Hari hariku kini terasa lebih berwarna, membersamai Dita yang sedang mengandung benihku, membuatku merasa menjadi lelaki yang sempurna. Hingga aku lupa akan kewajibanku kepada Ratih juga Avi. Tapi sudahlah, mereka tidak lebih membutuhkan kehadiranku di banding Dita.
Dari beberapa hari yang lalu aku terus mengajak Dita pergi ke dokter kandungan, untuk memastikan kondisi janin di rahimnya baik baik saja, aku tidak mau calon anakku dalam masalah. Tapi entah kenapa Dita terus menolak untuk di periksa ke dokter kandungan, katanya usia kandungannya masih terlalu muda, jadi percumah tidak ada yang bisa di lihat.
Tanpa lelah aku terus membujuknya, hingga akhirnya dia bersedia ku ajak ke dokter kandungan. Akupun segera membawanya ke klinik terbaik di wilayah kami, agar calon anakku mendapat penanganan terbaik.
Saat memasuki klinik, tiba tiba Dita mengajakku menghampiri seorang pria yang tengah duduk di ruang tunggu, Dita bilang pria itu masih kerabatnya.
"Mas Mirza ya?" Sapa Dita.
Pria itu kemudian menoleh, dan langsung berdiri menghadap padaku dan Dita.
"Dita!" Dia tersenyum pada istri cantikku.
Ada rasa tak nyaman melihat pemandangan itu.
Aku sadar pria bernama Mirza itu terlihat lebih gagah dan lebih tampan dariku, dan dia juga pasti jauh lebih muda dariku, sepertinya wajar bila aku merasa cemburu dengan apa yang ku lihat.
"Kamu mau periksa kandungan?" Tanya pria itu pada istriku.
"Iya Mas." Jawab Dita.
Kemudian Dita menoleh sekilas ke arahku, dan kembali menatap pria itu.
"Oh iya Mas, kenalin ini Mas Tedi, suamiku." Ucap Dita.
Akupun tersenyum dan menjabat pria itu.
"Saya Mirza, tetangganya Dita. Kebetulan kita juga masih kerabat." Dia memperkenalkan dirinya dengan senyum yang ramah. Sepertinya dia pria baik baik.
"Kamu, nganter istri periksa juga?" Tanyaku basa basi.
"Tidak, saya kesini hanya mengantar teman." Jawabnya.
"Perempuan?" Seloroh Dita.
"Iya, kebetulan dia lagi sakit." Jawabnya lagi.
"Teman apa teman?" Canda Dita, yang kemudian hanya di balas dengan senyuman oleh Mirza.
Detik kemudian Mirza menunjuk seseorang yang datang di belakang aku dan Dita.
"Itu teman saya!" Serunya.
Seketika aku dan Dita tercengang melihat siapa yang di tunjuk Mirza.
"Avi?" Spontan lidahku menyebut namanya.
"Kalian sudah saling kenal?" Tanya Mirza yang terlihat heran.
"Dita kan adik kelasku waktu SD, Kak." Ucap Avi dengan santainya. Kemudian dia berdiri di sampingku.
"Kalau ini Mas Tedi, suamiku." Ada penekanan pada kata 'Suamiku' yang di ucapkan Avi.
Avi terlihat begitu tenang menghadapi situasi ini, walau ku lihat wajahnya memang pucat, sepertinya benar dia sedang sakit.
"Kalau begitu saya mohon maaf, sudah lancang menemani Avi di sini." Ucap Mirza.
"Tadi saya melihat Avi di jalan seperti mau pingsan, jadi saya menawarkan diri mengantarnya ke sini." Imbuhnya.
Sakit? Tapi kenapa ke dokter kandungan?
Belum selesai otakku mencerna keberadaan Avi di klinik dokter kandungan, tiba tiba datang seorang perawat menghampiri Avi. Perawat itu menyerahkan kantong plastik putih berisi obat, kemudian menerangkan bahwa salah satu dari obat itu adalah obat penguat janin, aku sungguh terperangah.
Jadi, Avi hamil? Tapi kenapa dia tidak mengatakannya padaku?
"Istrinya di jaga baik baik ya Pak, soalnya kondisi bu Avi sedang lemah. Jangan di biarkan capek dan banyak pikiran, kasihan dede bayinya!" Tutur perawat itu kepada Mirza.
'Aku yang suaminya!' Batinku. Tapi aku tak kuasa mengatakan apapun, dan ku lihat Avipun tak mempermasalahkan kesalah fahaman perawat itu.
"Aku duluan ya Mas." Pamit Avi padaku, yang kemudian pergi bersama Mirza.
Sungguh, aku ingin mencegahnya, tak rela membiarkan Avi pulang bersama pria itu. Tapi tanganku di gamit erat oleh Dita, dan akupun yakin, Avi tak kan mau bila ku bawa satu mobil dengan Dita.
***
Setelah beberapa saat duduk menunggu antrian, tiba tiba Dita membuka pembicaraan.
"Tau gak Mas, kalau Mas Mirza itu belum lama cerai sama istrinya." Ucap Dita.
"Jadi dia duda?" Tanyaku.
"Iya." Jawab Dita, "Sebelum aku nikah sama Mas, keluargaku berniat menjodohkanku sama Mas Mirza lho, tapi dia nolak duluan."
"Dia, nolak gadis secantik kamu?" Aku merasa heran.
"Iya." Jawa Dita lagi.
"Aneh!" Timpalku.
"Ya, mungkin dia sukanya sama yang lain." Ucap Dita.
'Yang lain?'
Sudah cukup lama, kami duduk menunggu antrian. Sepertinya tak lama lagi giliran Dita yang di panggil. Tapi tiba tiba Dita memintaku untuk membelikannya bubur ayam, karena dia lapar.
Akhirnya aku segera pergi mencari bubur ayam di sekitar klinik. Cukup sulit, karena posisi klinik berada di jalan gang, akupun memutuskan untuk memakai mobilku agar bisa mencari ke tempat yang lebih jauh.
Aku menghentikan mobilku, tepat di depan sebuah gerobak bertuliskan 'Bubur Ayam.' Aku hanya membuka sedikit jendela mobilku kemudian memesan satu porsi bubur ayam, tanpa turun dari mobil.
Dari balik jendela aku bisa melihat ada sepasang manusia yang sedang duduk berhadapan, mereka sedang sibuk melahap bubur ayam sambil sesekali di selingi canda dan tawa.
Avi dan Mirza!
Ingin rasanya aku turun ke sana, dan melabrak mereka. Tapi aku seperti tak punya alasan yang kuat untuk membuat mereka merasa bersalah. Karena memang aku sendirilah yang membiarkan Avi meminta bantuan orang lain, saat Zaki meneleponku untuk memberitahukan bahwa Bundanya sakit.
Entahlah, seperti ada sesuatu yang terasa diremas di sudut hatiku, saat melihat Avi tertawa lepas dengan pria itu. Tawa yang tak pernah tercipta saat bersamaku.
Setelah mendapatkan apa yang kucari, aku segera memacu mobilku untuk kembali ke klinik, di sana ada Dita yang pasti sedang menantiku.
Saat sampai di klinik, aku tak mendapati Dita di tempat duduknya. Sepertinya dia sudah masuk ke ruang periksa, akupun segera berlari ke ruangan tersebut.
Namun, saat aku baru sampai di depan pintu yang bertuliskan nama 'dr. Nancy', tiba tiba Dita muncul dari balik pintu bersama seorang perawat.
"Mas kok lama? Jadi telat kan nemenin aku periksanya." Rajuk Dita.
"Maaf, tadi susah dapat buburnya." Ucapku, sambil meraih tangannya dalam genggaman.
"Tapi calon anak kita gimana sayang?" Tanyaku penasaran.
"Gak gimana gimana." Jawabnya dengan nada judes.
"Tenang Pak, janin dan Ibunya dalam kondisi baik dan sehat, tidak ada yang perlu di khawatirkan." Tutur perawat yang berdiri di samping Dita.
Kamipun pamit pada perawat tersebut, kemudian bergegas menuju apotek untuk menebus obat yang resepkan dokter Nancy. Setelah menunggu beberapa saat, seorang petugas apotek itu menyerahkan satu botol obat yang dia sebut vitamin. Aku yang heran kemudian bertanya.
"Kenapa cuma vitamin aja Mbak?"
"Mungkin karena kondisi Ibu dan bayinya baik baik saja, Pak. Jadi tidak perlu mengkonsumsi banyak obat." Jawab wanita dengan jilbab hitam itu kepadaku.
Tadi ku lihat, obat yang dibawa Avi lebih banyak, berarti dia tidak baik baik saja.
Tanpa banyak bicara lagi, aku segera membayar vitamin tersebut, dan langsung mengajak Dita pulang.
Sepanjang perjalanan pulang otakku tak henti memikirkan Avi, dia tidak sedang baik baik saja, wajahnya pucat, dan perawat di klinik bilang kondisinya sedang lemah. Aku harus menemuinya, bagaimanapun dia sedang mengandung anakku.
"Mas, kok bengong!" Dita membuka suara.
"Aku hanya sedang fokus nyetir." Jawabku.
"Mas kok gak cerita sama aku, kalau Mbak Avi juga hamil." Tanya Dita.
Aku menoleh sekilas, "Aku juga tidak tau."
"Lho, masa dia gak cerita sama Mas?" Dita terlihat heran.
"Itu anak Mas kan?"
'Deg'
Ucapan Dita seolah membawaku pada pemikiran yang berbeda.
"Kok ngomongnya gitu?" Tanyaku lembut, tak mau istri cantikku tersinggung.
"Ya aneh aja, masa istri hamil gak ngasih tau suaminya, udah gitu periksa kandungannya di antar pria lain lagi." Tutur Dita.
Aku jadi terbayang dengan apa yang ku lihat di tukang bubur ayam tadi, Avi dan Mirza memang terlihat cukup akrab. Ah, aku jadi berpikir yang bukan bukan.
"Coba deh Mas pikir, masa periksa kandungan sama pria lain, sedangkan Mas suaminya belum tau kalau Mbak Avi hamil."
"Setau aku ya Mas, Mbak Avi dan Mas Mirza itu udah kenal lama, dari zaman aku masih SD. Malah dulu Mas Mirza sering main ke rumah Mbak Avi."
Semua ucapan Dita membuat gemuruh yang cukup dahsyat di dalam hatiku.
Apa mungkin anak yang di kandung Avi, adalah hasil hubungannya dengan Mirza. Ya, selama ini aku memang tak memberi nafkah batin dengan selayaknya kepada Avi, bukan tidak mungkin jika dia mencari pelarian untuk memenuhi semua itu.
Sedangkan Mirza, dia seorang duda. Tentu dia juga membutuhkan seseorang untuk menuntaskan kebutuhan biologisnya. Otakku serasa memanas, tak mampu lagi berpikir dengan jernih.
Sesampainya di rumah, aku langsung membaringkan tubuhku di tempat tidur, ku pejamkan mata, berharap mendapat ketenangan. Namun nyatanya sulit, seperti ada kecamuk di otak dan hatiku.
Di satu sisi aku yakin bahwa anak yang di kandung Avi adalah benihku, karena dia wanita baik baik yang cukup menjaga jarak dengan pria yang bukan mahramnya. Tapi di sisi lain aku tetap curiga, bukan tidak mungkin bila janin yang di kandung Avi adalah anak Mirza.
***
Setelah makan siang aku pamit pada Dita, bagaimanapun aku harus tetap bertanggung jawab pada Ratih juga Avi. Mengingat, selama lebih dari seminggu ini aku tinggal di rumah Dita, dan mereka sama sekali tidak ada yang menghubungiku.
Jarak dari rumah Dita ke rumah Avi tidak jauh, karena mereka tinggal di wilayah yang sama. Ku bawa mobilku membelah jalanan dengan kecepatan sedang. Saat melewati depan sekolah Zaki, aku melihat sesosok pria yang tidak asing sedang berdiri di sebrang jalan.
"Mirza?".
Akupun menepikan mobilku, dan segera turun untuk menghampiri Mirza yang sedang berdiri di depan sebuah bengkel.
"Mirza!"
Dia kemudian menoleh, dan terlihat kaget dengan kehadiranku.
"Mas Tedi?"
"Ada yang bisa saya bantu?" Dia menghampiriku lebih dekat.
"Saya mau ganti oli. Kamu kerja di sini?" Tanyaku penasaran.
"Oh ... Iya." Dia sedikit tergagap.
Kemudian seorang pria dengan pakaian kotor, yang sejak tadi sibuk mengotak ngatik sebuah motor matic berdiri.
"Pak Mirza pemilik bengkel ini, Pak." Selorohnya.
"Oh, baru buka ya?" Tanyaku, "Karena sebelumnya saya gak lihat ada bengkel di sini."
"Iya Mas, belum sampai sebulan." Mirza kembali menjawab.
Kemudian dia memintaku memasukan mobilku ke area bengkel untuk di ganti olinya. Padahal sebenarnya baru dua minggu yang lalu aku mengganti oli mobilku, tapi tidak mungkin aku membiarkan Mirza tau bahwa aku kesini hanya karena penasaran tentang dirinya. Biarlah, ganti oli menjadi alasan.
"Mas mau kemana?" Dia kembali membuka percakapan, setelah memastikan mobilku sedang di tangani oleh pegawainya.
"Ke rumah Avi." Jawabku.
Dia terlihat mengangkat kedua alisnya, kemudian kembali tersenyum ramah kepadaku. Apa mungkin dia tidak suka bila aku ke rumah Avi, karena akan mengganggu kedekatannya dengan Avi.
"Kamu sudah lama kenal Avi?" Tiba tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Lumayan, dari dia masih SMP." Jawabnya.
Karena rasa penasaran, aku bertanya banyak kepadanya tentang Avi juga Dita. Rupanya dia lebih tau banyak tentang Dita, karena mereka bertetangga. Tapi bisa saja dia hanya berpura pura, agar aku tak mencurigai hubungannya dengan Avi.
Cukup lama kami berbincang, hingga tak kusadari bahwa mobilku sudah selesai ditangani. Akhirnya akupun pamit pada Mirza, dan segera meluncur menuju rumah Avi.
***
Ku ucap salam saat membuka pintu, terdengar jawaban dari dalam, namun tak ku lihat Avi menyambutku. Biasanya dia akan menjawab salam sambil menghampiriku untuk sekedar memastikan bahwa aku yang datang.
Ku langkahkan kaki menuju ruang tengah, ku lihat dia sedang fokus menonton televisi. Dia tak menghiraukanku.
"Kamu hamil?" Aku langsung membuka pembicaraan.
"Iya." Jawabnya acuh.
"Berapa bulan?" Tanyaku penasaran.
"Jalan tiga bulan." Ketusnya.
Berarti dia sudah hamil di bulan pertama pernikahan kami. Kenapa dia sembunyikan.
"Kenapa tak pernah cerita?" Aku mulai kesal.
"Aku sendiri baru tau."
Dia sama sekali tidak merasa bersalah, mana mungkin dia tidak menyadari bahwa dia hamil, padahal sudah hampir tiga bulan.
"Apa karena itu anak kamu dengan pria tadi?" Kalimat itu tak bisa lagi ku tahan.
Seketika dia mengarahkan pandangannya padaku, tatapannya tajam seolah menghunus jantungku. Aku tak pernah melihatnya semarah ini.
"Jangan samakan aku dengan Dita." Suaranya meninggi.
"Apa maksud kamu?" Aku tak terima dia membawa bawa nama Dita.
"Iya, aku bukan Dita. Aku tidak biasa di sentuh sembarang lelaki yang bukan suamiku."
Untuk sesaat kalimat itu mampu membungkamku. Ya, Dita memang tidak setertutup Avi, dari sebelum menikahpun Dita sudah terbiasa memeluk dan menciumku, tapi kami tak pernah melakukan yang lebih dari itu.
Emosi Avi mulai memuncak, bahkan air matanyapun luruh saat ku katakan bahwa aku tidak mau dia memanfaatkan pernikahan kami untuk menutupi hubungannya dengan Mirza.
Sebenarnya aku tak tega, tapi tak ada salahnya bila aku mengungkapkan semua yang menjadi kekhawatiranku kepadanya.
Di luar dugaanku, dengan tegarnya Avi mengatakan bahwa dia tidak masalah bila aku tidak mengakui anak yang dikandungnya, bahkan dia mengatakan bahwa aku tidak perlu melakukan tanggung jawabku sebagai Ayah kepada anak itu.
Dadaku serasa di hantam palu besar saat mendengar penuturan Avi. Dia terlalu kuat untuk ditaklukan, padahal aku hanya ingin memastikan bahwa anak yang di kandungnya benar benar anakku.
Emosi kami seketika mereda karena kedatangan Zaki, bocah itu datang dengan menenteng Mangga muda di tangannya. Dia terlihat begitu menyayangi Avi, hati kecilku tersentuh melihat kehangatan antara sepasang ibu dan anak ini, aku merasa ingin menjadi bagian dari mereka. Tapi di ruang hati yang lain aku sadar, bahwa aku tak pernah mengharapkan mereka, karena dari awal yang kuharapkan adalah Dita, dan sekarang di tambah dengan anak yang dikandungnya.
***
Pagi ini ada yang berbeda di rumah Avi, biasanya setiap pagi dia selalu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah juga memasak, tapi dari selesai subuh tadi dia hanya duduk santai sambil menonton televisi.
Rupanya dia sedang melewati masa ngidam. Walaupun aku belum yakin bahwa yang dikandungnya adalah anakku, tapi tak ada salahnya bila aku sedikit membantu pekerjaannya. Ku antarkan Zaki sekolah, kemudian membelikan bubur untuk sarapan aku dan Avi.
Awalnya Avi menolak ku ajak makan bersama, tapi setelah ku sindir tentang kebersamaannya dengan Mirza di tukang bubur ayam kemarin, akhirnya dia mau memakan bubur ayam yang ku beli.
Terkadang ada rasa iba di hatiku kepada Avi, wanita yang ku nikahi tanpa pernah ku cintai. Sampai saat ini posisinya masih sebagai tempat pulang ternyaman, itu saja.
Seperti saat ini, aku belum siap untuk menghadapi kejenuhan di rumah Ratih, dan aku juga sedang bosan dengan sikap manja Dita yang sedang ngidam, maka rumah Avi adalah pilihan pulang terbaik.
***
Setelah dua hari yang lalu aku dikabari Mbak Yana, agar datang ke rumah Umi untuk mengikuti acara Haul meninggalnya Abah, hari ini aku berniat mengajak ketiga istriku untuk datang kesana. Namun Dita menolak, dia tidak bisa ikut karena takut mual mual jika bertemu banyak orang. Aku mengiyakannya, karena istri cantikku itu tidak suka bila keinginannya tak di turuti.
Ku bawa Avi dan Zaki menjemput Ratih dan Tania, kemudian kami langsung meluncur menuju rumah Umi. Ada yang berbeda, ku lihat Ratih dan Avi tak seakrab biasanya, Avi terlihat menjaga jarak.
Saat tiba di rumah Umi, keluargaku sangat antusias menyambut kedatangan Avi. Ya, karena sejak dulu Umi sangat mengidam idamkan menantu seorang wanita rumahan yang membaktikan hidupnya untuk keluarga. Dan hal itu tidak ada pada Ratih ataupun Dita.
Belum sempat ku hempaskan tubuhku ke sofa empuk di rumah Umi, tiba tiba pertanyaan Mbak Yana dan Mbak Aira tentang kehadiran Dita membuatku harus kembali memacu mobil untuk membawa Dita.
Aku memang tidak mau memaksakan kehendakku pada Dita, tapi aku lebih tidak mau membiarkan Dita dikucilkan oleh keluargaku.
Jarak dari rumah Umi ke tempat Dita memang tidak begitu jauh, hanya setengah jam perjalanan jika menggunakan mobil.
***
Setelah dibukakan pintu oleh ibu mertua yang usianya hanya lebih tua beberapa tahun dariku, akupun segera mencari Dita. Dia terlihat sedang duduk santai di depan televisi, sambil tangannya sibuk menggeser geser layar ponsel.
"Mas, gak jadi pergi?" Ucapnya sambil membetulkan posisi duduknya.
"Jadi, Mas baru dari rumah Umi."
"Terus kenapa kesini?" Tanyanya heran.
"Keluarga Mas semua nanyain kamu. Makannya Mas kesini buat jemput kamu." Tuturku.
"Aku gak mau ah. Kan Mas tau aku lagi ngidam, kalau ketemu banyak orang suka jadi mual." Dia mulai merajuk.
"Tapi sepertinya keluarga Mas gak akan bisa terima alasan itu, karena Avi juga datang." Ku coba mencari alasan agar Dita mau ikut.
"Apa urusannya sama Mbak Avi?" Dia mendelik kesal.
"Kondisi Avi kan sama kayak kamu. Jadi kalau kamu gak datang, Mas takut, nanti keluarga Mas membanding bandingkan kamu sama Avi."
Ekspresinya mulai melunak, sepertinya Dita berubah pikiran.
"Iya deh, aku mau. Tapi perginya nanti aja ya, setelah maghrib." Ucapnya ketus.
"Iya sayang."
Akhirnya, hatiku lega. Tidak masalah dia meminta pergi setelah maghrib, toh acaranya baru mulai setelah isya.
***
"Wah pasti nanti kalau anaknya perempuan bakal mirip aku." Ucap Mbak Yana, saat aku meletakkan tas Dita di kamar tamu.
Umi dan kedua Kakakku terlihat sedang berbincang bersama Ratih dan Avi.
"Kok mirip Mbak sih, kan yang ibunya Avi." Timpal Mbak Aira.
"Iya, tapi Bapaknya kan Tedi. Semua kan tau, kalau aku sama Tedi itu mirip, jadi kalau nanti anak yang di kandung Avi itu perempuan pasti mirip aku." Jawab Mbak Yana tak mau kalah.
"Ya bisa aja miripnya sama Avi." Pungkas Mbak Aira.
"Enggak ah, dua anakku aja miripnya sama Tedi. Jadi anaknya dia juga harus mirip aku." Rajuk Mbak Yana.
Ucapannya langsung dibalas gelak tawa dari para kerabat yang sedang sibuk mempersiapkan acara pengajian yang akan di mulai sebentar lagi. Ya, Mbak Yana memang memiliki dua anak laki laki yang wajahnya lebih mirip denganku.
"Tapi aku maunya anak laki laki Mbak." Gelak tawa kemudian berhenti, terpotong ucapanku.
"Anak laki laki dari benihku sendiri." Aku kemudian duduk di samping Dita yang sejak tadi mereka acuhkan.
"Bila anak yang di lahirkan Avi kelak mirip Ayahnya, maka kemungkinan wajahnya tidak akan mirip denganku."
Sontak semua mata menatap tajam ke arahku. Begitu pula dengan Avi dan anaknya.
Ku lihat ada air mata yang meleleh di sudut mata Avi. Sedangkan Zaki, dia menatapku seolah hendak menerkam, bisa apa anak sekecil dia? Apa dia faham dengan maksudku?
==========
"Dulu Mbak pernah meminta Mas Tedi untuk menikah lagi, tapi belum di tentukan siapa calonnya. Karena saat itu, Mas Tedipun belum mengiyakan."
Mbak Ratih kemudian beralih menatapku, tatapan teduhnya menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Kalau bukan karena sindiran sindiran dari keluarga Mas Tedi, prihal Mbak yang tidak bisa memiliki keturunan, mana mungkin Mbak meminta Mas Tedi untuk menikah lagi."
Dia menghela nafas sejenak, untuk kemudian melanjutkan kalimatnya.
"Wanita mana yang rela berbagi cinta, dari laki laki yang sudah ditemaninya mulai dari nol?"
"Butuh berminggu minggu bagi Mbak meyakinkan diri untuk merelakan Mas Tedi menikah lagi."
Aku tak menjawab apapun, aku hanya ingin mendangar apa yang sesungguhnya terjadi pada Mbak Ratih selama ini.
"Awalnya Mas Tedi menolak, tapi kemudian dia luluh. Bukan karena bujukan Mbak, tapi karena kehadiran Dita. Kedekatan mereka di ketahui oleh Umi, karena ada pegawai di toko yang melaporkannya.
Umi tidak mau bila Mas Tedi menikahi Dita, karena dari penampilannya saja orang akan langsung menilai negatif. Hingga akhirnya Umi bertemu kamu."
Aku mengerutkan kening, berusaha mengingat apa yang barusan di ucapkan Mbak Ratih. Ya, aku ingat!
Sebelum menikah dengan Mas Tedi, aku pernah dua kali bertemu Umi, bahkan yang kedua kalinya kami ngobrol cukup banyak. Kala itu aku sedang merawat Mbak Ratih yang sakit, dan kebetulan Umi datang menjenguk.
"Setelah bertemu kamu, dan mengetahui bahwa kamu janda, Umi langsung meminta Mbak agar membujuk Mas Tedi untuk menikahi kamu."
"Walau jujur Mbak akui, bahwa Mbak sendiripun lebih ridho bila kamu yang menjadi adik madu Mbak, bukan Dita. Mbak tidak rela bila harus disejajarkan dengan wanita seperti dia."
Buliran bening menyeruak dari sudut mataku, ternyata selama ini aku salah sangka, betapa hati Mbak Ratih tak kalah sakitnya dari aku.
Aku kemudian memeluk Mbak Ratih, tangis kami sama sama pecah. Kami mencoba saling memahami kesakitan masing masing.
"Aku tetap akan menggugat cerai Mas Tedi setelah anakku lahir, Mbak." Lirih kalimat itu terucap dari mulutku.
Seketika Mbak Ratih mendorong tubuhku, melepaskanku dari dekapannya.
"Kamu hamil Vi?" Tatapannya menyelidik.
Aku baru ingat, kalau Mbak Ratih belum tau aku hamil, terang saja dia kaget.
"Iya Mbak, sudah jalan tiga bulan."
Mbak Ratih kembali memelukku, dia terlihat ikut bahagia.
"Selamat ya Vi, Mbak seneng banget." Ucap Mbak Ratih, sambil memelukku erat.
"Ada apa ini? Kok kalian pada nangis." Tanya Mbak Yana, yang baru saja muncul di lubang pintu.
Mbak Ratih kemudian melepas pelukannya, lalu menoleh pada Mbak Yana.
"Avi hamil Mbak, sudah mau jalan tiga bulan."
Entahlah, seperti ada desiran dahsyat di hatiku saat mendengar ucapan Mbak Ratih, benarkah dia turut berbahagia dengan kehamilanku? Sedangkan suamiku sendiri tak mau menganggap ini anaknya.
"Yang benar?" Tanya Mbak Yana antusias.
"Iya Mbak." Jawabku singkat.
"Wah, satu rumah harus tau ini."
Mbak Yana kemudian berbalik keluar kamar, sepertinya dia akan membuat pengumuman pada semua orang tentang kehamilanku.
Aku dan Mbak Ratih segera menyusul keluar, setelah sebelumnya merapihkan mukena dan sajadah bekas kami sholat.
Di ruang tengah Umi menyambutku dengan mata berbinar.
"Kamu beneran hamil Nak?" Tanya wanita sepuh itu.
"Iya."
"Kenapa tidak memberitahu kami?"
"Aku sendiri baru tau."
Kemudian kami duduk berkumpul, memperbincangkan tentang kehamilanku. Suasana jadi lebih hangat, ketika Mbak Yana mengatakan bahwa kelak bila anakku perempuan, pasti akan mirip dengannya, karena wajah Mbak Yana memang mirip dengan Mas Tedi. Tak ayal ucapannya memancing gelak tawa dari para keluarga yang ada di ruangan ini.
"Tapi aku maunya anak laki laki Mbak." Gelak tawa kemudian berhenti, terpotong ucapan Mas Tedi yang ternyata sudah datang bersama Dita.
"Anak laki laki dari benihku sendiri."
Ucapnnya seolah menegaskan bahwa anak yang sedang ku kandung bukanlah anaknya.
"Bila anak yang di lahirkan Avi kelak mirip Ayahnya, maka kemungkinan wajahnya tidak akan mirip denganku."
Sontak kalimatnya membuat leherku serasa tercekik, ada gemuruh dahsyat di dalam dadaku. Hatiku terasa makin sakit, saat ku sadari bahwa Zaki putraku juga menyimak apa yang di ucapkan Mas Tedi. Zaki anak yang cerdas, dia tentu faham dengan maksud ucapan Mas Tedi. Putraku itu terlihat sangat marah.
"Apa maksud kamu, Tedi?" Tegas Umi bertanya pada Mas Tedi.
"Enggak Mi, aku hanya bilang kalau anak yang dikandung Avi belum tentu mirip aku. Lagi pula, aku ingin anak laki laki, bukan anak perempuan." Jawab Mas Tedi, dia terlihat melunak.
Dia berusaha merubah penilaian orang atas ucapannya tadi. Tapi percumah, hatiku sudah terlanjur sakit, karena ucapanya juga pasti sudah di cerna oleh banyak telinga yang ada di sini.
Mbak Ratih yang duduk di sampingku, kemudian meraih tanganku, menggenggamnya erat seolah menyalurkan kekuatan. Helaan nafasku terasa berat, tapi aku berusaha untuk tetap tenang.
Suasana berubah kaku, kami yang sejak tadi berbincang hangat, kini menjadi canggung satu sama lain. Hanya senyum Mbak Ratih yang tetap hangat, mungkin hanya dia yang yakin bahwa anak yang ku kandung adalah anak Mas Tedi. Biarlah, akupun tak perduli jika penilaian orang lain sama dengan apa yang di tuduhkan Mas Tedi.
Adzan Isyapun berkumandang, alunannya memecah kekakuan di rumah ini. Semua orang bergegas mengambil air wudhu, ada juga yang dengan sigap merapihkan karpet, dan menata piring berisi makanan di atasnya.
Aku, Mbak Ratih, Tania, dan Zaki, sholat berempat di kamar tamu, di atas ranjang terlihat ada satu tas yang asing, sepertinya itu milik Dita. Sebenarnya tadi kami melihat Mas Tedi juga sudah wudhu, tapi aku dan Mbak Ratih sengaja memulai sholat lebih dulu, dengan aku yang bertindak sebagai Imam. Kami takut jama'ah kami jadi tidak sah bila bermakmum pada Mas Tedi, karena saat ini kami sedang sama sama kecewa pada dirinya.
Selesai salam, aku segera mencium punggung tangan Mbak Ratih. Dia terlihat kaget, mungkin karena tidak terbiasa, kenapa tidak? Dia lebih tua dariku. Dan mulai saat ini, aku berjanji akan menyayanginya, seperti Kakakku sendiri.
Ku lanjutkan dengan menyalami Zaki dan Tania, kedua anak itu mencium punggung tanganku juga Mbak Ratih. Saat adegan manis ini berlangsung, tiba tiba Mas Tedi dan Dita muncul dari lubang pintu.
Pria kecilku menoleh sekilas ke arah Mas Tedi, kemudian dia melirik ke arah Tania.
"Bunda, nanti kita tidur berempat ya di ruang tengah, bareng sama Mama Ratih dan Kak Tania." Pinta Zaki.
"Iya, Tania juga pengen tidur bareng sama Mama juga sama Bunda." Ucap tania dengan mata berbinar menatapku.
"Bunda?" Aku terpana karena mendengar Tania memanggilku Bunda, padahal selama ini dia selalu memanggilku Tante.
"Iya, mulai sekarang, Tania bolehkan manggil Bunda?" Ucapnya penuh harap.
"Tentu sayang." Jawabku.
Gadis cantik itu memelukku. Aku terharu, ada lelehan air mata di pipiku. Bukan hanya karena panggilan Bunda, tapi karena betapa perdulinya Tania dan Zaki untuk menjaga perasaanku.
Tak berlama lama larut dalam keharuan, kami langsung membereskan bekas sholat, kemudian segera keluar kamar tanpa menghiraukan kehadiran dua makhluk yang bergelar suami istri itu.
Kamipun segera duduk di ruang tengah, rupanya para tetangga dan kerabat mulai berdatangan. Acara akan segera dimulai.
Saat seorang Ustadz yang sengaja diundang oleh Umi sedang membacakan Hadloroh, tiba tiba sosok Mas Tedi dan Dita baru keluar dari kamar, kehadiran mereka menjadi pusat perhatian semua orang yang datang. Apalagi mereka keluar dari kamar tamu yang pintunya terhubung ke ruang tamu, tempat para tokoh masyarakat duduk berkumpul.
Sungguh memalukan. Aku seperti melihat sosok yang berbeda dari diri Mas Tedi. Dia seperti kehilangan sebelah dari jati dirinya, hanya karena seorang Dita.
Kemudian srpasang pengantin baru itu duduk berdampingan, membuatku semakin merada jijik. Ya, karena yang lain memisahkan diri antara laki laki dan perempuan. Para ibu ibu duduk di ruang tengah yang mendekati pintu menuju ruang makan, sedangkan para Bapak berkumpul di ruang tamu, dan sisanya di bagian depan ruang tengah yang terhubung ke ruang tamu.
Setelah selesai pembacaan Hadloroh, kemudian Pak Ustadz melanjutkan dengan bacaan tahlil, dan terakhir di tutup dengan pembacaan do'a oleh orang yang berbeda.
Selesai acara ada yang langsung pulang, ada juga yang tetap tinggal untuk berbincang bincang dan menyantap kudapan yang di suguhkan oleh Umi.
Aku dan Mbak Ratih memilih duduk di teras samping rumah Umi. Mbak Ratih memintaku menjelaskan apa yang menyebabkan Mas Tedi menuduh anak yang ku kandung bukan anaknya. Akupun menceritakan pertemuanku dan Mas Tedi di klinik, dimana aku datang di antar oleh Kak Mirza, berikut kejadian makan bubur yang ternyata juga diketahui oleh Mas Tedi.
Sebenarnya aku juga heran, bagaimana mungkin Mas Tedi bisa dengan mudah langsung menuduhku demikian, hanya karena di antar ke klinik, dan makan berdua di tukang bubur dengan Kak Mirza.
"Ya Alloh Vi, Mbak gak nyangka Mas Tedi bisa setega itu berpikir buruk tentang kamu." Mbak Ratih menggenggam tanganku.
"Mbak yakin, pasti ini karena pengaruh Dita." Ku lihat ada kemarahan di matanya.
"Sudahlah Mbak, sekarang sedikitpun aku sudah tidak perduli. Aku sudah bicara pada Mas Tedi, aku tak masalah bila dia tak mengakui anak ini, bahkan aku memintanya untuk tidak perlu bertindak sebagai Ayah dari anak yang ku kandung. Aku sudah biasa berjuang sendiri." Ku ucapkan dengan lancar semua kalimat itu, walau sebenarnya ada yang menekan di pangkal tenggorokan.
Tidak ada lagi air mata, terlalu mahal bila air mataku harus tumpah lagi hanya karena kebersamaan Mas Tedi dan Dita.
"Kamu yakin Vi?" Lirih Mbak Ratih berkata.
"Iya Mbak, aku berhak bahagia. Dan Mas Tedi, tidak pernah memberikan itu."
Kulepaskan tanganku dari genggamannya, dan kini aku yang berbalik menggenggam tangannya.
"Mbak juga berhak bahagia." Ku tatap mata teduhnya penuh keyakinan.
Belum sempat Mbak Ratih menjawab kalimatku, tiba tiba keluarlah Umi dari lubang pintu yang tak jauh dari tempat kami duduk. Wanita sepuh itu terlihat berkaca kaca, aku dan Mbak Ratih berdiri lalu menghampirinya.
"Maafkan Umi ... Maafkan Umi ...." Bergetar kalimat itu keluar dari mulutnya.
Aku dan Mbak Ratih tak menjawab, kami mengerti maksud Umi. Sepertinya Umi mendengar percakapan kami.
"Umi yakin, anak yang kamu kandung adalah cucu Umi. Jangan pisahkan dia dari Umi." Tangan Umi menyentuh perutku, ada lelehan air mata yang di pipinya.
Aku tersenyum, bersamaan dengan bulir bening yang membasahi pipiku. Kutatap Mbak Ratih, ada senyum tulus terukir di wajahnya, aku yakin diapun turut bahagia.
Aku memeluk tubuh renta di hadapanku, kubisikan kata 'Terimakasih' berkali kali di telinganya.
Kemudian Umi mengulurkan sebelah tangannya pada Mbak Ratih, menandakan bahwa Umi ingin Mbak Ratih turut memeluknya. Mbak Ratihpun menghambur memeluk aku dan Umi.
Terimakasih Ya Alloh! Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Mbak Ratih, aku bahagia melihatnya bisa kembali dekat dengan Umi.
***
Setelah beberapa purnama berlalu, kini perutku semakin membesar. Janin di perutku sudah berusia tujuh bulan, bukan janin, sekarang dia sudah menjadi bayi. Sekitar dua bulan lagi, dia akan melengkapi hidupku.
Saat ini aku masih menjadi istri Mas Tedi, begitu juga Mbak Ratih. Sesekali Mas Tedi pulang ke rumahku atau ke rumah Mbak Ratih. Tapi dalam empat bulan ini, bisa kuhitung dengan jari berapa kali dia bermalam di rumahku. Ya, dia tentu lebih banyak di rumah Dita.
Aku berusaha menjaga jarak dengan Kak Mirza, tak mau pria itu terbawa arus masalahku, karena dia tidak tau apa apa. Tapi ternyata sangat sulit menjauhinya, dia sering kali mengantarkan Zaki pulang dari sekolah, karena dia memiliki bengkel yang berada tepat di depan sekolah Zaki.
Mengingat kondisi perutku yang semakin membesar, aku memang membutuhkan seseorang untuk menggantikanku mengantar jemput Zaki ke sekolah. Tapi tak mungkin bila aku mengandalkan Kak Mirza.
Kadang Zaki ku titipkan pada Mas Andra, walau kutahu itu sangat merepotkannya, karena Mas Andra juga mengantar kedua anaknya yang sudah SMP, dan arah sekolah mereka berbeda. Sepertinya aku harus mencari ojeg untuk mengantar jemput Zaki sekolah.
***
Siang ini aku sudah berpakaian rapih, bersiap menjemput Zaki di sekolah, dan langsung membawanya ke pusat perbelanjaan. Hari ini aku berniat berbelanja perlengkapan bayi, juga beberapa kebutuhan aku dan Zaki.
Minggu ini aku sedang dihujani rizki oleh Alloh, melalui tangan Ibu, Umi, dan juga Arif adik bungsu Mas Andi. Uang pemberian mereka sudah lebih dari cukup untuk membeli keperluan kami.
Belum sempat aku mengeluarkan motorku dari dalam rumah, tiba tiba terdengar suara motor yang berhenti di halaman rumahku.
"Bunda!" Teriakan Zaki.
Aku bergegas membuka pintu, terlihat Zaki yang baru turun dari motor Kak Mirza. Sudah kuduga.
"Ayo Bunda!"
Aku mengerutkan dahi, tak fahan dengan ajakan Zaki.
"Ayo kemana?" Tanyaku heran.
"Katanya kita mau belanja." Timpal Zaki.
Ku alihkan tatapanku pada Kak Mirza, yang masih setia duduk di motornya. Diapun hanya menanggapi dengan mengangkat kedua pundaknya.
Aku kembali menatap Zaki, meminta penjelasannya.
"Zaki minta Om Mirza buat nganterin kita pergi belanja, Bunda."
Aku terperangah mendengar jawabannya. Bagaimana mungkin putraku bisa bertindak sejauh ini, akhir akhir ini dia seperti sengaja menjalin kedekatan lebih dengan Kak Mirza.
"Zaki gak mau Bunda bawa motor sendiri, Zaki sayang sama Bunda dan Dede bayi."
Bocah itu kemudian menghampiriku, menggenggam sebelah tanganku dengan kedua tangannya.
"Zaki mau perginya sama Om Mirza, Bunda." Putraku memohon.
Bila Zaki sudah seperti ini, aku tak punya kekuatan lagi untuk menolak.
Akupun segera masuk ke rumah untuk mengambil tasku, kemudian memastikan semua pintu sudah terkunci.
Di sepanjang jalanan komplek rumahku, beberapa pasang mata menatapku dengan cara yang berbeda. Tentu saja ini akan terlihat janggal, karena semua orang tau bahwa aku istri kedua Mas Tedi.
Setelah sampai di tempat tujuan, kami lebih dulu membeli keperluan Zaki, aku tidak mau dia merasa cemburu bila aku mendahulukan keperluan adik bayinya yang belum lahir.
Kak Mirza?
Tentu saja dia ikut masuk bersama kami, tak mungkin aku membuatnya menjadi seperti tukang ojeg. Dan aku yakin, saat ini semua orang yang melihat kami, pasti akan menyangka bahwa kami adalah keluarga kecil yang sedang menanti kelahiran anak kedua.
Selesai dengan keperluan Zaki, kamipun berjalan menuju Baby shop yang cukup besar di tempat ini. Dan, aku harus mendapat kejutan, ketika mata dan tanganku baru saja mulai memilih keperluan calon bayiku. Aku melihat Mas Tedi dan Dita juga sedang memilih perlengkapan bayi di tempat ini.
Aku tau, bahwa kami hanya tinggal di pinggiran kota, sehingga hanya Mall inilah yang paling dekat untuk di jangkau oleh orang orang di wilayahku, tapi kenapa harus sekarang? Bukankah usia kandungan Dita baru sekitar lima bulanan.
Aku tetap fokus pada kegiatanku, pura pura tak melihat mereka. Sepertinya tidak masalah bila aku menikmati kebersamaanku dengan Kak Mirza di hadapan Mas Tedi.
Untuk beberapa lama, sepertinya Mas Tedi dan Dita juga tidak menyadari keberadaanku, karena Baby shop ini memang cukup besar. Hingga akhirnya kamipun bertemu di satu titik.
"Kamu belanja di sini juga?" Mas Tedi menghampiriku.
Matanya melirik sosok Kak Mirza, yang sedang asyik bercanda dengan Zaki, beberapa meter di belakangku.
"Iya, kebetulan anakku sebentar lagi lahir, jadi sudah waktunya aku menyiapkan keperluannya." Kujawab pertanyaannya dengan penuh percaya diri.
Sedikitpun aku tak mau menunjukkan bahwa aku membutuhkan kehadirannya, bahkan aku tak mau menunjukkan rasa bersalah atas kebersamaanku dengan Kak Mirza saat ini.
"Wah, pasti Mas Tedi udah ngasih uang banyak ya, ke Mbak Avi?" Seloroh Dita, seolah mengejekku.
"Tidak, aku tidak ingin merendahkan harga diriku, hanya demi uang dari laki laki yang tak menghendaki anak yang kukandung."
"Apa uangnya dari Mas Mirza?" Ucap Dita tak kalah mengejek.
"Kalaupun iya, kurasa tidak masalah." Jawabku santai.
"Anggap saja saya sedang menyantuni janda dan anak yatim." Tiba tiba Kak Mirza sudah berdiri di sampingku.
Kalimatnya sontak membuat wajah Mas Tedi memucat.
"Secara tidak langsung kamu sudah mengakui bahwa yang di kandung Avi adalah anak kamu." Tajam kalimat Mas Tedi. Dia terlihat sangat marah pada Kak Miza.
Tapi Kak Mirza justru menanggapinya dengan senyum.
"Andai saja iya, pasti saya akan sangat bahagia." Ucapnya santai.
"Tidak perlu melibatkan Kak Mirza, dia tidak tau apa apa." Kutatap pria angkuh di depanku.
"Tidak perlu melibatkan? Tapi kamu sendiri yang membawa dia kesini." Sengit jawaban Mas Tedi.
"Saya yang datang, bukan Avi yang meminta." Kembali Kak Mirza membelaku.
"Saya akan merasa jadi pecundang, jika membiarkan Avi yang sedang hamil besar, pergi hanya ditemani Zaki yang masih kecil."
Kalimat Kak Mirza terdengar sangat ringan, namun mampu membuat wajah Mas Tedi semakin menegang.
"Tidak perlu bermulut manis, hanya demi menutupi kebusukan kalian." Emosi Mas Tedi semakin naik.
"Tidak perlu menuduh yang bukan bukan, hanya karena tidak ingin memberi kebahagiaan. Lebih baik lepaskan." Tutur Kak Mirza, yang tetap tenang.
"Heh ... Agar bisa kamu pungut?" Mas Tedi berdecih.
"Kenapa tidak." Jawaban Kak Mirza membuatku terbelalak.
"Wanita baik seperti Avi, terlalu berharga untuk di sia siakan."
"Ingat Mas, saya jauh lebih dulu mengenal Avi dan Dita. Saya rasa, orang tidak akan meragukan penilaian saya, untuk menyebutkan siapa yang lebih baik di antara mereka." Tutur Kak Mirza, sambil melirik ke arah Dita dengan alis yang di angkat.
Mas Tedi tak menjawab lagi ucapan Kak Mirza, sedangkan Dita, dia terlihat menghindari tatapan Kak Mirza.
Tak mau putraku terlalu lama menyaksikan pertengkaran kecil ini, akupun segera melangkah hendak meninggalkan Mas Tedi dan Dita.
Namun, langkah kakiku terjegal oleh ucapan Dita.
"Oh iya Mbak, Mbak Ratih udah ngajuin gugatan cerai lho ke Mas Tedi. Mbak Avi kapan nyusul?"
'Deg!'
Jantungku seolah berhenti berdetak untuk sejenak. Ada apa dengan Mbak Ratih?
"Secepatnya, setelah anakku lahir." Aku berusaha terlihat baik baik saja.
Tak mau pergi tanpa kesan, akupun berdiri sejenak di hadapan Dita, mengelus perutnya.
"Kayaknya bayi kamu kembar deh, soalnya baru empat bulanan tapi besar perutnya udah sama kayak aku."
Dita nampak kaget, ku lirik sekilas ke arah Mas Tedi yang terlihat bingung.
Kemudian aku berlalu begitu saja, setidaknya aku sudah memberikan kesan mendalam pada mereka dengan ucapanku tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel