Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 10 November 2021

Madu Pahit #13

Cerita Bersambung

[POV.Avi]
Aku duduk di depan televisi, sambil memeluk Tazki yang mulai terlelap di pangkuanku. Adzan isya sudah terdengar dari beberapa menit yang lalu, sepertinya sebentar lagi putraku pulang.

Sekarang dia sudah tidak perlu dijemput saat pulang mengaji, malu katanya. Saat ini putraku sudah kelas lima, jadi bila masih dijemput, dia akan diejek oleh teman-temannya karena dianggap penakut.

"Assalamualaikum," suara putraku sambil membuka pintu.
"Waalaikum salam," jawabku.


Zaki berlalu masuk ke kamarnya untuk berganti baju, setelah sebelumnya mencium punggung tanganku.

"Bunda," kini dia duduk di sampingku dengan baju tidurnya.
"Apa sayang?"
"Tadi pas Zaki mau berangkat ngaji, Zaki ketemu Om Mirza lho," dia menceritakan dengan antusias.

Aku pura-pura melihat pada layar Televisi, dan mengarahkan remot untuk mengganti tayangan yang sedang kutonton. Aku tau Zaki ingin menggodaku.

"Kayaknya, Om Mirza habis ngobrol serius sama Ustadz Husni dan Nenek Maryam," Zaki tetap melanjutkan kalimatnya.

Aku hanya memicingkan mata. Berusaha agar Zaki tak menangkap reaksiku.
Ngobrol serius? Apa mungkin ada hubungannya dengan kedatangan Asti tadi siang?
Entah kenapa, tiba-tiba seperti ada gemuruh di dalam dadaku. Bayangan Asti seolah menjadi sesuatu yang mengganggu pikiranku.

"Bunda tenang aja, kayaknya Om Mirza gak suka sama tante itu," celetuk Zaki tiba-tiba.

Dia seperti sedang menebak-nebak isi kepalaku. Akupun tidak tau harus menjawab apa, karena sesungguhnya aku sendiri tidak faham dengan perasaanku.
***

Malam sudah larut, aku berbaring di kamarku bersama Tazki, sedangkan Zaki tidur di kamarnya sendiri.

Saat jam menunjukan jam satu malam, lamat-lamat kudengar suara pintu yang dibuka tutup, bahkan aku mendengarnya beberapa kali.
Karena takut ada sesuatu yang tidak diinginkan, akupun segera beranjak dari tempat tidur untuk memeriksa keluar. Aku melangkah, menuju sumber suara yang sepertinya dari dapur.

"Bunda," rengek putraku yang baru keluar dari kamar mandi.
"Kamu kenapa?" tanyaku khawatir.
"Zaki sakit perut, BAB terus udah tiga kali," wajahnya terlihat meringis.

Aku berlalu ke kamar mengambil minyak angin. Akupun segera membalur perut Zaki dengan minyak angin, dan memijat lembut punggungnya agar Zaki merasa nyaman. Dulu, saat aku masih kecil, ibu selalu memijat lembut punggungku bila aku sakit perut.
Dalam semalam, Zaki sudah enam kali buang air besar. Aku mulai khawatir.

Jam 07.00
Aku berniat ke rumah Mas Andra, memintanya mengantar Zaki ke rumah sakit, tapi Zaki melarangku. Katanya dia tidak mau diantar oleh Omnya.

"Kenapa gak mau, sayang?"
"Zaki gak mau diantar sama Om Andra," rengeknya.
"Kenapa?" tanyaku heran.

Zaki hanya menggelengkan kepala.

"Ya sudah, diperiksanya sama Bunda. Nanti Bunda titipin Tazki ke Tante Lisa," ujarku.
"Jangan sama Bunda!" ucapnya.
"Terus mau sama siapa?"
"Sini, Zaki pinjam HP Bunda," dia mengulurkan tangan.

Walau merasa heran, aku segera memberikan ponselku ke tangan Zaki. Dan aku yang duduk di sampingnya, bisa melihat, apa yang dia cari di layar ponselku.

'Kak Mirza?'
Zaki menghubungi nomer kontak atas nama Kak Mirza. Apa maksudnya?

"Om," rengeknya pada suara di sebrang sana.
"Semalaman Zaki diare, katanya Om siap tanggung jawab antar Zaki ke dokter," ucapnya kemudian.
Aku mengernyitkan dahi. Tanggung jawab? Memang apa yang sudah Kak Mirza lakukan.

"Zaki tunggu ya, Om."

Zaki langsung menutup teleponnya, dan mengembalikan ponselnya padaku.

"Kenapa harus minta diantar Om Mirza?" tanyaku.
Zaki hanya menggeleng.

"Terus tadi maksudnya tanggung jawab itu apa? Emang Om Mirza ngapain?" desakku.
Zaki hanya menatapku dengan wajah panik.

"Ayo jujur, jangan buat Bunda marah beneran," ancamku.
"Kemarin Om Mirza beliin Zaki Es Doger di pinggir jalan," ucapnya sambil tertunduk. "Om Mirza bilang akan tanggung jawab, kalau Zaki batuk atau diare."

Aku menghembuskan nafas kasar. Rupanya sekarang Zaki sudah punya tempat berlindung baru, selain Kakek dan Neneknya.
Bergegas ke kamar Zaki, kuambil jaket dan sandal untuk dia pakai ke rumah sakit. Lalu kuambil dompet di kamarku, menyiapkan uang yang akan kutitipkan pada Kak Mirza untuk biaya berobat Zaki.

Tak butuh waktu lama, suara motor Kak Mirzapun terdengar berhenti di depan rumah.
Zaki langsung membuka pintu, dan menghambur ke arah Kak Mirza yang baru saja turun dari motornya.

"Om," Zaki sangat antusias.
"Kamu kenapa?" Kak Mirza membingkai wajah Zaki dengan kedua tangannya.
"Zaki diare Om, semalaman sampai berkali-kali ke kamar mandi," terang Zaki.
"Ya sudah, kita ke dokter sekarang, biar cepat sembuh," ujar Kak Mirza.

Aku hanya berdiri, memperhatikan mereka dari teras rumahku. Kak Mirza kemudian menoleh, dia berjalan ke arahku.
Entahlah, sepertinya hembusan angin yang menerpa wajahku, jadi terasa jauh lebih sejuk dari sebelumnya.

"Cantik," sapa Kak Mirza.
Aku terperangah kaget. Bagaimana mungkin dia berkata seberani itu kepadaku?
Lalu tangannya terulur, dan ... mencubit gemas pipi gembil Tazki yang berada di gendonganku.

Rupanya aku salah faham!

"Sudah besar ya," ucap Kak Mirza. "Sudah bisa apa sekarang?" imbuhnya.
"Lagi belajar tengkurap," jawabku.

Lidahku rasanya kaku, padahal niatnya aku ingin marah pada Kak Mirza, karena dia sudah membuat Zaki diare semalaman.

"Vi," ucapnya.

Aku melihat matanya sekilas, kemudian kembali menunduk. Ada rasa yang berbeda di dadaku saat menatap mata teduh itu.

"Maaf ya, kemarin aku nawarin Zaki jajan, terus dia mintanya beli Es. Gak nyangka bakal diare beneran," tuturnya.

Aku kemudian menatap Zaki yang berdiri di samping Kak Mirza. Kalau memang hanya jajan Es, biasanya Zaki tidak akan langsung diare. Pasti ada makanan terlarang lain yang dia beli di sekolah.

"Selain Es, kemarin Zaki beli apa di sekolah?" aku menatap Zaki tajam.

Dia hanya menggeleng, kemudian menenggelamkan wajahnya di balik lengan Kak Mirza.

"Zaki pasti bohong kan?" desakku.

Kak Mirza kemudian menarik lengannya yang menghalangi wajah Zaki, lalu merangkul pundak Zaki.

"Ayo, kamu jujur sama Om. Kemarin di sekolah beli apa sebelum beli Es sama Om? Masa makan Es Doger aja langsung diare," tutur Kak Mirza.
"Kemarin, uang yang Bunda kasih buat beli bubur, Zaki beliin gado-gado," ucapnya sambil terus menunduk.
"Terus Zaki minta cabenya yang banyak," tudingku.

Zaki mengangguk ragu. Ya, putraku itu sangat suka makanan pedas. Terkadang beli buburpun dia sering pake sambal cukup banyak.
Terkadang, aku hanya memberi tambahan uang pada Zaki untuk membeli sarapan di sekolah. Kerepotan mengurus Tazki dan mempersiapkan Zaki pergi ke sekolah di pagi hari, membuatku jarang sempat mempersiapkan sarapan untuknya.

Dulu, pada saat melahirkan, Umi memang sempat mengirimkan ARTnya ke rumahku. Tapi tidak sampai dua bulan, aku memintanya kembali ke rumah Umi. Tidak enak rasanya, karena aku sudah bukan istri Mas Tedi.
Dan lagi aku malu pada tetangga. Bila di rumah kecilku yang hanya terdiri dari dua kamar ini, harus memakai jasa ART yang gajinya dibayarkan oleh orang lain.

"Vi," suara Kak Mirza membuyarkan lamunanku.
"Kamu pucat. Sakit?" tanyanya.
"Tidak," jawabku.
"Bunda kurang tidur Om. Tadi malam nemenin Zaki," timpal putraku.
"Sebaiknya sekarang kamu istirahat," Kak Mirza menatapku. "Biar Zaki aku yang urus."
"Iya," entah kenapa, rasanya aku seperti mati gaya.
"Oh iya Vi, barangkali kamu mau nitip sesuatu? Sekalian aku pergi," tawar Kak Mirza.
"Enggak."

Aku kemudian mengeluarkan uang 300 ribu rupiah dari saku gamisku, dan menyodorkannya di depan Kak Mirza.

"Ini uang untuk periksanya Kak."
"Tidak usah," tolaknya.
"Bawa saja dulu Kak, aku tidak mau terlalu merepotkan," ucapku.
"Pakai saja uangnya untuk kamu dan anak-anak," dia hanya tersenyum, kemudian berlalu sambil merangkul putraku.
"Assalamualaikum, Bunda," Zaki melambaikan tangan, sambil mengikuti langkah Kak Mirza menuju motornya.

Setelah motor Kak Mirza menghilang di persimpangan, akupun langsung masuk ke rumah. Betul kata Kak Mirza, sebaiknya aku istirahat.
Memastikan Tazki sudah terlelap di pangkuanku, akupun segera meletakan tubuhnya di atas kasur, dan menyusulnya ke alam mimpi.
***

"Bunda ... Bunda ... Bunda," perlahan, suara itu terdengar semakin jelas di telingaku.
"Zaki," dia menepuk-nepuk pundakku.

Rasanya, aku baru saja terlelap, tapi Zaki sudah pulang dari dokter. Aku segera bangkit, dan duduk di sisi ranjang.

"Om Mirzanya mana?" tanyaku.
"Cie ... kangen ya," goda putraku.
"Bunda kan mau nanyain hasil periksanya," sanggahku.

Zaki langsung berlari keluar. Aku segera memakai jilbab, dan mengekorinya.

"Om, Bunda nyariin tuh. Kangen katanya," seloroh Zaki.

Aku hanya menganga mendengar ucapan putraku. Dia berhasil membuat muka bantalku ini memerah.
Namun, di luar sana kulihat Kak Mirza hanya tersenyum menanggapi celotehan Zaki tadi.

"Kamu lagi tidur ya?" tanya Kak Mirza.
Aku hanya menanggapinya dengan anggukan.

"Wah, maaf aku jadi mengganggu," ucapnya.
"Tidak apa-apa."

Sementara itu, Zaki terus menatapku dan Kak Mirza secara bergantian. Dia sangat antusias menyaksikan obrolanku dan Kak Mirza.

"Ini obat untuk Zaki. Itu ada obat mual, obat diare, dan vitamin lambung," terang Kak Mirza.
"Yang vitamin lambungnya, diminum sehari satu kali saja," imbuhnya.
Aku mengangguk.
"Yang ini buat kamu," Kak Mirza menyodorkan satu kantong buah-buahan, dan satu kantong plastik berisi obat.
"Ini obat apa?" tanyaku.
"Itu vitamin, buat kamu. Biar tetap sehat saat jagain anak-anak," jawabnya.
"Tapi--" kalimatku menggantung.
"Itu aman, aku minta langsung dari klinik dokter Nancy," jelas Kak Mirza.

Aku terperangah. Dia rela, membelikan vitamin untukku sampai ke klinik dokter Nancy.

"Aku langsung pulang ya, ada urusan lain," ucapnya.
"Om mau ke bengkel ya?" timpal putraku.
"Om mau ke rumah A--" matanya kemudian menoleh sekilas ke arahku.
"Ke rumah Asti," kalimat itu tiba-tiba meluncur dari mulutku.
"I-iya," ragu Kak Mirza menjawabnya. "Aku ada sedikit urusan."
"Banyak juga gak apa-apa."

Entahlah, kenapa tiba-tiba aku merasa tak nyaman dengan jawaban Kak Mirza tadi. Tapi apa urusanku? Apapun yang dilakukan Kak Mirza dengan Asti, aku tidak ada urusan apa-apa.

"Vi," suaranya terdengar kaku.
Aku hanya meliriknya sekilas, tak mau terjebak dengan tatapan teduh itu.

"Aku pamit ya. Besok kalau Zaki mau masuk sekolah, telepon aku saja. Biar aku jemput," ucapnya ragu.
"Siap Om," timpal Zaki dengan antusias.
"Assalamualaikum," dia kemudian berlalu.
"Waalaikum salam."

Aku segera mengajak Zaki  masuk. Saat di ruang tamu, aku terkejut, melihat satu kantong besar berisi cemilan di atas meja.

"Itu punya siapa?"
"Punya Zaki," jawab putraku.

Zaki kemudian membawa kantong besar itu ke atas karpet di ruang tengah. Dia lalu mengeluarkan semua isinya.

"Ini semua dari Om Mirza?" tanyaku.
"Iya," Zaki terlihat begitu bahagia.

Zaki kemudian menceritakan bahwa tadi sebelum ke rumah sakit, Kak Mirza terlebih dahulu membawanya ke sekolah untuk izin pada wali kelas karena hari ini Zaki tidak masuk.
Dan setelah dari rumah sakit, Kak Mirza membawa Zaki ke klinik dokter Nancy, untuk meminta resep vitamin yang aman untuk ibu menyusui sepertiku. Kemudian Zaki di ajak ke mini market untuk membeli semua cemilan yang dia mau.

"Terus kenapa Zaki ngambil makanan sebanyak ini?" tanyaku.
"Enggak kok, ini kebanyakan Om Mirzanya yang ambilin. Katanya buat Bunda juga," sanggah Zaki.
"Om Mirza bilang, Bunda sekarang kurusan, jadi harus banyak makan," dia bicara seperti orang tua yang sedang menasehati anaknya.

Ada sisi hati yang tersentuh atas semua yang kusaksikan hari ini. Sebenarnya aku tidak mau bila Kak Mirza terlalu berlebihan memanjakan Zaki, karena aku takut akan menjadi gunjingan orang.
Tapi, aku tak tega menghapus kebahagiaan dari wajah anakku. Dia seringkali iri dengan teman-temannya yang pergi jalan-jalan, atau sekedar jajan di pinggir jalan dengan diantar Ayahnya. Sementara anakku tidak bisa seperti itu.
Pikiranku menerawang. Benar, sekarang tubuhku jadi lebih kurus. Bagaimana tidak, semua kulakukan sendiri. Walau kini aku tak lagi tertekan secara batin, tapi tak kupungkiri, akhir-akhir ini aku cukup lelah secara fisik.
Mungkin bila Tazki sudah lebih besar, aku akan kembali membuat kue untuk disimpan di warung-warung, agar aku memiliki penghasilan. Tak enak rasanya, bila aku harus terus mengandalkan uang pemberian dari Umi juga Ibu, apalagi sekarang aku sudah bukan bagian dari keluarga mereka.
***

Malam telah larut, anak-anakku sudah terlelap dalam buaian mimpi. Sekarang Zaki sudah terbiasa tidur di kamarnya sendiri, demi adiknya, agar tidak harus ikut tidur di depan televisi yang hanya beralaskan kasur lantai.
Aku duduk bersandar pada kepala ranjang, di sampingku ada Tazki yang sedang tidur dengan posisi tak karuan. Di usianya yang sudah jalan empat bulan ini, dia memang sedang lincah-lincahnya. Banyak hal baru yang bisa dia lakukan.
Saat mataku sedang asik memandang Tazki, tiba-tiba ponsel di atas meja rias, yang berada tepat di samping tempat tidurku itu berbunyi, menandakan ada pesan masuk.

'Kak Mirza.'
Segera kubuka pesan tersebut.

[Vi.]
Aku mengernyitkan dahi.

'Singkat sekali' batinku.

Entah kenapa, rasanya aku antusias sekali mendapat pesan dari Kak Mirza. Segera kuketik pesan balasan.
[Iya Kak]

Kemudian, layar poselku menunjukan bahwa Kak Mirza sedang menulis pesan. Aku menunggu beberapa lama, namun tak ada pesan balasan darinya.
Bukankah tadi dia sedang menulis pesan balasan. Hatiku tiba-tiba menciut. Aku jadi ingat Asti, ada apa sebenarnya antara mereka?
Kenapa Asti kemarin ke bengkel Kak Mirza?
Terus, kenapa tadi pagi Kak Mirza bilang ada sedikit urusan, hingga harus ke rumah Asti?
Hatiku jadi terasa tak karuan, entahlah. Aku segera membaringkan tubuhku di samping Tazki, berusaha agar segera terlelap. Tak mau terus memikirkan sesuatu yang bukan urusanku.

Tapi sulit!
Bayangan wajah Kak Mirza dan Asti terus berputar di kepalaku, dan berhasil membuat perasaanku tak nyaman.
***

Pagi menjelang, aku berkutat dengan rutinitasku yang cukup menguras tenaga dan pikiran.

Saat tanganku sedang sibuk memasukan baju kotor ke dalam mesin cuci, terdengar ponselku berdering dari dalam kamar.

"Biar Zaki yang angkat, Bunda," putraku yang sedang sarapan, langsung beranjak menuju kamarku.

Aku melanjutkan pekerjaanku. Tak berapa lama Zaki kembali keluar dari kamar.

"Bunda, Zaki hari ini sekolah ya," ucapnya.
"Yakin?"
"Iya, kan udah sembuh," timpalnya.
"Ya sudah, cepat ganti baju."

Belum sempat aku menanyakan siapa yang menelpon, Zaki sudah terlanjur masuk ke kamarnya.
Akupun segera membereskan bekas sarapan Zaki, sambil membawa Tazki yang setia berada dalam gendongan.

Saat aku hendak mengeluarkan motor dari ruang tamu, terdengar suara deru motor yang masuk pekarangan rumahku.

"Bunda gak usah ngeluarin motor. Selama Pak Rusli gak ada, Zaki akan diantar jemput sama Om Mirza," terang putaraku, yang sudah rapih dengan seragam sekolahnya.
"Hah, Zaki yang minta?" tanyaku.
"Enggak, kan Om Mirza yang nawarin," jawabnya.

Benarkah? Kenapa Kak Mirza baik sekali pada Zaki.

"Assalamualaikum," pria bermata teduh itu sudah berdiri di teras rumahku.
"Waalaikum salam, Om," Zaki langsung menghambur dan berdiri di samping Kak Mirza.

Aku segera berjalan menghampiri mereka. Senyum lebar terkembang di bibir keduanya.

"Zaki berangkat ya, Bunda," pria kecilku meraih tanganku untuk diciumnya.

Dia langsung berlari dengan semangat, menuju motor matic besar keluaran terbaru milik Kak Mirza. Sepertinya motor itu dibeli Kak Mirza baru-baru ini, karena sebelumnya dia tak pernah memakai motor itu.

Kini tatapanku beralih pada pria bermata teduh di hadapanku. Ada banyak kata yang sebenarnya ingin kutanyakan padanya, tapi lidah ini rasanya kaku sekali. Belum lagi saat mata teduhnya menatapku, rasanya semua kata yang sudah kupikirkan menjadi hilang tak bersisa.
Sementara aku masih bergelut dengan kekakuanku, pria di hadapanku justru melemparkan sebuah senyum hangat.

"Sebelum ojeg yang antar jemput Zaki kembali berkerja, biarkan aku yang menggantikannya," tuturnya.
"Tapi, apa Kak Mirza tidak repot, bila harus kesini setiap pagi? Jarak dari bengkel kesini kan lebih jauh, dari pada jarak dari bengkel ke rumah Kak Mirza," ucapku.
"Selama aku tidak merasa repot, kamu juga tidak perlu merasa merepotkan," dia kembali melempar senyum. "Aku pamit, assalamualaikum."
"Waalaikum salam."

Dia lalu pergi, setelah sebelumnya melemparkan senyum pada Tazki yang berada di gendonganku.

Setelah Zaki dan Kak Mirza tak lagi terlihat, aku langsung masuk ke rumah. Aku duduk di depan televisi, dan meletakan Tazki di kasur kecilnya.
Ada perasaan aneh yang sulit kugambarkan, baru kali ini aku kembali merasakan debaran yang membuat pipiku teasa merah dan menghangat.

'Asti?'
Nama itu meredupkan kembali debaran di hatiku. Ada apa dengan hatiku?
Apa sebenarnya aku mencintai Kak Mirza?
Masih pantaskah?
Aku terus sibuk dengan pikiranku sendiri. Sungguh, aku merasa sudah tak pantas jatuh cinta, apalagi pada pria sebaik dan setampan Kak Mirza. Aku hanya janda dua kali, yang memiliki dua anak dari dua Ayah yang berbeda.

Suara ponsel membuyarkan lamunanku, aku segera beranjak mengambil ponsel yang berada di kamar.

Mas Tedi!
"Assalamualaikum, Mas," sapaku.
"Waaalaikum salam," jawab suara di ujung sana.
"Ada apa Mas?" tanyaku.
"Hari ini boleh aku datang ke rumah," jawabnya. "Aku rindu pada anak kita."

Anak kita? Entahlah, rasanya sebutan itu seperti menyiratkan sesuatu.

"Silahkan Mas. Tapi nanti siang saja ya, setelah Zaki pulang sekolah."

Aku tidak mau kedatangan Mas Tedi menjadi bahan gunjingan orang lain. Karena semenjak Mas Tedi meninggalkan Dita, semua tetangga berpikir bahwa kami akan kembali rujuk. Tidak, aku tidak mau terjerumus pada rasa sakit yang sama. Apalagi bila alasan kami rujuk karena kehadiran Tazki. Aku tidak mau putriku di peralat hanya demi harta warisan.
Lebih baik aku tetap sendiri, membesarkan kedua anakku tanpa kehadiran seorang ayah.

"Baiklah, aku akan datang setelah Dzuhur nanti."

Teleponpun kami tutup. Hampir setiap minggu Mas Tedi menemui Tazki, tapi dia lebih sering datang bersama keluarganya. Hubungan mereka jadi lebih baik, setelah Mas Tedi dan Dita berpisah.
***

Adzan Dzuhur berkumandang. Belum sempat aku berwudhu, tiba-tiba terdengar deru motor berhenti di depan rumahku. Sepertinya Zaki sudah pulang.

"Assalamualaikum," suara itu.
"Waalaikum salam," aku bergegas membuka pintu.
"Mas," aku mempersilahkan dia duduk di kursi teras, karena Zaki belum pulang sekolah.
"Tazki mana, aku sudah tidak sabar ingin bertemu dia," ucap Mas Tedi.
"Sebentar," aku segera masuk membawa Tazki yang sedang bermain di ruang tengah.
"Ini Mas," aku membawa Tazki ke hadapan Mas Tedi.
Dengan antusias, Mas Tedi mengambil Tazki dari gendonganku, "wah, anak cantik Ayah baru bangun tidur ya."

Mataku terus memperhatikan jalanan, seperti ada sebuah kekhawatiran yang tak bisa kufahami sendiri.

"Ada apa, Vi? Kamu nunggu Zaki?" tanya Mas Tedi yang heran melihatku celingukan.
"Hah ... iya Mas, tumben dia lama," jawabku asal.
Sebenarnya bukan itu yang kupikirkan. Entahlah.

Tak berapa lama, sebuah motor matic besar yang ditumpangi Zaki berhenti di depan rumahku. Tiba-tiba detak jantungku terasa lebih cepat dari sebelumnya.

"Assalamualaikum," Zaki yang baru turun dari motor, langsung mencium punggung tanganku dan Mas Tedi.
"Waalaikum salam," aku dan Mas Tedi menjawab serempak.

Aku melihat ke arah Kak Mirza, lidahku terasa kelu, ada perasaan yang sulit kugambarkan. Diapun melihat ke arahku dan Mas Tedi secara bergantian.

"Aku langsung pulang ya, vi. Assalamualaikum," Kak Mirza langsung melajukan motornya menjauh dari rumahku.
"Waalaikum salam," rasanya seperti ada sesuatu yang menekan di kerongkonganku.
"Zaki ganti baju dulu ya Bunda, Om," pamit Zaki.

Aku tau dia tidak suka dengan kedatangan Mas Tedi, tapi dia tidak begitu menampakannya.
Suasana canggungpun tercipta di antara aku dan Mas Tedi. Semuanya sangat sulit kugambarkan. Padahal,  antara aku dan Mas Tedi sudah tidak ada apa-apa, begitupun antara aku dan Kak Mirza juga tidak ada apa-apa. Tapi kenapa semuanya jadi terasa aneh.
***

Sepulang Zaki dari TPQ, kami duduk di ruang tengah sambil menikmati cemilan yang dibelikan Kak Mirza kemarin. Dari siang tadi putraku itu terlihat murung.

"Zaki kenapa?" tanyaku.
"Zaki gak suka kalau Om Tedi datang kesini," jawabnya ketus.
"Tapi kan dia Ayahnya Tazki, sayang," kucoba memberi pengertian.
"Kenapa gak datang sama Umi, atau Tante Yana?" timpalnya.

Aku mulai faham maksud ucapannya, "kemarin-kemarin Om Tedi juga pernah datang kesini sendirian, tapi Zaki gak marah. Terus, kenapa yang sekarang marah?"

Dia tertegun sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Nanti kalau Om Tedi mau ketemu Tazki lagi, suruh datangnya sore, jangan siang," jawabnya datar.

Aku mulai bingung dengan jawabannya. Dia berbicara seperti orang dewasa.

"Itu bukan jawaban dari pertanyaan Bunda tadi lho," godaku.

Kini wajahnya terlihat marah.

"Zaki gak mau Om Mirza melihat Bunda sedang bersama Om Tedi," matanya mulai berembun.
"Kenapa?"
"Zaki mau Om Mirza jadi Ayah Zaki."

Kulihat air matanya tumpah, dan dia langsung berlari masuk ke kamarnya.
Tiba-tiba buliran beningpun turut menggenang di sudut mataku. Aku faham betul apa yang Zaki harapkan.
Dia kehilangan sosok Ayah, saat usianya baru lima tahun. Hanya sedikit saja kebersamaan yang bisa dia kenang bersama Mas Andi. Dan di saat aku bersama Mas Tedi, tidak banyak, hal yang dilakukan Mas Tedi untuk membahagiakan Zaki.

Tapi kini, bersama Kak Mirza, Zaki benar-benar menemukan sosok pria dewasa yang bisa dia banggakan. Jujur, melihat bagaimana cara Kak Mirza memperlakukan Zaki, akupun turut bahagia. Rasanya, aku tak mau senyum di wajah pria kecilku itu terhapus lagi.

Aku beranjak ke tempat tidur, membaringkan tubuhku di samping Tazki. Ingatanku terus tertuju pada Kak Mirza, tadi siang dia tidak turun dari motor, bahkan untuk sekedar mencubit pipi Tazki.
Dia pasti salah faham. Ah, tapi apa urusanku. Memangnya aku siapa? Dia juga siapa? Di antara kita tidak ada apa-apa.
Bukankah kemarin dia sudah dari rumah Asti. Aku gemas pada perasaanku sendiri. Kenapa harus memikirkan pria yang belum tentu memikirkanku.

Mas Tedi?
Sikapnya berubah, tak sedingin dulu. Ada banyak hal tersirat dari setiap ucapannya. Tapi aku tak begitu perduli, biarlah.
***

Beberapa hari berikutnya, Kak Mirza masih mengantar jemput Zaki. Tapi dia tak pernah lagi turun untuk menyapaku dan Tazki. Apa mungkin karena kedatangan Mas Tedi.
Dan setelah Pak Rusli kembali berkerja, Zakipun sudah tidak pernah di antar oleh Kak Mirza lagi.

Sering kali aku membuka layar ponselku, untuk sekedar melihat chat terakhir darinya. Padahal saat itu aku berpikir bahwa Kak Mirza mungkin ingin menjelaskan tentang tujuannya pergi ke rumah Asti. Ah, mungkin aku saja yang terlalu berlebihan menanggapi kebaikannya pada Zaki.

Seharusnya aku jangan berani berharap pada siapapun, agar tidak perlu sakit hati bila ternyata yang terjadi tidak sesuai harapan.
***

Hari berganti, minggu berlalu. Aku nyaris tak pernah melihat Kak Mirza lagi. Pernah sesekali dia mengantar Zaki pulang, tapi hanya sampai di depan halaman rumah dan langsung pergi lagi. Akupun hanya berani mengintipnya di balik jendela.

Sungguh, aku benci perasaanku.

==========

[POV.Mirza]
Beberapa hari ini terasa menjadi beban yang mengganggu perasaanku. Kedatanganku ke rumah Asti dua hari yang lalu, disambut hangat oleh keluarganya, mereka sangat yakin bahwa anak perempuan itu adalah anakku. Mereka juga berpikir bahwa aku akan kembali menerima Asti begitu saja.
Tidak, sekalipun anak itu memang anakku, aku tidak akan rujuk dengan Asti.

Keluarga Asti menolak untuk melakukan test DNA, karena mereka percaya bahwa putrinya adalah wanita baik-baik. Dulu mungkin iya, tapi sekarang aku sudah tak yakin.
Akhirnya aku, Wa Maryam, dan Mas Husni pulang dari rumah Asti tanpa hasil yang jelas.

Belum hilang lelah hatiku karena urusan Asti, tiba-tiba aku harus menyaksikan pemandangan tak menyenangkan saat mengantarkan Zaki pulang sekolah tadi siang. Aku masih belum faham dengan perasaanku, tapi yang pasti, ada gemuruh yang menyesakan dada saat aku melihat Avi dan Tazki sedang bersama Mas Tedi.
***

Pagi-pagi sekali aku sudah di bengkel, menitipkan semua pekerjaan pada pegawaiku, karena pagi ini aku akan ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatanku, lebih tepatnya kesuburanku.
Sejak tadi malam, Wa Maryam terus menerrorku, mengingatkan agar aku tak lupa untuk pergi ke rumah sakit pagi ini.

Sekitar jam enam lebih, aku sudah memacu motorku untuk berangkat ke Rumah Sakit di pusat kota. Karena hanya di sanalah aku bisa menemukan dokter Urologi.

Setelah lebih dari 45 menit menempuh perjalanan, akhirnya aku sampai tujuan. Aku segera mendaftar untuk kemudian menunggu giliran periksa.
***

Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, mulai dari pemeriksaan fisik dan analisis sp3rma, kini aku diminta menunggu untuk mendapatkan hasilnya. Cukup rumit dan melelahkan.

Tiba-tiba ponsel di saku celanaku berbunyi, saat ku cek, tertera nama Mas Husni disana.

"Assalamualaikum, Mas," sapaku.
"Waalaikum salam, Za. Ini Uwa. Gimana? Udah ada hasilnya? Masih sama kayak dulu? Atau sekarang hasilnya beda?" Pertanyaan Wa Maryam, memberondongku.
"Belum Wa, ini masih menunggu hasilnya," jawabku santai.
"Kok lama sekali, padahal kamu berangkat dari tadi pagi," gerutunya.
"Memang prosesnya ribet Wa," timpalku.
"Ya sudah, kalau sudah ada hasilnya, langsung kasih tau Uwa!" Dia seolah memberi ultimatum.
"Iya Wa," jawabku.
'Tut ... tut ... tut ....' Sambungan teleponnya langsung terputus. Pasti karena jari Wa Maryam yang asal sentuh.
Aku hanya tersenyum, Wa Maryam memang sering begitu saat bicara di telepon.
***

"Ini maksudnya apa?" teriak Asti, sambil melempar surat keterangan hasil test kesuburanku.

Saat ini, aku dan Wa Maryam sedang berada di rumah keluarga Asti, menunjukan hasil test kesuburanku.

"Itu hasil pemeriksaanku kemarin. Dokter bilang, kondisiku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu. Kualitas sp3rmaku buruk, jadi aku tidak bisa punya keturunan," tuturku tegas.
"Maksud kamu apa?" tanya Pak Herman ayah Asti, yang duduk di samping anaknya.
"Saya rasa Bapak bisa menyimpulkannya sendiri," jawabku.
"Jadi, kamu menuduh putriku sudah berzina!" mata tuanya menatapku tajam.
"Saya tidak bicara begitu." Aku berusaha tetap tenang.
"Dengan kamu tidak mengakui Tiara sebagai anakmu, itu berarti kamu sudah menuduh Asti berzina dengan pria lain." Nada suara Pak Herman kian meninggi.
"Bukankah anak itu lahir dari pernikahan Asti bersama Wira?" ucapku penuh penekanan.

Kutatap wajah wanita yang pernah menjadi istriku. Sungguh, di wajahnya sama sekali tidak ada rasa malu atas apa yang sedang terjadi saat ini.
Pak Herman terdiam, sepertinya dia kehilangan kalimat untuk menimpali ucapanku.

"Maaf Pak, sepertinya saya harus ikut campur," sela Wa Maryam.
"Apakah Pak Herman tak pernah bertanya pada putri Bapak, dimana dulu dia tinggal saat sedang proses bercerai dengan Mirza. Bukankah saat itu Asti tidak pulang kesini, dan dia juga tidak lagi tinggal bersama Mirza," Wa Maryam menatap Asti tajam.

Pak Herman terlihat bingung untuk menjawab, tapi kemudian dia kembali berkata, "bilang saja bila kalian tidak mau bertanggung jawab atas kehadiran Tiara."

Tuduhannya membuat mata Wa Maryam membesar.

"Andai benar anak perempuan itu adalah darah daging Mirza, maka saya akan merawatnya dengan senang hati, karena berarti dia adalah cucu saya," timpal Wa Maryam.

Wajah Asti terlihat antusias menanggapi ucapan Wa Maryam.

"Tapi ingat satu hal," Wa Maryam kembali berucap, "saya hanya akan mengurus anak itu, bukan merestui Mirza untuk kembali bersama Asti."
"Apa maksud anda?" bentak Pak Herman dengan mata melotot pada Wa Maryam.
"Ya, andai terbukti anak itu adalah anak Mirza, saya akan merawatnya sebagai cucu saya, tapi saya tidak akan merestui Mirza untuk rujuk dengan Asti, seperti apa yang Bapak bicarakan beberapa hari yang lalu," ucap Wa Maryam dengan tegas.
"Sudah Wa." Aku merangkulnya untuk kembali duduk tenang.

Kini telunjuknya terarah pada Pak Herman. "Ingat Pak, saya membesarkan Mirza dari bayi, saya merawatnya dengan kasih sayang, saya mendidik dia agar menjadi laki-laki yang baik dan terhormat. Tapi dengan sombongnya, putri Bapak dulu menghina Mirza, menjatuhkan harga dirinya hanya karena tidak bisa memberi keturunan. Sungguh, sejak saat itu saya bersumpah, bahwa saya tak akan lagi sudi menerima Asti untuk mendampingi Mirza."
Seketika Wa Maryam bangkit dari kursi. "Ayo Za, kita pulang!"
"Iya Wa."
Aku masih berdiri di depan Asti dan Ayahnya. "Jika memang kamu yakin anak itu darah dagingku, kita lakukan test DNA. Tapi bila kamu menolak melakukan test DNA, maka kuanggap itu sebagai jawaban bahwa anak itu bukan anakku."

Aku segera keluar dari rumah itu, menghampiri Wa Maryam yang sudah menunggu di dekat motor.

"Enak saja, dulu dia menghina kamu, ninggalin kamu begitu saja. Eh sekarang, giliran kamu udah jadi duda keren menjelang kaya, dia datang minta dinikahin," oceh Wa Mayram.
"Jadi perempuan kok gak tau malu!" imbuhnya.

Sepanjang perjalanan pulang, Wa Maryam terus mengomel di atas motor.
***

Beberapa minggu berlalu, Asti tak juga menjawab tantanganku. Pernah sekali, aku kembali datang ke rumahnya, mempertanyakan tentang test DNA, tapi dia selalu menghindar.
Sikap Asti membuat masalah di antara kami tak kunjung berakhir. Akhirnya aku putuskan untuk menghubungi Wira, agar bisa mendapat informasi tentang anak itu.

Berbekal info dari temanku di kota, aku mulai membuka aplikasi biru yang sudah lama kutinggalkan. Kuketik nama akun Wira di kolom pencarian, tak menunggu lama akun yang kumaksudpun muncul.
Kubuka profil akun tersebut, terlihat ada titik hijau disana, menandakan bahwa akunnya sedang aktif.
Segera kukirimkan pesan padanya.

[Aku perlu bicara sesuatu] send.

Rasanya tak perlu basa-basi pada laki-laki itu.
Tanda di layar ponsel menunjukan bahwa dia sedang menulis pesan balasan.

"Ting ...," ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.
[Pasti tentang Tiara. Dia bukan bukan anakku, dan bisa kupastikan dia juga bukan anakmu] balasnya.
[Lalu anak siapa?]

Segera kukirim pesan balasan.

[Anak dari laki-laki selingkuhan Asti sebelum denganku]
[Heran, zaman sekarang kok masih ada laki-laki polos dan bodoh seperti kamu. Pantas dulu Asti bisa sangat liar]

Dua pesan beruntun dikirim oleh Wira, aku tak begitu perduli dengan kata-katanya. Yang penting sekarang aku sudah mendapat titik terang.

[Ardi, dia yang lebih dulu meniduri Asti sebelum aku. Hahaha ...]
Pesan berikutnya dikirimkan Wira.

"Ardi!"

Baiklah, kurasa urusanku dengan Wira sudah selesai. Langsung kututup ponselku.
***

Selama urusanku dan Asti belum selesai, aku memutuskan untuk tidak berkomunikasi dengan Avi, sekaligus memberi ruang pada perasaanku untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Avi.
Aku hanya sesekali mengantar Zaki pulang sekolah, tapi tak sekalipun aku turun untuk menyapa Avi juga Tazki. Entahlah, aku hanya tidak ingin menyaksikan lagi pemandangan yang tidak kuinginkan seperti tempo hari. Walau nyatanya hatiku seperti ingin berontak.
Ada gejolak yang memintaku untuk menemui Avi, dan mengatakan bahwa ada sesuatu di diriku yang tidak mau berpaling darinya. Tapi aku takut, takut bila ternyata saat ini Avi sedang kembali dekat dengan Mas Tedi. Aku tidak mau patah hati.
***

Berbulan-bulan berlalu, tidak ada kejelasan tentang masalahku dengan Asti. Hingga akhirnya aku mendengar kabar, bahwa telah terjadi keributan di rumah Asti, keributan yang terjadi antara Wira dan seorang pria asing yang katanya bernama Ardi.

Kabar itu kudengar dari seorang kerabat yang tinggal bertetangga dengan Asti. Ternyata benar apa yang dikatakan Wira, anak itu memang bukan anakku, karena tak berapa lama kemudian, aku mendengar kabar bahwa Asti menikah dengan pria yang bernama Ardi.

Dengan kehendak Alloh, setiap kebohongan akan terbuka dengan sendirinya.
***

Setelah semua kemelut berlalu, pagi hariku terasa sangat cerah. Aku yang memang tidak begitu pandai memasak, lebih memilih untuk membeli makanan matang untu sarapan di warung sekitar rumahku.

"Bi, oreg tempenya ya lima ribu, sama sambel terasinya tiga ribu aja," pesanku, pada Bi Tarsih si pemilik warung.
"Siap Mas," jawabnya. Tangannya segera meraih sendok untuk mengemas oreg pesananku.

Tak berapa jauh dari tempatku berdiri ada beberapa ibu-ibu yang sedang berbincang-bincang. Sepertinya mereka juga sedang belanja di warung Bi Tarsih.

"Kalau lihat si Dita itu, satu sisi suka kasihan, tapi di sisi lain pengen nyukurin," bisik seorang ibu pada temannya yang lain, tapi kalimatnya bisa kudengar jelas.
"Ah, ngapain kasihan. Biar dia ngerasain pedihnya azab pelakor," timpal yang lain. "Tau rasa dia, sekarang dijauhin sama tetangga," imbuhnya lagi.
"Katanya, cowok yang ngehamilin dia itu gak mau tanggung jawab, dan suaminya yang kaya itu juga mau rujuk lagi sama mantan istrinya. Sekarang jadi ngenes banget hidupnya," seloroh seorang ibu yang lain dengan berapi-api.

'Deg!'
Seperti ada yang melonjak dari dalam dadaku. Suami Dita, akan rujuk dengan mantan istrinya?

Kutarik nafas dalam, entah kenapa tiba-tiba dada ini terasa begitu sesak. Setelah menerima dan membayar pesananku, aku langsung bergegas pulang ke rumah.

Sampai di rumah, perutku yang tadi minta di isi, kini seketika terasa kenyang.

"Jadi Avi dan Mas Tedi akan rujuk kembali?" gumamku.

Berbulan-bulan aku berusaha menyelesaikan masalahku dengan Asti, berharap semuanya akan berbuah manis, tapi ternyata aku terlalu naif.
Biarlah, pasti Avi akan bahagia bersama Mas Tedi, karena tak ada lagi Dita yang mengganggu hidup mereka. Apalagi dengan kehadiran Tazki, yang sekarang pasti sudah bisa berjalan. Kebahagiaan mereka pasti sangat sempurna.

Bersambung #14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER