Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 09 November 2021

Madu Pahit #12

Cerita Bersambung

[POV.Avi]
Keluar dari ruangan dokter Nancy, aku dan Mbak Ratih hanya saling tatap. Sementara Mbak Yana, wajahnya terlihat penuh dengan amarah. Seperti ada emosi yang sedang meledak-ledak di dadanya.
***

Menjelang adzan ashar, Mas Tedi kembali tiba di rumahku. Dia memang diminta hadir untuk acara parasan Tazki, bagaimanapun dia adalah Ayahnya.
Wajah dan bajunya terlihat kusut. Sungguh, dia tidak seperti Mas Tedi yang kukenal, penampilannya sangat lusuh, berbeda dengan tadi pagi.
"Mas kenapa?"
"Aku tidak apa-apa," jawabnya tetap datar.

Aku melihat tangannya terluka, ada darah yang masih meleleh di lukanya.

"Tangan Mas kenapa?" tanyaku penasaran.
"Hanya tergores pecahan kaca," jawabnya lemah.

Aku segera bangkit pergi ke kamar, mengambil pembersih luka, kain kasa, dan plester. Ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki sepertiku memang selalu sedia barang-barang itu.
Di ruang tamu ini, hanya ada aku dan Mas Tedi. Anggota keluargaku yang lain sedang sibuk di dapur mempersiapkan hidangan untuk acara.

"Aku obatin ya, lukanya," aku langsung duduk di sampingnya.

Mas Tedipun mengulurkan tangannya yang terluka. Segera kubersihkan lukanya, dan kututup dengan plester.
Entahlah, melihatnya seperti itu, aku merasa kasihan. Saat ini, dia pasti sedang banyak masalah.
Selesai dengan lukanya, aku kembali masuk ke kamar, mencari kaos di tumpukan bajuku di lemari. Seingatku, masih ada beberapa baju Mas Tedi yang tersisa disini. Akhirnya, aku menemukan sebuah kaos milik Mas Tedi.

Aku segera menghampirinya, "Mas, coba kamu ganti dulu bajunya dengan kaos ini. Biar baju yang itu aku setrika dulu."
"Hah ...," Mas Tedi terlihat seperti orang bingung.

Tapi kemudian, diapun langsung membuka kemeja yang dia pakai, dan menggantinya dengan kaos yang baru saja kuberikan.
Aku membawa kemeja Mas Tedi ke dekat televisi, karena disana aku biasa menyetrika pakaian.

"Vi."
Suara Mas Tedi yang berdiri di belakangku.

"Iya Mas," aku yang sedang menyetrika kemudian menoleh.
"Boleh, aku menggendong anak ... kita," kalimat itu terucap dengan ragu dari mulut Mas Tedi.

Sungguh, aku ternganga mendengar ucapannya. Anak kita? Ada dua sisi hati, yang menanggapi dengan cara berbeda. Satu sisi aku ingin menghakimi, tapi di sisi lain, tak kupungkiri bahwa aku bahagia mendengarnya.

"Tentu boleh Mas. Gendong saja, dia ada di kamar."

Tak membuang waktu, Mas Tedi langsung beranjak masuk ke kamarku. Sedangkan aku, melanjutkan pekerjaanku.
***

Setelah kemeja Mas Tedi siap, aku bergegas menghampirinya yang sedang menggendong Tazki di kamarku. Namun langkahku terhenti, saat aku sudah berdiri di lubang pintu.
Kulihat Mas Tedi tengah berdiri mendekap Tazki di gendongannya, dia berkali-kali mencium wajah Tazki, menghirup aroma khas bayi dari pipi Tazki. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat dengan jelas, ada bulir bening yang menggenang di sudut mata Mas Tedi.
Ada sesak yang menyeruak di kerongkonganku, sungguh pemandangan ini yang sangat kuharapkan.

"Mas," aku menghampirinya, dengan mata yang mulai berembun.
"Eh, Vi," dia terlihat kaget.
"Ini bajunya, sudah rapih. Sini, biar Tazki aku yang gendong."

Aku kemudian meletakan baju Mas Tedi di atas tempat tidur, dan mengambil Tazki dari gendongannya. Entahlah, rasanya aku sama sekali tidak ada rasa canggung terhadap Mas Tedi.

Setelah menyerahkan Tazki kepadaku, Mas Tedi langsung membuka kaosnya, dan kembali menggantinya dengan kemeja yang sudah kusetrika.
Situasi ini membuatku kikuk, karena tanpa sungkan Mas Tedi mengganti bajunya di hadapanku. Tidak, aku sama sekali sudah tidak ada hati terhadapnya. Yang tersisa kini hanya rasa empati, karena aku tau masalah yang sedang dia hadapi.

"Vi," sebuah suara dari lubang pintu mengagetkanku.
"Mbak," aku terperanjat.

Mbak Ratih berdiri di lubang pintu, dia tertegun melihatku di dalam kamar, bersama Mas Tedi yang sedang memasang kancing kemejanya.
Tak mau larut dalam situasi yang tidak seharusnya, aku memasang senyum tenang, dan segera menghampiri Mbak Ratih.

"ada apa Mbak?"
"Mbak cuma disuruh Mbak Yana, buat mastiin kalau Mas Tedi sudah datang," jawab Mbak Ratih.

Mata Mbak Ratih seolah mempertanyakan kehadiran Mas Tedi di kamar.

"Mas Tedi belum lama datang, tadi dia pakai kemeja kusut. Jadi aku setrika dulu, biar lebih rapih," terangku.
"Cieee ... jangan bilang CLBK," ucap Mbak Ratih, dengan tatapan mengejek pada Mas Tedi.
"Cinta lama yang mana Mbak?" tanyaku. "Di antara aku dan Mas Tedi kan tidak pernah ada cinta."

Kalimatku sontak membuat suasana menjadi kaku. Sungguh, aku tidak nyaman bila ada mengaitkan nama cinta dalam hubunganku dan Mas Tedi dulu.
Karena nyatanya dia tidak pernah mencintaiku.
***

Kini acara parasan Tazki sedang digelar, setelah dibacakan do'a oleh seorang ustadz, Tazki kemudian digendong oleh Mas Tedi, yang berjalan berkeliling menghampiri para sesepuh dan Ustadz, yang tengah berdiri membacakan sholawat. Satu persatu dari mereka menggunting sedikit dari rambut Tazki, yang kemudian potongan rambutnya di letakan pada sebuah wadah yang dibawa oleh Zaki. Dia berjalan di belakang Mas Tedi.
***

Hari terus berganti. Kini aku sudah mengajukan gugatan cerai pada Mas Tedi. Langkah yang kutempuh cukup alot, karena beberapa kali Umi datang, memintaku agar mau kembali pada Mas Tedi.
Tidak, aku tidak mau terjerumus pada lubang yang sama. Berharap pada yang tidak mengharapkan itu sakit.
Lihat saja, yang datang memintaku kembali justru Umi, bukan Mas Tedi sendiri. Andai dia yang datang sendiri, meminta agar aku bertahan, mungkin aku akan mencoba mempertimbangkan.

Akhir-akhir ini, kabar tentang Dita mulai santer terdengar. Ternyata benar dugaanku, bayi yang dilahirkan Dita bukan anak Mas Tedi, dia hanya dijadikan kambing hitam.
Karena kami hanya tinggal di kota kecil, proses perceraian yang kulaluipun jadi sangat mudah. Di sini tidak banyak yang bercerai, jadi semua proses bisa dilalui dengan cepat.
Apalagi antara aku dan Mas Tedi tidak urusan harta yang di perebutkan. Semua jadi sangat mudah.

Belum sampai usia Tazki tiga bulan, aku sudah resmi dengan status janda.
Jujur, sebenarnya selama proses perceraian, aku sangat menanti Mas Tedi datang untuk sekedar meminta maaf. Tapi semuanya benar-benar hanya tinggal harapan.
Dia tetap dengan sikap dingin dan angkuhnya. Tapi biarlah, karena dengan begitu, aku jadi tidak perlu berberat hati melepaskannya dalam keadaan terpuruk seperti saat ini.
***

"Assalamualaikum, Bunda," putraku muncul dari balik pintu.
"Waalaikum salam, sayang."

Zaki kemudian mencium punggung tanganku.

"Zaki pulang jalan kaki?" tanyaku.

Ojeg yang biasa mengantar jemput Zaki sedang tidak bisa datang, karena istrinya melahirkan.

"Enggak, tadi Zaki ikut sama Papanya Fatir," jawab putraku, sambil berjalan menuju kamarnya.

Papanya Fatir? Biasanya kalau Zaki tidak ada yang jemput ke sekolah, pasti dia akan pulang diantar Kak Mirza.
Kemudian putraku berteriak dari kamarnya, "tadi Zaki mau di anterin Om Mirza, tapi keburu ada tamu ke bengkelnya Om Mirza. Jadi Zaki dititipin Om Mirza ke Papanya Fatir."
"Tamu siapa?" tanyaku heran.
"Enggak tau," kini dia sudah keluar dari kamarnya dengan baju rumah. "Bunda kangen ya, sama Om Mirza? Soalnya Om Mirza udah lama gak kesini anterin Zaki pulang sekolah."

Dia tersenyum dan menatapku dengan tatapan meledek.

"Enggak, kan Zaki sendiri yang bahas tentang Om Mirza. Bukan bunda," seketika aku merasa salah tingkah di hadapan putraku sendiri.
"Ya karena Zaki tau, kalau Bunda sebenarnya nyari Om Mirza," Zaki menaik turunkan alisnya.

Tidak, putraku ternyata sudah besar. Tanpa kusadari, ada banyak hal yang sudah dia fahami tentang urusan orang dewasa.

"Oh iya Bunda, tamunya Om Mirza itu perempuan lho," ucap putraku serius.

Kini dia telah duduk di sampingku yang sedang menonton TV.

"Kayanya perempuan itu seumuran Bunda, dia manggil Om Mirza, 'Mas'. Zaki gak suka sama Tante itu." tutur putraku.
"Kenapa gak suka?" tanyaku.

Entahlah, sebenarnya aku penasaran dengan perempuan yang diceritakan Zaki.

"Tante itu bawa bayi perempuan yang sudah bisa jalan. Terus dia kayak mohon-mohon gitu sama Om Mirza. Ih, Zaki gak suka, Tante itu narik-narik tangan Om Mirza," Zaki menjelaskan dengan raut marah.
"Zaki lihat semuanya?" tanyaku semakin penasaran.
"Iya. Kalau gak salah, tadi Zaki dengar Om Mirza manggil Tante itu dengan nama Asti," terang putraku.
"Asti?"

Seketika, ada hawa panas menjalar di dalam dadaku. Terasa ada sesak yang menekan di pangkal kerongkongan.
Kenapa Asti harus kembali?

===========

[POV.Mirza]
Setelah mengisi deposit lima juta rupiah untuk biaya Avi di klinik, aku segera pulang ke rumah. Sungguh, saat ini tubuhku rasanya seperti sedang dipukul-pukul dengan palu besar. Efek perkelahianku dengan Mas Tedi tadi, sudah mulai terasa.
Sampai di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku di atas sofa. Kepalaku terasa berat, luka dan memar di wajahku seperti sedang tarik-menarik.
Kucoba memejamkan mata, berharap setelah terlelap sejenak, tubuhku akan terasa lebih baik. Tapi, belum sempat aku terlelap, tiba-tiba pintu rumah yang tak ku kunci langsung terbuka.

"Mirza."
Aku terperangah, "Wa."

Rupanya Wa Maryam, suaranya benar-benar mengagetkanku.

"Katanya kamu berkelahi sama menantunya Pak Wahyu, ya?" tanyanya cemas.
"Iya Wa," jawabku lemah.
"Kenapa bisa sampai begitu?"
"Mungkin karena kedatangan kita tadi pagi ke rumah Pak Wahyu, Wa," jawabku pelan.

Saat ini bibirku mulai kaku untuk digerakkan.

"Terus kamu kalah?" sentak Wa Maryam.
"Tidak Wa, tenang saja, aku yang menang. Uwa tidak perlu khawatir."

Sejak kecil Wa Maryam selalu mengharuskanku menang, bila berkelahi dengan teman di sekolah. Mungkin karena aku pendiam dan pemalu, jadi Wa Maryam meragukan kemampuanku dalam mengalahkan lawan.

"Kalau menang, kenapa babak belur?" timpal Wa Maryam.
"Tadi kami berkelahi cukup lama. Dan awalnya aku tidak dulu melawan Wa, tapi setelah Mas Tedi bicara yang tidak-tidak, baru aku balas memukulnya," jelasku.
"Baguslah. Berarti si Tedi itu kondisinya lebih parah dari ini?" tanya Wa Maryam.
"Iya Wa."
"Nah, ini baru hebat. Kamu itu dari kecil selalu cemen. Setiap ada teman yang ngajak berkelahi, kamu selalu berlindung di balik Masmu. Jadi Uwa gak tau, kamu bisa nonjok atau tidak," Wa Maryam bersungut.

Ya, sejak kecil aku memang selalu berlindung pada Mas Husni, setiap kali ada teman yang nakal. Dan ini, adalah kali pertama aku berkelahi hingga benar-benar babak belur.
Tak banyak bicara lagi, Wa Maryam langsung masuk ke dapur, hendak mengambil sesuatu. Beberapa saat kemudian, dia muncul dengan membawa sebuah mangkuk kecil berisi beras.

"Za, kamu gak punya kencur di dapur?"
"Tidak Wa, aku jarang masak. Lebih sering beli lauk yang sudah jadi," jawabku.
"Makanya punya istri," sungut Wa Maryam, sambil kemudian berlalu keluar rumah.

Mungkin dia pergi ke warung membeli kencur, padahal hari sudah gelap.
Dengan telaten, Wa Maryam membalur semua memar di wajah dan tubuhku dengan beras kencur. Dia memang selalu menjadi Malaikat di setiap masalahku.

"Sampai babak belur begini, rugi kalau Avinya gak sekalian kamu ambil," celetuk Wa Maryam, sambil terus membalurkan ramuannya di tanganku.
"Hah ...?" aku terkejut mendengar ucapan Wa Maryam.
"Alah, jangan pura-pura gak ngerti, nanti kalau tidak Uwa restui baru tau rasa," ancam Wa Maryam.

Tiba-tiba ada hawa panas menjalar di wajahku, jantungku terasa berkebit. Ah, Wa Maryam memang seperti cenayang. Tidak ada yang bisa kusembunyikan darinya.

'Tapi, memangnya ada apa antara aku dan Avi?'
"Malah melamun!" Wa Maryam menepuk luka di tanganku.
Aku terperanjat, "sakit Wa."
"Kalau mau naksir Avi, tunggu dulu sampai dia selesai masa iddah. Jangan sekarang. Nanti apa kata orang," sungut Wa Maryam.
"Siapa yang naksir Wa? Dia kan belum cerai secara resmi dengan suaminya," sanggahku.
"Oh, jadi kamu gak naksir dia yah. Ya sudah, berarti Uwa gak perlu mikir untuk merestui kalian," timpal Wa Maryam.
"Hah!" tiba-tiba aku tercekat.

Wa Maryam kemudian bangkit, dan langsung pergi ke dapur membawa sisa ramuannya.
***

Hari-hari berikutnya, Wa Maryam setia menemaniku, sekedar menyiapkan makanan yang bisa kumakan saat wajahku sedang dalam kondisi bengkak, hingga kondisiku lebih baik.
***

Enam hari setelah perkelahian tersebut, kondisiku sudah jauh lebih baik, hanya tinggal sedikit sisa-sisa pukulan di wajahku yang masih berbekas.

Aku mendengar kabar, bahwa Dita melahirkan. Kabar ini menjadi buah bibir yang cukup ramai diperbincangkan di tempat tinggalku.
Bahkan, saat aku hendak membeli lauk untuk makan di warung sekitar rumahku, aku bisa dengan mudah mendengar gunjingan tentang Dita dan keluarganya di kalangan ibu-ibu.
Tak sedikit dari para ibu-ibu itu yang meminta maaf kepadaku, atas gosip yang pernah mereka sebarkan tentang aku dan Avi.

"Duh, Mas Mirza. Kita minta maaf, karena sudah percaya sama omongan si Dita dan Ibunya. Padahal itu hanya akal-akalan mereka untuk menutupi kebusukannya sendiri," ucap seorang Ibu yang kutemui saat di warung.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya. Syukurlah, sebuah kesalahan memang tidak selamanya bisa ditutupi.

Seminggu setelah Avi melahirkan, Andra menghubungiku, dia memintaku datang ke rumahnya. Katanya Avi akan mengadakan aqiqah.

Pagi-pagi sekali, aku sudah berada di rumah Mas Husni, karena rumah Mas Husni berada satu gang dengan rumah Andra dan Avi. Sedangkan rumahku satu gang dengan Dita, cukup jauh bila di lalui dengan berjalan kaki.

"Ada apa pagi-pagi sudah disini?" tanya Wa Maryam yang baru keluar dari kamarnya. "Jangan bilang kalau kamu mau ikut Husni ke rumah Avi."

Aku yang baru saja duduk di kursi bersama Mas Husni, langsung mengerutkan dahi. Semetara Mas Husni yang duduk di sampingku hanya tersenyum kecil.

"Tidak, aku kesini karena mau ke rumah Andra," jawabku ragu.
"Apa bedanya? Rumah Avi dan Andra kan satu halaman, ya kesitu-situ juga," Wa Maryam terus menggodaku.

Ucapannya membuat mukaku memerah.

"Wa," aku merajuk.

Wa Maryam dan Mas Husni tersenyum kecil melihat ekspresiku.

"Apa susahnya kamu iyakan saja ucapan Uwa tadi. Gak usah malu-malu seperti anak perawan gitu," ucap Wa Maryam.
"Iya, aku kesini karena di minta Andra datang ke rumahnya."
"Ke rumah Avi," seloroh Wa Maryam.

Aku hanya menghembuskan nafas kasar. Entahlah, tiap kali Wa Maryam menggodaku dengan nama Avi, tiba-tiba saja wajah dan telingaku terasa memerah.
***

Tiba di halaman rumah Avi, aku dan Mas Husni langsung di ajak masuk ke rumah Andra. Di acara aqiqah ini, Andralah penanggung jawabnya.
Andra memberitahu Mas Husni, bahwa ada dua kambing yang harus dipotong. Karena dua mertua Avi sama-sama mengirim kambing untuk aqiqah.
Aku turut bahagia, karena ternyata ada begitu banyak orang yang menyayangi Avi dan anak-anaknya.

Saat prosesi pemotongan kambing, aku dan Andra lebih memilih berdiri di teras rumah saja. Rasanya tidak nyaman bila harus ikut membaur bersama Mas Tedi, yang berdiri bersama Mas Husni yang hendak memotong kambing.

Saat semua orang sibuk dengan kambing, Andra mengajakku berjalan menghampiri Avi, yang sedang berdiri di teras rumahnya.
Aku faham apa maksud Andra, walau tak kupungkiri, aku menyukai hal ini. Semenjak dari rumah sakit seminggu yang lalu, baru hari ini aku kembali bertemu Avi. Dia sudah terlihat sehat. Aku senang melihat dia jauh lebih ceria.
Baru beberapa saat aku berbincang dengan Avi, tiba-tiba Mas Tedi datang menghampiri kami. Karena aku tak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku langsung pamit pulang pada Avi.
***

Seiring hari yang berganti, dan minggu yang berlalu. Ada banyak hal yang terjadi di sekelilingku.
Di tempat tinggalku, ramai berita tentang Dita yang di tinggalkan suaminya.

Di satu sisi, aku merasa lega. Karena itu berarti, Mas Tedi sudah sadar, bahwa selama ini dia memilih wanita yang salah. Tapi di sisi lain, ada perasaan yang sulit kugambarkan. Bila Mas Tedi meninggalkan Dita, bukan tidak mungkin dia akan kembali pada Avi.
Tapi, apa hakku mengkhawatirkan semua itu? Siapa aku?

Semenjak acara aqiqah di rumahnya, aku nyaris tak punya kesempatan untuk bertemu Avi.
Beberapa kali, aku mengantar Zaki pulang dari sekolah saat dia tak ada yang menjemput. Tapi jarang kujumpai Avi menyambut Zaki di depan pintu. Mungkin saat ini dia sibuk dengan bayinya. Pasti saat ini bayinya sudah besar.
Seringkali, aku mencoba membuka layar ponselku, mencari nomer kontak dengan nama Avi. Tapi yang mampu kulakukan, hanya melihat nama itu.
Saat hatiku meminta untuk menghubungi nomernya, di saat yang sama, logikaku membantah menanyakan alasannya.
Ya, aku tak punya keberanian untuk menelpon Avi tanpa alasan.
Setiap jam pulang sekolah, aku hanya bisa berharap agar Zaki tidak ada yang jemput. Entah apa yang sebenarnya kuinginkan.
Terkadang, aku sengaja datang ke rumah Mas Husni dengan alasan tak jelas. Dan pasti, kedatanganku itu menjadi sasaran empuk untuk ledekan Wa Maryam.
***

Hari ini, seperti biasa, di jam makan siang aku selalu duduk di depan bengkel, memperhatikan para anak sekolah yang menghambur keluar dari gerbang. Satu persatu dari mereka menghampiri orang tuanya, yang setia menunggu untuk membawa mereka pulang.
Ada salah satu sudut hati yang terusik melihat pemandangan itu. Andai aku laki-laki normal, mungkin aku bisa seperti mereka, menjadi orang tua yang setiap hari dengan senang hati mengantar jemput anaknya ke sekolah.

"Om," suara itu membuyarkan lamunanku.
"Hey, sudah pulang?" kedua tanganku membingkai wajah putih Zaki.
"Sudah Om."
"Kamu belum dijemput?" tanyaku.
"Enggak Om, hari ini Zaki gak dijemput. Katanya, istri Pak Ruslinya melahirkan," jawab Zaki.

Entahlah, tiba-tiba seperti ada pesta kembang Api di dalam hatiku.

"Ya sudah, Zaki tunggu. Om ambil kunci motor dulu," aku segera beranjak dari tempatku duduk.

Cepat-cepat ku ambil kunci motorku di laci meja kerjaku, dan segera kembali menghampiri Zaki.

"Mau jajan dulu gak?" tanyaku setelah berdiri di dekat Zaki.
"Emang boleh?" dia menoleh ke arahku.
"Boleh. Om yang traktir," timpalku.
"Zaki pengen beli Es Doger Om," ucapnya.
"Boleh," jawabku.
"Tapi kalau sama Bunda suka gak di bolehin Om, katanya takut batuk atau diare," terangnya jujur.
"Memangnya, kalau habis makan Es Doger, Zaki suka batuk sama diare?" tanyaku.
"Enggak, Bundanya aja yang terlalu khawatir," jawabnya.
"Ya sudah, Zaki beli aja. Nanti kalau batuk atau diare, Om yang bawa periksa ke dokter," timpalku.
"Bener ya Om," matanya berbinar, dia langsung berlari menuju penjual Es Doger yang mangkal di depan bengkelku.

Akupun mengikutinya. Cukup lama aku berdiri menunggu Zaki mendapatkan Es Dogernya.

"Wah pinter ya, Mas Mirza ini," sebuah suara mengagetkanku.

Aku segera menoleh, rupanya Pak Hamdan. Dia adalah Ayah dari temannya Zaki, masih tetangganya Avi.

"Yang diprospek anaknya dulu ya, biar lebih gampang dapat Ibunya," ucapnya, yang ditutup dengan tawa renyah.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Apa benar yang diucapkan Pak Hamdan itu? Tapi aku tak menyadarinya, aku hanya melakukan apa yang hatiku kehendaki.

"Sudah Om," Zaki mendekat dengan membawa Es Dogernya.

Aku langsung menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah pada penjual Es Doger itu.

"Sekalian sama yang itu," aku menunjuk pada anak Pak Hamdan yang juga sudah mendapatkan Es Dogernya.
"Wah, terimakasih Mas, sudah traktir anak saya," ucap Pak Hamdan yang berdiri di sampingku.
"Sama-sama Pak," jawabku.
"Tapi Fatir bukan sedang diprospek biar dapat hati ibunya kan?" goda Pak Hamdan.
"Ya bolehlah, kalau Ibunya mau sama saya," balasku.

Kami kemudian tertawa bersama-sama. Pak Hamdan memang orang yang ramah dan suka bercanda.
Aku kemudian langsung mengajak Zaki naik ke motor, sedangkan Pak Hamdan harus berjalan dulu, karena motornya diparkir agak jauh dari bengkelku.

Baru saja aku memutar kunci motorku, tiba-tiba sebuah suara memanggilku.

"Mas Mirza!" teriak suara yang sangat familiar di telingaku.

Aku langsung menoleh, mencari suara tersebut.

"Asti?"

Dia langsung berlari ke arahku, dan menarik tanganku agar segera turun dari motor.

"Tunggu sebentar," aku menahan tangan Asti agar tak lagi menarik tanganku.
Segera kubantu Zaki kembali turun dari motor, "Zaki tunggu dulu ya."
"Iya Om," jawabnya.

Kini tatapanku kembali pada Asti. Dia berdiri sambil menggendong seorang anak perempuan.

"Mas, kamu apa kabar?" matanya berkaca-kaca.
"Aku baik, sangat baik," aku seperti mati rasa.
"Aku mau bicara penting sama kamu, Mas," rengeknya tiba-tiba.
"Nanti saja, lebih baik kamu tunggu aku di sana," aku menunjuk sebuah kursi di depan bengkelku. "Aku mau mengantarkan Zaki pulang, sebentar."
"Gak bisa Mas, aku mau kita bicara sekarang. Aku takut kamu malah menghindar," Asti mencengkram lenganku.
"Tapi aku harus mengantarkan Zaki dulu, kasihan bila dia harus menunggu," pungkasku.
"Mas Mirza," motor Pak Hamdan menepi di samping motorku.
"Biar Zaki ikut dengan saya saja," dia menawarkan diri.

Sepertinya Pak Hamdan memahami kondisiku.

"Zaki gak apa-apa ya, pulangnya sama Pak Hamdan dulu," bujukku.
"Iya Om, gak apa-apa," Zaki menjawab disertai senyuman.

Aku semakin merasa bersalah.

"Pak, titip Zaki ya. Maaf, saya jadi merepotkan," ucapku pada Pak Hamdan.
"Santai saja Mas. Saya sebagai sesama laki-laki, sangat faham posisi Mas Mirza saat ini," godanya, sambil mengangkat sebelah alisnya.

Pak Hamdanpun kemudian berlalu, dengan membawa Zaki dan juga anaknya.

"Masuk," aku berjalan kedalam bengkel, yang kemudian diikuti oleh Asti.
"Ini bengkel punyamu, Mas?" tanya Asti, saat memasuki ruanganku.
"Iya," jawabku. "Ada perlu apa kamu datang kesini?"

Sepertinya aku tidak perlu berbasa-basi.

"Aku sudah pisah dengan Wira, Mas," ucapnya.
"Lantas, apa urusanku?"
"Wira tidak mau mengakui anak ini, Mas," Asti mulai memelas.

Aku terperangah. Lalu anak siapa?
Asti kemudian menceritakan, bahwa beberapa waktu lalu anaknya sakit, hingga beberapa kali darahnya harus di chek di laboratorium. Hingga, pada saat Wira mengetahui bahwa golongan darah anak itu tidak sama dengan golongan darah Ayah dan Ibunya, dia langsung menuduh bahwa anak itu bukan darah dagingnya.

"Dia pasti anak kamu, Mas," ucap Asti memelas. "Aku ingin kita kembali seperti dulu Mas, menjadi sebuah keluarga yang lengkap."

Aku terhenyak mendengar ucapannya.
Andai itu benar anakku, pasti aku akan sangat bahagia. Tapi aku harus tetap waspada, karena kini Asti sudah menjelma jadi wanita yang berbeda. Bukan lagi Asti, wanita sederhana yang kunikahi belasan tahun yang lalu.
***

Dulu, Asti berselingkuh setelah tau aku mandul. Bahkan, saat kami masih dalam proses perceraian, dia sudah hidup bersama Wira.
Dan beberapa bulan setelah kami berpisah, aku mendengar kabar bahwa dia sudah melahirkan. Bukan hal mustahil, bila anak itu ternyata anakku, karena saat dia menjalin hubungan dengan Wira, dia juga masih tinggal sebagai istriku.
Tapi, luka yang dia torehkan di hatiku sudah cukup banyak. Hingga aku merasa seperti mati rasa saat melihatnya.

"Lebih baik sekarang kamu pulang. Biar nanti aku datang ke rumah keluargamu untuk menyelesaikan semua ini," ucapku.
"Kenapa kamu jadi ketus gini sama aku Mas? Apa sudah ada wanita lain yang singgah di hati kamu saat ini Mas?" ucapannya seperti orang yang sedang menghiba.
"Kita bukan siapa-siapa lagi, bukankah kamu sendiri yang dulu berkata begitu. Dan, sedang ada atau tidak ada wanita lain di hatiku saat ini, itu sama sekali bukan urusan kamu," tuturku.
"Pulanglah!" perintahku.
"Tapi aku tidak ada kendaraan, harus diantar," rengeknya.

Asti memang manja, dulu aku sangat menyukai sikap manjanya. Tapi saat ini, aku justru merasa muak melihat hal itu.

"Agus!" panggilku.
"Iya Bos," salah satu pegawaiku datang.
"Antarkan dia pulang ke kampung sebelah," perintahku, sambil memberikan kunci motorku pada Agus.
"Siap Bos," jawabnya.
"Pulanglah," kulirik ke arah Asti yang sedang mencebik.
***

Sore ini, sepulang dari bengkel, aku langsung menemui Wa Maryam.

"Assalamualaikum," ucapku, sambil langsung masuk ke rumah Wa Maryam.
"Waalaikum salam," aku di sambut oleh Mas Husni.
"Uwanya ada Mas?" tanyaku.
"Apa?" tiba-tiba Wa Maryam muncul dari pintu dapur.
"Kamu itu kalau mau ketemu Avi, langsung saja ke rumahnya, jangan pake alasan mampir kesini," seloroh Wa Maryam.
"Bukan Wa, ini bukan urusan Avi," timpalku.
"Terus urusan siapa?" tantang Wa Maryam.
"Asti," jawabku.
Seketika mata Wa Maryam melotot, "Ada urusan apa lagi kamu dengan perempuan jalang itu?"

Aku kemudian menceritakan tentang kedatangan Asti ke bengkelku. Kuberitahu Wa Maryam tentang anak perempuan yang dibawa Asti, dan dia sebut sebagai anakku.

"Apa kamu yakin, kalau anak itu anak kamu?" tanya Wa Maryam.
"Entahlah Wa, aku sendiri bingung," jawabku.
"Kamu harus sangat hati-hati, za," Mas Husni membuka suara. "Karena ini menyangkut keturunan, apalagi anak itu perempuan. Bila ternyata Asti berbohong, maka itu akan membuat keliru tentang hak waris dan perwaliannya kelak, yang akhirnya akan menjadi rantai dosa."
"Iya Mas, maka dari itu, aku datang kesini untuk minta jalan keluar," ucapku.
"Besok kita ke rumah keluarga Asti. Kita minta tes DNA. Dan kamu za, kamu harus melakukan cek kesehatan lagi. Kalau hasilnya tetap sama seperti dulu, berarti Asti hanya ingin memanfaatkan kamu," tutur Wa Maryam.
"Iya Wa," jawabku.
"Dan nanti, andai kata anak itu benar anak kamu. Uwa tetap tidak akan mengizinkan kamu kembali rujuk dengan Asti. Ingat itu za!" tegas Wa Maryam.
"Lalu bagaimana dengan anak itu, Wa?" tanyaku.
"Biar Uwa yang mengasuhnya bila Asti tidak mau. Ingat za, bagaimana dulu Asti menginjak-nginjak harga dirimu sebagai laki-laki, tidak perlu kamu beri kesempatan kedua untuk perempuan jalang seperti dia," ucap Wa Maryam.
"Iya Wa."

Akupun langsung pamit pulang, karena hari mulai gelap.
***

Selepas sholat isya. Aku duduk di kursi di teras rumahku. Memandang langit malam yang dibumbui kerlipan Bintang.
Kini, salah satu sudut hatiku sudah jauh lebih tenang, karena sudah mendapat solusi untuk urusan Asti. Tapi, di sudut hati yang lain, ada rasa khawatir yang sulit kugambarkan.

Zaki, tadi dia melihat apa yang terjadi antara aku dan Asti. Apa mungkin dia akan menceritakannya pada Avi. Entahlah, rasanya hatiku khawatir, bila Zaki menceritakan apa yang dia lihat pada Avi. Aku takut Avi salah faham dengan kedatangan Asti.

Bersambung #13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER