Aku bangkit dari tidurku, duduk sambil memijat pangkal hidungku yg terasa berat. Melihat Zaki yang kecewa, karena Mas Tedi tak bisa datang, aku hanya bisa menenangkan.
"Ayahnya mungkin lagi sibuk, biarin aja. Bunda gak apa apa kok." Ucapku, meyakinkan Zaki.
"Tapi kan Ayah udah lama gak ke sini Bunda." Rajuknya.
"Akhir akhir ini toko Ayah lagi rame banget sayang, jadi belum sempet ke sini." Ucapan yang sebenarnya juga membohongi diriku sendiri.
"Ayah nginep di tokonya ya?" Tanya Zaki penasaran.
"Iya." Jawabku singkat.
Saat ini aku tak sanggup bila harus jujur pada Zaki, mengatakan bahwa Mas Tedi punya istri lagi, pasti akan mengubah penilaian Zaki terhadap Mas Tedi. Dan aku belum sanggup untuk menyaksikannya saat ini.
Zaki sudah cukup besar, sekarang usianya lebih dari 10 tahun, dia memahami apa yang terjadi antara aku, Mas Tedi, dan Mbak Ratih. Tidak mudah baginya menerima kondisi ini, karena cibiranpun kerap dia terima dari teman temannya yang mengetahui bahwa Bundanya adalah seorang istri kedua.
Aku yakin, Zaki akan sangat marah bila mengetahui Mas Tedi punya istri ketiga. Untuk saat ini diam adalah cara terbaik.
Semenjak aku tau bahwa aku hamil, aku seperti di sugesti, jadi sering merasa mual dan pusing, selera makanpun menurun drastis. Andai aku tau akan jadi begini, lebih baik aku tetap tak menyadari kehamilan ini. Dan sejak pertemuan di rumah Mas Tedi tempo hari, Mas Tedi belum pernah pulang ke rumahku atau ke rumah Mbak Ratih, mungkin dia masih berbahagia atas kehamila Dita.
Andai kamu tau Mas, bahwa saat ini aku juga hamil. Bahkan pasti usia kandunganku lebih tua dari kandungan Dita. Tapi aku tak yakin, kamu akan berbagahia dengan kehamilanku, seperti halnya kamu berbahagia atas kehamilan Dita.
***
Sudah hampir sepuluh hari, semenjak aku tau bahwa aku hamil. Pagi ini aku memutuskan untuk memeriksakan kehamilanku ke dokter kandungan.
Setelah mengantar Zaki ke sekolah, aku langsung memacu motorku menuju sebuah klinik terbaik di wilayah tempat tinggalku. Ya, walaupun suamiku itu tidak begitu perduli terhadapku, tapi masalah keuangan, aku tak pernah kekurangan. Karena ada Mbak Ratih yang selalu memikirkan keperluanku.
Belum terlalu jauh motorku melaju, aku merasakan pusing yang cukup dahsyat di kepalaku. Segera menepi dan ku hentikan laju motorku, tak mau sesuatu terjadi padaku. Akupun duduk di trotoar yang tak jauh dari sekolah Zaki, memegangi keningku yang terasa berdenyut.
"Avi!" Suara itu mengagetkanku.
"Ya." Mencoba menoleh ke arah suara. "Kak Mirza!"
"Kamu kenapa?" Dia kemudian mendekat, dan berjongkok di depanku.
"Kepalaku pusing, kayak muter muter gitu." Jawabku.
"Terus ini motornya kenapa, mogok?" Tanyanya.
"Enggak, tadi aku sengaja berhenti, takut kenapa napa kalau terus jalan." Jawabku, dengan mata setengah terpejam, karena kepala yang terasa begitu berat.
"Kamu mau kemana?" Tanyanya lagi, dengan raut cemas.
"Aku mau ke klinik."
"Ya udah, biar aku yang antar." Timpalnya.
Sebenarnya aku ingin menolak, tapi mengingat kondisiku saat ini, aku memang membutuhkan seseorang yang bisa membantuku.
"Nanti istri Kak Mirza marah!" Ku coba mengingatkannya.
"Siapa? Asti?" Tanyanya. Aku hanya mengangguk.
"Dia sudah punya suami baru." Jawabnya sambil tersenyum.
Aku kaget mendengarnya, tapi merasa tak enak bila harus bertanya lebih banyak. Akhirnya langsung ku serahkan kunci motorku padanya.
Kurang dari sepuluh menit kami sudah sampai di tempat tujuan. Aku segera menuju tempat pendaftaran, membiarkan Kak Mirza mencari tempat duduk untuknya.
Setelah mendapat nomer antrian akupun segera duduk, memilih kursi yang terhalang satu kursi kosong dari tempat duduk Kak Mirza.
"Suami kamu kemana?" Kak Mirza membuka suara.
"Di rumah istrinya yang lain." Jawabku datar.
"Di istri pertamanya?" Tanyanya lagi.
"Bukan." Jawabku singkat.
"Ada lagi istri yang lain?" Tanyanya pelan dan hati hati.
"Iya, yang ke tiga."
Kak Mirza terbelalak, tapi kemudian diam tak menanggapi lagi. Aku tau dia pasti kaget mendengarnya.
Aku jadi teringat ucapannya yang mengatakan bahwa istrinya sudah punya suami baru, sepertinya tidak masalah jika aku menanyakannya.
"Oh iya Kak, kalau masalah Asti, tadi Kak Mirza bilang--" Aku takut salah bicara.
"Aku dan Asti sudah berpisah setahun yang lalu, makannya sekarang aku tinggal di kampung lagi." Jawabannya terdengar tenang.
"Dua belas tahun menikah, aku dan Asti tak juga mendapat keturunan. Akhirnya kami memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter, dan hasilnya, ternyata aku yang mandul. Tanpa banyak pertimbangan lagi, Asti langsung menggugat cerai." Matanya menatap lurus ke depan, seolah menerawang apa yang sudah terjadi.
Aku terhenyak mendengar ceritanya. Tiba tiba ingatanku tertuju pada Mas Tedi, jika berkaca pada kisah Kak Mirza dan Asti, Mas Tedi terhitung lebih kuat untuk bertahan, tetap bersama Mbak Ratih walau sejak lama dia tau Mbak Ratih tidak bisa memberi keturunan.
Tapi sayang, sekarang pertahanannya sudah hancur. Ya, walau sebenarnya memang Mbak Ratih sendiri yang menciptakan jalan kehancurannya.
Semenjak aku tau, bahwa Mbak Ratih meminta Mas Tedi menikahiku, karena dia tak menyetujui hubungan Mas Tedi dengan Dita, aku jadi kehilangan empati dan simpati kepadanya. Tidak, aku tidak membencinya, aku hanya kecewa, karena dia punya andil besar dalam menjerumuskanku pada masalahnya.
Akhirnya tiba giliranku untuk di periksa. Aku segera memasuki ruangan yang di depannya tertulis nama 'dr. Nancy'.
Saat membuka pintu, aku langsung di sambut dua wanita muda yang berdiri dekat lubang pintu, dan di depan sana ada seorang wanita paruh baya yang memakai Jas putih tengah tersenyum ramah kepadaku.
"Silahkan duduk!" dokter paruh baya itu mempersilahkan.
"Terima kasih dok." Aku langsung duduk di kursi yang di tunjuknya.
Dokter itupun bertanya tentang haid terakhir dan kehamilan keberapa. Aku cukup bingung karena sejak lama aku tidak begitu memperdulikan tamu bulananku. Dan setelah di lakukan USG dokter itu mengatakan bahwa usia janinku kini sudah sebelas minggu, itu berarti aku sudah hamil sejak sebulan pertama pernikahanku dengan Mas Tedi.
Setelah di lakukan beberapa pemeriksaan, dokter mengusulkan untuk mengambil sampel darahku, guna mengecek kadar HB dalam darahku. Akupun di antar ke ruangan yang berbeda oleh salah seorang perawat.
Setelah sampel darahku di cek, ternyata benar kadar HB dalam darahku hanya sembilan, dan dokter bilang itu cukup rendah, belum lagi tekanan darahku yang juga rendah. Pantas saja kepalaku rasanya berputar putar.
Setelah mendapat resep obat, dan beberapa nasehat dari sang dokter, akupun hendak keluar menuju apotek. Salah satu perawat di ruangan dokter tadi menawarkan bantuan untuk menebuskan resep yang di berikan oleh dokter Nancy, mungkin dia kasihan melihat keadaanku.
"Biar saya saja yang tebus obatnya, ibu duduk saja di ruang tunggu." Tatapannya meyakinkanku.
"Baiklah." Aku segera mengeluarkan sejumlah uang dari dompet.
"Biar uangnya dari saya dulu, nanti Ibu baru bayar kalau obatnya sudah ada." Kata perawat itu.
"Gak apa apa, saya percaya kok." Ucapku sambil mengepalkan uang ke tangannya.
"Ya sudah, Ibu silahkan duduk di ruang tunggu. Nanti obatnya saya antarkan."
"Terima kasih."
Aku segera berjalan menuju ruang tunggu.
Dari kejauhan aku bisa melihat dua sosok yang tidak asing bagiku, sedang berbincang dengan Kak Mirza.
Mas Tedi dan Dita, sepertinya mereka juga akan memeriksakan kandungan Dita di sini. Aku tetap berjalan menuju tempat dudukku sebelumnya, berusaha tetap biasa saja.
"Itu teman saya." Kata Kak Mirza sambil menunjuk ke arahku, yang sudah berdiri sekitar dua meter di belakang mereka.
Serentak Mas Tedi dan Dita menoleh ke arahku.
"Avi?" Ucap Mas Tedi heran.
Aku tersenyum tipis, tak mau terlihat lemah di depan dua penghianat itu. Mereka menatapku heran, apalagi Dita, sepertinya dia tak suka melihatku di dokter kandungan. Aku bisa menebak isi pikirannya.
"Oh, kalian sudah kenal." Ucap Kak Mirza, yang belum begitu faham dengan situasi ini.
"Dita kan adik kelasku waktu SD Kak." Ucapku tenang, "Kalau ini Mas Tedi, suamiku."
Ucapanku penuh penekanan pada kata suamiku. Seketika raut wajah ketiganya berubah.
Ku tatap wajah Kak Mirza, menyunggingkan senyum ketegaran, seolah memberitahunya bahwa aku baik baik saja.
"Oh, kalau begitu saya minta maaf Mas. Sudah lancang menemani Avi di sini." Ucap Kak Mirza dengan senyum ramah.
"Tadi saya lihat Avi di pinggir jalan, kayak mau pingsan. Jadi saya menawarkan diri untuk mengantarnya kesini." Tambah Kak Mirza.
Mas Tedi masih bergeming, aku yakin saat ini dia merasa terpojok. Mau jawab apa? Hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
Tak berapa lama seorang perawat menghampiriku, dia menyerahkan satu kantong plastik berisi obat di hadapan Kak Mirza, Mas Tedi, dan Dita.
"Bu, ini obatnya. Yang merah itu buat tambah darah, di minum tiga kali sehari. Kalau yang kuning itu buat penguat kandungan, biar janin ibu sehat." Ucap perawat itu dengan senyum terkembang.
"Terima kasih lho, sudah repot repot. Saya jadi gak enak." Ku usap pundaknya.
"Gak apa apa bu, sudah kewajiban saya."
Kemudian tatapan perawat itu beralih ke arah Kak Mirza.
"Istrinya di jaga baik baik ya Pak, soalnya kondisi Bu Avi lagi lemah. Jangan di biarkan capek dan banyak pikiran, kasihan Dede bayinya."
Kak Mirza hanya melongo, aku yakin saat ini diapun kehilangan kata kata. Sementara Mas Tedi dan Dita, wajah mereka berubah pucat mendengar kalimat terakhir dari perawat tadi. Untuk saat ini, bahagia atau tidaknya Mas Tedi dengan kehamilanku, aku sudah tidak perduli.
"Saya permisi ya bu." Perawat itu kemudian pergi.
"Oh iya, sekali lagi terima kasih." Ucapku sebelum perawat itu berlalu.
Ku lirik ke arah Mas Tedi yang tangannya di gamit erat oleh Dita, ku lihat ada sesuatu dalam tatapannya.
"Aku pulang duluan Mas." Ku tatap mata elang itu, tak mau terlihat lemah di hadapannya.
"Ayo Kak!" Ucapku pada Kak Mirza.
Aku dan Kak Mirzapun langsung meninggalkan klinik, sementara Mas Tedi dan Dita masih sibuk dengan pikirannya masing masing.
"Jadi Dita itu istri ketiga suami kamu?" Tanya Kak Mirza, saat kami sudah duduk di atas motor yang sedang melaju.
"Iya." Jawabku singkat.
Tak ada lagi percakapan di antara kami untuk beberapa saat, hingga akhirnya Kak Mirza menghentikan motor, di depan sebuah gerobak penjual bubur Ayam.
"Sarapan dulu ya, aku lapar." Ucapnya sambil mengusap perut.
Aku hanya mengangguk, dan mengikutinya menuju tempat yang di sediakan penjual bubur tersebut. Dengan sigap Kak Mirza mengambilkan kursi untukku, mempersilahkan aku duduk bersebrangan dengannya.
"Mang, buburnya dua ya." Teriaknya sambil mengangkatkan tangan.
"Aku sudah sarapan Kak." Ucapku.
"Ibu hamil harus banyak makan, biar bayinya sehat." Jawabnya dengan antusias.
Ah, andai Mas Tedi yang mengatakan itu.
Aku hanya tersipu mendengar ucapan Kak Mirza.
"Kamu minumnya mau Teh manis atau Teh tawar?" Tanya Kak Mirza.
"Teh manis." Jawabku.
Diapun langsung beranjak dari tempat duduknya, menghampiri si penjual bubur ayam. Tak lama berselang dia sudah kembali dengan dua gelas besar Teh di tangannya.
"Nih, pasti kamu haus karena kelamaan di klinik." Ucapnya sambil meletakkan satu gelas di hadapanku.
Akupun langsung meneguk Teh manis yang tidak terlalu panas itu, rasanya nyaman sekali, perut dan tenggorokanku terasa hangat. Detik kemudian bubur yang kami tunggupun tiba. Karena buburnya masih sangat panas, kami jadi kesulitan untuk segera menghabiskannya.
Aku mencoba meniup bubur yang sudah ku ambil dengan sendok, berharap panasnya segera berkurang.
"Makanan jangan di tiup, lebih baik di tunggu dulu sampai terasa lebih dingin." Ucap Kak Mirza menasehatiku.
"Atau mau kipasin aja." Tawarnya.
"Gak usah, aku tunggu agak hangat aja." Pungkasku.
"Oh iya Vi, apa aku boleh tau, tentang--" Kalimat Kak Mirza tertahan, raut wajahnya terlihat ragu.
"Tentang rumah tanggaku?" Tegasku.
Kak Mirza terlihat kaget, mungkin dia merasa tak enak hati.
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menceritakan semua yang ku alami. Mulai dari permintaan Mbak Ratih, dan alasannya memintaku menikah dengan Mas Tedi. Aku memang butuh teman untuk berbagi cerita lukaku, sudah terlalu berat beban yang ku pikul di hati.
Akupun menceritakan perlakuan Mas Tedi terhadapku setelah menikah, bagaimana dinginnya dia terhadapku. Hingga akhirnya aku tau bahwa ternyata Mas Tedi diam diam menikahi Dita, yang sudah dia pacari dari sebelum menikahiku.
Kak Mirza tercengang mendengar ceritaku, dia terlihat berkali kali menghela nafas kasar.
"Kenapa kamu mau mengorbankan hidup kamu, untuk orang yang bahkan tidak menghendaki kehadiran kamu?" Desak Kak Mirza.
"Karena aku terjebak angan angan memiliki suami yang dewasa dan mapan. Tapi ternyata aku bodoh." Tatapanku seolah menerawang pada hal bodoh yang telah ku lakukan, yaitu menikah dengan Mas Tedi.
"Buburnya keburu dingin Kak!" Ku alihkan topik pembicaraan.
"Wah, kebablasan ngobrolnya." Timpal Kak Mirza.
Kamipun segera melahap bubur di mangkuk masing masing hingga tandas. Kak Mirza kembali beranjak dari tempat duduknya, kemudian kembali dengan membawa segelas air putih yang dia simpan di hadapanku.
"Untuk apa?" tanyaku heran.
"Minum obat, mumpung masih pagi." Senyum tulus terukir di wajahnya.
Aku terpaku, tak mampu menjawab. Perlakuan Kak Mirza benar benar membuat diriku merasa berharga.
"Kok diam aja? Apa harus aku suapin obatnya." Tambahnya lagi.
"Gak perlu." Sontak aku langsung mengambil obat dari tasku, dan langsung meminumnya.
***
Pukul 15.30.
Selesai mandi dan Sholat Ashar, Zaki meminta izin untuk main ke rumah temannya. Akupun mengizinkan, dengan syarat dia tidak boleh main yang bikin tubuhnya jadi kotor dan berkeringat lagi. Anak anak kadang lupa, kalau dia sudah bersih dan wangi.
Hari ini aku merasa lebih baik. Entah karena obat dari dokter Nancy, atau karena perlakuan Kak Mirza. Yang pasti dua duanya membuatku bisa kembali beraktivitas dengan ceria.
Tiba tiba terdengar suara mobil berhenti di depan rumahku. Mas Tedi!
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Ku jawab tanpa merubah posisiku sedikitpun yang sedang duduk menonton Televisi.
Tak berapa lama, Mas Tedi sudah duduk di ujung sofa yang sama dengan yang ku duduki. Jarak kami sekitar setengah meter.
"Kamu hamil?" Tanyanya datar.
"Iya."
"Berapa bulan?"
"Jalan tiga bulan." Jawabku ketus.
"Kenapa tak pernah cerita?" Tanyanya lagi.
"Aku sendiri baru tau." Jawabku lagi, dengan mata masih fokus pada Televisi.
"Apa karena itu anak kamu dengan pria tadi?"
Aku terhenyak, seketika ku tatap tajam pria angkuh di sampingku itu.
"Jangan samakan aku dengan Dita!" Ucapku penuh penekanan.
"Apa maksud kamu?"
"Iya, aku bukan Dita. Aku tidak biasa di sentuh sembarang lelaki yang bukan suamiku." Ku tatap nyalang pria egois di hadapanku.
Kalimatku telak membuat Mas Tedi tak berkutik.
==========
Ku palingkan wajahku dari pria angkuh itu, kali ini aku tak bisa lagi bersabar. Apa yang dia tuduhkan benar benar merendahkan harga diriku.
"Apa Ratih sudah tau tentang kehamilan kamu?" Kalimatnya melunak.
"Untuk apa?" Ketusku, "Ini anakku, bukan anak Mbak Ratih."
"Bahkan bila Mas juga tidak mau mengakui janin ini, aku tidak masalah. Aku sudah biasa berjuang sendiri."
"Apa maksud kamu?" Mas Tedi seolah tak terima dengan ucapanku.
"Harusnya aku yang bertanya. Apa maksud Mas, menuduh janin di perutku adalah anak Kak Mirza, laki laki yang bahkan dalam tiga belas tahun ini hanya beberapa kali ku lihat wajahnya." Aku sudah mulai geram.
"Aku tidak punya maksud apa apa." Elaknya.
"Oh ya?" Ejekku
"Kenapa hal itu tidak Mas tanyakan juga pada Dita, yang belum lama Mas nikahi." Kembali ku buang muka, tak ingin bertemu pandang dengan dirinya.
Dia membalasku dengan tatapan yang sangat tajam. Tapi sedikitpun aku tidak perduli, aku sudah tidak ingin melukai hatiku, hanya karena berharap dia bisa berubah. Aku berhak menciptakan bahagiaku sendiri.
"Apa kamu pikir bayi yang di kandung Dita itu anak orang lain?" Ku lihat rahangnya mengeras.
"Bila Mas bisa berpikir begitu terhadapku, kenapa Mas tidak berpikir begitu terhadap Dita?" Ku tantang tatapan nyalangnya.
"Aku hanya tidak ingin kamu memanfaatkan status kita, untuk menutupi hubungan kamu dengan pria itu."
Aku terhenyak karena ucapannya. Seketika buliran bening menghujani pipiku, ada gemuruh dahsyat di dalam dadaku. Ternyata tanggapan yang ku terima, jauh lebih menyakitkan dari apa yang ku bayangkan.
"Jangan memutar balikan fakta, hanya demi menutupi semua kesalahanmu Mas." Lirih kalimat itu terucap dari mulutku.
"Bila memang kamu tidak menghendaki anak yang ku kandung, kamu tidak perlu bertindak sebagai Ayahnya. Carilah kebahagiaanmu sendiri, tak perlu menghiraukan anak ini." Air mataku semakin deras.
"Aku cuma minta satu hal dari kamu. Kelak bila anak yang ku lahirkan ternyata perempuan, aku mau kamu bersedia jadi wali nikahnya. Itu saja."
Ku lihat nafas Mas Tedi memburu, aku yakin ada gemuruh yang tak kalah dahsyat di hatinya. Aku tau, sebenarnya dia orang baik, tapi sepertinya ada yang sedang meracuni pikirannya.
Amarah yang sedang membara di antara kamipun seketika meredup, ketika terdengar ucapan salam Zaki dari lubang pintu. Anak itu terlihat sangat ceria saat menghampiri kami di depan televisi.
"Ayah udah pulang?" Matanya antusias.
"Iya." Mas Tedi tersenyum pada Zaki, yang kemudian mencium punggung tangannya.
Ada yang berbeda, senyum tulus Mas Tedi untuk Zakipun kini mulai memudar.
"Zaki bawa apa?" Tanyaku saat melihat pastik hitam yang dia bawa.
"Ini mangga muda, buat Bunda." Dia menyerahkan kantong plastik berisi dua buah mangga muda kepadaku.
"Zaki dapat dari mana?"
"Minta sama Ustadz Husni." Jawabnya enteng.
Aku terperangah dengan jawabannya, "Kenapa minta Mangga muda ke Ustadz Husni. Bunda kan gak minta."
"Tadi Zaki main di rumah Fatir, di sana ada Tantenya Fatir lagi ngobrol sama Mamanya Fatir. Tantenya Fatir lagi hamil Bunda." Tutur Zaki.
"Terus urusannya sama Mangga muda dari Ustadz Husni apa?" Tanyaku penasaran.
"Tantenya Fatir itu ngidam pengen Mangga muda. Jadi Zaki sama Fatir bantu nyariin, terus Zaki ingat kalau di halaman rumah Ustadz Husni ada pohon Mangga, kita minta deh ke sana."
"Terus karena Zaki udah tau kalau Bunda juga sama kayak Tantenya Fatir, suka mual mual, jadi Zaki mintain deh buat Bunda." Tuturnya dengan mata berbinar.
Sejak ku beri tau tentang kehamilanku kepadanya siang tadi, dia terlihat sangat bahagia. Jauh lebih antusias dari yang ku bayangkan.
"Terima kasih ya sayang." Aku terharu, ku rengkuh Zaki dalam dekapan.
"Bunda jangan sakit lagi ya." Ucapnya seraya melepas pelukanku.
"Zaki akan selalu jagain Bunda. Nanti kalau Bunda mau apa aja bilang sama Zaki, pasti Zaki usahain, yang penting Bunda sama Dede bayinya seneng."
Sekuat tenaga ku tahan air mataku, tapi akhirnya luruh, manakala ku lihat ada bulir bening yang menyeruak dari sudut mata pria kecilku.
Kembali ku peluk erat dia dalam dekapan. Tak ku perdulikan sosok angkuh yang duduk mematung di samping kami.
***
Pagi ini Mas Tedi tak kemana mana. Aneh, bukannya dia sedang mesra mesranya dengan Dita, kenapa bertahan di sini.
"Kamu enggak masak?" Tanya Mas Tedi, seraya menghampiriku yang sedang merapihkan selimut bekas tidurku dan Zaki di depan Televisi.
"Enggak." Jawabku datar.
"Tumben." Ucapnya.
"Kalau masak Bundanya jadi mual mual, kasihan." Tiba tiba pria kecilku keluar dari kamarnya, dia sudah rapih dengan seragam sekolahnya.
"Kalau Ayah mau sarapan, biar Zaki belikan bubur ayam di pertigaan depan." Ucapan Zaki membuatku sangat bangga dengan sikapnya.
"Gak usah, biar nanti Ayah beli sendiri aja." Jawab Mas Tedi, "Kalian gak sarapan?" Imbuhnya.
"Untuk sementara Zaki sarapannya di kantin sekolah." Jawabku.
"Kamu?" Tatapan Mas Tedi menunjukku.
"Aku gak selera makan." Jawabku datar.
Entahlah, tiba tiba ada yang berdesir di hatiku, dengan dia bertanya tentang sarapanku saja, sudah membuatku merasa lebih di perhatikan.
Melihat Zaki yang sudah rapih, akupun segera meraih kunci motorku di atas lemari, bersiap mengantarnya sekolah.
"Kamu mau mengantar Zaki sekolah?" Tanya Mas Tedi.
"Iya." Jawabku singkat.
"Biar aku saja, sekalian nyari sarapan." Timpalnya.
"Ya sudah, ini kunci motornya." Ku sodorkan kunci motorku pada Mas Tedi, namun dia tak segera menerimanya.
Dia lalu berpaling pada Zaki, "Zaki mau di antar pake motor atau mobil?"
Pria kecilku itu langsung menjawab dengan antusias.
"Zaki mau di antar pakai mobil Ayah aja."
Zaki pasti senang, karena ini pertama kalinya Mas Tedi membawa mobil bagusnya ke rumah kami. Ini pasti karena Dita. Ya, karena Dita tidak mau di bawa naik motor atau naik mobil pick up milik Mas Tedi. Jadi sekarang, mobil yang biasanya hanya tinggal di garasi itu, menjadi lebih aktif di pakai.
Setelah mengantarkan Zaki ke Sekolah, setengah jam kemudian, Mas Tedi datang dengan membawa dua kantong plastik putih di tangannya.
"Ayo kita sarapan." Ajak Mas Tedi, sambil kemudian duduk lesehan di depan Televisi.
Aku yang duduk di sofa sambil menonton Televisi, kemudian turun untuk duduk membersamainya, karena merasa tak sopan.
"Aku gak selera Mas." Jawabku malas.
"Apa kamu mau makan di tempat penjualnya, sambil di temani laki laki pemilik bengkel di depan sekolah Zaki, biar kamu jadi selera makan buburnya." Tutur Mas Tedi.
Aku mengernyitkan dahi, benar benar tak faham dengan maksud ucapannya.
"Maksudnya?"
"Kemarin, kamu bisa makan bubur dengan lahap sama si Mirza itu!" Timpal Mas Tedi.
Ternyata Mas Tedi melihatku bersama Kak Mirza di tukang bubur kemarin. Tapi kenapa dia sebut pemilik bengkel?
"Oh, kemarin mood aku lagi bagus." Jawabku cuek.
"Kenapa bisa bagus?" Selidik Mas Tedi.
"Karena dokter bilang janinku sehat, perkembangannya bagus. Ya aku senang, hatiku tenang." Jawabku datar.
"Terus kenapa sekarang mood kamu jadi gak bagus." Tanyanya penasaran.
"Karena ucapan Mas, membuat harga diriku merasa di rendahkan." Ucapku sambil menatapnya tajam.
Detik kemudian aku berpaling, "Tapi sudahlah, sekarang aku sudah tidak perduli."
Sejenak Mas Tedi bergeming, "Makanlah bubur ini, tidak ada janin yang sehat bila Ibunya kelaparan."
Dia menyodorkan sebungkus bubur Ayam di hadapanku. Kemudian dia bangkit dan pergi ke dapur, tak berapa lama dia kembali dengan dua mangkok, dan dua sendok di tangannya.
Entahlah, hatikupun kembali berdesir. Tapi desiran itu mudah sekali menguap, manakala ku ingat ucapannya kemarin.
Kamipun duduk berhadapan, melahap bubur yang di beli Mas Tedi. Sesekali aku berlari ke-WC, karena perutku terasa mual. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membuat dua teh manis hangat, dan segera ku sajikan untukku juga Mas Tedi.
"Sejak kapan kamu kenal Mirza?" Tanya Mas Tedi, saat aku hendak duduk, setelah meletakan Teh manis di hadapannya.
"Sudah lama." Kemudian ku seruput teh manis di tangan, sebelum melanjutkan kalimatku.
"Tapi aku yakin, Dita jauh lebih lama mengenal Kak Mirza di banding aku." Tuturku.
Mas Tedi mengernyitkan dahi, "Kenapa Dita?"
"Kalau Mas mau tau tentang Kak Mirza, harusnya nanya ke Dita, bukan ke aku." Timpalku.
Aku tak suka cara Mas Tedi bertanya, sepertinya dia masih berprasangka buruk, tentangku dan Kak Mirza.
"Aku hanya bertanya sejak kapan kamu kenal dia?" Pungkas Mas Tedi.
"Sejak aku SMP, dia teman nongkrong Mas Andra." Jawabku datar.
Untuk sesaat, hanya bunyi denting sendok yang mengisi keheningan kami. Hingga akhirnya Mas Tedi kembali membuka suara.
"Lusa, Umi mengudang kita semua untuk datang ke rumahnya. Ada acara haul meninggalnya Abah."
Aku hanya menjawab dengan anggukkan.
'Kita semua' kalimat itu benar benar menggelitikku. Maksud 'kita semua' di sana, pasti Mas Tedi, Mbak Ratih, Aku, dan Dita. Mungkin di tambah dengan Tania dan Zaki, sungguh menggelikan.
***
Hingga lusa itu tiba, Mas Tedi tetap tinggal di rumahku. Entahlah, bukan bahagia yang kurasa, tapi aku justru merasa sakit hati. Sekarang aku sadar betul, bahwa sebenarnya selama ini aku hanya dijadikan pelarian.
Hari ini Mas Tedi memboyong Aku, Zaki, Mbak Ratih, dan Tania, ke rumah Umi. Kami berangkat setelah anak anak pulang sekolah. Sepanjang perjalanan aku tidak begitu banyak bicara dengan Mbak Ratih, rasanya masih ada yang mengganjal di hatiku saat bertemu dengannya. Hanya ocehan Zaki dan Tania yang mengisi ruang dengar kami di dalam mobil.
Saat masuk ke rumah Umi, kami di sambut dengan sapaan sapaan hangat dari keluarga Mas Tedi. Bukan kami, lebih tepatnya aku. Mereka sangat hangat saat menyambutku, aku merasa sangat di kehendaki.
"Mana satu lagi?" Tiba tiba Mbak Yana memberi pertanyaan, yang entah di tujukan pada siapa.
"Jangan harap bisa jadi bagian dari keluarga kita, kalau gak mau di ajak kumpul kayak gini." Timpal Mbak Aira.
"Aku akan jemput Dita sekarang Mbak." Jawab Mas Tedi.
Aku tau, ucapan Mbak Yana dan Mbak Aira tadi adalah sindiran atas ketidak ikut sertaan Dita di antara kami. Ya, menurut Mas Tedi Dita memang menolak hadir, karena alasan sering mual. Lalu apa bedanya denganku?
Mas Tedipun bergegas untuk menjemput Dita. Sementara aku dan Mbak Ratih ikut berbaur dengan para kerabat, yang tengah sibuk mempersiapkan hidangan untuk acara malam nanti. Sedangkan Zaki dan Tania ikut berbaur dengan anak anak dan para remaja dari kerabat Mas Tedi.
Menjelang adzan maghrib, Mbak Yana membawa kami ke salah satu kamar di rumah ini.
"Kalian simpan barang bawaannya di sini. Maaf ya, hanya di sediakan satu kamar. Salah Tedi sendiri istrinya banyak."
Mbak Yana memang terbiasa bicara apa adanya, mungkin karena dia kakak paling tua, jadi lebih leluasa mengutarakan apa yang ada di pikirannya.
"Gak apa apa Mbak, nanti kita bisa ikut tidur lesehan sama yang lain di luar." Jawabku.
Aku dan Mbak Ratihpun menyimpan barang bawaan kami di atas ranjang, dan kami segera sholat bergiliran, yang kemudian di ikuti oleh Tania, dan Zaki.
Sejak berkumpul dengan keluarga Mas Tedi tadi, aku merasa kasihan melihat Mbak Ratih, karena keluarga Mas Tedi terkesan membedakan sikap antara kepadaku dan kepada Mbak Ratih, mereka sedikit acuh pada Mbak Ratih. Aku jadi tak tega melihatnya.
"Mbak!"
"Ya." Mbak Ratih yang sedang mengeluarkan baju ganti untuknya dan Tania, kemudian menoleh ke arahku.
"Apa, keluarga Mas Tedi selalu bersikap begitu sama Mbak?" Tanyaku hati hati.
"Tidak."
Jawabannya membuat alisku terangkat.
"Sekarang sikap mereka sudah lebih baik." Ada senyum tipis di wajahnya.
Aku mengernyitkan dahi, sungguh heran dengan jawabannya. 'Lebih baik?'
"Dulu, sebelum Mbak meminta Mas Tedi menikahi kamu, mereka bahkan sangat jarang menyapa Mbak." Tutur Mbak Ratih, di sertai senyum getir.
"Apa mereka, yang meminta Mas Tedi untuk menikah lagi?" Tanyaku penasaran.
Mbak Ratih hanya menjawab dengan senyuman. Detik kemudian dia menghembuskan nafas kasar.
"Mereka tidak meminta, mereka hanya berharap agar Mbak mau berbesar hati merelakan Mas Tedi menikahi wanita lain, agar bisa memiliki keturunan." Tuturnya.
"Lalu Mbak memilih aku, walau Mbak tau bahwa yang di cintai Mas Tedi adalah Dita." Nada suaraku mulai meninggi.
Untung Zaki dan Tania sedang sibuk dengan Handphonenya di ruang tamu.
"Bukan Mbak, tapi mereka." Jawab Mbak Ratih datar.
"Maksud Mbak?" Aku semakin penasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel