi.
"Lalu bagai mana nasib istrimu yang lain?" Tajam tatapan Umi pada Mas Tedi.
"Jika Avi meminta cerai, akupun akan meminta cerai." Terdengar suara Mbak Ratih bergetar, ada air mata yang luruh di pipinya.

Ku lihat Mas Tedi terperangah. Ah, andai aku tidak hamil, maka akan ku kuatkan pernyataan Mbak Ratih itu. Aku tidak bisa berpisah dari Mas Tedi dalam keadaan seperti ini.

"Apa kamu yakin dengan keputusanmu Nak?" Umi menatap Mbak Ratih, kemudian beralih menatapku yang duduk di sampingnya.

Aku hanya memejamkan mata, menundukan wajah untuk menyembunyikan kegetiran yang sedang berkecamuk. Batinku seolah berteriak 'Kenapa aku harus hamil?'

Aku berada pada posisi yang begitu sulit, posisi yang menyiksa batinku.

"Sekarang bagai mana keputusanmu Nak?" Umi kembali melayangkan pertanyaan pada Mas Tedi.
"Apa yang harus ku putuskan?" Mas Tedi balik bertanya.
"Putuskan, siapa yang kamu pilih Mas?" Tegas Mbak Ratih.
"Kamu memilih aku dan Avi, atau perempuan itu?" Mata Mbak Ratih tajam menatap ke arah Dita yang terus menunduk.

"Mas Tedi gak bisa menceraikan aku!" Tiba tiba Dita bersuara.
"Kenapa?" Tanya Mbak Ratih.
"Karena sekarang aku hamil."
'Deg!'

Seperti ada palu godam menghantam jantungku, air mataku tiba tiba luruh dengan begitu derasnya tanpa di minta. Aku sudah tak tahan ingin menumpahkan semua kesakitan ini dengan raungan.

"Aku pulang!" Aku segera pergi meninggalkan rumah Mas Tedi, tanpa menghiraukan panggilan dari Umi dan Mbak Ratih.

==========

[POV Mas Tedi]

Hari hariku bersama Avi jadi lebih baik setelah ada Zaki, setidaknya ada yang bisa ku ajak bicara tanpa perlu merasa risih. Kehadiran Zaki juga memberi kesan tersendiri untuk diriku, anak laki laki itu memanggilku Ayah tanpa ku minta, ada desiran halus di hatiku saat mendengarnya.

Aku memang sangat merindukan kehadiran seorang anak dalam hidupku, terutama anak laki laki. Rasanya akan sangat bangga, bila aku sebagai anak laki laki satu satunya di keluarga, bisa memiliki seorang anak laki laki juga. Andai aku seorang raja, maka anak laki lakiku lah pewaris tahtanya.

Perlahan aku mulai terbiasa membagi waktu dengan dua istri. Tapi ketenanganku mulai terusik, ketika Dita mendesak untuk segera di nikahi. Aku merasa tidak siap untuk melakukannya, tapi aku juga tidak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Dita. Dia gadis yang cantik, pasti ada banyak pria yang menginginkannya.

"Aku gak mau kalau nanti kamu berpaling lagi, Mas." Ucapnya manja.
"Berpaling sama siapa?" Tanyaku heran.
"Ya sama perempuan lain." Bibirnya mencucu, "Sekarang aja kamu mulai nyaman sama Mbak Avi."
"Aku nyamannya sama kamu." Ku raih tangan halusnya dalam genggaman, dan ku tatap lekat mata indahnya.

"Kalau gitu nikahin aku!" Desaknya, sambil menghentakkan kaki kanannya.
"Tapi kondisiku saat ini tidak memungkinkan. Ratih pasti tidak akan setuju." Ku coba memberi penjelasan.
"Ya Mas jangan bilang sama Mbak Ratih." Dia mulai menggelayut manja di salah satu lenganku.

Ku hela nafas panjang, untuk menetralisir perasaan yang mulai tidak karuan. Menatap lekat wajah cantik yang ada di hadapanku.

"Kalaupun sembunyi sembunyi, pasti akan cepat ketahuan. Karena aku akan kesulitan membagi waktunya." Tuturku, berharap Dita mau bersabar.
"Aku janji Mas, aku gak akan nuntut lebih dari kamu." Dia mulai terisak, dan menyandarkan kepalanya di dadaku.

Ah, situasi ini benar benar membuatku tak berdaya.

"Kamu boleh tetap tinggal dengan Mbak Ratih dan Mbak Avi, Mas. Aku gak keberatan." Isakannya semakin kuat, "Aku cuma ingin jadi bagian dari hidup kamu Mas, seutuhnya."

Tatapannya melumpuhkan setiap ototku, tak ada lagi kata yang mampu terucap, kecuali mengabulkan setiap keinginannya.
***

Dengan sedikit kebohongan pada Ratih, akhirnya aku ada di sini. Duduk bersanding dengan Dita, menjadi suami dari gadis cantik yang memikat hati.

Tak ku sangka, di balik sikap manjanya, dia memiliki gaya hidup yang sederhana. Dia tak menuntut banyak hal dariku, apa lagi masalah harta.

Untuk acara pernikahan, kami hanya di hadiri oleh kerabat dekat dari Dita. Tapi Dita tetap memakai Gaun pengantin yang indah, dan dekorasi pelaminan yang mewah. Karena ini adalah pernikahan pertama baginya, jadi dia tetap harus memiliki kenangan yang tak terlupakan.

Aku merasa menjadi pria paling beruntung di dunia. Karena ketika pria lain berebut untuk mendapatkan hati Dita, di saat itu Dita justru datang kepadaku, meminta untuk ku nikahi.

Setelah melewati tiga malam terindah bak Syurga dunia bersama Dita, akupun terpaksa harus pamit. Karena memang seharusnya saat ini aku bersama Ratih.

"Aku pamit ya. Aku janji akan berusaha meluangkan waktu untuk bisa sama kamu." Ucapku meyakinkannya.

Dia terlihat sangat sabar, tak sedikitpun ada raut kecewa di wajahnya. Dia melepasku dengan besar hati, menyadari posisinya yang masih istri gelapku.

Perlahan aku mulai repot membagi waktu antara ketiga istriku, karena Dita akhirnya tak mau bersabar jika aku lebih lama di rumah Ratih atau Avi.

Dan belakangan, aku juga sering di cerca banyak pertanyaan dari Ratih dan Tania, karena aku mulai jarang pulang sesuai waktu yang seharusnya. Hanya Avi tempat pulang paling nyaman, tidak ada pertanyaan macam macam yang dia lontarkan, sekalipun aku tidak pulang kerumahnya tepat waktu.

Aku lebih sering berlama lama di rumah Avi. Di sana memang tidak ada kemesraan dan kehangatan, tapi bersama Avi aku mendapat ketenangan. Di antara ketiga istriku, hanya Avilah yang melayaniku sepenuhnya, tanpa bantuan tangan orang lain.

Di rumah Dita, semua keperluanku di urus oleh Ibunya. Entah itu mencuci pakaianku, atau menyiapkan makananku. Dita tidak mahir dalam melakukan pekerjaan rumah.

Sedangkan di rumah Ratih, aku lebih sering makan makanan dari luar, atau terkadang makan masakan Tania yang rasanya aneh. Ratih terlalu sibuk dengan karirnya, atau terkadang dia sibuk dengan penyakitnya.

Dan untuk pakaianku, Ratih selalu mendatangkan orang seminggu dua kali, untuk membersihkan semua hal yang kotor di rumah ini. Hanya Avi yang mengurus semua keperluanku dengan tangannya.
***

Siang ini, ketika aku sedang duduk santai di teras bersama Dita, HP di saku celanaku bergetar. Aku tak langsung membukanya, karena takut ini dari Ratih atau Avi. Dita pasti tidak akan suka.

Beberapa saat setelah Dita pergi untuk mengambil camilan, aku segera membuka layar HPku, tertera nama Avi di sana. Dia mengabarkan bahwa Ratih sakit, dan sekarang dia sedang bersama Ratih.

Aku segera menghampiri Dita, membuat alasan bahwa Umi minta di jemput untuk menginap di rumahku, dan rupanya alasan itu cukup ampuh untuk membuat Dita tidak berkutik.

Aku segera memacu motorku untuk kembali ke rumahku, rumah yang ku bangun bersama Ratih, istri pertama yang telah menemaniku dari nol hingga aku memiliki banyak hal.

Ku lihat pintu tidak di tutup. Di ruang tengah ku dapati Avi dan Tania sedang makan siang. Aku segera menghampiri Ratih yang sedang terbaring lemah di tempat tidur.

"Mama kenapa?" Aku duduk di sisi ranjang, dan mengusap pucuk kepalanya.
"Gak apa apa Pa, Mama cuma kecapean aja." Suaranya begitu lemah.
"Harusnya kalau lagi sehat, Mama jangan terlalu sibuk kerja, biar gak gampang sakit." Ucapku, mencoba menasehatinya.
"Tapi kan Mama butuh kegiatan, kalau di rumah terus Mama malah kepikiran macam macam." Jawabannya seolah menyindirku.

Tak mau berlama lama bicara dengan Ratih, aku segera keluar kamar, meminta Avi menyiapkan makan siangku. Aku sengaja membuat diriku lebih dekat dengan Avi, agar Ratih dan Tania berpikir bahwa selama ini aku jarang pulang karena ingin selalu bersama Avi.

Hingga malam tiba, saat aku baru pulang dari Masjid, aku mendapati Tania yang sedang sibuk berbicara di telepon, entah dengan siapa. Saat memasuki kamar, ku lihat Ratih sedang sibuk dengan lembaran lembaran kertas yang tidak aku ketahui apa isinya, tapi setauku saat ini dia di rekomendasikan jadi wakil kepala sekolah di tempatnya mengajar.

Dalam kondisi sakit seperti inipun, dia masih sangat perduli dengan karirnya, tapi dia sering lupa untuk perduli kepadaku. Ya, inilah kondisi rumah tanggaku dengan Ratih, sibuk dengan dunia masing masing, sampai lupa untuk saling perduli satu sama lain.

Setelah menyimpan peci dan mengganti sarung dengan celana, aku memilih untuk mencari Avi, memintanya membuatkanku kopi. Aku yakin dia di kamar Tania.

Aku tertegun sejenak, sesaat setelah membuka pintu. Melihat Avi yang belum selesai mengganti pakaiannya. Dengan baju tidur lengan pendek, yang bagian bawahnya tak mencapai lutut, aku baru menyadari bahwa ternyata Avi jauh lebih menarik dari Ratih.

Mengetahui bahwa Avi lebih memilih untuk tidur bersama Tania, tentu aku tidak terima. Segera ku peluk tubuhnya dari belakang, seolah menegaskan pada Avi bahwa saat ini aku menginginkannya. Namun dia menolak, karena ini tempat tinggalku dengan Ratih, tentu alasan itu tak bisa ku terima.

Ku lumat paksa bibir merahnya, tak perduli walau dia terus meronta, hingga akhirnya aksikupun harus terhenti, karena tiba tiba Tania muncul dari balik pintu, dan melihat apa yang terjadi.

Entahlah, tapi aku justru merasa senang. Berharap Tania menceritakan apa yang dia lihat kepada Ratih. Karena itu akan menguntungkan hubunganku dengan Dita.

Avi sangat marah dengan apa yang ku lakukan, tapi aku tidak perduli. Dia pulang keesokan harinya, dan tidak mengizinkanku untuk ikut. Ini kali pertama dia seberani itu terhadapku.

Selepas Avi pergi, Ratih terus mencercaku dengan pertanyaan kemana aku pergi kemarin. Sudah ku duga pertanyaan itu akan ku terima, dan akupun sudah mempersiapkan alasan yang ku rasa tepat.

"Papa nginep di toko. Bukannya akan lebih baik kalau Papa gak ada, biar Mama lebih fokus ngurusin kelangsungan karir Mama." Jawabku ketus.

Dan tanpa ku sangka, ternyata kalimat itu menyulut emosi Ratih, dia tidak terima dengan apa yang ku katakan. Padahal menurutku itu adalah kenyataan, sebab akhir akhir ini Ratih sedang begitu sibuk memantaskan dirinya untuk menjadi wakil kepala sekolah.

Terkadang aku merasa minder saat di hadapan Ratih, karena aku yang hanya lulusan SMA harus bersanding dengan Ratih, yang dalam kondisi sakitpun masih mampu menyelesaikan Tesisnya.

Ada saat di mana aku merasa kehilangan wibawa di hadapannya.

Seharian ini ku habiskan waktu dengan memperdebatkan kualitas hubunganku dengan Ratih, karena memang belakangan ini kami lebih fokus dengan kesibukan masing masing, sehingga hubungan kami sedikit merenggang.

Setelah sore menjelang, ku putuskan pulang ke rumah Avi, karena memang minggu ini bagianku di sana. Ya, tak ku pungkiri Avi adalah tempat pulang paling nyaman, tidak ada tuntutan dan desakan di sana. Aku di hargai dan di layani dengan sangat layak olehnya.

Rasa muak dengan keegoisan Ratih dan sikap manja Dita membuatku mendapat kesan tersendiri saat bersama Avi. Baru ku sadari, bahwa dia begitu menyenangkan.

Ku habiskan seminggu penuh di rumah Avi, tanpa memperdulikan pulahan Chat dari Dita yang memintaku untuk segera datang ke rumahnya. Saat ini aku hanya butuh ketenangan.
***

Pagi pagi sekali aku segera bersiap untuk pulang ke rumah Ratih, aku tidak mau mendapat banyak pertanyaan tentang keberadaanku tadi malam. Aku memang memilih untuk menemui Dita dulu sebelum pulang ke rumah Ratih.

Datang dengan perut lapar, berharap di sambut dengan sarapan yang terhidang di meja makan. Namun ternyata aku salah. Di ruang tamu, belum sempat bibir ini mengucapkan salam, mata sembab Ratih sudah menyambutku dengan tatapan nyalang.

"Kamu kenapa?" Tanyaku datar.
"Ini apa Mas?" Dia menyodorkan HPnya.

Ku lihat layar HPnya, di sana menunjukkan beberapa fotoku bersama Dita, yang sepertinya di ambil secara diam diam. Aku tidak kaget sama sekali, karena aku sudah memprediksi hal ini sejak jauh hari.

"Terus kenapa?" Tanyaku, tanpa penyesalan sedikitpun.
"Kamu Nikah sama Dita?" Tanyanya lirih.
"Iya." Jawabku tegas.
"Kenapa Mas?" Dia mulai terisak, air matanya luruh membuatku muak.

Ku katakan bahwa sejak awal yang ku cintai adalah Dita, bukan Avi. Salahnya sendiri mengancam akan meminta cerai jika aku menikahi Dita, hingga aku terpaksa harus menikahi Avi.

"Aku sudah memenuhi permintaanmu untuk menikahi Avi, sekarang giliran kamu memenuhi permintaanku untuk mau menerima Dita." Tegasku.
"Tapi kenapa kamu menikahi Dita secara diam diam?" Desaknya lagi.
"Karena aku yakin kamu tidak akan mengizinkan." Aku benar benar muak dengan tangisannya.
"Sekarang mau Mas apa?" Tantangnya.
"Aku mau kamu dan Avi menerima kehadiran Dita." Tegasku.
"Aku mundur." Suara itu membuatku terhenyak.

Tiba tiba Avi sudah berdiri di lubang pintu, entah sejak kapan dia mendengarkan pertengkaranku dengan Ratih. Aku tak bisa berkata kata, ketika dia mengungkapkan niatnya untuk menggugat cerai.

Lidahku rasanya kaku, entah di pihak siapa sebenarnya aku berada. Tapi jujur, aku tak mau melepaskan Avi, dan aku juga tak rela bila harus kehilangan Dita. Andai harus memilih, aku lebih rela bila Ratih yang mundur, tak perduli jika dia sudah menemani perjuanganku dari Nol. Toh saat ini dia lebih bahagia dengan dunianya sendiri.

Avi pergi begitu saja, jelas dia sangat marah. Tapi dengan menyaksikan kemarahannya itu, justru ada sesuatu yang menggelitik hatiku. Mungkinkah dia cemburu? Berarti dia mencintaiku.

Jika itu benar, ada kebanggaan tersendiri di sisi lain hatiku. Eksistensiku sebagai pria dewasa terasa nyaris sempurna.

Seharian ini Ratih mendiamkanku, dia menelepon Umi dan menceritakan semua tentang aku dan Dita. Akhirnya Umi memintaku untuk mengumpulkan ketiga istriku.
***

Setelah menjemput Dita, aku tiba di rumah Avi. Berkali kali ku ketuk pintunya dan ku ucapkan salam, namun tidak ada jawaban. Sepertinya dia sudah pergi.

Memasuki ruang tengah rumahku, ku lihat Ratih dan Avi duduk dengan mata yang sama sama sembab, secinta itukan mereka kepadaku? Hingga rela terus menangisiku yang sudah jatuh cinta pada gadis cantik seperti Dita.

Tanpa basa basi, langsung ku katakan bahwa aku dan Dita sudah menikah sebulan yang lalu, mungkin lebih. Ratih dan Umi lebih banyak menginterogasiku, sedangkan Avi hanya terlihat menangis. Aneh, aku tau betul dia wanita yang tegar.

Dan betapa bahagianya hatiku ketika Dita mengatakan bahwa dia hamil, penantianku selama lebih dari lima belas tahun akhirnya akan segera terwujud.

Kehamilan Dita benar benar membuatku menutup mata dan telinga dari Ratih juga Avi. Karena tidak ada yang lebih berarti dari calon buah hatiku yang berada dalam kandungan Dita.

Sekarang aku lebih sering bersama Dita, memenuhi semua keinginannya. Aku tak mau anakku kekurangan satu apapun, bahkan sejak masih dalam kandungan.

Saat menikmati pagi yang sejuk bersama istri cantikku. Tiba tiba HPku berbunyi, ada panggilan telepon dari Avi. Tumben, sebelumnya dia nyaris tak pernah meneleponku saat aku tidak di rumah.
Aku segera mengangkatnya, walau ku lihat Dita menatap tak suka.

"Assalamualaikum Ayah." Suara Zaki.
"Waalaikum salam. Ada apa?" Tanyaku singkat.
"Bunda sakit Yah. Zaki gak bisa rawat Bunda sendiri." Rengeknya dari ujung sana.
"Zaki minta tolong sama Om Andra dulu ya, soalnya Ayah lagi sibuk kerja." Ku coba memberikan saran terbaik pada anak itu.
"Atau kalau Om Andranya gak ada, Zaki minta tolong dulu sama Kak Tania, suruh bantu jagain Bunda." Saranku.
"Oh, Ayah sibuk ya? Ya udah Zaki minta tolong yang lain aja." Jawabannya membuatku lega.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER