Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 08 November 2021

Madu Pahit #11

Cerita Bersambung

Tazki Putri Gumelar, nama yang kusematkan pada putri kecilku. Setelah melalui perdebatan kecil dengan putraku, akhirnya tercetuslah nama itu.
Zaki memaksa untuk memberikan nama Tazki, agar adiknya memiliki nama yang terdengar sama dengan namanya.
Kini putriku sudah berusia tujuh hari, dan hari ini akan di adakan acara aqiqah untuknya. Sudah ada dua kambing yang terikat di pekarangan rumahku sejak kemarin. Entahlah, sebenarnya hanya butuh satu kambing untuk aqiqah anak perempuan, tapi karena Umi dan Ibu sama-sama kekeh ingin memberi kambing, jadi akan ada dua kambing yang dipotong hari ini. Biarlah yang satu lagi diniatkan sodaqoh saja.


Semua keluarga sudah berkumpul sejak pagi, hanya Mas Tedi saja yang tidak ada. Umi dan Mbak Yana terlihat sangat sibuk terus menghubungi Mas Tedi, karena untuk niat aqiqahnya akan lebih baik bila dilakukan langsung oleh Ayahnya.
Aku hanya bisa menatap pilu wajah putri kecilku. Kasihan sekali kamu Nak, bahkan setelah tujuh hari kau terlahir ke dunia, Ayahmu belum sekalipun menggendong atau bahkan sekedar mengecup wajah mungilmu.

Setelah Umi dan Mbak Yana berkali-kali menghubungi Mas Tedi, kini mereka terlihat mulai duduk tenang di ruang tamu rumahku.

"Bagaimana, Mas Tedi bisa datang?" Tanyaku berbasa-basi.

Sebenarnya aku tidak begitu mengharapkan kehadirannya, karena aku takut kecewa bila terlalu berharap.

"Iya, dia akan datang sebentar lagi," jawab Mbak Yana.
Ada raut marah di wajah Mbak Yana dan juga Umi, aku jadi penasaran.

"Sebenarnya ada apa Mbak?" Tanyaku.
Mbak Yana kemudian menatapku, dia terlihat beberapa kali menelan ludah, seperti sedang menahan amarah.

"Tedi bilang, kemarin Dita melahirkan."

Aku sedikit terperangah. Ya, aku memang sudah menduga, bahwa usia kehamilan Dita lebih tua dari yang seharusnya, tapi tak kusangka dia akan melahirkan secepat ini.

"Vi, bukannya hari ini kamu ada jadwal kontrol ke dokter Nancy?" tanya Mbak Yana.
"Iya Mbak, tapi rencananya aku mau pergi besok saja. Kalau hari ini kan di rumah lagi sibuk," jawabku.
"Kamu kontrol hari ini saja, aku yang antar. Biarlah urusan dapur, Umi dan neneknya Zaki yang handle, nanti setelah selesai acara potong kambingnya baru kita pergi," tutur Mbak Yana.
"Baik Mbak, terserah Mbak saja," aku mengikuti sarannya. "Mbak mau sekalian nengok bayinya Dita?" Tanyaku.
"Tidak, hanya saja ada hal penting yang ingin kutanyakan pada dokter Nancy," jawab Mbak Yana.

Aku berpikir sejenak. Ya, sekarang aku faham tujuan Mbak Yana.
***

Sekarang di pekarangan rumahku sudah banyak orang, Mas Tedi juga sudah datang. Kulihat masih ada sedikit lebam di wajahnya, sisa pukulan Kak Mirza minggu lalu.
Sekarang Mas Tedi sedang dibimbing oleh Ustadz Husni, untuk membacakan niat aqiqah untuk Tazki. Namun, suasana jadi sedikit tegang ketika Ustadz Husni meminta Mas Tedi menyebutkan nama lengkap putriku. Dia hanya bisa celingukan dengan ekspresi datarnya.

"Tazki Putri Gumelar," ucapku dengan suara nyaring, yang sontak membuat semua orang menatap ke arahku.

Dan acara pemotongan kambingpun kembali di lanjutkan. Setelah kambing selesai dipotong, para teranggaku langsung sigap membantu, yang laki-laki bertugas memisahkan daging kambing dari kulit dan tulangnya, sedangkan yang perempuan bertugas memasak daging tersebut, untuk kemudian di bagikan kepada warga di sekitar tempat tinggalku.

"Sudah sehat Vi?"

Aku yang sedang berdiri di teras, menoleh mencari sumber suara.

"Eh Kak, alhamdulillah, aku sudah bisa beraktivitas kembali," jawabku, pada Kak Mirza yang baru saja datang bersama Mas Andra.
"Alhamdulillah, kamu memang wanita kuat," ucapan Kak Mirza terdengar berbeda, dia seperti gugup bicara denganku.
"Ekhem ... ekhem ...," suara Mas Andra yang pura-pura batuk. "Aduh tenggorokanku gatal, mau cari minum dulu ah, ke dapur."

Mas Andra langsung pergi meninggalkan aku dan Kak Mirza di teras. Kami tidak berdua, ada beberapa orang yang sibuk berlalu-lalang dari rumah menuju halaman,  begitu juga sebaliknya.
Kulihat  di wajah Kak Mirza juga masih ada sedikit memar sisa pukulan Mas Tedi seminggu yang lalu.

"Luka-lukanya sudah sembuh Kak?" Tanyaku ragu.
"Oh ini," dia mengusap sudut bibirnya yang masih memar. "Sudah lebih baik, setidaknya sudah bisa dipakai makan dan senyum."
Aku kaget, "memangnya, kemarin-kemarin Kak Mirza gak bisa makan?"
"Lumayan, sampai Wa Maryam menginap beberapa hari di rumahku, karena harus selalu membuatkan bubur," jawabnya, sambil terkekeh.

Aku benar-benar merasa bersalah. Karena Kak Mirza jadi jauh terlibat dalam urusan rumah tanggaku. Aku hanya tertegun, tidak tau harus mengatakan apa lagi pada Kak Mirza.

"Oh iya, perkelahianku dengan Mas Tedi tempo hari, itu tidak ada hubungannya dengan kamu, tenang saja," Kak Mirza seperti memahami isi kepalaku.
"Benarkah?" Tanyaku penasaran.
"Iya, ada hal lain yang menjadi pemicunya. Tidak perlu kamu pikirkan," jawabnya menenanganku.

Akhirnya aku bisa bernafas lega.

"Dan tentang fitnah yang menyudutkan kita, itu juga sudah selesai. Tidak perlu kamu pikirkan lagi. Insha Alloh, untuk kedepannya tidak akan ada lagi yang memfitnah kita, semua sudah tau kebenarannya," tutur Kak Mirza.

Aku terperangah, apakah mungkin Kak Mirza yang menyelesaikan semua ini?

"Terimakasih, Kak Mirza sudah mau membantuku."
"Bukan aku yang menyelesaikan masalah itu, tapi Wa Maryam," sanggah Kak Mirza.

Aku kembali kaget. Wa Maryam? Alloh memang maha penyayang, begitu banyak orang-orang baik yang dikirimkannya untuk melindungiku.

"Sampaikan terimakasihku pada Wa Maryam, ya Kak," pintaku.
"Insha Alloh."
"Oh iya Kak, terimakasih ya, sudah membantu biaya persalinanku. Insha Allah, secepatnya uangnya akan aku ganti."
"Kalau uangnya mau kamu ganti, berarti kamu tidak perlu bilang terimakasih sama aku," jawab Kak Mirza.
"Kok gitu?" Aku heran.
"Lupakan saja. Anggap saja itu hadiah dari aku untuk anak kamu. Atau anggap saja uang itu sebagai rasa tanggung jawabku atau permintaan maafku, karena sudah menyebabkan anak kamu menjadi jauh dengan Ayahnya," tutur Kak Mirza.

Seketika wajahku menegang, karena ternyata di depan sana ada Mas Tedi yang sepertinya mendengar apa yang aku bicarakan dengan Kak Mirza.

"Mas."

Kak Mirza kemudian menoleh mengikuti arah pandangan mataku. Setelah melihat ada Mas Tedi, Kak Mirza berlalu dengan tenang.

"Aku ikut bantu yang lain dulu ya," pamit Kak Mirza.

Aku hanya menjawab dengan anggukan.
Dan di depan sana, ada Mas Tedi yang tengah berdiri dengan raut datarnya. Aku berusaha mengatur nafas, agar perasaanku tetap tenang, tidak ada lagi yang perlu aku perdebatkan dengan Mas Tedi, dia sudah bukan siapa-siapa. Bahkan bila aku mau, tiga puluh tiga hari ke depan, aku sudah bisa menikah lagi secara agama.
Tidak perlu ada luka lagi di hatiku. Dengan santai, aku melangkah mendekatinya.

"Mas baik-baik saja?" Aku berusaha membuka pembicaraan.
"Seperti yang kamu lihat," jawabnya datar.
"Aku mau minta maaf Mas."
"Atas dasar apa?" Dia terlihat penasaran.
"Karena hari ini Mas terpaksa harus datang kesini, untuk acara aqiqah Tazki. Padahal, dulu aku pernah bilang, bahwa jika anakku perempuan, aku hanya membutuhkan Mas untuk menjadi wali nikahnya saja."

Sejenak aku menghela nafas, untuk melanjutkan kalimatku, "tapi sekarang aku mengingkarinya. Jadi aku minta maaf Mas, karena mungkin acara ini mengganggu kebersamaan Mas, bersama anak Mas yang baru lahir."
Kini giliran wajah Mas Tedi yang terlihat menegang, ada raut yang sulit kufahami di wajahnya. Entahlah, hati Mas Tedi memang sulit di tebak.
Belum selesai obrolanku dengan Mas Tedi, tiba-tiba terdengar suara deru mobil yang berhenti di depan rumahku. Ya, dari jauh aku bisa tau kalau itu mobil Mbak Ratih.

Setelah resmi bercerai dengan Mas Tedi, Mbak Ratih mendapatkan rumah dan mobil sebagai harta gono-gini, sedangkan Mas Tedi mendapatkan ruko dan mobil inventaris toko.

"Avi!" Pekik Mbak Ratih, sambil berjalan ke arahku setelah turun dari mobil.

Tanpa menyadari kehadiran Mas Tedi, Mbak Ratih langsung menghambur memelukku.

"Maafin Mbak, belum sempet nengok anak kamu," ucapnya sambil memelukku erat.
"Gak apa-apa Mbak, kan Mbak juga udah bilang dari kemarin," jawabku.

Mbak Ratih memang harus mengikuti seminar di luar kota, tepat satu hari setelah aku melahirkan, jadi dia belum sempat menengok Tazki.

"Tapi aku tetep bisa jadi ibunya juga kan, walau nengoknya telat?" Rengek Mbak Ratih, sambil melepas pelukannya.

Semenjak berpisah dengan Mas Tedi, Mbak Ratih jadi terlihat lebih lincah dan ceria.

"Iya Mbak, Mbak tetep boleh jadi Mama dari anak-anakku," jawabku.

Aku melirik ke arah Mas Tedi, seolah memberitahu Mbak Ratih atas keberadaannya.
Mbak Ratihpun menoleh mengikuti mataku.

"Mas!"
"Mas datang kesini juga?"
"Memang Dita gak akan marah, kalau tau Mas ke sini dan ketemu aku sama Avi?"

Mbak Ratih memberondong Mas Tedi dengan pertanyaan.

"Tidak, dia tau aku datang kesini," jawab Mas Tedi datar.
"Mbak gemukan ya sekarang," ucapku, mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya, sekarang kan Mbak makan nasi, bukan makan hati," lembut kalimat itu diucapkan Mbak Ratih, tapi ku yakin mampu menghunus kedalam hati Mas Tedi.
"Ya udah Vi, kita masuk yuk. Mbak gak sabar ingin gendong anak Mbak," ucap Mbak Ratih.
Aku tersenyum mendengar ucapan Mbak Ratih. Diapun melirik ke arah Mas Tedi, "kita masuk dulu ya Mas."

Tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Mas Tedi, dia terlihat seperti kehilangan jati dirinya. Jujur, ada sedikit rasa empati di hatiku untuknya.
***

"Bu Avi!"

Suara perawat dari pintu ruangan dokter Nancy memanggilku. Aku yang ditemani Mbak Yana dan Mbak Ratih, segera berjalan menuju ruangan dokter Nancy.
Sejak dari ruangan dokter anak tadi, Mbak Ratih selalu setia menjadi Baby sitter untuk Tazki.
Kini kami sudah berada di dalam ruangan dokter Nancy. Setelah melakukan beberapa pemeriksaan terhadapku, kini aku dan dokter Nancy kembali duduk bersama yang lain.
Dokter Nancy mengatakan bahwa kondisiku baik, dan tidak perlu melakukan kontrol lagi ke depannya. Setelah diskusi tentang kondisiku dan bayiku selesai, Mbak Yana tak membuang waktu untuk menginterogasi dokter Nancy tentang kondisi Dita, yang kebetulan juga melahirkan di klinik ini.

"Maaf dok, saya mau bertanya tentang pasien yang bernama Dita, katanya kemarin dia melahirkan di sini?" Tanya Mbak Yana.
"Oh iya, Bu Dita istrinya Pak Tedi?" dokter Nancy balik bertanya.
"Iya dok," balas Mbak Yana. "Nah, Tedi itu adik saya, kebetulan kemarin saya belum sempat datang, jadi saya tidak tau di mana ruangannya."

Aku menautkan alis, hebat sekali ide Mbak Yana. Dia berpura-pura seolah ingin menengok, agar dokter Nancy mau memberitahu info tentang Dita dengan mudah.

"Oh, ibu ini kakaknya Pak Tedi, pantas wajahnya mirip. Bu Dita ruangannya ada di lantai dua," terang dokter Nancy.
"Maklum dok, saya tinggalnya agak jauh. Jadi gak bisa langsung datang kemarin. Ini juga sekalian nganter Avi chek up," timpal Mbak Yana.

Aku dan Mbak Ratih hanya jadi pendengar setia. Awalnya Mbak Ratih kaget, karena dia belum tau tentang kabar Dita melahirkan. Tapi kemudian, diapun menikmati perbincangan ini.

"Memang, kebetulan kemarin selesai operasinya sudah hampir maghrib. Jadi yang nengoknya juga kemalaman," jawab dokter Nancy.

Operasi, jadi Dita di operasi.

"Kenapa bisa di operasi dok?" tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutku.
"Sebenarnya Bu Dita sudah mengalami kontraksi palsu sejak hari Bu Avi melahirkan, tapi tidak ada pembukaan sama sekali. Akhirnya kemarin di putuskan untuk melakukan operasi, mengingat usia kandungannya yang sudah memasuki minggu ke empat puluh satu." terang dokter Nancy.

Seketika kami bertiga terperangah kaget. Empat puluh satu minggu? Sedangkan aku sendiri, kemarin melahirkan Tazki di usia kandungan yang belum genap tiga puluh tujuh minggu.

"Kenapa?" Tanya dokter Nancy heran.
"Tidak dok, tidak apa-apa. Kami hanya kasihan, mendengar Dita harus merasakan kontraksi berhari-hari, dan akhirnya harus di operasi," aku harus sedikit berbohong pada dokter Nancy, demi menyelamatkan keadaan.

Sementara Mbak Yana, kini wajahnya terlihat penuh emosi. Aku yakin, saat ini ada amarah yang ingin segera dia tumpahkan.

==========

[POV Tedi]

Semakin hari, perasaanku semakin terombang-ambing. Ada banyak hal yang kulakukan di luar kendaliku, hingga akhirnya membuatku menyesal sendiri.
Seperti halnya tindakanku yang hampir menampar Ratih juga Avi. Dan yang tak kalah membuat sesal semakin menyesakkan hatiku, adalah ucapanku yang secara tidak langsung sudah membuat jatuh talakku pada mereka berdua.
Padahal niat awalku ke rumah Ratih, adalah untuk memintanya mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menggugat cerai. Tapi karena ego dan rasa gengsi, akhirnya aku membuat mereka benar-benar lepas dari hidupku.
Ada rasa tak rela melepaskan mereka, apalagi bila kuingat bahwa Avi sedang mengandung. Sungguh, sebenarnya di relung hatiku yang terdalam, ada keyakinan bahwa itu anakku. Tapi bila aku mengingat semua cerita-cerita Dita, dan menyaksikan sendiri kedekatan Avi dengan Mirza, keyakinan itu sering kali kembali menguap.
***

Setelah gugatan cerai Ratih diajukan. Tiba saatnya aku dan Ratih mengikuti agenda mediasi, tapi semuanya tak memuaskan bagiku. Statusku sebagai lelaki yang mempunyai tiga istri, tentu membuat tujuan Ratih untuk meninggalkanku menjadi sangat mudah. Tak sampai dua bulan, putusan ceraipun langsung kami dapat.

Untuk masalah harta, aku dan Ratih yang memutuskan berdua. Dengan perjanjian hitam di atas putih, ditetapkan, bahwa ruko sembako dan mobil pick up menjadi milikku, sedangkan rumah dan mobil pribadi menjadi milik Ratih. Dan untuk warung di dekat rumah, sudah tak dibuka lagi, karena Ratih tidak tertarik mengelolanya.

Aku menyetujui kesepakatan itu, bukan tanpa alasan. Rumah yang selama ini kami tempati, dibangun di atas tanah yang dibeli menggunakan uang warisan dari orang tua Ratih. Dan mobil pribadi yang selama ini kupakai untuk membahagiakan Dita, sebagian besar cicilannya dibayar dengan uang gaji Ratih.

Jadi, aku tak mau menjatuhkan harga diriku dengan meminta sesuatu yang di dalamnya ada hasil kerja Ratih. Yang penting, saat ini aku masih punya penghasilan yang cukup, walaupun aku harus menerima caci maki dari Dita, karena dia tak rela bila mobil pribadi jatuh ke tangan Ratih.
***

Pagi ini, aku izin pada Dita untuk pergi ke rumah Ratih. Masih banyak barang-barangku di sana yang ingin ku ambil.

Jam delapan pagi, aku sudah di rumah Ratih. Ada sesak yang menekan di dadaku, sudah hampir sepuluh tahun rumah ini kami tempati bersama. Setelah sebelumnya kami hanya tinggal di ruko bersama tumpukan dus-dus barang dagangan, rumah ini menjadi rumah impian, yang kehadirannya menjadi penyempurna rumah tangga kami.

"Masuk Mas," dengan ramah Ratih mempersilahkan aku masuk.

Entahlah, tiba-tiba wajahku terasa memanas. Dia terlihat begitu ceria dan bersemangat, tidak ada sedikitpun kulihat raut penyesalan atau rasa kehilangan setelah berpisah dariku.
Dia bahkan terlihat bahagia, dengan tubuh yang lebih berisi.
Akupun duduk di sofa tamu. Kini aku menjadi asing di rumah ini, sekarang aku hanyalah seorang tamu.

Tak berapa lama, Ratih dan Tania muncul membawakan barang dan pakaianku yang sudah terbungkus rapih. Saat melihat barisan koper dan kardus yang berisi barang dan pakaianku, seketika detak jantungku bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Ada gemuruh yang sulit aku gambarkan.
Mereka kembali masuk, sepertinya hendak mengambil bungkusan yang lain. Selang beberapa detik saja, kulihat Ratih kembali muncul dengan sebelah tangan membawa paperbag besar berisi barang-barangku, dan satu tangan lagi membawa buncer bayi yang masih terbungkus rapih. Mungkinkah Ratih sengaja membelikannya untuk Dita?

"Mama ...," suara Tania memanggil dari dalam.
Diapun berlari mendahului Ratih, "ini jangan dibawa".
Dia kemudian merebut buncer dari tangan Ratih, "Ini punya Tania. Tania sengaja beli ini buat anaknya bunda, nanti."
"Mama pikir itu punya Tante Dita," jawab Ratih.
"Tante Dita kan melahirkannya masih lama," timpal Tania.

Ratih hanya tersenyum menanggapi Tania. Dan Taniapun segera membawa buncer itu kembali.
Ada rasa panas menyeruak di dadaku. Ratih dan Avi seolah bergabung menjadi sebuah keluarga yang harmonis. Sedangkan aku, kini terasing menjadi orang lain.

"Mas, coba kamu cek dulu. Siapa tau ada yang tertinggal," ucap Ratih.

Ucapan Ratih seolah ingin memastikan bahwa aku sudah tidak punya hak lagi atas rumah ini.

"Tidak perlu, aku akan langsung membawanya," jawabku datar.

Aku langsung memanggil Ikbal, yang sejak tadi sudah menunggu untuk membantuku. Dengan sigap dia langsung mengangkut barang-barangku menuju mobil bak terbukaku yang sejak tadi terparkir di depan rumah Ratih.

Disaat aku sedang merapihkan barang yang sudah berada di atas bak mobil, tiba-tiba sebuah mobil mewah dengan logo kuda jingkrak memasuki halaman rumah Ratih.
Pak Wisnu, dia turun dari mobil mewahnya. Dia adalah pemilik yayasan yang menaungi sekolah tempat Ratih mengajar. Dan dia jugalah yang sering kali memberi peluang untuk kelancaran karir Ratih selama ini. Dasar penjilat!
Ratih yang sejak tadi hanya berdiri memperhatikan pekerjaanku dan Ikbal, kini berjalan menghampiri pria kaya itu.

"Berangkat sekarang Pak?" Tanya Ratih pada pria itu.
"Iya, sudah setengah sembilan. Takut telat," jawab pria itu sambil menunjuk jam tangan mahalnya.
"Saya ambil tas dulu ya," ucap Ratih dengan sangat ramah.

Diapun bergegas masuk ke rumah untuk mengambil Tas.
Detik kemudian, seiring langkah kaki Ratih masuk ke rumahnya, pria bernama Wisnu itupun menghampiriku. Kulirik sekilas wajah pria yang tengah tersenyum itu, tak jauh dari tempatku berdiri.

"Atas nama Ratih, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada anda," ucap pria itu, masih dengan senyum di wajahnya.
"Untuk apa?" ketusku.
"Terimakasih atas kesadaran anda melepaskan Ratih."

Kutajamkan tatapanku setelah mendengar ucapannya.
Namun, pria itu tetap melanjutkan kalimatnya dengan tenang, "karena dengan berpisah dari anda, hidupnya jadi lebih baik."
"Oh, agar anda bisa bebas mendekatinya, apalagi sekarang perceraiannya sudah diputuskan," timpalku sengit.
"Tentu," jawabnya santai.
"Apa anda tida malu, mendekati wanita yang baru saja bercerai," kalimat sengit itu terlontar dari mulutku.
"Masih pantaskah, anda mempermasalahkan kedekatan Ratih yang sudah bercerai dari anda, dengan saya, pria yang jelas-jelas tak beristri?"
Tatapannya seolah menghunus manik mataku, "sedangkan anda sendiri sudah memberinya madu yang pahit, dengan dua wanita sekaligus."

Aku tak berkutik setelah mendengar tudingannya. Sungguh, saat ini aku merasa seperti sapi yang dicocok hidungnya.

Tak berapa lama Ratih kembali muncul, "Mas, maaf ya, aku gak bisa menunggu sampai kamu selesai membereskan barang-barang itu, karena aku harus pergi."
"Kemana?" Sebenarnya aku tak ingin melontarkan kata itu.
"Hari ini aku ada rapat di yayasan. Karena kebetulan besok aku akan menghadiri seminar ke luar kota, jadi ada beberapa hal yang harus di bahas," tuturnya dengan senyum ramah yang terus terkembang.
"Assalamualaikum."

Ratihpun melenggang pergi bersama pria kaya, yang usianya beberapa tahun lebih tua dariku.
Jujur, ada hawa panas yang menjalar di setiap aliran darahku. Melihat Ratih duduk berdua dengan pria lain di dalam sebuah mobil mewah, tentu batinku tak terima.
Lihat saja, nanti setelah aku mendapatkan warisan dari orang tuaku, aku bisa memiliki mobil yang jauh lebih mahal dari milik si Wisnu itu.
***

Setelah dari rumah Ratih, terlebih dahulu aku mampir ke rukoku, karena ada beberapa barang yang lebih baik ku simpan di sana. Orang tua Dita lumayan matre, terutama ibunya. Sering kali mereka ingin menguasai apa yang menjadi milikku.
***

Saat tiba di rumah, kulihat mertuaku sedang bertengkar. Melihat aku datang, Ayah mertuaku langsung memintaku untuk menghampirinya.

"Ada apa, Yah?" Tanyaku bingung.
"Apa benar, kamu menuduh bayi yang di kandung Avi adalah anak Mirza?" Kalimatnya begitu penuh dengan penekanan.
"Iya," jawabku gugup.
"Bagaimana mungkin kamu bisa berpikir begitu?" Nada suaranya meninggi.
"Ya karena selama ini Avi sering saya tinggal. Dan beberapa kali saya melihat Avi pergi bersama Mirza," terangku.
"Sekalipun benar Avi berselingkuh dengan Mirza, maka bisa dipastikan bayi di perut Avi itu bukan anak Mirza," bentaknya.
"Kenapa?"
"Karena Mirza mandul. Dia ditinggalkan istrinya karena tidak bisa memberi keturunan."

Seketika sekujur tubuhku terasa kaku. Kebodohan apa lagi yang telah kulakukan? Haruskah aku menelan begitu banyak rasa penyesalan.
Tanpa menjawab lagi ucapan mertuaku, aku langsung beranjak ke kamar mencari Dita. Saat kuhampiri, dia sedang menangis tersedu-sedu di dalam kamar. Matanya sembab, sepertinya dia sudah cukup lama menangis.

"Kamu kenapa?" Tanyaku cemas.
"Mas," dia langsung menghambur memelukku.
"Ada apa?" Aku semakin khawatir.
"Tadi Mas Mirza kesini sama Uwanya, mereka marah-marahin Ayah dan Ibu, terus menuduh bahwa aku dan Ibu yang menyebarkan fitnah tentang Mas Mirza yang sudah menghamili Mbak Avi. Mereka mempermalukan Ayah dan Ibu di depan para tetangga Mas," Dita bertutur sambil terus terisak.

Seketika tanganku terkepal, ingin rasanya langsung kuhantamkan kepalan tangan ini, ke wajah brengsek si Mirza itu.

"Dia harus diberi pelajaran, kita cari dia sekarang ke bengkelnya," aku segera bangkit, dan kembali meraih kunci mobilku.
Dita terperangah melihat sikapku, "jangan Mas. Mas gak perlu menghajar Kak Mirza."

Dita berusaha mencegahku, tapi tak kuhiraukan lagi ucapannya. Ada amarah yang meluap-luap di dadaku, dan ingin segera kutumpahkan pada laki-laki kurang ajar itu.
Saat ini, kekesalanku bukan hanya karena apa yang telah dia lakukan pada keluarga Dita, tapi aku juga kesal karena kehadirannya membuatku menuduhkan hal bodoh kepada Avi.
Karena tak mampu mencegahku, akhirnya Dita memilih ikut bersamaku.
***

Sampai di bengkel Mirza, kulihat dia sedang berdiri mengawasi para pekerjanya. Tanpa membuang waktu, aku langsung menghajarnya, menghadiahinya dengan beberapa tinjuan di wajahnya.
Namun, di luar dugaanku. Pria yang terlihat kalem dan pendiam itu justru balas menghajarku dengan membabi buta. Tak dia perdulikan lagi teriakan Dita dan orang-orang di sekitar yang memintanya agar berhenti menghajarku.
Hingga akhirnya Avi datang, Mirza baru mau menghentikan pukulannya. Dari jauh, kulihat Avi berjalan tertatih-tertatih, perutnya sudah terlihat lebih besar. Apa dia akan melahirkan?
Pria brengsek itu langsung berbalik hendak menghampiri Avi, tak kubiarkan dia mencari muka kepada Avi di hadapanku. Sekuat tenaga ku tendang punggungnya dari belakang, hingga dia tersungkur.
Namun, yang kudapat justru pemandangan yang memuakan. Dengan sigap Avi mencengkram lengan Mirza, yang hendak membalas tendanganku.
Sejak kapan Avi berani bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya?
Menjijikan!
Akupun kembali menendang perut Mirza yang sedang menatap Avi penuh arti.

'Bruk.'

Aku terperangah, karena Avi turut terpental akibat tendanganku. Tak menunggu lama, Mirzapun langsung menghampiri untuk membalas apa yang baru saja kulakukan.

'BUK.'

Seketika, pukulannya nyaris membuatku kehilangan kesadaran.
Entah ini kebodohan keberapa yang kulakukan!
Dalam kondisi mataku yang berkunang-kunang, aku yang sedang dipapah oleh Dita untuk masuk ke mobil, bisa melihat ketika Mirza menggendong Avi untuk di bawa ke klinik.
***

"Mirza harus dilaporkan ke Polisi," ucap Ibu mertuaku dengan nada tinggi.
"Jangan bu, nanti malah Mas Tedi yang kena masalah," timpal Dita, sambil terus mengompres wajahku yang semakin membengkak.

Aku yang kesulitan bicara, hanya bisa menghela nafas kasar mendengar obrolan mereka.

"Kenapa bisa begitu?" tanya mertuaku yang terlihat cemas.
"Karena tadi Mas Tedi yang mukul duluan, terus tadi Mbak Avi gak sengaja ikut jatuh karena tendangan Mas Tedi, dan sekarang sedang dibawa ke rumah sakit sama Mas Mirza," tutur Dita penuh kekhawatiran.
"Kalau mereka gak bilang sama orang-orang, ya gak jadi masalah," timpal Ibu mertuaku.
"Itu dia bu masalahnya, tadi banyak orang yang lagi jemput anaknya pulang sekolah, belum lagi pegawainya Mas Mirza. Jadi banyak yang lihat," Dita kemudian mencebik.
"Kok kalian bisa seceroboh itu," nada suara Ibu mertuaku kembali meninggi.
"Sudahlah bu, aku jadi tambah pusing," bentak Dita.

Dan akhirnya Ibu mertuakupun berlalu sambil terus bersungut.
Tak berapa lama, Dita terlihat merintih. Aku yang kesulitan bicara, hanya menggengam tangannya untuk mewakili pertanyaanku.

"Aku kayaknya mau melahirkan deh Mas," ucap Dita.
Aku mengernyitkan dahi. Melahirkan? Mana mungkin?
Bila kubandingkan dengan Avi, seharusnya usia kehamilan Dita satu bulan di bawah Avi. Karena dulu, aku menikahinya satu bulan setelah menikahi Avi. Bahkan mungkin seharusnya usia kandungan Dita lebih muda dari itu.
Dulu, aku berbohong pada Umi, Ratih, dan Avi. Dengan mengatakan bahwa saat itu aku baru satu bulan menikahi Dita, padahal sebenarnya saat itu, kami sudah hampir dua bulan bersama.
***

Di klinik, aku hanya duduk menunggu di luar bersama Ayah mertuaku. Sedangkan Dita sedang diperiksa di dalam bersama Ibunya. Aku jarang sekali tau tentang kondisi kandungan Dita, karena setiap kali periksa, dia selalu bersama Ibunya. Tapi aku tak ambil pusing.
Kami cukup lama menunggu untuk di periksa langsung oleh dokter Nancy. Salah seorang perawat mengatakan, bahwa dokter Nancy baru saja menangani pasien yang melahirkan. Apa mungkin itu Avi?

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya Ditapun keluar. Dan kini kondisinya terlihat lebih baik.

"Cuma kontraksi palsu," ucap Ibu mertuaku, seolah mengerti rasa penasaranku.

Kamipun segera berjalan keluar, karena hari sudah hampir petang. Saat memasuki tempat parkir, tanpa sengaja aku berpapasan dengan Umi dan kedua kakakku yang baru turun dari mobil.
Aku langsung menghampirinya, dan diikuti oleh Dita dan orang tuanya.
Umi menyapa istri dan mertuaku dengan ramah, namun tidak halnya dengan kedua kakakku. Mereka sangat menampakan rasa tidak sukanya pada istri dan mertuaku.

"Umi, mau kemana?" Tanyaku dengan mulut yang terasa sakit dan kaku.
"Umi mau nengok cucu Umi yang baru lahir," jawabnya.
"Avi melahirkan?" kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Ada rasa haru dan bahagia yang tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhku. Setelah hampir enam belas tahun menanti, hari ini aku menjadi Ayah.

"Iya, tadi Zaki telepon Umi. Sekarang kamu juga harus ikut Umi," kalimatnya seperti ultimatum untukku.

Setelah menukar kunci mobilku, dengan kunci motor milik Ayah mertuaku, akupun langsung berjalan mengikuti Umi.
***

Saat tiba di ruangan Avi, aku langsung disambut oleh Andra yang mencekal kerah bajuku, dia pasti tidak terima atas apa yang sudah aku lakukan pada adiknya.
Beruntung, ada Umi yang bisa membujuknya untuk melepaskanku.

Mirza, dia ada di sini bersama keluarga Avi. Dasar penjilat, aku yakin dia bersikap bak pahlawan kesiangan yang ingin mendapatkan simpati Avi dan keluarganya.
Baguslah. Dia dan Andra keluar meninggalkan ruangan ini setelah kehadiranku.
Sejujurnya aku malu berada di sini, tapi tak kupungkiri, aku sangat ingin melihat anakku.
Aku mendekat, tak lagi kuperdulikan sindiran-sindiran Mbak Yana yang terus menyerangku.

Kini, aku bisa dengan jelas melihat wajah anakku. Ya, dia sangat mirip denganku. Ingin rasanya aku menggendong dan menciumnya, seperti apa yang sedang Mbak Yana lakukan. Tapi, rasa malu dan gengsi membuatku tak bisa melakukan itu.

Dan di sini, aku mendapatkan kejutan yang cukup mampu membuat detak jantungku nyaris berhenti. Warisan keluarga yang bertahun-tahun kunanti, kini tak mungkin lagi kudapatkan. Dengan penuh keyakinan, Umi mengiyakan ucapan Mbak Yana yang menyebut anakku sebagai pewaris tahta.

Ribuan penyesalan semakin menyesakan dadaku.
***

Berhari-hari Dita merasakan sakit di perutnya, bahkan sudah beberapa kali Dita kubawa ke dokter Nancy untuk diperiksa. Tapi jawabannya tetap sama, itu hanya kontraksi palsu.

Hingga setelah lima hari berlalu, dokter Nancy akhirnya memutuskan agar Dita di operasi. Aku tak begitu faham apa alasannya, karena aku jarang dilibatkan bila mereka sedang membicarakan tentang kondisi Dita. Aku hanya akan dilibatkan, bila itu menyangkut urusan administrasi.
***

Saat Dita melahirkan, aku tak bisa menemaninya. Saat itu kondisiku memburuk, setelah perkelahianku dengan Mirza tempo hari, aku belum memiliki kesempatan untuk istirahat yang cukup, atau untuk sekedar mendapatkan pengobatan yang layak.
Tubuhku terasa sangat lemah. Akupun menelepon Ikbal, memintanya mengantarku ke klinik dokter umum untuk di periksa.

Keesokan harinya, setelah tubuhku terasa lebih baik. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke klinik, agar bisa segera bertemu dengan istri dan anakku.

Saat tiba di ruangan tempat Dita di rawat, Ibu mertuaku menyambut dengan sangat manis. Kupikir dia akan marah, karena aku tak menemani anaknya melahirkan kemarin.
Aku segera menghampiri Dita yang sedang menggendong anakku.
Entahlah, saat memandang bayi itu, tak ada debaran dan rasa haru seperti halnya saat aku memandang bayi Avi. Padahal bayi ini laki-laki, sesuai dengan keinginanku.
Sekilas, aku melihat tulisan pada benda yang melingkar di tangan bayi itu. Di sana tertulis bahwa berat lahirnya 3400 gram.
Aku menautkan alis, pikiranku menerawang pada obrolan Avi dan Mbak Yana beberapa hari yang lalu. Aku ingat betul, Avi menceritakan bahwa berat lahir bayinya hanya 2800 gram, dan dia melahirkan pada usia kandungan yang belum genap 37 minggu.
Otakku kemudian menghitung, bila Avi melahirkan di usia kandungan sekitar 36 minggu, berarti seharusnya usia kandungan Dita saat ini sekitar 31 atau 32 minggu, atau sekitar tujuh bulanan.
Tapi kenapa bayinya tidak terlahir prematur, bahkan bobot tubuhnya lebih besar dari bayi Avi yang lahir normal.

"Mas, gak mau gendong anak kita?" ucapan Dita membuyarkan lamunanku.
"Enggak, Mas gak berani, takut jatuh," aku menolak.

Sungguh, tidak ada sedikitpun getaran haru atau bahagia di hatiku saat melihat bayi itu. Bayi yang menurutku terlalu tampan untuk menjadi anakku.

Tiba-tiba, aku teringat ponsel di saku celanaku yang kupasang mode silent. Saat kubuka layarnya, di sana sudah tertera puluhan panggilan tak terjawab dari Umi dan Mbak Yana.
Kubuka juga pesan yang mereka kirim. Ternyata hari ini aqiqah anakku, andai aku punya keberanian lebih untuk menghapus semua rasa gengsi ini.
Aku segera menulis pesan balasan, yang mengatakan bahwa aku akan segera datang.

"Ada apa, Mas?" Tanya Dita.
"Oh, ini, Umi memintaku datang ke rumah Avi sekarang. Katanya di sana akan di adakan pemotongan kambing untuk aqiqah," terangku.
"Kenapa kamu harus kesana?" Dita terlihat tidak suka.
"Karena aku Ayahnya. Akulah yang akan mengucapkan niat aqiqah, saat kambing itu hendak dipotong," jawabku.

Mata Dita mulai terlihat berkaca-kaca.

"Ini perintah Umi, aku tak berani menolaknya," aku berusaha membujuk Dita agar mau mengerti.
"Ya sudah, Mas pergi saja," ketusnya.

Tak membuang waktu, akupun langsung pergi ke rumah Avi. Aku sangat antusias, ingin segera bertemu dengan anakku.

Sesampainya di rumah Avi, aku langsung dibawa kehadapan seekor kambing yang akan dipotong, di situ aku mengucapkan niat aqiqah yang di bimbing oleh seorang ustadz, yang wajahnya lumayan mirip dengan Mirza.
Aku terdiam, saat ustadz itu memintaku menyebutkan nama anakku.

"Tazki Putri Gumelar," dengan lantang Avi menyebutkan nama itu, tak jauh dari tempatku berdiri.

Nama itu, Avi memberikan nama yang sama dengan namaku, Tedi Putra Gumelar. Nama kebesaran keluargaku.
Ada desiran di hatiku, aku bahagia, karena Avi tak menafikanku sebagai Ayah dari anak itu.

Selesai acara pemotongan kambing, aku segera beranjak untuk menemui Avi.
Dari jauh, aku bisa melihat dia sedang berbicara dengan Mirza. Seulas senyum tipis terukir di wajahnya, apa mungkin dia merasa bahagia saat bersama Mirza?
Semakin dekat, aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Avi berterimakasih, karena Mirza telah membantu biaya persalinannya. Sekarang aku tau, siapa yang dimaksud suami Avi, oleh perawat di klinik tempo hari.

Lagi-lagi Mirza!

Saat menyadari kehadiranku, Mirza langsung menghindar.
Kini hanya ada aku dan Avi.

"Mas baik-baik saja?" Avi membuka suara.
"Seperti yang kamu lihat."

Sungguh, ada rasa bahagia di hatiku yang sulit ku gambarkan saat mendengar pertanyaan Avi. Masihkan dia perduli dengan kondisiku.

"Aku mau minta maaf Mas," ucapnya.
"Atas dasar apa?" Tanyaku penasaran.

Lalu Avi mengutarakan permintaan maafnya, karena membuatku harus datang kesini untuk acara aqiqah anaknya. Dia merasa telah mengingkari perkataannya dulu yang tak akan melibatkanku dalam urusan bayinya.
Avi, andai kamu bisa membaca isi hatiku saat ini. Kamu tak perlu meminta maaf, justru saat ini aku bahagia karena memiliki alasan untuk bertemu kamu dan juga anak kita.

"Avi ...."

Suara itu memecah keheningan di antara aku dan Avi.

'Ratih?'

Dia datang dengan begitu ceria. Memeluk hangat Avi, layaknya sebuah keluarga.
Aku merasa semakin terpuruk, sungguh, selama ini aku sudah bertindak bodoh.
Dulu, dengan begitu jumawa kukatakan bahwa aku akan lebih bahagia tanpa mereka. Tapi nyatanya, justru merekalah yang terlihat lebih bahagia setelah berpisah denganku.
Tak mau larut dalam penyesalan, akupun segera pergi meninggalan rumah Avi.
Kubawa mobilku melaju cepat, tujuanku kini adalah ruko. Ya, saat ini aku juga tidak mau bertemu Dita. Aku ingin sendiri.
Andai aku tak ingat tuhan, ingin rasanya ku akhiri hidupku saat ini juga.
***

Aku duduk di depan jendela, di lantai dua bangunan rukoku, melihat hiruk pikuk keramaian di depan tokoku.
Pikiranku terus melayang, di hantui tiga bayangan wajah wanita yang sudah hadir di hidupku.
Saat wajah Ratih yang terlintas, maka di situ ada bayangan Wisnu yang mengikuti.
Saat wajah Avi tergambar jelas, bayang-bayang Mirza juga turut menghantui.
Dan ketika yang hadir wajah Dita, maka gambaran wajah bayinya yang begitu tampan membuatku merasa frustasi.
Kujambak kasar rambutku sendiri. Andai aku masih anak-anak, maka sudah pasti saat ini aku akan menangis tanpa henti di pangkuan Umi.

'Drrrttt ... drrrttt ....'

Ponsel di saku celanaku bergetar, saat kulihat di layar, rupanya ada pesan suara dari Mbak Yana.
Dan saat kuputar, ternyata isinya adalah percakapan antara Mbak Yana, Avi, dan dokter Nancy. Dokter itu mengatakan, bahwa alasan Dita harus di operasi karena usia kandungannya sudah hampir memasuki 41 minggu.

Seketika darahku terasa mendidih. Kubanting semua benda yang ada di hadapanku, tak perduli bila semuanya harus hancur karena ulahku.

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER