Di Bengkel. Aku hanya memperhatikan para pekerjaku yang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing. Aku punya lima pekerja, dalam kondisi sepi seperti ini, aku tidak perlu ikut kotor-kotoran dengan mereka.
"Mirza!"
Teriak seorang pria yang baru turun dari sebuah mobil pick up.
'Mas Tedi?'
Dia menghampiriku dengan wajah penuh emosi. Ada apa?
"Apa maksud kamu mempermalukan keluarga Dita?" Dia langsung menarik kerah bajuku.
"Saya tidak melakukan apa-apa," kuangkat kedua telapak tanganku di samping daun telinga.
"Kamu ingin menyembunyikan kebusukanmu hah?" Matanya menatapku tajam.
"Bukankah anda pemilik kebusukan itu," jawabku.
"Kurang ajar!" Pekiknya.
'Buk'
Tinjunya menghantam pipi kiriku. Aku terhunyung hilang keseimbangan, para pegawaiku menghambur berniat membantuku. Tapi aku menolaknya.
"Jangan membantuku, lanjutkan saja pekerjaan kalian. Aku bisa menyelesaikan ini sendiri," merekapun mengikuti perintahku.
Aku kembali berdiri, menatap tajam pria yang baru saja mendaratkan tinjunya di wajahku.
"Pak Tedi yang terhormat, seharusnya anda lebih faham, siapa sebenarnya wanita yang sudah bisa membuat anda tega meninggalkan wanita-wanita baik seperti Avi dan Mbak Ratih," ucapku, sambil melirik ke arah Dita yang berdiri jauh di belakang Mas Tedi.
"Oh, jadi kamu merasa lebih faham tentang istriku. Termasuk tentang Avi?" Dia berdecih.
"Tentu," tegasku. "Yang pasti Avi tidak mungkin menjajakan diri kepada sembarang pria seperti halnya istri muda anda."
Seketika dia mencengkram kerah bajuku dengan kedua tangannya, "kurobek mulut kurang ajarmu itu dengan tinjuku."
'Buk!'
Tinjunya kembali menghantam wajahku. Tak membuang waktu, kutumpahkan amarahku padanya yang sudang terbendung selama berbulan-bulan. Kubalas pukulannya tadi, tanpa memperdulikan teriakan beberapa orang yang berusaha melerai kami.
Beberapa kali, pukulan dan tendangannya mendarat di tubuhku, akupun tentu tak mau kalah. Dengan postur tubuhku yang lebih tinggi, bukan hal yang sulit bagiku untuk mengalahkannya.
Di belakang sana, terlihat Dita berteriak histeris memintaku mengampuni suaminya, tapi tak kuhiraukan.
Hingga akhirnya ada sebuah suara yang membuat pukulanku terhenti.
"Cukup Kak, jangan pukul Mas Tedi lagi!"
Aku tau, itu suara Avi. Dia baru saja turun dari motor yang biasa mengantar jemput Zaki. Perhatianku teralih pada Avi yang berjalan tertatih, sepertinya dia tidak baik-baik saja.
Tanpa memperdulikan pria angkuh yang sudah babak belur di hadapanku, aku segera melangkah menghampiri Avi. Namun, tiba-tiba ... 'Bruk.'
Aku tersungkur karena tendangan yang menghantam punggungku. Aku kembali bangkit, berbalik untuk segera membalas tendangan itu.
Avi yang sudah berada di dekatku, kemudian menarik lenganku.
"Sudah Kak, cukup, hentikan."
Aku kemudian meliriknya, terpaku karena cengkraman tangannya di lenganku. Namun, detik kemudian ... 'Buk!'
Sebuah tendangan di perutku berhasil membuatku terjengkang. Dan secara otomatis Avi yang berada dekat di sampingku turut terpental ke tanah, karena terhantam sebelah bahuku.
"Bunda ...." Zaki yang sejak tadi berdiri menyaksikan ketegangan ini, menghambur memeluk ibunya yang terduduk di lantai.
Aku yang melihat Avi merintih kesakitan, langsung berdiri menghampiri pecundang yang hanya mematung tanpa rasa bersalah.
"Dasar pecundang!"
Kuhantamkan kepalan tanganku, dengan seluruh kekuatan yang tersisa ke wajah angkuhnya.
'BUK!'
Seketika tubuhnya luruh ke lantai, bersamaan dengan teriakan histeris dari Dita.
Setelah memastikan pria itu tak kan mampu lagi menendangku, aku segera menghampiri Avi yang masih merintih kesakitan.
"Kamu gak apa-apa?" Tanyaku khawatir.
Avi hanya terlihat menahan sakit, dan berusaha mengatur nafas. Saat ku lihat ke bawah, ada cairan yang merembes dari dalam gamisnya. Sepertinya dia akan melahirkan.
"Sepertinya kamu akan melahirkan, Vi!" Seruku.
Avi hanya menjawab dengan anggukan.
Tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil ponselku di dalam bengkel, menelepon salah seorang pelanggan yang mobilnya sudah selesai ditangani. Meminta izin agar aku bisa memakai mobilnya untuk mengantar Avi ke klinik bersalin, dan syukurnya diapun mengizinkan.
Aku segera menghampiri Avi, menawarkan diri untuk menggendongnya ke dalam mobil, tapi dia tak segera menjawab.
"Mau bagaimana lagi, Vi? Yang jadi mahram kamu hanya Zaki dan Andra. Zaki masih kecil, dan Andra tidak ada di sini," ku coba membujuk Avi.
Avi kemudian melirik ke arah Mas Tedi yang sedang dipapah berjalan oleh Dita. Ya, secara agama mereka sudah bukan suami istri.
Avi kemudian menatapku, dan menganggukan kepalanya, tanda setuju untuk ku gendong. Segera kubawa tubuhnya kedalam mobil yang sudah kupinjam, kududukan dia di bangku penumpang yang kemudian ditemani oleh Zaki.
Kupacu mobil menuju klinik bersalin dokter Nancy, karena kutahu di sanalah Avi biasa diperiksa. Di tengah perjalanan kuhubungi nomer Andra, kupinta Zaki yang berbicara untuk mengabari Omnya.
***
Sampai di klinik, Avi langsung dibawa menggunakan brankar menuju ruang bersalin. Zaki tak henti menangis karena khawatir dengan keadaan Bundanya.
Setelah beberapa lama, seorang perawat keluar dari ruang bersalin. Dia memintaku untuk mengisi sebuah kertas, yang entah formulir atau surat pernyataan.
Tanpa banyak bertanya aku langsung mengisi formulir di kertas itu. Bukan hal yang sulit bagiku menjawab nama, usia, dan data lain tentang Avi, karena aku memang tau banyak tentang dia. Dan aku juga tidak keberatan jika harus bertanggung jawab membayar biaya persalinan Avi. Tapi yang jadi masalah, di sini aku tercatat sebagai suami Avi.
Tapi sudahlah, yang penting saat ini, Avi bisa melahirkan bayinya dengan selamat. Kutanda tangani langsung surat itu, dan kuserahkan pada perwat tadi.
"Apa tidak sebaiknya, Bapak menemani istrinya melahirkan di dalam," tawar perawat itu.
"Tidak usah, saya di sini saja menemani Zaki," pungkasku, sambil merangkul pundak Zaki.
"Oh iya ya, kasihan anak Bapak di sini tidak ada yang menemani," timpal perawat itu.
Aku jadi kikuk di buatnya, bingung harus menjawab apa. Zaki yang sejak tadi terisak, kini jadi senyum-senyum menyaksikan kesalah fahaman dari si perawat itu terhadap kami.
"Kondisi Bundanya gimana suster? Tadi bunda jatuh sebelum kesini," tanya Zaki.
"Bundanya baik-baik saja ganteng, sebentar lagi adik bayinya akan lahir. Sabar ya," ucap perawat itu menenangkan Zaki.
Kemudian perawat itu beralih menatapku, "sepertinya istri Bapak sudah kontraksi sejak pagi, karena sekarang pembukaannya sudah hampir lengkap. Dan air ketubannya pecah, saat dia terjatuh tadi."
Akupun menarik nafas lega. Syukurlah, berarti Avi baik-baik saja. Perawat itupun pamit, dan kembali ke ruang bersalin.
Aku dan Zaki duduk di ruang tunggu keluarga pasien. Kulihat Zaki menelepon Neneknya menggunakan ponsel Avi, mengabarkan bahwa Bundanya akan melahirkan.
Tak berapa lama Andra datang bersama Lisa istrinya, mereka membawa perlengkapan bayi milik Avi.
"Gimana Avi?" Tanya Andra.
"Tadi katanya pembukaannya sudah hampir lengkap," jawabku.
"Aku langsung ke dalam ya," ucap Lisa yang langsung masuk ke ruang bersalin.
"Wajah kamu kenapa?" Tanya Andra yang heran dengan wajah babak belurku.
Belum sempat aku menjawab, Zaki langsung menyambar pertanyaan Andra.
"Tadi Om Mirza dipukul Om Tedi. Terus, Om Mirzanya ngebales."
"Terus siapa yang menang?" Tanya Andra.
"Om Mirza dong. Om Tedinya di tonjok sampai gak bisa bangun," Zaki menceritakan penuh antusias.
Andra melirikku, seolah meminta penjelasan.
"Nanti saja aku ceritakan," ucapku.
"Oh iya Om, tadi juga Bunda jatuh gara-gara Om Tedi," Zaki mengadu pada Andra.
Lalu Zaki menceritakan kejadian yang membuat Bundanya jatuh, hingga berada di rumah sakit. Raut Andrapun berubah marah. Aku tau, dia orang yang mudah emosi, apalagi menyangkut orang-orang terdekatnya.
"Memang kurang ajar si Tedi itu. Umurnya saja yang tua, tapi isi kepalanya tak ada bedanya dengan bocah ingusan," gumam Andra.
***
Untuk beberapa lama, kami bertiga hanya duduk dalam keheningan. Hingga akhirnya Lisa muncul dari balik pintu ruang bersalin. Kami bertiga menghambur menghampirinya.
"Bayinya udah lahir, perempuan," ucap Lisa dengan antusias.
"Zaki mau lihat Tante," rajuk Zaki.
Zakipun masuk bersama Lisa, untuk melihat adik bayinya. Sedangkan aku memilih untuk kembali duduk di kursi, sepertinya efek dari perkelahianku tadi mulai terasa.
Seorang perawat muncul dari balik pintu. Andra kemudian bergegas menghamipirinya.
"Pak Mirza, suami dari Bu Avi," perawat itu menunjukan sebuah kertas pada Andra.
Andra kemudian melirikku sambil menirukan ucapan perawat tadi, "Pak Mirza, suami Bu Avi."
Aku berdiri menghampiri mereka berdua, sedangkan Andra terus terkekeh.
"Ini Pak, Bapak silahkan menetukan ruang rawat inap untuk istri Bapak. Kami menyediakan dua kelas, silahkan Bapak pilih yang mana."
Perawat itu kembali menyodorkan kertas yang harus kutanda tangani. Akupun memilih ruangan kelas satu untuk Avi. Dan perawat itupun langsung pergi.
"Wah, kayaknya aku gak perlu ngeluarin biaya nih, buat kelahiran ponakan baru," sindir Andra. "Kan udah ada yang siap tanggung jawab," imbuhnya.
"Tadi, sebelum dilakukan tindakan, harus ada pihak keluarga yang menandatangani surat pernyataan dulu Ndra. Karena kamu belum datang, jadi aku yang ngisi formulirnya," terangku.
"Gak ada yang minta penjelasan," Andra terlihat seperti menahan tawa.
Aku merasa, dia seperti sedang meledekku. Karena dulu, saat masih remaja, aku pernah bilang pada Andra, bahwa aku menyukai adiknya. Tapi saat itu dia menolakku mentah-mentah, dengan alasan Avi masih terlalu kecil.
Dan situasi ini, membuatku teringat kembali hal itu. Aku yakin, Andrapun sedang mengingat hal yang sama.
==========
Perutku terasa semakin menegang ketika turun dari motor. Di depan bengkel sana, kulihat Kak Mirza sedang memukuli Mas Tedi dengan bertubi-tubi.
Kucoba berteriak meminta Kak Mirza agar tidak memukul Mas Tedi lagi, dan akhirnya Kak Mirzapun mau menghentikan aksinya.
Namun, saat Kak Mirza hendak menghampiriku, Mas Tedi menendangnya dari belakang hingga dia tersungkur. Kak Mirza kembali bangkit untuk membalas Mas Tedi, namun aku mencegahnya. Dan ... 'Buk', Mas Tedi menendang perut Kak Mirza, hingga aku turut terpental ke lantai.
Seketika kurasakan ada cairan yang keluar dari jalan lahirku, sepertinya aku memang akan melahirkan. Dengan sigap Kak Mirza membawaku ke klinik bersalin, setelah sebelumnya dia meninju wajah Mas Tedi hingga tak berdaya.
Jujur, walaupun kulihat Kak Mirza telah membuat Mas Tedi babak belur, tapi aku yakin, yang memulai keributan itu lebih dulu adalah Mas Tedi. Aku sangat faham watak Kak Mirza, dia adalah orang yang tenang dan bijaksana. Tak mungkin dia bertindak sebrutal itu, bila tidak ada pemicunya.
***
Tiba di klinik. Aku langsung di tangani oleh seorang bidan dan tiga perawat. Setelah di cek, ternyata aku sudah bukaan tujuh, dan air ketubanku pecah saat jatuh tadi. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan bayiku.
"Suaminya gak ikut masuk bu?" Seorang perawat bertanya padaku.
Aku hanya menggelengkan kepala di sela rintihan sakitku.
Perawat itupun beranjak keluar, dengan membawa selembar kertas. Pasti mereka mengira bahwa Kak Mirza adalah suamiku.
Selang beberapa menit, salah satu perawat kembali mengecek jalan lahirku, "Naik, bukaan delapan."
Dan seorang perawat yang lain menelepon dokter Nancy, mengabarkan bahwa bukaanku sudah hampir lengkap. Di waktu yang bersamaan kulihat Mbak Lisa muncul dari balik pintu, dia datang membawa perlengkapanku juga bayiku.
"Saya Kakaknya," ucap Mbak Lisa pada para perawat yang terlihat heran dengan kedatangannya.
Tak berapa lama, dokter Nancypun datang saat jalan lahirku sudah bukaan lengkap.
Akupun berjuang melahirkan bayiku, dengan hanya didampingi Mbak Lisa.
Air mataku tumpah, mana kala kudengar suara tangis dari bayi yang baru saja kulahirkan. Aku bahagia, tapi hatiku juga sakit.
"Anaknya perempuan, Vi," ucap Mbak Lisa dengan antusias.
Aku tersenyum haru, "iya mbak."
Tiba-tiba, wajah pria yang tadi kulihat babak belur di hajar Kak Mirza terbayang di kepalaku.
'Mas, ini anak kita, aku tak pernah berhianat Mas,' batinku.
Air mataku terus meleleh, ada rasa yang sangat sulit kugambarkan.
'Mas, andai kamu mau berusaha membuka hati untukku, situasi ini pasti tak akan terjadi.'
Sama sekali tak kusangka, bahwa ternyata rasanya akan sesakit ini. Aku di sini berjuang melahirkan anaknya, sedangkan dia di sana, bahkan tak mau mengakui anak yang kulahirkan.
"Vi," Mbak Lisa mengusap bahuku. "Jangan bilang kalau kamu lagi mikirin laki-laki brengsek itu."
"Mbak ...."
Air mataku tak henti mengalir, ada banyak hal yang mengganggu pikiranku.
Dulu, saat melahirkan Zaki, Mas Andi setia mendampingiku, dari saat aku mulai merasakan kontraksi. Tak sedetikpun dia berani meninggalkan aku, dia memperlakukanku layaknya seorang ratu.
Tapi kini, aku tak ubahnya seperti seorang perempuan nakal yang hamil di luar nikah. Tak ada pria begelar suami yang mendapingiku saat melahirkan anaknya.
"Mbak keluar dulu ya, ngasih tau yang lain, mereka pasti penasaran," ucap Mbak Lisa.
"Iya mbak."
Detik kemudian, seorang perawat menyerahkan bayiku yang sudah berbalut kain bedong.
"Ini bu, bayinya perempuan, sehat, lahir pukul 14.55, dengan berat 2800 gram, dan tinggi 49 senti meter."
Perawat itu meletakan bayi kecilku, di sebelah kanan tubuhku. Aku menatapnya lekat, dia memiliki hidung yang besar seperti Mas Tedi.
"Bunda ...."
Zaki masuk bersama Mbak Lisa. Dengan mata berbinar dia mencium kening adiknya.
"Zaki yang adzanin ya," pintanya.
"Iya sayang."
Zaki naik ke atas kursi yang tersedia di samping ranjang, agar mulutnya bisa lebih dekat dengan telinga kanan adiknya. Diapun melantunkan adzan dengan suara lirih.
Air mataku kembali berderai, sulit sekali untuk kubendung. Ada bahagia, sakit, dan juga haru berbaur menjadi satu.
***
Kini aku sudah berbaring di ruang rawat inap. Sejak tadi, Zaki dan Mbak Lisa sibuk mengotak-ngatik bayi kecilku. Ya, Mbak Lisa sangat antusias, karena dia belum mempunyai anak perempuan.
Sedangkan di sudut ruangan, ada Mas Andra yang sedang sibuk membantu Kak Mirza mengobati lukanya.
Mataku menyisir setiap sudut ruangan, ini sepertinya ruangan kelas satu. Fasilitasnya lengkap, dan ruangannya privat.
Kenapa harus di sini? Ini pasti mahal. Aku tak mau membebani keluargaku terlalu banyak.
Setelah puas memandang dan menciumi adiknya, Zaki kemudian beralih duduk bersama Kak Mirza dan Mas Andra.
"Sakit ya Om?" tanya Zaki pada Kak Mirza, yang sedang meringis kesakitan, saat wajahnya yang luka di tempeli plester oleh Mas Andra.
"Sedikit," jawab Kak Mirza, sambil tetap meringis.
"Tadi Om hebat banget berantemnya. Nanti ajarin Zaki ya, biar hebat kayak Om," tutur Zaki.
"Coba kalau Om, yang berantemnya. Pasti lebih hebat dari Om Mirza," seloroh Mas Andra.
"Emang Om bisa berantem?" Putraku menatap Mas Andra.
"Bisa dong, mau bukti?" Tantang Mas Andra.
"Gimana?" Tanya putraku.
"Sekarang Om berantem sama Om Mirza, nanti Zaki yang nilai," Mas Andra berdiri, sambil mengepalkan kedua tangannya ke hadapan Kak Mirza.
"Jangan ngajak berantem Om Mirza, Om. Kasihan, pasti luka-lukanya masih sakit," rengek Zaki.
"Lho, yang suka ngasih jajan dan beliin Zaki mainan kan Om, kenapa kasihannya sama Om Mirza?" Protes Mas Andra.
Zaki terlihat bingung, "Om Mirza kan ...,"
Zaki tak melanjutkan kalimatnya, sepertinya dia tidak tau harus mengatakan apa.
"Om Mirza apa?" Seloroh Mas Andra.
"Om Mirza kan ...," timpal Mbak Lisa, meniru ucapan Zaki sambil menepuk-nepukan telunjuk di dagu.
Matanya menatapku dan Kak Mirza secara bergantian. Aku faham maksud mereka.
"Om Mirza juga pernah beliin Zaki mainan, ngajak Zaki sama Bunda makan di restoran," terang Zaki, dengan gaya jumawa.
"Kapan?" Selidik Mbak Lisa. Matanya melirik sekilas ke arahku.
"Dulu, waktu Om Mirza nganterin Bunda belanja perlengkapan dede bayi," terangnya antusias. "Zaki di beliin mainan dan sepatu baru sama Om Mirza, terus pulangnya kita bertiga makan dulu di restoran."
Seketika wajahku memerah mendengar penuturan Zaki. Dia memang sudah pandai bicara, tapi belum bisa menyaring mana yang harus di simpan.
"Waaah ... kok Om sama Tante gak tau," ucap Mbak Lisa, dengan lirikan meledek ke arahku.
"Waktu itu Om sama Tante kan lagi kerja," jawab Zaki.
Mas Andra dan Mbak Lisa terus tersenyum, sambil melirikku dan Kak Mirza secara bergantian.
"Zaki pengen pipis dulu," seru Zaki memecah keheningan.
Dia lalu berlari menuju kamar mandi, saat tubuhnya sudah menghilang di balik pintu, tiba-tiba Mas Andra bersuara.
"Perempuan yang di talak cerai sama suaminya pas lagi hamil, masa iddahnya cuma sampai empat puluh hari setelah melahirkan lho. Jadi--," kalimatnya tertahan.
"Bisa langsung dinikahin," celetuk Mbak Lisa.
Aku dan Kak Mirza langsung gelagapan. Tak kusangka mereka bisa berpikir sejauh itu.
Untuk beberapa saat, suasana jadi hening dan kaku. Hingga akhirnya putraku keluar dari kamar mandi.
"Om nginep di sini kan?" Tanya Zaki, yang langsung duduk di samping Kak Mirza.
"Enggak, nih sekarang Om mau pulang," jawab Kak Mirza.
"Yah, kok pulang," Zaki memelas. "Padahal kan kita udah lama gak ngobrol."
"Emang mau ngobrolin apa?" Timpal Mas Andra, sambil terkekeh.
Gaya bicara Zaki sudah seperti orang dewasa.
"Banyak."
Kak Mirza tersenyum, kemudian mengusap pucuk kepala Zaki, "Nanti lagi ya, sekarang Om mau istirahat, biar luka-lukanya cepat sembuh."
Zakipun mengangguk faham.
"Aku pulang ya Ndra, sudah mau maghrib," pamit Kak Mirza pada Mas Andra.
"Gimana nanti, kalau ada suster yang nanyain 'Pak Mirza suami Bu Avi'," ledek Mas Andra.
"Sudahlah Ndra," Kak Mirza menatap Mas Andra, meminta Mas Andra berhenti meledeknya.
Tiba-tiba knop pintu berputar, sesaat setelah Kak Mirza berdiri hendak keluar.
Saat pintu terbuka, muncul sosok Mas Tedi tengah berdiri di lubang pintu. Seketika Mas Andra langsung bangkit menghampiri Mas Tedi, dan meraih kerah bajunya.
"Mau apa kamu kesini?" Tanya Mas Andra sengit.
Namun, Mas Tedi hanya bergeming.
"Kuperingatkan kau pecundang. Tidak perlu lagi mengurusi hidup adikku, urus saja istri simpananmu itu," Mas Andra semakin berapi-api.
Kak Mirza dan Mbak Lisa berusaha melepaskan Mas Tedi dari cekalan Mas Andra, tapi Kakakku itu memang sangat ahli dalam hal seperti ini, cekalannya terlalu kuat untuk dilepaskan.
Hingga akhirnya muncul Umi dari belakang Mas Tedi.
"Sudah Nak Andra, cukup. Umi mohon lepaskan Tedi. Umi yang bawa dia kesini."
Mas Andrapun melepaskan cekalannya.
"Jangan pernah berpikir untuk menyakiti adikku lagi, atau kau tau akibatnya," ancam Mas Andra, dengan telunjuk teracung di depan wajah Mas Tedi.
Mas Andrapun keluar bersama Kak Mirza, setelah sebelumnya ada adegan adu tatap antara Kak Mirza dan Mas Tedi.
Rupanya Mbak Yana dan Mbak Airapun turut datang bersama Umi, mereka langsung menghambur berebut menggendong bayiku.
"Apa aku bilang, pasti mirip aku kan," ucap Mbak Yana dengan penuh antusias, setelah berhasil mendahului Mbak Aira untuk menggendong bayiku.
"Iyalah, wajah Mbak sama Tedi kan sama. Ya wajar kalau anaknya Tedi mirip Mbak," timpal Mbak Aira kesal.
Keluarga Mas Tedi memang memiliki bentuk wajah yang khas, hidung besar, dan mata yang tajam. Hanya Mbak Aira saja yang wajahnya berbeda.
"Kamu gak mau lihat wajah anak kamu Ted, siapa tau nanti mau kamu bandingin sama bayi si Dita," ucap Mbak Yana, dengan nada yang terkesan meledek.
Mas Tedi kemudian berdiri mendekati Mbak Yana, dengan wajah yang tetap datar. Entah apa yang dia rasakan setelah melihat bayi yang kulahirkan sangat mirip dengan dirinya.
"Anak cantik di gendong sama Uwa aja ya," ucap Mbak Yana sambil menimang bayiku. "Gak usah di gendong Ayah, soalnya Ayah itu di bawah pengaruh kuntilanak."
Mbak Yana terkekeh tanpa rasa bersalah sama sekali pada Mas Tedi. Dia memang terbiasa bersikap seperti itu, berbicara sesuka hatinya, mungkin karena dia kakak tertua, jadi jarang ada yang berani menegurnya.
Mas Tedi hanya mendelik melihat tingkah kakaknya.
"Sudah ada namanya, Vi?" tanya Umi kepadaku.
"Sudah, tapi belum pasti," jawabku.
"Jangan lupa, nanti kamu tambahkan nama Gumelar di belakang namanya," saran Umi.
Aku tertegun sejenak. Itukan nama kebesaran keluarga Mas Tedi, di semua nama anggota keluarganya tersemat nama itu. Bagaimana dengan bayiku, sedang Mas Tedi sendiri tak mengakui kehadirannya.
"Tidak perlu ragu, dia adalah cucu Umi," Umi yang sejak tadi berdiri di samping tempat tidurku, menatapku memberi keyakinan. Dia seolah tau apa yang sedang aku pikirkan.
"Iya ... Umi," jawabku ragu.
"Harus dong, kamu kan calon pewaris tahta kerajaan genteng Bagja Gumelar," ucap Mbak Yana, seolah sedang berbicara dengan bayiku.
Sontak Mas Tedi terhenyak dengan pernyataan Mbak Yana, secara tidak langsung Mbak Yana mengatakan, bahwa harta warisan bagian Mas Tedi akan jatuh ke tangan bayiku.
Mbak Lisa yang sejak tadi menyaksikan percakapan kami juga terlihat kaget, begitu pula dengan Mas Andra yang baru saja muncul di lubang pintu.
Ucapan Mbak Yanapun seakan di perkuat, dengan anggukan kepala dari Umi. Benarkah, Umi akan mengalihkan harta warisan bagian Mas Tedi kepada anakku, anak yang bahkan Mas Tedi sendiri tak mau mengakuinya.
Mas Tedi memang berasal dari keluarga menak (ningrat). Keluarganya cukup kaya dan terpandang. Mereka memiliki perusahaan pembuatan genteng terbesar di kota ini.
Selama ini, Mas Tedi belum mengambil harta warisannya, karena dia sudah hidup berkecukupan bersama Mbak Ratih. Dan belum adanya keturunan, juga menjadi salah satu alasan Umi belum memberikan warisan itu.
"Assalamualaikum," kedatangan seorang perawat, memecah keheningan di antara kami.
"Maaf Pak, ini obat yang harus di minum oleh Bu Avi. Aturan pakainya sudah tertera di situ," ucap perawat itu, sambil menyerahkan satu nampan obat pada Mas Andra.
"Terimakasih sus," jawab Mas Andra.
"Oh iya sus, apa tidak ada obat lain lagi yang harus saya tebus ke apotek?" Tanya Mas Andra.
"Tidak Pak, obat yang kami berikan sudah tidak perlu ditebus lagi. Kebetulan suami Bu Avi sudah mengisi deposit sebanyak lima juta rupiah," jelas perawat itu.
Kami semua terperangah. Tidak mungkin Mas Tedi. Detik kemudian Mas Andra menyadari sesuatu.
"Oh, ya sudah. Terimakasih."
Perawat itupun kemudian berlalu.
Umi, Mbak Yana, Mbak Aira, dan Mas Tedi saling tatap penuh tanya. Tentu mereka tidak tau, siapa yang di maksud suami oleh perawat tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel