[POV.Avi]
Langit senja menegaskan bahwa hari ini sudah berakhir, hembusan nafas kasar menjadi saksi sesak di dada yang mulai gusar dengan perasaan yang sulit dicerna.
Aku sadar, sebenarnya bukan perasaan yang sulit dicerna, tapi gengsi yang enggan diakui. Gengsi untuk mengakui bahwa aku merindukan Kak Mirza, sesak di dada ini juga karena harapanku tak bersambut sesuai dengan keinginan hati.
Sudah cukup lama Kak Mirza tak lagi menyapaku, lebih tepatnya semenjak kedatangan Asti ke bengkelnya. Aku terlalu munafik, hingga menciptakan penyesalan untuk diriku sendiri.
"Bunda, Zaki pergi ngaji dulu ya."
Aku yang sedang termenung terperanjat karena suara Zaki. "Eh, iya Sayang. Hati-hati, ya."
Kuusap pucuk kepalanya saat dia mencium punggung tanganku.
Aku beranjak melaksanakan salat maghrib, kusimpan putri kecilku di atas baby walkernya agar lebih aman. Selesai salat aku bermunajat, meminta petunjuk terbaik dari sang pemilik hati. Berharap agar tak tersesat dalam melabuhkan rasa ini.
Selesai melipat mukena, kutatap lekat wajah putri kecil di hadapanku, senyumnya mengingatkan pada kejadian beberapa bulan lalu, ketika Ayah dan Neneknya datang dan memintaku agar mau menerima Mas Tedi kembali.
***
"Vi, Umi harap kamu mau menerima Tedi kembali. Demi Tazki," bujuk Umi.
"Aku menyadari kesalahanku, dan siap memperbaiki semuanya," timpal Mas Tedi datar.
Aku hanya tersenyum getir menanggapinya. Sejenak, mungkin aku sempat terlarut. Tapi, saat ingatanku memutar masa dimana aku tak dianggap dan hanya dijadikan pelarian, hatiku meronta, tak ada sedikitpun celah untuk meletakkan nama Mas Tedi di sana.
"Gimana, Vi?" desak Umi.
"Maaf, Umi. Sepertinya tidak bisa." Berat, tapi tetap kuucapkan.
"Kenapa?" Wajah Umi berubah cemas.
"Aku tidak mau merasakan sakit yang sama. Cukup satu kali saja." Aku menghela nafas menjeda kalimatku.
"Kalau masalah Tazki, aku sama sekali tidak membatasi Mas Tedi untuk menemuinya. Mas Tedi adalah Ayahnya, dan aku tidak akan menutupi itu dari Tazki," tuturku penuh penekanan.
Secara tidak langsung, aku ingin Mas Tedi ingat, bahwa dulu dia pernah tidak mengakui Tazki sebagai anaknya.
"Baiklah, Umi akan beri kamu waktu untuk kembali mempertimbangkan jawaban yang tepat, agar tidak ada penyesalan di kemudian hari," timpal Umi.
Aku hanya menunduk, tak mau menjawab lagi. Biarlah, sekarang ataupun nanti, jawaban akan tetap sama.
Mas Tedi menatapku dengan tatapan yang sulit kujabarkan. Aku tidak peduli, dia bahkan tak pernah meminta maaf atas semua yang telah terjadi.
***
Semenjak saat itu, harapku pada Kak Mirza semakin besar, tapi justru kehadirannya kian menjauh, senyum sapanya kian memudar, dan membuat hatiku kini mencelos. Mungkinkah dia sudah kembali pada Asti?
Ah, sesak kembali menekan di pangkal leherku.
***
Pagi ini, aku dan Mbak Lisa bersiap untuk pergi ke rumah Ustadz Husni. Karena di TPQ akan diadakan tasyakur khatam Al Qur'an. Jadi, kami sebagai tetangga dan wali murid turut membantu.
"Calon bapaknya anak-anak kok gak pernah kelihatan antar jemput Zaki lagi sih?" celetuk Mbak Lisa saat kami baru keluar dari halaman rumah.
"Siapa?" Aku pura-pura tak paham.
"Hmh ... kura-kura dalam perahu," timpalnya lagi sambil mengambil Tazki dari gendonganku.
"Aku kan gak punya calon suami, Mbak. Ya jadi, anak-anak juga gak punya calon bapak," sanggahku kemudian.
Kami mulai berjalan beriringan, kebetulan jarak ke rumah Ustadz Husni hanya sekitar 300 meter.
"Mbak jadi gemes sendiri deh Vi, lihatin hubungan kamu sama Mirza." Suaranya terdengar nyaring.
"Jangan bilang kamu gak ada hati sama dia, karena Mbak gak akan percaya." Matanya membesar, menatapku penuh selidik.
Aku tak menjawab, karena memang tidak tahu harus menjawab apa.
"Vi," sentak Mbak Lisa.
"Iya, Mbak," jawabku malas.
"Mirza itu ganteng, baik, kalem, sholeh, sukses, kurang apa lagi coba?" tegasnya.
Suara lantang Mbak Lisa membuat Tazki terus memandangnya tanpa berkedip.
"Kaget, ya?" Mbak Lisa menatap Tazki di gendongannya. "Maaf Sayang. Tante lagi nasehatin Bunda kamu yang kurang pinter."
Aku mendelik mendengar ucapan Mbak Lisa pada Tazki.
"Gimana, Vi?" desak Mbak Lisa.
"Mbak, Kak Mirza kan sudah kembali sama Asti," jawabku malas.
"Astaghfirullahaladzim! Kata siapa?" Mbak Lisa melotot.
"Dulu, Zaki pernah lihat Asti datang ke bengkel Kak Mirza. Dan sejak saat itu Kak Mirza gak pernah ngobrol apa-apa lagi sama aku."
Ah, entahlah. Setelah mengucapkan kalimat itu kelopak mataku terasa menghangat.
"Ya Alloh, Vi. Jadi selama ini kalian kucing-kucingan," ucap Mbak Lisa.
"Kucing-kucingan gimana?" tanyaku heran.
"Jadi, Mirza juga pernah bilang sama Mas Andra, kalau dia sungkan ke rumah kamu karena pernah ketemu sama Mas Tedi di sana," jawab Mbak Lisa.
Ingatanku menerawang. Ya, dulu mereka pernah tak sengaja bertemu di rumahku, saat Mas Tedi mengunjungi Tazki dan Kak Mirza mengantar Zaki pulang sekolah. Ah, bodohnya aku!
"Kalau dua-duanya ngumpet, terus siapa yang nyari? Ya, gak ketemu-ketemu," seloroh Mbak Lisa.
Obrolan kami terhenti. Tak terasa, kami sudah hampir sampai di rumah Ustadz Husni. Kami langsung berbaur dengan ibu-ibu yang lain, ada yang memotong sayuran, membersihkan ikan, dan ada yang sedang menggoreng kentang untuk kemudian dibuat sambal goreng ati.
Belum sempat Mbak Lisa ikut duduk di tikar plastik bersama ibu-ibu lain, tiba-tiba Tazki menangis. Sepertinya dia tidak nyaman karena panas dan banyak orang.
Dengan sigap, Wa Maryam langsung membujuk Tazki untuk ikut bersamanya, mencari tempat lain yang lebih nyaman. Tazki pun langsung mau berpindah dari gendongan Mbak Lisa, entah kemana Wa Maryam membawa Tazki, yang penting aku dan Mbak Lisa bisa leluasa turut bekerja membantu ibu-ibu yang lain.
Bukan ibu-ibu namanya, bila berkumpul tak membicarakan sesuatu. Dan kali ini, akulah yang mereka jadikan topik pertama untuk dibicarakan.
"Neng Avi, dulu katanya ada hubungan sama Mas Mirza, saya tungguin sampai sekarang kok gak nikah-nikah," ucap seorang tetangga yang dituakan.
Aku terperangah, sepertinya keputusanku salah untuk datang kesini.
"Kalau saya jadi Mbak Avi, pasti saya pepet terus itu Mas Mirza," timpal seorang ibu bertubuh subur, yang berhasil mengundang gelak tawa.
"Padahal cocok ya, duda keren sama janda cantik," celetuk Mbak Lisa, dan langsung kusambut dengan cubitan di pinggangnya.
"Sakit, Vi!" pekiknya.
Semua tertawa melihat tingkah Mbak Lisa.
Berawal dari saling lempar candaan, kemudian obrolan pun berubah menjadi gosip serius. Di awali dengan nama Kak Mirza, kini bahasan merembet menyeret nama Asti. Mula-mula aku tercengang, tapi akhirnya aku merasa seperti ada tetesan embun sejuk yang meresap di dalam dadaku.
Salah seorang kerabat Kak Mirza yang turut hadir membantu di sini bercerita tentang Asti. Katanya, Asti pernah datang meminta kembali pada Kak Mirza, menjadikan anaknya sebagai alat. Namun, belum sempat dia membuktikan bahwa anak itu adalah anak Kak Mirza, semua kebenaran lebih dulu terungkap.
Dan kini, dia sudah menikah dengan Ayah dari anaknya.
Apakah aku jahat, bila aku bahagia setelah mendengar berita ini?
Sudah cukup lama aku berbaur dengan ibu-ibu di dapur, sampai melupakan keberadaan Tazki. Aku segera bangkit, pamit pada yang lain karena harus bersiap menjemput Zaki di sekolah.
"Tazki di mana, Wa?" Aku menghampiri Wa Maryam yang sedang menggoreng ikan.
"Sama Mirza di depan," jawabnya tanpa menoleh.
Entah kenapa, tiba-tiba jantungku terasa bertalu-talu. Pipiku terasa menghangat dan ludahku jadi sulit ditelan.
Mencoba menetralisir perasaan yang terasa aneh, aku berjalan keluar rumah mencari sosok yang tadi disebutkan Wa Maryam.
Tubuh tinggi tegap itu sedang menggendong Tazki di halaman TPQ, yang berada tepat di samping rumah ini. Mata teduhnya menatapku yang sedang berjalan menghampiri, senyum lebar terlukis di wajah itu, wajah yang ternyata selalu kurindukan.
"Vi, sudah mau pulang?" Dia berjalan mendekati.
"Iya Kak, sudah siang. Aku harus jemput Zaki," jawabku.
Entah kenapa jantungku terus bertalu-talu, padahal tidak ada sesuatu yang terjadi di antara kami berdua.
"Eu ...." Dia terlihat ragu.
"Tunggu sebentar." Kak Mirza menyerahkan Tazki, kemudian pergi entah kemana.
Tak berapa lama dia muncul dengan motornya. "Ayo, aku antar kamu pulang. Setelah itu aku jemput Zaki."
Aku terpaku dan tak kuasa untuk menolak.
"Ayo, kasihan Tazki kepanasan," ajaknya lagi.
Aku pun duduk membonceng di belakang Kak Mirza, sedangkan Tazki kujadikan penghalang di antara kami berdua.
Sampai di depan rumah, aku meminta Kak Mirza untuk kembali ke rumah Ustadz Husni, agar aku saja yang pergi menjemput Zaki. Tak enak rasanya bila harus merepotkan.
"Kamu di rumah saja, sudah lama aku tak mengantar Zaki pulang sekolah."
Lagi-lagi aku tak kuasa menolak. Aku hanya menatapnya tanpa kata. Kak Mirza pun langsung memacu motornya menuju sekolah tanpa menunggu persetujuanku.
Sampai di rumah, aku langsung menidurkan Tazki, sepertinya dia lelah seharian ini bermain di rumah Ustadz Husni.
Ah, andai Tazki sudah lebih besar, aku pasti akan menanyakan apa saja yang dibicarakan mereka tadi. Aku tersenyum, merasa geli dengan perasaanku sendiri.
***
Suara motor terdengar berhenti di depan rumahku. Itu pasti Zaki dan Kak Mirza, entah dorongan dari mana, aku yang baru selesai salat dzuhur, langsung beranjak untuk menyambut kedatangan mereka.
"Assalamualaikum, Bunda." Wajah Zaki terlihat sumringah, mungkin karena dia dijemput oleh Kak Mirza.
"Waalaikumussalam, Sayang."
Zaki mencium punggung tanganku. Lalu berlari menuju kamarnya.
Kak Mirza masih mematung di atas kuda besinya, seperti ragu untuk langsung pergi atau turun dan menyapaku.
"Gak mau mampir dulu, Kak?" Kalimat itu keluar tanpa persetujuanku.
Ya Alloh, ada apa dengan mulutku?
"Memangnya boleh? Tidak ada yang marah?" ucap Kak Mirza.
"Siapa? Zaki?" Aku paham maksud Kak Mirza, tapi berusaha mengalihkannya.
"Dia tidak akan marah kalau yang bertamu adalah Kak Mirza," kucoba meyakinkannya.
Entah kenapa, rasanya saat ini aku butuh waktu untuk berbicara serius dengan Kak Mirza. Aku tak mau menyesal.
"Memangnya, ada orang lain yang membuat Zaki marah bila datang ke sini?" tanya Kak Mirza, heran.
"Iya, Zaki akan marah kalau ada Mas Tedi datang sendirian saat mengunjungi Tazki," jawabku.
Mata Kak Mirza membesar, dia mulai turun dari motornya. "Bukannya Mas Tedi sering ke sini?"
"Iya, kadang seminggu sekali, atau selang dua minggu bila sedang sibuk, bagaimanapun dia Ayahnya Tazki. Aku tidak bisa melarang."
Aku menangkap raut lega terpancar dari wajah itu, wajah yang kini sedang mengobati dahaga rinduku.
"Duduk dulu, Kak." aku menunjuk kursi yang berada sekitar dua meter di belakangku.
"Di sini saja, aku tidak enak bila harus bertamu sendirian," jawabnya ragu.
"Tidak akan ada seorang pun yang marah bila Kak Mirza yang bertamu ke sini. Justru Zaki sangat senang tiap Kak Mirza datang," terangku, berusaha setenang mungkin, padahal sebenarnya jantungku tak henti berdebar.
"Ya sudah, aku pulang saja. Ternyata hanya Zaki yang senang dengan kedatanganku." Dia bergumam pelan sambil kembali mendekati motornya.
Aku tercekat, tak mau dia berlalu pergi. "Aku juga senang Kak Mirza mau datang lagi ke sini."
Pria bertubuh tegap itu mematung, perlahan mata teduhnya menangkap manik mataku, memastikan kebenaran dari apa yang baru saja kuucapkan.
"Benarkah?" Kami kembali saling berhadapan dengan jarak yang sepantasnya.
"Setiap hari, aku selalu menunggu ada seseorang yang mengantar Zaki pulang sekolah, lalu turun untuk menyapa aku dan Tazki." Aku menunduk dalam, menyembunyikan embun yang mulai memenuhi kelopak mataku.
"Tapi seseorang itu sudah lama sekali tak pernah melakukannya, hingga aku merasa malu untuk terus berharap." Ada air mata kelegaan yang menerobos di sudut mata.
Entah dari mana keberanian ini berasal, yang pasti butuh tenaga ekstra bagiku untuk mengeluarkan semua kalimat itu.
"Seseorang itu hanya takut, bila ternyata kehadirannya mengganggu kedekatan orang lain." Datar, kalimat itu terucap dari mulut Kak Mirza.
"Tidak ada yang sedang dekat, yang ada hanyalah seorang wanita yang sedang berharap." Kalimatku bergetar. "Namun ragu, takut bila harapnya ternyata tak bersambut."
Kini kutatap mata teduh itu, berharap dia menangkap apa yang tersirat dari ucapanku.
"Maksud kamu?" Pertanyaan yang meminta keyakinan.
"Maaf, bila selama ini aku terlalu percaya diri, karena telah menganggap lebih setiap kebaikan yang Kak Mirza lakukan untukku dan anak-anak. Dan maaf, karena aku sudah lancang menyimpan rindu, pada setiap kebersamaan kita dan anak-anak."
Mata teduh itu melebar, setelah mendengar semua kalimat yang kuucapkan. Sejujurnya aku malu, tapi aku merasa jauh lebih lega setelah mengeluarkan semuanya.
"Vi?" Kak Mirza terlihat tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Haruskah aku yang memulainya, Kak?" Kutatap lekat mata yang telah menaburkan rindu di hati.
Sebulir bening kembali menerobos pertahananku, menunjukkan betapa berusahanya aku berjuang untuk mengucapkan semua ini.
"Tapi aku hanya laki-laki tidak sempurna, Vi. Aku mandul," lirih, kalimat akhirnya nyaris tak kudengar.
"Apa kehadiran Zaki dan Tazki masih kurang, untuk melengkapi kebahagiaan kita nanti?"
Mata Kak Mirza seketika berbinar. "Kamu yakin, Vi?"
"Sangat yakin." Aku mengangguk mantap.
Kak Mirza tersenyum lebar, dia langsung naik ke atas motornya, membuatku bertanya-tanya.
"Mau kemana?" tanyaku heran.
"Aku akan langsung bicara tentang kita pada Wa Maryam dan Mas Husni," jawabnya penuh semangat.
Aku hanya ternganga. Kini giliranku yang terheran-heran.
"Setelah bicara dengan Wa Maryam dan Mas Husni, nanti malam aku akan langsung bicara pada Andra," terangnya, dengan mata yang masih berbinar.
Aku ternganga lebih besar dari sebelumnya. "Kenapa harus terburu-buru?"
"Aku tidak mau kamu berubah pikiran." Dia langsung memacu motornya menuju rumah Ustadz Husni tanpa menunggu tanggapanku.
Jantungku bekerja lebih cepat, membuat tubuhku terasa gemetar. Aku kaget, tapi sungguh, aku juga bahagia.
Benarkah, tadi aku yang lebih dulu menyatakan perasaan pada Kak Mirza? Wanita macam apa aku ini?
***
Sekarang aku di sini, dikelilingi keluarga dekat yang akan menyaksikan pernikahan ketigaku.
Ada rasa yang jauh berbeda dibanding pernikahan sebelumnya, kali ini aku bahagia, senyum terus terukir tanpa diminta. Kupastikan untuk tidak mengeluarkan air mata, karena tidak ada alasan apapun yang mengundangnya.
Mas Andra bersiap menjadi waliku untuk ketiga kalinya. Dia tersenyum lebar, tampaknya turut bahagia dengan pernikahanku kali ini.
"Saudara Mirza Maulana, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Avi binti Husein, dengan mas kawin uang sepuluh juta rupiah dibayar tunai!"
Kalimat Mas Andra langsung disambut oleh Kak Mirza. "Saya terima nikah dan kawinnya, Avi binti Husein dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Satu tarikan nafas tanpa kata yang salah membuat semua yang hadir mengatakan 'sah'.
Jantungku terus berkebit saat semua orang sedang memanjatkan do'a. Tidak, sedikitpun aku tak ingin menangis, karena saat ini aku bahagia.
Semua keluarga memelukku erat, sangat erat. Mereka turut merasakan kebahagiaan yang begitu membuncah.
Yang hadir saat ini benar-benar hanya keluarga dekat, baik dari pihakku juga dari pihak Kak Mirza. Hanya saja aku tetap mengundang Ibu dan Bapak, karena mereka sudah seperti otang tuaku.
Sedangkan untuk keluarga Mas Tedi, aku sama sekali tidak mengabarkan apapun. Biarlah, toh kita sudah hidup masing-masing.
***
Matahari pagi ini menyapaku dengan begitu hangat, memberikan kesan indah dalam setiap hal yang kulakukan. Entah ini karena Matahari, atau karena kehadiran seseorang yang kini mendampingiku.
Kami duduk lesehan di depan TV, menyantap sarapan yang kuhidangkan. Dua pria tersayangku terlihat sangat menikmati makanan yang kubuat.
"Masakan Bunda enak kan, Yah?" celetuk Zaki, tiba-tiba.
Entah kenapa, dari semenjak Zaki tahu bahwa aku dan Kak Mirza akan menikah, dia langsung mantap memanggil Kak Mirza, Ayah.
"Iya Sayang, masakan Bunda enak banget," jawab Kak Mirza.
Zaki tersenyum bangga, padahal yang dipuji adalah masakanku.
"Inikan cuma lontong sayur, di mana-mana banyak orang yang jual," timpalku.
"Tapi buatan kamu paling spesial," goda Kak Mirza.
Aku tersipu, bisa-bisanya dia menggodaku di depan Zaki.
"Cie ... Ayah sama Bunda pacaran," ledek Zaki.
Aku dan Kak Mirza sama-sama salah tingkah, kami lupa menyadari bahwa Zaki sudah hampir ABG.
"Cepat habiskan sarapannya, nanti pergi sekolah sama Ayah." Kucoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya, ini juga sudah mau habis," timpal Zaki. "Nanti, Bunda jangan kangen, ya, kalau Ayah lagi di Bengkel," imbuhnya.
Aku terbelalak, dari mana Zaki punya bakat genit seperti itu?
Kak Mirza terlihat menahan senyum setelah mendengar ucapan Zaki.
Mereka pun selesai sarapan dan bersiap untuk pergi.
"Zaki ngambil tas dulu," ucap Zaki, sambil melangkah ke kamarnya.
Aku menemani Kak Mirza di depan rumah yang sedang memanaskan motor.
"Ingat pesan Zaki, ya," ucap Kak Mirza.
"Pesan apa?" tanyaku heran.
Kak Mirza mendekatkan mulutnya ke telingaku yang tertutup jilbab.
"Bunda jangan kangen, ya, kalau Ayah lagi di bengkel," bisiknya.
Aku hanya tersipu, jantungku terasa berkebit-kebit, senyum terus terukir tanpa henti di wajahku.
"Kita berangkat!" Suara Zaki mengagetkanku.
Dia meraih tanganku dan menciumnya, tak lupa Zaki juga mencium gemas Tazki yang sedang kugendong.
"Aku pergi, ya," pamit Kak Mirza.
Lalu kucium punggung tangannya.
Kak Mirza menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Tazki. "Ayah pergi dulu, ya. Tazki jangan kangen, dzuhur nanti Ayah juga pulang bareng Kak Zaki, sekalian makan siang."
Matanya menoleh sekilas ke arahku. Aku tahu, sebenarnya kalimat itu ditujukan untukku.
"Assalamualaikum." Kedua priaku naik ke atas motor dengan senyum yang terus terkembang.
"Waalaikumussalam."
==========
[POV.Mas Tedi]
Hari sudah petang saat aku kembali ke ruko. Bayangan Avi dan putri kecil kami terus mengikutiku. Aku benci keadaan ini.
Ponselku sejak tadi berbunyi, ada puluhan panggilan tak terjawab juga pesan dari Dita. Aku tidak peduli dan tidak sudi lagi bila harus menemui Dita dan bayi laki-lakinya. Saat ini aku hanya butuh sendiri.
Ada yang berkebit di hatiku, saat membayangkan perlakuan Avi yang masih begitu manis, menyetrika bajuku, dan mengobati lukaku. Aku merasa masih punya harapan.
***
"Tedi ... Tedi ...!"
Sebuah suara yang familiar di telingaku memanggil dengan lantang. Suaranya berasal dari tangga.
Aku yang sedang berdiri di balkon ruko segera menghampiri pemilik suara tersebut.
"Ada apa Bapak ke sini?" tanyaku dingin.
"Kamu kemana aja? Sudah tiga hari menghilang. Apa kamu gak ingat sama anak istri," cecar Pak Wahyu, mertuaku.
"Hah, anak?" Aku tersenyum miring.
"Ayolah, Pak. Jangan bilang kalau Bapak tidak ikut terlibat dalam konspirasi yang sudah dibuat Dita," sindirku.
"Apa maksud kamu?" sentaknya. Apa mungkin dia memang tidak tahu apa-apa.
"Sudahlah, Pak. Saat ini aku sedang ingin sendiri." Aku berharap dia segera pergi.
"Kamu ngusir Bapak?" ucapnya lantang.
"Aku hanya ingin Bapak memberiku waktu untuk berpikir jernih, agar semuanya bisa berakhir dengan baik-baik," timpalku tak kalah tegas.
"Apa maksud kamu?" Kini matanya mulai melotot. "Apa yang akan diakhiri?"
"Apa Bapak memang tidak tahu tentang kondisi Dita?" tanyaku lirih.
"Kondisi apa?" Dia terlihat bingung.
Aku hanya menggeleng. "Lebih baik sekarang Bapak menemui anak dan istri Bapak, tanyakan pada mereka tentang kenyataan yang selama ini ditutupi."
"Jangan permainkan Bapak." Nafasnya memburu menahan amarah.
"Justru selama ini aku yang dipermainkan oleh anak Bapak," jawabku pelan, tapi tajam.
Telunjuknya di arahkan padaku, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Pak Wahyu berlalu begitu saja.
Sudah tiga hari aku tak menemui Dita dan keluarganya di klinik. Pantas saja Ayahnya datang mencariku. Aku merasa ditipu mentah-mentah oleh perempuan itu, kehadirannya membuatku melakukan begitu banyak hal bodoh, hingga harus kehilangan segala yang berarti, termasuk Ratih dan Avi.
Aku yakin, setelah ini Pak Wahyu dan Bu Nani tidak akan tinggal diam, mereka pasti kembali menyusulku ke sini. Aku segera mengemasi beberapa barang yang penting, mempercayakan toko pada Ikbal, bergegas pergi ke rumah Umi. Kurasa di sana tempat yang aman, karena orangtua Dita pasti tidak akan berani menyusulku ke sana.
Umi menyambut hangat kedatanganku, begitu juga dengan kedua Kakakku yang tinggal tak jauh dari rumah Umi. Mereka sangat senang mendengar niatku untuk meninggalkan Dita.
***
Satu minggu setelah Dita melahirkan, ponselku terus berdering. Dita tak henti berusaha untuk menghubungi. Dua pesan masuk, dan tertera nama Dita di sana.
[Mas, kamu kenapa? Jangan buat aku bingung]
[Besok mau ada syukuran aqiqah anak kita, kamu harus pulang]
Hhh ... anak kita, muak sekali rasanya membaca pesan itu. Kulirik jam di layar ponselku, waktu baru menunjukkan jam sepuluh pagi.
Bergegas keluar kamar, mencari Umi dan meminjam kunci mobilnya.
"Kamu mau kemana?" tanya Umi.
"Ke rumah Dita."
"Mau apa lagi?" Umi menekuk alis.
"Semua harus diselesaikan, agar aku tenang. Sekalian aku mau mengambil barang-barangku yang masih di sana," ujarku.
"Ya sudah. Tapi ingat, kamu jangan sampai tergoda lagi dengan mulut manisnya. Langsung pulang ke sini setelah semuanya selesai!" perintah Umi.
"Iya."
Aku langsung berlalu meninggalkan Umi. Tak lupa kusiapkan sebuah koper besar untuk mengangkut barang-barangku nanti.
Ternyata, aku sangat telat untuk menyadari bahwa selama ini aku hanya dimanfaatkan oleh keluarga Dita. Baiklah, kini saatnya aku memberi pelajaran.
Mampir sebentar ke ruko untuk menjemput Ikbal, karena dia akan sangat berguna untuk aksiku kali ini.
"Ada apa, Pak?" Dia terlihat heran.
"Ikut aku ke rumah Dita!"
Tanpa bertanya lagi Ikbal langsung naik ke mobil dan duduk di sampingku.
***
"Mas." Dita menatapku antusias. Sepertinya dia memang sengaja menungguku.
"Kamu kemana aja?" tanyanya dengan nada manja. Dia berdiri di hadapanku sambil menggendong bayinya.
"Aku pulang ke rumah Umi," jawabku dingin.
"Kamu kenapa bawa koper?" Mata Dita melirik ke arah koper yang kuseret.
"Untuk membawa barang-barangku yang masih tertinggal di sini."
"Apa maksud kamu, Mas? Apa kamu gak kangen sama anak kita?" Dita mulai merajuk.
"Apa? Anak kita?" Aku berdecih sebal. "Itu anak kamu, bukan anakku."
Dita terbelalak, kaget dengan ucapanku.
"Apa maksud kamu, Tedi?" sentak Pak Wahyu. Dia muncul dari arah dapur diikuti istrinya, menghampiri aku dan Dita di ruang tamu.
"Apa Bapak belum bertanya pada anak istri Bapak, tentang siapa sebenarnya Ayah dari anak itu?" Kutunjuk bayi dalam gendongan Dita menggunakan dagu.
"Ngomong apa kamu?" bentak Bu Nani. Matanya melotot menatapku sengit.
"Ayolah bu, berhenti berpura-pura, karena sedikit pun aku tidak akan terpengaruh," ledekku, pada ibu mertua yang usianya hanya selisih lima tahun denganku.
"Cukup!" Pak Wahyu menatapku tajam. "Apa sebenarnya maksud dari semua ucapan kamu?"
Tampaknya, Bapak mertuaku ini memang tak tahu apa-apa.
"Apa Bapak tahu, berapa usia kandungan Dita saat melahirkan kemarin?"
Pak Wahyu hanya menekuk alis saat mendengar pertanyaanku, sedangkan Dita dan ibunya nampak terhenyak.
"Aku mendengar sendiri penjelasan dokter Nancy yang mengatakan bahwa, Dita terpaksa dioperasi karena usia kandungannya memasuki 41 minggu," terangku.
Seketika wajah Dita dan ibunya berubah pucat. Sementara dari belakang sana ada beberapa kepala yang menyembul sekilas di lubang pintu menuju dapur, seperti sedang menguping apa yang kami bicarakan. Ya, pasti di rumah ini sedang banyak tetangga yang datang membantu masak untuk persiapan acara aqiqah.
Biarlah, aku tak peduli. Biar semua orang tahu.
"Apa Bapak tidak pernah menghitung usia pernikahanku dan Dita?" Suaraku mulai meninggi.
Tiga orang dewasa di hadapanku hanya berdiri mematung.
"Usia pernikahan kami bahkan baru menginjak delapan bulan, tapi kenapa Dita bisa hamil 41 minggu?" ucapku pelan, namun penuh penekanan. "Saya tidak pernah meniduri anak Bapak, sebelum saya menikahinya."
"Mulai saat ini, kujatuhkan talaq pada Dita." Lantang kalimat itu terucap dari mulutku.
Dita menghambur bersimpuh memeluk kakiku sambil menggendong bayinya.
"Mas, kumohon maafkan aku, Mas. Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi. Aku gak mau kehilangan kamu, Mas." Dita memohon seperti seorang pesakitan.
"Sudahlah, tidak perlu merendahkan diri seperti itu hanya untuk sesuatu yang tak kan kembali," ucapku, sambil melepaskan kakiku dari tangan Dita.
"Aku ke sini hanya ingin mengambil semua barangku, bukan untuk merusak acara kalian." Aku lalu berjalan ke kamar, melewati Dita yang masih tergugu dalam tangisnya.
Kuambil semua pakaianku di lemari, tak kusisakan sehelaipun. Mataku menyapu semua sudut kamar, mencari keberadaan kunci motor. Aku ingat, biasanya akan di simpan di lemari TV bila Bapak yang memakainya, bergegas ke ruang tengah mencari benda yang kuinginkan. Dan, dapat.
Dita dan ibunya terperangah melihatku mengambil kunci motor.
"Ini motorku, tidak ada yang salah," ucapku sambil mengacungkan kunci motor tersebut di hadapan mereka.
"Ikbal, bawa pulang motor itu ke ruko!" Aku berdiri di lubang pintu keluar, menunjuk motor matic putih yang terparkir di halaman.
"Siap, Pak." Ikbal yang sejak tadi menunggu di kursi teras langsung mengikuti perintahku.
Aku yang sudah berdiri di lubang pintu dengan memegang koper kembali berbalik menghampiri Dita.
Kutengadahkan tangan kananku di hadapannya, "ATM-ku."
Dita bergeming, seolah enggan mengembalikan kartu ajaib itu.
"Sekalipun kamu mempertahankannya, itu akan percuma. Karena aku bisa membekukannya kapan pun aku mau," ancamku.
Dita pun bergegas mengambil apa yang kuminta, dan segera menyerahkannya kepadaku.
"Seharusnya kamu membayar biaya persalinan anak itu menggunakan uang Ayahnya, bukan uangku."
"Mas." Dita memelas.
Aku langsung balik badan dan berjalan menuju mobilku saat Dita mulai terisak. Aku sudah tak peduli.
***
Aku berusaha menata hidupku kembali. Umi terus membujukku agar aku kembali melamar Avi. Tapi entah kenapa, aku sungkan untuk melakukannya. Bukan karena tak menginginkan Avi, tapi egoku tak menghendaki itu.
Hingga suatu hari, aku mendapati Mirza mengantarkan Zaki pulang sekolah. Pasti ada maksud di balik jasa yang dia berikan kepada Avi dan anak-anaknya.
Tak mau kalah start, akhirnya aku mengajak Umi untuk kembali melamar Avi menjadi istriku. Tapi hasilnya jauh di bawah ekspektasiku, Avi langsung menolak tanpa mau mempertimbangkan terlebih dahulu.
Sebegitu dalam kah, luka yang kutorehkan di hati Avi, hingga dia tak mau lagi memberi ruang untuk diriku di hatinya.
Ah ... ya, aku bahkan tak pernah membuat dia tertawa bahagia selama menjadi istriku.
Kebahagiaan macam apa yang bisa Avi harapkan bila menikah denganku?
***
Beberapa kali Dita dan orangtuanya datang mengharap belas kasihanku. Dita memohon agar aku mau kembali, tapi aku sudah mati rasa terhadapnya.
Dita mengadukan bahwa Ayah dari bayi itu tak mau menikahinya. Lalu apa urusanku?
Kedatangan Dita dan keluarganya justru memperburuk keadaanku. Akhirnya, bukan hanya pikiranku yang sakit, tapi tubuhku pun kini ikut sakit.
Gerd dan hipertensi pun bersarang di tubuhku. Tiga hari menjalani perawatan di rumah sakit, dokter belum juga mengizinkanku untuk pulang ke rumah. Umi sudah mulai terlihat lelah karena mengurusku.
Di hari ketiga ini tiba-tiba Ratih datang, dia membawa makanan kesukaanku. Opor Ayam buatan Ratih memang selalu kurindukan.
"Mas kenapa?" tanyanya penuh perhatian.
"Cuma kecapean."
"Mas sekarang kurusan," ucapnya dengan wajah yang terlihat khawatir.
Ada desiran halus yang menjalar di dadaku. Rasanya suasana seperti ini sangat kurindukan bersama Ratih.
Umi hanya menyimak percakapanku dengan Ratih. Sepertinya Umi memikirkan hal yang sama denganku.
Setahun berpisah, tak membuat sikap Ratih berubah terhadapku.
"Aku bawa opor, Mas udah makan?" Ratih menatapku.
"Belum."
"Makan ya, aku suapin."
Aku mengangguk. Seperti ada kebahagiaan yang membuncah di hatiku.
Dengan telaten Ratih menyuapi aku makan. Ya, dulu kita selalu seperti ini, seromantis ini. Tapi semua hancur karena kebodohanku. Semua kenangan indah bersama Ratih tergambar dengan jelas di kepalaku satu-persatu, membuat air mataku luhur tanpa diminta.
"Mas, kenapa nangis?" Ratih terlihat khawatir.
"Apa tidak akan ada yang marah, bila kamu datang ke sini untuk merawatku?" Aku balik bertanya.
Ratih menggelengkan kepala.
"Wisnu?"
"Pak Wisnu sudah menikah sebulan yang lalu, kami tidak pernah punya hubungan apapun," jawab Ratih dengan seulas senyum tipis.
Hatiku seperti ditetesi air es yang begitu sejuk. Senyum bahagia terkembang sempurna di wajahku, dan di belakang sana kulihat Umi pun turut tersenyum. Sepertinya Umi paham dengan perasaanku.
Hari berikutnya, Ratih kembali datang ke rumah sakit. Kali ini bersama Tania, gadis kecil yang dulu selalu menghabiskan jajanan di warungku, sekarang dia sudah menjelma jadi wanita dewasa.
"Papa kenapa?" Dia bertanya setelah mencium punggung tanganku.
"Cuma kecapean," jawabku.
Seketika, aku merasa kembali memiliki keluarga yang utuh.
Umi yang sudah berhari-hari menjagaku pamit pulang, berharap Ratih mau menggantikan.
"Ratih, Umi pamit pulang sebentar, nanti sore ke sini lagi," ucap Umi. "Kamu mau kan, gantiin Umi dulu untuk menjaga Tedi."
"Oh ... iya Umi." Ratih terlihat ragu.
Tanpa membuang waktu Umi pun bergegas pulang setelah pamit pada kami bertiga.
***
Seminggu menjalani perawatan, akhirnya aku sudah bisa pulang. Ratih dan Tania turut hadir menyambut kedatanganku dari rumah sakit. Ada rasa bahagia yang sulit kugambarkan.
Saat semua sibuk membereskan barang yang baru dibawa dari rumah sakit, aku memiliki kesempatan bicara empat mata dengan Ratih.
"Boleh aku mengatakan sesuatu?" Aku membuka suara.
"Apa?"
"Jujur, kesediaan kamu untuk merawatku selama di rumah sakit, juga perhatian kamu kepadaku seperti saat ini, membuatku menyimpan harapan lebih." Pelan, kalimat itu terucap dari mulutku.
Bola mata Ratih sedikit membesar, mungkin dia kaget, tapi berusaha untuk tetap tenang.
"Aku tidak punya maksud apa-apa." Matanya mulai menerawang. "Beberapa hari yang lalu, aku bertemu Mbak Aira, dan dia menceritakan tentang keadaan Mas saat ini."
Bola matanya menatapku sejenak. "Ternyata aku tidak bisa memaksa hatiku untuk tidak peduli pada keadaan, Mas."
Ada yang berkebit kuat di dalam dadaku. "Apakah aku masih punya kesempatan?"
Ratih sedikit terperangah, tapi mulutnya tetap terkunci.
"Kalau aku melakukan kesalahan yang sama, kamu boleh membunuhku." Kutatap mata sayu Ratih dengan segenap keyakinan.
Lalu dia tersenyum dan menghadiahiku dengan anggukkan.
***
Setelah tubuhku benar-benar sehat, aku mengajak Ratih ke rumah Avi untuk mengunjungi putri kecilku. Rindu sekali rasanya, sudah dua minggu aku tak menggendongnya.
Jam sembilan pagi, aku dan Ratih sudah sampai di depan rumah Avi. Selain bertemu Tazki, tujuanku ke sini juga ingin memberitahu Avi bahwa aku dan Ratih akan segera rujuk. Entah kenapa rasa jumawa itu kembali muncul, ada sisi hati yang berharap agar Avi cemburu mendengar kabar rujukku dengan Ratih.
Dengan antusias Ratih mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
"Waalaikumussalam." Wajah Avi langsung muncul saat pintu terbuka.
"Mbak." Dengan antusias Avi langsung memeluk Ratih.
"Kamu gemukan ya, sekarang," ucap Ratih sambil melepas pelukan Avi.
"Masa?" Avi terlihat tidak terima karena disebut gemuk. "Mbak juga gemukan sekarang."
"Berarti kita sama-sama happy," timpal Ratih. Mereka pun tertawa bersama.
Entah kenapa ucapan Ratih terdengar seperti sebuah sindiran untukku.
"Ayo masuk, Mas!" ajak Avi.
Aku mengekori mereka berdua masuk ke rumah. Ah, pasti hidupku akan sangat sempurna bila kembali memiliki dua istri yang akur seperti Ratih dan Avi.
Avi membawa kami ke ruang tengah, di sana sudah ada putriku yang sedang asik dengan mainannya. Segera kuraih Tazki ke gendonganku, dia menatapku heran, mungkin karena sudah dua minggu tidak bertemu, jadi dia lupa kepadaku.
"Tazki sudah bisa apa sekarang?" tanya Ratih, saat kami semua sudah sama-sama duduk.
"Dia sudah bisa jalan, tapi belum begitu lancar," jawab Avi.
"Wah, anak Ayah pinter, ya." Kucium gemas pipi Tazki yang masih menatapku heran.
Dari tadi aku mendengar seperti ada suara seseorang di kamar mandi. Apa mungkin itu Zaki? Tapi ini jam sekolah.
Tak berapa lama, dari arah dapur terdengar pintu kamar mandi dibuka, dan sebuah suara yang kukenal memanggil Avi dengan sebutan sayang.
"Sayang!"
Aku dan Ratih saling tatap. Avi terlihat gelagapan.
"Ada tamu, ya--."
Sosok tinggi tegap yang berbalut handuk itu mematung di lubang pintu yang menghubungkan dapur dan ruang tengah. Gerak tangannya yang tadi sibuk menggosok rambut basah dengan handuk kecil kini terhenti.
"Oh, ada tamu. Maaf, saya pake baju dulu." Dia tersenyum ragu, kemudian bergegas masuk ke kamar yang dulu kutempati bersama Avi.
Ada yang berdenyut nyeri di sudut hatiku. Rasa jumawaku sedikit pun tak akan berguna di hadapan Avi. Melihat penampilan Mirza tadi yang hanya berbalut handuk, tentu membuatku sangat sadar, bahwa secara fisik saja aku sudah kalah telak darinya.
Mendengar dia memanggil Avi, sayang, tentu membawaku untuk tahu diri, bahwa dulu aku tak pernah semanis itu kepada Avi.
Mungkin Alloh menakdirkan pernikahan Avi dan Mirza untuk menjadi jalan kebahagiaan bagi Avi. Sementara aku, tugasku kini adalah menebus semua kesalahanku kepada Ratih, dengan cara membahagiakannya.
---TAMAT---
ceritanya bagus, terima kasih author kutunggu karya selanjutnya, smg selalu sukses
BalasHapus