Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 07 Januari 2022

Tesa #1

Cerita Bersambung
Karya : Marga T.

Asrama mahasiswa itu sangat luas, terdiri lebih dari tiga puluh blok. Masing-masing blok bertingkat lima dan setiap tingkat mempunyai tiga puluh delapan kamar. Tidak mengherankan bila banyak di antara penghuni yang tidak saling kenal, apalagi orang-orang Barat memang tidak begitu usil terhadap urusan orang lain.

Tesa sudah hampir setahun di Perth, namun kenalannya boleh dibilang cuma terbatas pada kawan-kawan setingkat yang kerap dijumpainya di dapur. Atina dan Sabita merupakan kawan eratnya, sama-sama dari Jakarta. Pika, toman Sabita, Juga menempati tingkat yang sama, tapi dia sudah hampir tiga tahun di situ, Jadi sudah lebih biasa dengan kehidupan asingnya.

Tesa kerap kali merasa rindu pada rumah, terlebih kalau dia teringat apa yang menyebabkan dia pergi merantau sejauh itu. Memang terhadap orangtuanya dia berdalih tidak lulus Sipenmaru, ya sobaiknya belajar saja ke luar negeri, toh biayanya tak beda banyak dengan perguruan tinggi swasta.
Namun kini dia agak menyesal dan kerepotan sendiri memikirkan biaya. Kiriman dari rumah terlalu pas-pasan, kalau tak mau dibilang kurang. Dia tak berani menuntut lebih banyak, sebab tahu keadaan orangtuanya yang terus jatuh sejak merosotnya harga minyak dan devaluasi rupiah yang berturutan sedari tahun tujuh puluh delapan. Sebelum mengizinkannya pergi, ibunya sudah bertanya belasan kali apakah dia akan sanggup hidup dengan ongkos sebegitu, dan dia sudah menyanggupi. Pokoknya waktu itu dia sudah bertekad: lebih baik mati kelapar-an di Iuar negeri daripada hidup kenyang di depan hidung seorang pengkhianat! Dan nama yang punya hidung itu adalah Goffar! Hidungnya mancung, wajahnya ganteng, namun hatinya culas.

Pada sebuah pesta, Tesa memperkenalkannya pada Shakira, teman sekelasnya. Tak dinyana, tak disangka, Goffar sampai hati mengecohnya. Shakira terpaksa mesti dinikahinya. Yah! Belum jodoh, bisik hatinya kalau sedang melamun. Tapi kalau sedang nasping, ingin rasanya meracuni hati yang culas itu. Namun dia selalu merasa ngeri membayangkan sel penjara dan segala momok yang berkeliaran di sana dalam seragam. Akhirnya, seperti biasa cuma air mata yang meleleh turun. Setelah berpikir ribuan kali, dia nekat mau pergi meninggalkan semua kenangan pahit di belakang. Dia bertekad mau melembari sejarah hidupnya dari mula lagi. Namun kini...!
Kalau dia tidak segera mendapat tambahan uang, dia harus angkat kaki dari sini, menyetop kuliah, balik ke rumah Mama, nangis tiap malam memikirkan nasib!

Tesa menghela napas sambil mengaduk sop bening, makan siangnya hari itu. Dia begitu asyik dengan lamunannya, sehingga kedatangan Pika mengejutkannya.

"Hei, aku dengar orang menghela napas. Kamukah itu? Wajahmu keruh sekali, ada apa, sih? Urusan si dia?"
"Boro-boro memikirkan orang lain, memikirkan hidup sendiri saja sudah kalang kabut Aku sih enggak mau deh pacaran sebelum sekolah beres. Enggak ada duit, Pik! Apa kata orangtuaku kalau aku sampai gagal, padahal mereka sudah keluar uang begitu banyak?! Pacaran! Huh!" Sekejap pikirannya yang sedang pusing teringat pada Goffar, dan jengkelnya meletup.

"Heh, kau ini seperti yang pernah patah hati saja! Kelihatannya kamu anti cowok, ya! Kan enggak semuanya jelek, Tes. Coba, misalnya pacarku...!"

Tesa menghela napas. Sungguh Pika ini tak pernah peduli perasaan orang lain. Kalau sudah menduga orang pernah patah hati, ya tak usah dong pamer pacarnya yang nomor wahid itu Kan cuma bikin hati yang patah itu makin merana, bukan?! Tapi Tesa sudah tahu sifat Pika. Di mana saja, pada siapa saja, dia selalu berusaha membanggakan pacarnya yang tak pernah diperkenalkannya pada siapa pun. Alasannya, takut dirampok! Kalau soal begitu sih, kau tak perlu takut padaku, pikir Tesa sinis. Aku ini paling pantang merampok pacar orang, sebab sudah aku rasakan sendiri betapa pahitnya bila pacar kita dirampas teman! Dan, yah!  Itulah sebenarnya alasan utama yang membuatnya pergi merantau ke selatan. Sebab Goffar telah dirampas oleh Shakira, teman karibnya di SMA yang kini telah berubah jadi musuhnya.

Tapi bukan itu yang memberati pikiran Tesa sekarang. Dia hampir kehabisan uang! Dan tak tahu mesti minta tolong pada siapa. Tentu saja bukan pada Pika, pikirnya kembali dengan sinis, ketika gadis berambut kribo yang lincah itu terus nyerocos menyebutkan semua atribut yang menjadi kebolehan sang pacar.

Sekadar basa-basi, Tesa menanggapi setengah hati. Pikirannya sendiri bagaikan pusaran air yang berputar-putar pada masalah yang itu-itu juga. Dia kehabisan duit. Kalau tidak bisa mendapat kerjaan apa saja dia terpaksa bilang bye-bye dan mudik!

"...dan hari Minggu nanti dia akan menerima piala juara tenis di kampus! Setelah itu makan siang beramai-ramai, sudah tentu aku diundang juga. Wah, dia dipuji Setinggi langit, lho oleh profesornya. Liburan musim panas nanti dia mau diajak tim uni-
nya untuk pertandingan ke Darwin. Hebat, deh! Eh, ngomong-ngomong, masa kau cuma makan sop air doang? Mana kenyang, tun? Mari sini, aku barusan membell ikan dan chips, enak, deh."
"Enggak ah, terima kasih. Aku punya telur dadar kok di kamar, sisa kemarin," sahut Tesa yang enggan menerima budi, lalu cepat-cepat berlalu ke kamarnya, sehingga Pika melongo, sebab biasanya mereka selalu makan di dapur sambil ngobrol. Tapi Tesa tidak mau dikasihani orang kalau ketahuan bahwa telurnya sebenarnya sudah habis tiga hari yang lalu.

Dua minggu kemudian sisa uangnya tinggal dua puluh dolar. Kalau dia hemat sekali itu bisa untuk makan dua minggu. Tapi dia terpaksa jalan kaki ke kuliah. Apa boleh buat. Mungkin sekali-sekali bisa nebeng teman-teman yang punya mobil. Tapi tentunya tak bisa setiap hari.

Dering bel pintu kamar membuatnya gugup. Cepat-cepat dibenahinya dompetnya yang lusuh dan kempes itu, lalu dibukanya pintu.

"Halo, boleh aku masuk?" seru Pika seraya menerobos sebelum diberi izin. Tesa menutup pintu lalu menemani Pika yang sudah duduk di dipan. Sebelum dia sempat bertanya apa keperluannya, gadis itu sudah nyerocos seperti petasan disundut.

"Bukankah kau tempo hari ingin mencari uang, Tes? Maukah kau merawat orang sakit?"

Tentu saja dia mau. Tapi sakit apa? Kalau perawatannya sulit, pasti dia tak mampu.

"Sakit apa, Pik? Kalau tidak terlalu sulit, boleh saja. Kalau perlu perawatan khusus, mungkin aku enggak becus."
"Oh, soal itu sih enggak usah khawatir, deh. Beres. Orangnya sebenarnya tidak sakit, artinya enggak diam terus di ranjang. Tapi dia butuh pertolongan, sebab... matanya buta! Kecelakaan dua minggu yang lalu. Dokter bilang, ada harapan dengan operasi dia bisa disembuhkan. Tapi harus menunggu enam bulan lagi. Itu pun cuma sebelah. Yang lain, beberapa bulan kemudian. Jadi kira-kira baru setelah delapan-sembilan bulan dia akan bisa melihat lagi. Dan selama itu, dia perlu pertolongan."
"Pasiennya laki-laki?"
"Ya. Om om"
Tesa menjadi ragu. Sanggupkah dia? Menolong orang itu ke kamar mandi, masuk ke tempat tidur...
"Orangnya masih muda?"
"Dua tahun lebih tua dari aku." Berarti empat tahun selisihnya dengan dirinya sendiri. Semuda itu?! Ah, dia tak bisa! Dia bukan perawat, tidak biasa melayani kebutuhan pribadi orang lain, apalagi laki-laki yang hampir sebaya dengannya.

"Aku tak bisa. Maaf, deh."

Pika menyebutkan jumlah honor yang lebih dari lumayan untuknya. Tesa berpikir lagi. Perasaannya enggan, sebab dia pasti akan kikuk dan malu menghadapi pasien seperti itu. Belum lagi kalau orangnya kuat! Bukankah dia sebenarnya tidak sakit?! Berarti jasmaninya sehat! Berarti...! Ah, kau sombong, tuduh pikirannya yang cuma memikirkan soal uang. Kau lebih suka mati kelaparan daripada merendahkan diri sedikit menjadi pelayan orang lain.

"Aku sungguh tak mampu, Pik."
"Memangnya kenapa?"
"Ya, pikir saja olehmu. Kalau dia mau ke kamar mandi atau ke WC! Gimana aku harus menolongnya? Apakah aku harus memandikannya? Gimana kalau dia mencoba memperkosa aku?"

Pika meledak ketawanya. "Mengenai. itu semua kau tak perlu khawatir, Tes. Waktu di rumah sakit dia sudah melatih dirinya ke kamar mandi dan WC sendiri. Dia mempunyai kursi roda yang bisa dijalankannya dengan mudah. Tapi dia perlu bantuan kalau mau pergi keluar, misalnya ke kuliah. Harus ada orang yang akan memperingatkannya bila ada bahaya di jalan. Dia juga perlu bantuan di dapur atau dalam mencari bab-bab di textbook. Tugas-tugas seperti itulah! Enggak susah, kan? Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Pertama, kau tak boleh memakai namamu kalau bekerja di sana. Kau harus mengaku bernama... Ina misalnya, atau Selina. Kedua, kau tak boleh mengatakan perihal dirimu pada pasien itu, seperti alamatmu di sini maupun di Jakarta, apa kuliahmu, dan lain-lain. Pendeknya kau tak boleh menjadi intim dengannya. Dan begitu dia berhasil dengan operasinya, kau harus berhenti, tak boleh sekali-kali memperkenalkan dia padanya! Setuju?"

Tesa bukan menjawab, tapi malahan bertanya lagi, "Siapakah pasien itu sebenarnya?" Dia merasa agak mendongkol diberi syarat-syarat serumit itu. Aneh sekali, pikirnya.

"Namanya Pasha. Calon tunanganku!" Hm. Kini Tesa mengerti dan malahan bisa merasa simpati terhadap kecemasan serta kekhawatiran temannya. Dia juga takkan mau calon tunangannya direbut orang... seandainya dia punya calon!
"Tapi, kalau kau begitu cemas dia nanti direbut olehku, kenapa enggak kaurawat dia sendiri saja? Dengan begitu, kau juga bisa menghemat, bukan?" Pika menghela napas.
"Seharusnya memang begitu. Tapi masalahnya, aku ini enggak sabaran. Dalam seminggu saja aku sudah naik darah entah berapa kali melihat dia berbuat kesalahan. Atau kalau dia kehilangan semangat dan tak mau lagi mencoba. Dia sangat tertekan karena musibah itu dan gampang marah-marah karena alasan sekecil apa pun. Selain itu, aku enggak punya waktu. Aku harus mengikuti kuliah full-time Aku juga harus pergi berenang, latihan senam, dan lain-lain. Pendeknya, aku tidak sempat mendampinginya terus-menerus Nah, aku beri kau waktu sampai besok untuk mempertimbangkannya. Aku jamin, deh, dia takkan memperkosamu!"

==========

Tentu saja tidak, pikir Tesa ketika melihat pasiennya. Pasha cuma punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri serta menangisi nasibnya. Mana dia sadar ada perempuan di dekatnya yang dengan mudah bisa dibekuknya. Dia cuma duduk saja di depan jendela dalam kamarnya di tingkat dua, dan sama sekali tidak mempedulikan kehadiran Tesa.

Pasha Solem bertubuh tinggi dan tegap. Wajahnya yang tampan dihiasi batang hidung yang kuat, rahang yang tegar, dan bibir yang selalu terkatup rapat. Alisnya yang tebal berwarna hitam menaungi matanya yang tak kelihatan, sebab ditutupi kacamata hitam. Lucu juga melihat orang memakai gelas berwarna pekat itu dalam ruangan yang tidak kemasukan cahaya matahari. Tapi barangkali itu perintah dokter? Tesa berniat menanyakannya suatu ketika.

Sifat Pasha yang cepat marah segera ketahuan waktu siangnya Tesa menyuruhnya minum obat.

"Pak Solem, Anda harus minum..."

Tapi gelegar suaranya memotong perintah Tesa.
"Berapa kali harus kukatakan bahwa aku tak mau dipanggil Pak? Panggil aku Pasha saja, atau menggelindinglah kau dari sini! Enyah sana!"
Tesa menggigil. "Ma... af... Ppp... eh, Pa... sha. Anda sekarang harus..."
"Jangan pakai Anda! Kau! Kau, kau, kau! Mengerti?"
Tesa terdiam kaget, tak mampu bersuara.

"Mengertiii?!" gelegar Pasha Solem membuat perabot dan dinding nyaris bergetar bagaikan dilanda gempa.
"Mengerti, Pa... sha."
"Nah, aku harus minum apa?" Suaranya lebih kalem.
"Kau harus minum obatmu. Mari aku bantu."
"Tak usah!" Pasha mengibaskan lengan menghalaunya pergi. "Apakah obat itu bisa menyem-buhkan mataku?"
"Aku... tak tahu."
"Nah, kalau tak bisa, percuma aku telan. Buang saja!" Lalu dia menghela napas dan kembali menatap ke luar jendela.

Tesa mendekati kemudian menyentuh lengannya dengan hati-hati, khawatir kena pukul lagi.
"Obat ini pasti ada gunanya, sebab diberikan oleh dokter yang merawatmu. Ayo, mari ditelan." Huh! Seperti membujuk anak kecil saja, keluhnya.

"Ada gunanya? Hm! Aku sudah menelannya puluhan butir, tapi kok mataku masih begini-begini juga? Tidak! Buang saja ke tong sampah. Jangan suruh aku menelannya!"
"Pasha, kau harus sabar. Matamu pasti akan pulih kembali," bujuk Tesa sambil menyentuh lengannya sekali lagi.
"Huh! Sabar! Sabar! Gampang saja kaubilang begitu, sebab kau sendiri bisa melihat dengan kedua matamu! Coba seandainya kau yang di tempatku, belum tentu kau tidak akan melolong-lolong, bukan?"

Tesa terdiam, tak bisa membantah.
"Ya, bukan?" desak Pasha dengan nada mengejek. "Kok tidak berani menjawab? Ayo katakan, ya tidak?"
"Mungkin... ya," sahut Tesa pelan.
"Hm. Kau tak tahu betapa sengsaranya mesti tergantung pada orang lain seperti ini! Kau tak tahu betapa tidak sabarnya aku harus terikat di kursi begini! Aku tak pernah menghargai kedua mataku selama ini. Aku menerima mereka begitu saja. Telingaku, hidungku, mulutku, tanganku, kakiku, jantungku, hatiku, seluruh tubuhku! Aku menerimanya begitu saja, tanpa syukur sedikit pun pada Tuhan Yang Mahakuasa. Kini setelah aku kehilangan penglihatanku, barulah aku sadari betapa bahagianya aku sebelum ini! Tapi sekarang segalanya sudah terlambat, Selina! Terlambat!"

Dan Tesa memperhatikan dengan rasa haru serta kaget ketika laki-laki gagah itu menunduk menangis, menutupi wajah dengan kedua tangan. Tesa tertegun tak bisa berbuat apa pun.
Akhirnya dikumpulkannya keberaniannya dan ditariknya kedua tangan Pasha dari wajahnya. Lalu dibukanya kacamata yang basah itu dan dibersihkannya dengan saputangan Pasha yang tergeletak di atas meja.

"Ini saputanganmu, sekalah mukamu. Kemudian kita akan minum obat itu." Mendadak Pasha ketawa, sehingga Tesa mundur ketakutan. Barusan menangis, air mata pun belum lagi kering di muka, kok sekarang malah ketawa?! Sudah gilakah pasiennya ini?!

Tapi dia segera mengerti dan bahkan ikut ketawa ketika Pasha berkata, "Betulkah kau akan ikut aku menelan obat itu? Kaubilang tadi 'kita'..."
"Oh, maksudku..." Tesa tersipu ditatap oleh pasiennya, seketika itu terlupa bahwa dia tak bisa melihat.
"Ha... ha... ha"
"Ah, kau jahat! Maksudku, kau yang minum, aku cuma membantu memberikan pil serta air..." Tiba-tiba Tesa tertegun, sehingga gelas di tangannya tidak jadi diulurkannya kepada Pasha.

"Eh, kenapa kau jadi diam? Ada apa?"
"Oh, eh... tak ada apa-apa. Mari, aku bersihkan dulu wajahmu."
Diambilnya saputangan yang dipegang oleh Pasha, lalu dikeringkannya mata serta pipinya.

Dia melap dengan amat hati-hati seakan khawatir mata itu akan remuk kena sentuhan. Pasha diam saja membiarkannya. Sebenarnya dia sudah setengah mabuk menghirup bau harum tubuh Tesa. Entah apa parfum dan sabunnya, pikirnya sesaat.

Ketika Pasha meminta kacamatanya kembali, Tesa menolak dengan halus. "Apakah gelas-gelas ini disuruh pakai oleh dokter?"
"Ya, kalau ada sinar matahari. Mataku belum boleh dirangsang terlalu kuat".
"Tapi di sini cukup gelap. Sama sekali tak ada cahaya. Lampu juga dipadamkan. Lebih baik tak usah kaupakai ini. Tahukah kau, matamu indah sekali!"
"Jangan mengejek! Mataku buta! Mana mungkin bisa bagus!"
"Aku enggak bohong, lho. Matamu sama sekali tidak kelihatan berbeda dengan mata biasa. Tetap bercahaya dan bagus sekali. Aku rasa kerusakannya pasti terletak di bagian dalam, sehingga tidak tampak dari luar. Betulkah?"
"Ya. Dokter bilang, saraf dan retina, dan entah apa lagi, pokoknya, memang di sebelah dalam."
"Nah, ngomong-ngomong, kau tak boleh lupa obatmu, dong!"
"Hm. Kau menghibur aku supaya hatiku senang, ya, dan gampang dibujuk makan obat!" sembur Pasha dengan nada kurang senang.

"Oh, sama sekali bukan begitu!" bantah Tesa. "Obat ini kan demi kepentinganmu sendiri untuk..."
"Ah! Jangan sok mengajari! Aku kan mahasiswa FK! Pasti lebih tahu dari kau!"

Tiba-tiba hatinya merasa jengkel. Buat apa sih meladeni pasien kayak gini, lebih baik dia ber-henti saja!

"Baiklah kalau kau tak mau menelan obat ini, bagiku tak ada persoalan. Tapi aku tak mau ditegur oleh Pika. Karena itu, aku rasa sebaiknya aku berlalu saja! Selamat siang, Pasha!"
"Eh, eh, eh, kau mau ke mana?" seru Pasha dengan nada sedikit panik ketika mendengar langkah Tesa menjauhinya.

"Aku mau pulang dan tidak kembali lagi!" cetusnya kesal.
"Ah, ah, ah, rupanya kau juga suka ngambek seperti aku, ya! Ha, ha, ha! Sama-sama, nih! Ayo, jangan marah, dong, Selina. Coba bujuk aku sekali lagi, pasti aku akan menurut. Meskipun racun, asal kaubilang harus kutelan, akan kutelan! Ayo, mana obatnya?! Entah apa khasiatnya, sih, sampai mesti dimakan terus tiap hari?"

Tesa tersenyum sendiri, lalu berjalan balik ke jendela. Diraihnya pil serta gelas dari meja dan disorongkannya.

"Kalau kau mau, aku bisa menelepon doktermu untuk menanyakan. Tapi menurut dugaanku, mungkin obat itu untuk melancarkan. peredaran darah di tempat yang luka supaya cepat sembuh. Dan kapsul ini untuk menghalau infeksi.
"Ya, ya, ya, aku rasa juga begitu." Dan seperti anak kecil yang patuh. Pasha menelan semua obat.
"Nah, aku sudah jadi anak baik. Kau takkan meninggalkan aku lagi, kan?" Pasha ketawa petal. Rupanya hatinya sedang riang. Tapi beberapa waktu kemudian ketika Tesa mengusulkan untuk membacakannya sesuatu, dia kembali meradang.

"Aku bukan anak kecil!" teriaknya.
"Enyah kau dari hadapanku!"

Tesa berlalu ke dapur dan duduk di sana sambil memperhatikan lalu lintas di bawah. Kemudian didengarnya lonceng berdentang tiga kali. Dia bangkit untuk membuat kopi dan menyiapkan makanan kecil.

Dari ruang depan tidak kedengaran bunyi apa pun. Berjingkat-jingkat dia mengintip. Ternyata Pasha tengah tidur di kursi rodanya. Kepalanya terkulai ke dada. Tesa mengambilkannya selimut dan menutupi sebagian tubuhnya tanpa membangunkannya. Lalu dia kembali ke dapur.

Wangi kue dadar rupanya membangunkan Pasha. Pika telah memberikan resep kue itu padanya.
"ini makanan kebesaran Pasha. Biar tiap hari kau bikin pun dia takkan bosan. Jadi gampang, seandainya kau tidak mau keluar membeli kue!" kata Pika.

Pasha mendengus-dengus sebelum dia yakin bahwa itu bukan datang dari apartiemen di atasnya.
"Selina!" teriaknya memanggil. "Kau sedang bikin apa?" Lalu tiba-tiba teraba olehnya selimut yang menutupi kakinya. Hm. Dia ingat, tadi dia tidak pakai selimut. Jadi Selina...

"Oh, kau sudah bangun?" sapa Tesa yang muncul tergopoh-gopoh.
"Aku sedang membuat kue dadar. Tapi enggak tahu nih jadi atau enggak, sebab aku belum pernah membuatnya."
"Tentu saja! Gadis macam kau mana suka ke dapur, bukan? Ha, ha, ha!"
"Ah, kau membuat aku jadi malu!" kata Tesa merajuk, lalu cepat memperingatkan dirinya siapa dia. Kau tak boleh bermanja-manja padanya, katanya dalam hati. Dia kan cuma pasienmu dan pacar orang lain!"
"Sabar, deh. Semenit lagi pasti sudah matang!" Lalu dia bergegas kembali ke dapur, sebelum Pasha mendengar degup jantungnya.

Sore pertama itu mereka makan kue dadar berdua. Enak juga, walaupun sebagian keburu hangus sebelum diangkat Yang hangus tentu saja di makan semua oleh Tesa, sehingga Pasha tidak tahu akan kegagalannya.

Tak lama setelah itu Pika datang untuk melihat bagaimana keadaan Tesa.
Untung masih tersisa kue dua buah.

"Tumben kau sore-sore begini kemari!" tukas Pasha bukan dengan nada kurang senang. "Mau ngontrol, ya? Takut Selina sudah di makan macan, bukan?!"
"Ah, kau ini ada-ada saja. Aku kebetulan kangen sama kamu, disangka yang enggak-enggak!" sahut Pika cemberut. Aneh bin ajaib, Pasha bisa jinak betul pada betinanya. Berbagai kata manis diobralnya supaya gadisnya jangan sampai ngambek.

Pika akhirnya berkenan ketawa lagi, lalu melejit ke dapur di mana Putri Sapu Abu sedang sibuk mencuci perabot bekas bikin kue.

"Bagaimana? Bisa betah?" bisik Pika sambil membantu mengeringkan piring dan gelas.
"Ya, dibetah-betahkan, deh!" bisik Tesa.
"Tadi enggak meledak?"
"Oh, aku sudah hampir lari pulang! Tapi kemudian teringat olehku uang yang kuperlukan." Tesa menghela napas. Pika membujuknya.

"Sabar, Sebenarnya dia baik, kok. Cuma masih belum bisa menerima keadaannya ini. Kalau sudah di sini seminggu, kau pasti akan merasa terbiasa."
"Apakah... apakah... matanya takkan... pulih lagi?"
"Ah, entahlah!" Pika menarik napas. "Dokter sih.Wang, ada harapan. Tapi kita baru bisa bergembira setelah semuanya menjadi kenyataan, bukan? Karena itu dia murung terus. Menurut anggapannya, dokter cuma ingin menghibur dirinya."
"Tadi Pasha mengira, dia takkan pernah sembuh kembali?" bisik Tesa menggigil dalam hati Pika mengangguk. "Begitulah."

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER