Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 06 November 2021

Madu Pahit #9

Cerita Bersambung

[POV Mirza]

"Kamu gak apa apa kan?"  Aku cukup mengkhawatirkan Avi, setelah pertengkaran kecil yang baru saja terjadi.
"Aku gak apa apa, Kak," dia melirikku sekilas.
Kami masih berdiri di depan kasir, menunggu petugas kasir tersebut menghitung belanjaan Avi.

"Kita cari makan dulu ya, kamu juga kayaknya perlu istirahat sebentar. Kasihan, nanti bayi di perut kamu cape, kebanyakan di bawa jalan."
"Aku mau langsung pulang," Avi menolak.

"Tapi Zaki lapar, Bunda," rajuk Zaki di sela penolakan Avi.
"Tuh kan, Zaki juga lapar," ku usap rambut bocah itu.
"Kalau nunggu sampai rumah, kasihan Zaki," imbuhku.
"Ya sudah, terserah Kak Mirza saja."

Avi akhirnya mau mengikuti ajakanku.

Setelah selesai membayar semua yang dia beli, kami bergegas mencari tempat makan. Belum terlalu jauh kaki kami melangkah, seorang petugas kasir tadi memanggil kami.

"Pak ... Pak ...!"

Aku yang berjalan di belakang Avi dan Zaki menoleh, kemudian segera menghampiri kasir tersebut. Tak berapa jauh dari tempatku berdiri, tampak Mas Tedi dan Dita sedang berjalan menuju kasir, sepertinya mereka juga sudah selesai berbelanja.

"Maaf Pak, ini tadi tas istrinya ketinggalan."

Petugas kasir itu menyerahkan tas milik Avi. Mungkin karena terlalu banyak barang belanjaan yang dibawa, Avi sampai melupakan tasnya sendiri.

Aku segera menerima tas tersebut, walau tak kupungkiri situasi ini membuat aku dan Avi menjadi kikuk, ini bukan pertama kali kami di anggap suami istri. Sementara di belakang sana, ada sepasang mata yang sedang menatapku tak suka.

Biarlah, aku hanya ingin menegaskan padanya, bahwa wanita sekelas Avi sama sekali tak pantas di sejajarkan dengan wanita seperti Dita.

Aku segera berlalu, tanpa memperdulikan tatapan sinis dari pria yang merupakan suami dari wanita yang saat ini sedang bersamaku.
***

Saat ini aku tengah menikmati makan siang bersama Avi dan Zaki.

Tak kupungkiri, ada bahagia yang menjalar disetiap aliran darahku, karena bertahun tahun lamanya aku merindukan saat seperti ini, walau nyatanya mereka bukan anak istriku. Berulang kali batinku beristighfar, merutuki apa yang sedang kulakukan saat ini, menyadari bahwa ini adalah sebuah kesalahan.

Tapi kini aku sudah terlanjur jauh terlibat, ada tanggung jawab yang harus kutuntaskan. Aku tau, ini bukan kesalahanku ataupun Avi, tapi keadaan membuat kami menjadi tepat untuk berada di posisi yang salah.

Gunjingan yang beberapa bulan ini mulai santer terdengar dari mulut tetangga dan kerabat, cukup membuatku merasa terusik. Bagaimana mungkin, mereka bisa berpikir wanita sebaik Avi bisa berselingkuh hingga hamil, oleh laki laki yang bahkan ditinggalkan istrinya karena alasan mandul seperti aku.

Aku bersyukur, karena hingga saat ini, sepertinya Avi belum mengetahui hal itu. Dan sekarang, setelah pertengkaran kecil dengan Mas Tedi tadi, aku bisa menebak, dari mana sumber fitnah itu.

Dita, pasti dia yang memulai semua tuduhan itu. Karena dia punya alasan yang kuat, untuk membenci aku juga Avi.
***

Setelah beberapa bulan berpisah dari Asti, aku memutuskan untuk kembali ke tempat kelahiranku. Tetap tinggal di rumah yang ku bangun bersama Asti, membuatku semakin sulit melupakannya, lebih tepatnya melupakan rasa sakit yang dia torehkan.

Mencoba kembali memulai hidup, merintis sebuah bengkel, dengan modal uang hasil penjualan rumahku di kota  kurasa cukup menjanjikan. Aku optimis, dengan kesibukan baru yang kuciptakan, aku akan lebih cepat melupakan Asti.

"Nak Mirza, sudah lama sendiri apa gak pengen punya istri lagi?" Ucap Bu Nani, seorang tetangga yang rumahnya tak begitu jauh dari rumah orang tuaku yang sekarang kutempati.

"Wah, saya belum kepikiran Bu. Lagi pula belum tentu ada yang mau," jawabku.

Aku sedang sibuk merapikan peralatan bengkel di teras rumah.

"Kata siapa gak ada yang mau, tuh ibu punya anak perawan, cantik lagi. Kayaknya bakalan cocok kalau bersanding sama Nak Mirza yang ganteng."

Aku menautkan alis, heran, jika memang dia tau anaknya cantik, kenapa harus ditawar tawarkan seperti itu, apa lagi kepadaku yang seorang duda.

"Saya kan duda bu, kasihan kalau gadis cantik seperti Dita harus dapat suami seperti saya."

Ya, aku tau siapa anak gadis yang dimaksud Bu Nani itu, pasti Dita. Dulu saat aku menikah, Dita masih SMP, dan aku tau dia memang cantik. Tapi sungguh, saat ini aku tak punya pikiran untuk menikah lagi, karena aku sadar akan kekuranganku.

Kemudian pembicaraan kami berakhir dengan basa basi, Bu Nani tak meneruskan lagi tawarannya untukku menikahi Dita.

Namun, selang dua hari dari kedatangan Bu Nani, kini aku didatangi Pak Wahyu, suami Bu Nani. Kedatangan Pak Wahyupun masih dengan maksud yang sama, memintaku menikah dengan Dita.

"Sebenarnya sudah sejak dulu Bapak mendambakan punya menantu seperti Nak Mirza, tapi sayangnya waktu Nak Mirza menikah, Dita masih SMP."

Tutur Pak Wahyu, yang sedang mengganti oli motornya di bengkelku. Aku heran, mengapa mereka sangat berambisi menikahkan anaknya denganku.

"Bapak kasihan lihat Dita, sekarang usianya sudah mau 25 tahun, tapi belum ada laki laki yang serius mau menikahinya. Sekalinya ada yang mau, malah laki laki beristri yang usianya hampir sama dengan Ibunya Dita," tutur Pak Wahyu, dengan wajah penuh sesal.
"Wanita cantik dan berpendidikan seperti Dita pasti banyak yang mau Pak, apalagi kan dia kerja kantoran, pasti banyak laki laki yang naksir Dita," kucoba memberi penjelasan pada Pak Wahyu.

Aku semakin heran, setauku Dita itu berkerja di sebuah perusahaan properti di tengah kota, dia seorang sarjana. Bagi wanita karir seperti dia, kurasa sangat wajar, bila di usia 25 tahun masih belum menikah.

"Dita sudah tidak kerja kantoran lagi Nak, dia berhenti sebulan yang lalu. Sekarang dia kerja jadi kasir toko sembako," Pak Wahyu menghela nafas, untuk kemudian melanjutkan kalimatnya.

"Dan sekarang, pemilik toko tersebut ingin menikahi Dita, menjadikan Dita istri kedua."
"Kenapa bisa begitu Pak?" Tanyaku penasaran.
"Katanya, istrinya yang pertama tidak bisa memberi keturunan, mandul."

Kalimat terakhir Pak Wahyu mampu membuat dadaku bergemuruh. Mendengar cerita seorang laki laki yang berniat poligami karena istrinya mandul, seketika membuatku kembali teringat pada mantan istriku, dia juga memilih pergi dengan laki laki lain setelah tau bahwa aku mandul.

"Bapak tidak mau bila Dita dijadikan istri muda. Nak Mirza, coba di pikirkan lagi, apa kamu yakin tidak ingin menikahi Dita, dia gadis yang cantik, kalian juga sudah akrab sejak kecil, mau apa lagi?" Pak Wahyu mulai mendesak.
"Saya tau Dita itu cantik, semua laki laki pasti tertarik padanya, begitu juga saya," kucoba berpikir sejenak, menyiapkan kalimat yang tepat untuk kusampaikan pada Pak Wahyu.
"Apa Bapak tau, apa alasan saya dan Asti bercerai?"

Pak Wahyu menggelengkan kepalanya.

"Karena saya mandul."

Sontak Pak Wahyu terperangah mendengar ucapanku. Aku yakin, saat ini dia sudah langsung berubah pikiran.

"Jadi kamu, mandul?" Ragu Pak Wahyu mengucapkan hal itu.
"Iya Pak, setelah dua belas tahun menikah saya belum punya keturunan. Dan menurut vonis dokter, sayalah yang bermasalah."
"Baiklah kalau begitu, maaf bila kedatangan saya mengganggu."

Tanpa basa basi lagi, setelah motornya selesai ditangani, Pak Wahyu langsung bergegas pergi.

Hingga beberapa bulan kemudian, aku mendengar berita bahwa Dita dinikahi oleh Bos di tempatnya berkerja, menjadi istri muda.

==========

Malam ini, mataku sulit sekali terpejam. Setelah menerima telepon dari Avi tadi, aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang sulit kugambarkan.

Dia sudah tau, bahwa tuduhan tentang perselingkuhan kami sudah didengar banyak orang. Dan diapun memintaku untuk menjaga jarak, bahkan dia juga melarangku untuk mengantar Zaki pulang dari sekolah. Padahal aku sudah berjanji akan membantu menyelesaikan masalah ini, tapi dia tetap kekeh dengan pendiriannya.

Mau tidak mau akupun mengikutinya, walau jujur rasanya begitu berat.
***

Hari hariku jadi terasa kosong, karena sekarang tak ada lagi jagoan kecil yang menghampiriku saat dia pulang sekolah. Sekarang dia sudah punya ojeg antar jemput sendiri. Zaki hanya sesekali tersenyum kepadaku dari sebrang jalan sana saat aku berada di depan bengkel, sepertinya Avi juga memintanya untuk menjaga jarak denganku.

Pagi-pagi sekali, aku selalu sudah ada di bengkel. Bukan karena kejar setoran, tapi karena ingin melihat kedatangan Zaki ke sekolah, siapa tau Avi yang mengantarnya. Tapi sepertinya Avi sudah tidak pernah mengantar jemput Zaki lagi. Mungkin sekarang perutnya sudah semakin besar.

Aku sering kali di hinggapi rasa khawatir atas kondisi Avi. Apa lagi bila ku ingat kejadian tempo hari, ketika Mas Tedi hampir menamparnya. Jujur, saat itu rasanya ingin sekali kutinju wajah laki-laki pengecut itu. Tapi aku sadar, aku bukan siapa siapa.

Semoga saat ini, Avi selalu baik baik saja.
***

Pagi ini, aku belum ke bengkel. Aku memilih untuk membersihkan rumahku yang sudah terasa tidak nyaman. Maklum, tidak ada yang membantuku mengurus rumah, termasuk memasak dan mencucikan baju. Semua kulakukan sendiri.

Tiba-tiba saat aku sedang menyapu teras, ada Wa Maryam menghampiriku, dia adalah Kakak dari Almarhum Ayahku, dan ibu dari Mas Husni.

"Asalamualaikum Za."
"Waalaikum salam Wa," segera kucium punggung tangannya.
"Apa apa sendiri, makannya cari istri. Jangan sendiri terus," tutur Wa Maryam, sambil merebut gagang sapu dari tanganku, dan meneruskan tugas menyapuku hingga selesai.

Aku hanya berdiri, memperhatikan Wa Maryam menyapu teras rumahku yang cukup luas.

Setelah selesai menyapu, Wa Maryam kemudian kembali menghampiriku, "Uwa mau bicara sama kamu, Za. Penting."
"Ya udah, ayo masuk Wa," aku segera membawa Wa Maryam masuk ke dalam rumah.

"Bicara penting apa, Wa?" Tanyaku, setelah kita duduk di ruang tamu.

"Begini, akhir-akhir ini, Uwa sering dengar kabar tidak baik tentang kamu. Awalnya, Uwa pikir itu hanya orang iseng saja, tapi ternyata kabar itu cukup santer dibicarakan di lingkungan kita," Wa Maryam bertutur dengan raut cemas.
"Kabar hubunganku dengan Avi," ucapku, menerka apa yang dimaksud Wa Maryam.
"Iya Za, kamu sendiri tau?" Wa Maryam menautkan alis.
"Tentu Wa, gosip itu beredar sudah berbulan-bulan yang lalu. Bahkan saat Avi baru mengetahui kehamilannya," jelasku.
"Tapi kamu tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan kan Za?" Tanya Wa Maryam.
"Hahaha ... Uwa ada-ada saja," aku tertawa mendengar pertanyaan dari wanita yang sudah ku anggap seperti ibuku sendiri.

"Bagaimana mungkin saya bisa menghamili istri orang Wa, sedangkan menghamili istri sendiri saja saya tidak bisa," ucapku lagi dengan diselingi kekehan.
"Justru karena Uwa tau itu, Za. Uwa jadi gak habis pikir, siapa yang nyebarin gosip ini. Kok tega ya," raut kesal tergambar di wajah keriput itu.

Akhirnya, akupun menceritakan tentang kisah rumah tangga Avi, berikut tuduhan dari suaminya, karena melihatku menemani Avi ke dokter kandungan saat itu.

"Ah, kalau menurut Uwa, itu cuma akal-akalan suaminya Avi aja, demi membenarkan hubungan dia dengan Dita."

Wa Maryam kemudian terlihat berpikir sejenak, sebelum kembali melanjutkan ucapannya, "Kok Uwa jadi suudzon ya, Za."
"Suudzon gimana Wa?" Tanyaku penasaran.

"Bu Nani sama Pak Wahyu kan, sejak dulu selalu membangga banggakan Dita di depan semua orang. Mereka selalu memamerkan calon suami Dita, yang seorang Bos perusahaan properti tempat Dita berkerja, tapi tiba-tiba mereka minta kamu nikahin Dita. Emangnya kamu siapa? Duda kere yang menang ganteng doang," tutur Wa Maryam.

Akupun hanya tertawa mendengar kalimat terakhirnya.

"Ini harus kita selesaikan,  Za," wajah Wa Maryam kembali serius.
"Iya, tapi gimana caranya Wa?"
"Kita ke rumah mereka sekarang," tegas Wa Maryam.
"Kenapa harus ke rumah mereka?" tanyaku heran.
"Karena Uwa yakin, dari sanalah fitnah terhadap kamu dan Avi berasal," ucap Wa Maryam penuh keyakinan.
"Gak usah Wa, nanti masalahnya akan semakin rumit," sanggahku.
"Mirza, Uwa gak rela setiap hari harus mendengar desas desus tentang kamu dan Avi. Sedangkan Uwa tau kamu tidak mungkin seperti itu, dan Uwa juga tau siapa Avi, Uwa kenal dia dari dia masih bayi. Ini sudah keterlaluan Za," Wa Maryam berapi api.
"Ya sudah, tapi di sananya jangan berantem ya Wa," pintaku.

Aku sangat faham watak Uwaku ini, dia sangat mudah tersulut emosi, apalagi bila menyangkut orang-orang tersayangnya, termasuk aku. Aku dirawat sejak bayi oleh Wa Maryam, karena ibuku meninggal saat melahirkanku. Jadi dia memperlakukanku sama seperti dia memperlakukan Mas Husni, malah terkadang aku lebih di manjanya, karena sejak kecil aku lebih pendiam dan pemalu, tidak pemberani seperti Mas Husni.
***

Aku dan Wa Maryam sudah berdiri di depan rumah Dita. Jujur, aku takut bila suaminya sedang ada di rumah. Ini pasti akan rumit.

"Assalamualaikum," seru Wa Maryam.
"Waalaikum salam," tak menunggu lama, kami langsung mendapat jawaban dari dalam.

"Eh, Bu Maryam," Pak Wahyu muncul dari balik pintu. "Silahkan duduk."

Dia mempersilahkan kami duduk di kursi teras.

"Wah, tumben Bu Maryam datang kemari, mau minum apa?" Seloroh Bu Nani yang baru muncul dari lubang pintu.
"Tidak usah repot-repot, saya hanya sebentar. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan," jawab Wa Maryam.
"Hal penting apa? Sepertinya serius sekali," sela Pak Wahyu.

Wa Maryam menarik nafas dalam, mempersiapkan kalimat yang hendak dia ucapkan.

"Begini Pak, Bu. Ini tentang Mirza keponakan saya. Belakangan ini, saya mendengar gosip tentang Mirza dan Avi yang cukup mengganggu ruang dengar saya. Saya merasa gosip ini lebih tepat untuk di sebut fitnah, karena saya tau betul siapa Mirza, dan saya juga tau betul siapa Avi," tutur Wa Maryam dengan begitu tenang.
"Lalu, Bu Maryam menuduh kami yang menyebarkan gosip itu," Bu Nani langsung menjawab dengan emosi.
"Saya tidak menuduh Bu Nani, apalagi Pak Wahyu," Wa Maryam tetap bertutur dengan tenang.

"Lantas kenapa Bu Maryam datang kesini, bila bukan karena menuduh kami," Bu Nani terlihat semakin emosi.
"Karena yang memulai fitnah ini adalah suami Avi sendiri, yang tak lain adalah menantu ibu juga. Maka dari itu saya datang kesini," jawab Wa Maryam penuh penekanan.
"Maaf, kalau boleh saya tau, fitnah tentang apa?" Tanya Pak Wahyu heran.
"Fitnah yang mengatakan bahwa bayi yang dikandung Avi adalah anak Mirza," tegas Wa Maryam.
"Astaghfirullohal adzim ... dan benar Tedi yang memulai fitnah ini?" Pak Wahyu terlihat bingung.
"Iya," tegas Wa Maryam.
"Tapi entah siapa yang menyebarkannya, karena fitnah ini menyebar di kalangan ibu-ibu, bukan di kalangan Bapak-bapak."

Jawaban ketus Wa Maryam berhasil membuat Bu Nani tercekat. Kini suasana menjadi hening dan kaku. Hingga akhirnya Wa Maryam kembali membuka pembicaraan.

"Begini Pak, bukankah Pak Wahyu tau, tentang kondisi Mirza yang sebenarnya. Dia tidak bisa memiliki keturunan, bagaimana mungkin dia bisa menghamili istri orang lain, sedangkan dalam dua belas tahun pernikahannyapun istrinya tak kunjung hamil."

Kini Wa Maryam terlihat berkaca-kaca. Ya, wanita yang sangat kusayangi ini pasti turut bersedih atas fitnah yang menimpaku.

"Saya hanya ingin memohon, agar Pak Wahyu mau bicara dengan menantu Bapak, supaya dia tidak menyangkut pautkan Mirza dalam urusan rumah tangganya. Bila dia ingin meninggalkan Avi demi Dita, tinggalkan saja. Tidak perlu menjadikan Mirza sebagai tumbal untuk pembenaran hubungan dia dengan anak Bapak," Wa Maryam bicara penuh ketegasan.

Aku hanya menyimak apa yang Wa Maryam sampaikan. Sementara Pak Wahyu dan Bu Nani seperti kehilangan kata-kata.

"Jadi Mirza itu mandul Wa?" Tanya seorang Ibu yang tiba-tiba muncul dari gang samping rumah Dita, dia bersama dua orang temannya.

Kami semua menoleh kaget, rupanya sejak tadi ada yang menguping pembicaraan kami.

"Hehe ... maaf Wa, tadi saya sama yang lain kebetulan lewat, jadi gak sengaja mendengar obrolan kalian," ucap si ibu itu malu-malu.

Dengan senyum yang tenang, Wa Maryam kemudian berdiri dan menjawab pertanyaan ibu itu.

"Iya, Mirza tidak bisa memiliki keturunan. Karena itulah dia dan Asti berpisah. Jadi mulai sekarang, berhentilah menuduhkan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan," Wa Maryam seolah memberikan ultimatum pada Ibu-ibu itu.
"Owh, yang ngasih tau kita-kita kan Bu Nani sama Dita Wa. Kita mah ikut-ikutan aja," celetuk seorang ibu yang lainnya.

Aku, Wa Maryam, dan Pak Wahyu terperangah kaget. Sekarang semuanya terjawab sudah.

"Sekarang jelas sudah akar masalahnya," Wa Maryam tersenyum puas.
"Benar bu, apa kata ibu-ibu itu?" Pak Wahyu menagih penjelasan pada Bu Nani, yang memandang ke sembarang arah.

"Bukankah Bapak sudah pernah menceritakan tentang kondisi Nak Mirza pada Ibu, sehingga saat itu Ibu sendiri yang memutuskan untuk lebih memilih Tedi sebagai suami Dita, karena tidak mau menerima kondisi Nak Mirza," desak Pak Wahyu, pada Bu Nani yang kini tertunduk mengerutkan bahu.

"Cukup Pak," sela Wa Maryam. "Silahkan selesaikan urusan kalian di rumah, agar tidak menjadi gunjingan orang. Saya dan Mirza pamit pulang."
"Assalamualaikum," kami berdua beranjak meninggalkan rumah mereka.

Dari jauh, lamat-lamat kudengar suara Bu Nani mengusir para ibu-ibu yang setia menguping perdebatan mereka.

Kini hatiku sangat lega. Sampai di rumah, kupeluk tubuh Wa Maryam yang mulai renta, aku tersenyum girang di hadapannya. Sungguh Wa Maryam adalah pahlawan dalam banyak hal untuk hidupku.

"Sudah, jangan seperti anak kecil. Kamu itu sudah tua, belajarlah menyelesaikan masalah sendiri. Biar Uwa tenang ninggalin kamu kalau mati nanti," kalimatnya terdengar seperti orang marah, tapi bagiku itu adalah ungkapan kasih sayangnya.

"Sekarang kan Uwanya masih hidup, tenang saja," jawabku.

Bersambung #10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER