Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 08 Januari 2022

Tesa #2

Cerita Bersambung

Demikanlah hari demi hari Tesa mengunjungi apartemen Pasha dan lama-kelamaan dia ter-biasa mendengar segala macam rajukan serta gelegar suaranya.
Ketika dia sudah hampir sebulan di sana, datang beberapa kawan kuliah Pasha, membu-juknya agar mau mengikuti pelajaran lagi.

"Kami sudah mengatur semuanya, Pas. Bahan-bahan kuliah akan kita rekam dan bisa kauulang-ulang sendiri di rumah."

Sudah berulang kali Pika membujuk Pasha agar mau kuliah lagi. Tapi laki-laki itu menolak dengan alasan percuma, toh dia takkan bisa mengikuti praktikum. "Itu kan bisa disusul bela-kangan," saran Pika. Sebenarnya dia khawatir melihat Pasha termenung terus sepanjang hari.
Bujukan Pika ternyata tidak mempan. Kini/ mendengar usul kawan-kawannya, sejenak dia kelihatan tertarik.
"Tapi dengan apa aku harus ke sana? Aku kan tak bisa membawa mobil lagi!" Pada saat itu muncul Tesa dari dalam sehingga tak ada yang menjawabnya. Mereka serentak keheranan melihatnya, sebab setahu mereka, gadis Pasha adalah Pika yang dinamis, bukannya gadis molek semampai yang begini lembut.

"Siapa bidadari ini. Pas? Jangan bilang bahwa kau sudah mendapat Pika yang baru!" •
"Ini Selina, kawan Pika. Dia membantu aku mengurus makanan dan ... oh, dia pintar sekali memaksa aku agar minum obat! Tapi dia juga pandai membujuk dan menghibur kesusahan hatiku."
"Ha, kalau begitu pantas sekali dia disebut bidadarimu!" seru seseorang yang kacamatanya tebal sekali
"Ya," sambut yang lain. "Bidadari Tuan Solem! Bagus kan nama itu, eh, Manis?"
"Ayo, mari sini, Selina, aku ingin menatapmu dari dekat!"

Namun Tesa malah makin tersipu dijadikan pusat perhatian seperti itu.
Akhirnya Pasha me-nyuruhnya bikin kopi agar dia bisa berlalu ke dapur.

"Wah! Kau curang!" tuduh yang lain. "Rupanya kau mau mencabut hak -hak asasi kami untuk berkenalan dengannyal Selina, setelah bikin kopi nanti, kau harus menemani kami! Awas kau berani sembunyi di WC!"

Sejak itu Tesa dijuluki Bidadari Tuan Solem oleh kawan-kawan Pasha setiap kali mereka bertandang. Tesa tidak memprotes. Dia juga tak pernah menyanggah setiap perintah Pasha yang dianggapnya sebagai majikannya. Dia merasa lumrah saja sebagai pelayan dia harus menger-jakan semua perintah walau yang secerewet apa pun.
Dan Pasha gemar memerintah, terkadang ma-lah keterlaiuan cerevvetnya. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati terhadap gadis malang yang terpaksa bekerja melayaninya de-mi menyambung kuliahnya. Tapi bagi Tesa hal itu rupanya tidak jadi soal. Dia memang tidak mengharapkan perhatian dari majikannya. Jus-tru dialah yang dianggapnya perlu melimpah-kan perhatian agar sang majikan lekas pulih tubuh dan jiwanya.

Tesa membujuk Pasha agar mau menuruti saran kawan -kawannya untuk kembali kuliah.' Penyewa apartemen di lantai satu secara ke-betulan mendengar usul itu ketika dia mengun-jungi Pasha pada saat teman-temannya datang. Bob segera mengajukan tawaran untuk mengan-tar Pasha tiap pagi dengan mobilnya sampai kampus. Dari situ dia dapat berkursi roda sampai ruang kuliah, ditemani oleh Tesa.

"Aku harus memikirkannya dengan cermat," sahut Pasha mengelak. Sebenarnya, dia merasa a mat enggan pergi ke kampus dalam keadaan begini. Biasanya dia kan gagah, senang jadi pusat perhatian gadis-gadis, yakin akan penampilannya sebagai bin-tang lapangan tenis yang selalu berjaya.
Masakan kini mesti merangkak di atas kursi roda dipandu oleh bocah ingusan, seperti kakek hampir jompo?! Enggak, ah! Lebih baik diam di rumah dulu sampai operasinya nanti berhasil.

"Tapi seandainya operas! itu tidak berhasil, bagaimana?" tanya Tesa saking jengkelnya melihat kesombongan pria itu. Dan dia segera me-nyesali kelancangannya begitu melihat air muka Pasha yang merah padam.

"Apa kau bilang?!" raungnya.
"Kau berani ber-harap bahwa operasiku tidak akan berhasil nanti? Kau mau sok lebih pintar dari dokter atau kau sedang menyumpahi diriku? Siapa sih kau ini?! Kau di sini dibayar untuk melayani aku, bukannya untuk membuka mulutmu yang lan-cang itu! Kalau aku butuh nasihat, aku akan menanyakan pada Pika, enggak perlu kamu! Mengerti?! Pergi! Jangan dekat-dekat aku!"

Tesa menelan air matanya. Tanpa bunyi dia. melangkah ke dapur. Ditutupnya pintu dapur, lalu duduk di meja dan menangis tersedu -sedu. Saat itu terbayang olehnya rumahnya yang sen-tosa, ayah-ibunya yang ramah serta adik-adik-nya yang selalu riang gembira, terlebih Markus, abangnya. Mau lah dia seketika itu juga terbang pulang. Oh, seandainya dia punya sayap! Apa yang dilakukannya di rantau orang begini? Di-maki-maki kayak budak yang hina dina!
Oh, apa sebenarnya yang diharapkannya di sini?! Hanya karena menuruti emosi maka dia. sudah datang kemari! Hanya karena patah hati!
Dan kini...'! Inilah upahnya, kena maki orang! Bahkan ayah serta ibu yang merawatnya sejak bayi tak pernah menghardiknya seperti itu! Apa sih hak si Pasha Solem itu sampai dia berbuat begitu padanya?!
Oh, kalau saja uang itu tidak sangat aku butuhkan, sekarang juga aku akan angkat kaki dari sini! Ya Tuhan, tabahkanlah hatiku!

Tesa begitu asyik terbenam dalam keluh ke-sahnya, sehingga tidak didengarnya pintu dapur terkuak pelan. Roda-roda kursi menggelinding tanpa bunyi di atas lantai linoleum. Ketika le-ngannya disentuh, Tesa mencelat kaget, nyaris berteriak. "Selina..."

Tergopoh-gopoh diusapnya wajahnya dari air mata, Iupa sesaat bahwa Pasha tak bisa melihat-nya. Ditelannya ingusnya, sebab dia tak berani menimbulkan bunyi.

"Kau menangis?"' Dia menggeleng. Tapi kemudian segera ter-ingat bahwa Pasha tidak bisa melihat gerakan-nya. Sebelum dia sempat membantah, jari- jari Pasha sudah meluncur ke pipinya. Pasha seakan mengerti bahwa dia tadi telah menggeleng.

"Ah, benar. Kau telah menangis. Aku telah menyakiti hatimu, Selina. Maafkan aku, ya."
"Ah, kau tak perlu minta maaf," sahutnya tawar. "Memang seharusnya aku tidak boleh banyak omong. Bukankah aku di sini ini cuma untuk melayanimu?"
"Dulu aku enggak sekasar ini. Heran, sekarang aku jadi gampang marah. Mungkin dalam keadaan darurat barulah seseorang itu ketahuan sifat aslinya!" Pasha tersenyum sinis. Dia mena-rik napas. "Barangkali kau takkan tahan terus-menerus menghadapiku begini, seperti Pika. Dia juga sudah tobat. Selina, apakah kau mau ber-henti?"

Ya, aku ingin sekali berhenti! teriaknya dalam hati. Tapi dia tak punya keberanian untuk me-nyuarakan isi hatinya. Jadi Tesa membisu.

"Aku tahu, kau ingin berhenti. Tapi jangan katakan itu sekarang, Sel. Pikirkan dulu baik- baik sehari-dua hari. Aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiranmu. Aku akan merasa amat kesepian kalau kau tidak datang lagi ke sini. Tinggal di rantau begini sungguh membuat hatiku merana. Kalau di rumah, pasti ada orang yang akan memanjakan diriku. Ah!"
"Kenapa kau tidak pulang saja kalau begitu?" tanya Tesa sedikit sinis. Dia mulai kurang me-nyukai pemuda ini yang ternyata cuma memikirkan dirinya melulu. Meminta dia jangan berhenti pun, semata-mata demi kebaikan dirinya. Sama sekali tidak dipikirkannya kepentingan Tesa.
"Aku malu, Selina. Apa kata orang melihat aku tak berdaya seperti ini? Ke mana-mana mesti ditolong orang lain. Bahkan ke WC, mi-salnya. Di sini keadaannya lebih gampang. Tapi di rumahku, WC-nya bersatu dengan kamar mandi, licin setengah mati lantainya, dan mereka tidak memakai kertas. Bagaimana aku harus beranjak dari kursi roda ke atas WC, lalu mem-bersihkan diri? Selain itu, semua gadis cantik pasti akan mengejek diriku! Apalagi yang pernah aku sakiti hatinya, walaupun... tanpa sengaja...."

Hm. Tanpa sengaja?! Pasti pemuda ini tukang ganti-ganti pacar! Banyak sudah hati yang koyak-koyak karena ulahnya. Tesa merasa makin sebal terhadapnya. Yang diingat Pasha cuma tiga hal. Pertama, keagungan dirinya. Kedua, kekerenan dirinya. Ketiga, kegagahan dirinya! Malu, malu, malu!

"Selain itu, Selina, aku masih mengharapkan mukjizat dari operasi yang akan datang...."

Mukjizat?! Huh! Kau sendiri yang menyebut-nya mukjizat! Dan kau pasti tahu, zaman sekarang sudah tak ada mukjizat!

"Selina, kenapa kau diam saja? Seandainya kau bersedia datang terus kemari, aku berjanji akan berusaha lebih mengekang diriku, teruta-ma mulutku. Aku takkan menghardikmu lagi. Bagaimana? Aku juga akan menaikkan gajimu. Dan kelak akan memberimu bonus. Setuju bukan, Sel? Kau takkan meninggalkan aku, kan?"

Tesa merasa muak sekali. Tapi tidak diper -lihatkannya itu dalam suaranya.

"Kau tak perlu menaikkan gajiku, Pasha. Juga tak usah khawatir akan kutinggalkan. Aku takkan berhenti, sebab aku amat membutuhkan honor ini. Nah, sekarang, biarkanlah aku berdiri untuk mem-buatkan engkau kopi"

"Ya, ya, ya, aku tahu kau sangat memerlukan uangku. Karena itu kau bersedia menemani aku terus tiap hari. Kau datang bukan karena me-nyukai diriku! Yah!" Suaranya seakan kedengar-an getir, tapi Tesa mana peduli? Menyukai diri-mu?! Bah! Aku lebih suka mencium tikus got dari pada menjabat tanganmu!

Hari-hari berlalu dengan kerutinan yang amat menjemukan Tesa. Pasha terus-menerus duduk termangu di depan jendela, berkacamata hitam. Dia tak mau mendengarkan musik, dia tak mau dibacakan buku. Tapi dia tak berarti menolak lagi kalau disuruh makan obat, sebab Tesa pernah mengancam akan berhenti saja dan-mencari kerja yang lain.

Untuk membunuh kesepian serta waktunya sendiri, Tesa membawa bahan bacaan atau jahit-an. Salah satu hobi dan bakatnya adalah membuat pakaian. Teman-teman di asrama segera sibuk memanfaatkan kepandaiannya ini. Upah-nya pun lumayan walau tak ada sepersepuluh honor tukang jahit biasa.

Selama menemani Pasha, tentu saja dia tidak sempat mengikuti kuliah. Terpaksa disalinnya buku teman-temannya yang sama-sama mengikuti pendidikan sekretaris di Prince Edward College. Pernah dia minta permisi untuk pergi ke kampus, tapi Pasha tidak mengizinkan.

"Aku membayarmu untuk menemani aku di sini, bukannya untuk kautinggal-tinggal kapan saja kau mau!"

Aduh, pongahnya.' gerutu Tesa, tapi dia tak berani membantah. Ah, seandainya aku bisa mendapat kerjaan lain, pikirnya berulang-ulang. Kalau sedang di dapur, makan pagi atau malam bersama yang lain-lain, Tesa acap kali menguta-rakan harapannya untuk mencari kerja. Tentu saja bila Pika tidak hadir, supaya jangan disam-paikannya pada pacarnya. Tesa merasa jemu dan bosan mengurus pasien yang satu itu, wa-lau bayarannya masih lumayan.

"Heran! Kau sekarang tak pernah lagi makan siang di dapur. Ke mana saja sih selama ini?" tegur Nopi, mahasiswa serba bisa yang sudah jadi inventaris asrama saking kelewat lama ber-mukim di situ.
"Ah, mau tau aja nih ye!" sambut Atina sam-bil mencolek sambal.
"Memangnya namamu Tesa?" tanya Nopi mangkel.
"Aku barusan enggak dengar kausebut-sebut nama!" balas Atina.
"Lantas, kaupikir jadinya aku sudah gan-drung mau tanya-tanya soal tetek bengekmu?" ejek Nopi mendengus.
"Brengsek kau! Apaku yang bengek, katamu?
"Sejak kapan aku punya penyakit itu?" tanya Atina garang. Nopi menggeleng kewalahan. "Syusyah ber-
urusan sama orang yang pernah setrip!"
"Eh, aku dengar apa ya tadi?" tantang Atina mendekat pada Nopi.

Yang ditantang terpaksa mengelak sebab ta-ngan Atina bau terasi dan Nopi paling anti sambal terasi.
"Kaubilang aku pernah gila?"
"Enggak! Kuping apa jamur sih itu?! Aku bilang, susah ngomong sama anak manja, seperti kucingnya Mister Neumann yang jatuh cinta sama tikus. Tikusnya ketakutan, enggak mau. Kucing betina itu jadi patah hati, lalu gila. Terpaksa oleh pemiliknya diinternir di rumah sakit jiwa!"
"Kau nyindir siapa?" tegur Atina berang. "Siapa yang jatuh cinta? Siapa yang enggak mau? Mana ada sih rumah sakit jiwa untuk kucing?!!"
"Enggak percaya? Kapan-kapan aku ajak kau ke sana!"

Atina sudah merasa senang kembali, ketika tahu-tahu Nopi menambah, "Kalau langit sudah mau kiamat!"
"Kau! Kau!"
 
Melihat Atina betul-betul mau memukul Nopi dengan tutup panci, Tesa cepat-cepat mene-ngahi. Dia akan merasa tidak enak sekali kalau sampai ada perang gara-gara dirinya. Apalagi Nopi juga sudah meraba garpu!

"Hei, kalau mau saling bunuh, biar aku pang-gil ambulans dan polisi dulu!" pekiknya dan itu menyadarkan kedua manusia edan itu untuk berhenti berkelahi.

Tesa menjatuhkan diri ke kursi di antara kedua temannya. "Aku sibuk mencari kerjaan!" Dia berdusta, sebab ingat janjinya pada Pika. Tak boleh ada yang tahu bahwa dia bekerja untuk Pasha. Bahkan Sabita, teman karib Pika, tak boleh tahu juga.
 
"Sudah ketemu?" tanya Nopi.
"Apanya?" Atina masih mau nimbrung, rupanya belum kapok. "Memangnya nyariin pun-tung rokok, pake ketemu segala?!"
"Maksudku, sudah dapat kerjaannya?"

Tesa menggeleng. Nopi menatapnya lebih saksama, seakan te-ngah menaksir barang.
 
"Kasih les bahasa Indonesia mau enggak?"
"Mau!" jawab Tesa segera.
"Aku juga mau!" Atina membeo. ,"Bih, siapa yang nanya kamu! Enggak suka ngaca, nih ye!" ejek Nopi.
"Memangnya aku kenapa?"
"Laa, tampangmu mau ngajar bahasa? Belon apa-apa juga semuanya sudah pada ngacir keta-kutan! Guru bahasa kan mesti lemah lembut, dan sabar. Dia harus banyak bicara, murid-murid selalu memandangi wajahnya, jadi... mu-kanya enggak boleh mirip tikus kecemplung dalam tepung, dong!"
"Iiih!" seru Atina dengan kesal sambil menoleh kiri-kanan mencari penggebuk yang lebih ampuh daripada tutup panci. Sayang tak ada.
 
Sementara itu Nopi sudah meneruskan bicara pada Tesa.

"Karena kau sudah setuju, nanti aku antarkan kau padanya. Dia seorang profesor tua, duda, mungkin nyentrik, tapi hatinya baik. Bagaimana kalau besok sore? Ada waktu?"

Sebenarnya Pasha keberatan memberinya izin, sebab tak mau ditinggalkan sendirian. Heran sekali, laki-laki itu tampaknya jadi makin manja dari hari ke hari. Seakan di dunia ini cuma dia seorang yang ditimpa kemalangan. Tak ada sedikit pun usahanya untuk membuat dirinya lebih gembira. Kebalikannya, dia kelihatan tam-bah murung saja.
Tesa dengan tak berdaya sudah berniat me-raih telepon untuk mengabari Nopi bahwa ren-cana mereka terpaksa dibatalkan. Namun un-tung sekali Pika datang berkunjung. Dengan mencolok dikecupnya Pasha di hadapan Tesa, sehingga gadis itu melengos tersipu-sipu.

"Halo, Selina," sapa temannya dengan senyum dibuat-buat. "Kebetulan sore ini aku punya waktu. Kalau kau berniat pergi ke suatu tempat, misalnya belanja, kau boleh pergi."

Pasha kelihatan sudah mau mencegah lagi, tapi Tesa dengan cepat mengucapkan terima kasih.

"Kebetulan, aku memang ingin mengun-jungi teman. Karena kau akan menemani Pasha, tentunya kini dia tak punya alasan lagi untuk melarangku pergi"
"Kenapa kau melarangnya pergi?" seru Pika seakan memarahi, namun sebenarnya dia cem-buru, menduga bahwa pacarnya sudah tak bisa lepas dari Tesa. "Kau ingin terus-terusan dite-mani Selina, ya!" tuduh Pika membahana.
"Tentu saja tidak!" bantah Pasha bersungut. "Anak itu terlalu banyak mulut. Kapan aku telah melarangnya? Aku tidak terkesan sedikit pun dengannya. Sekarang juga dia minta berhenti, aku luluskan!"
"Pasha! Kau enggak boleh ngomong begitu. Selina bisa tersinggung!"

Tesa mengambil tas dan mantelnya, lalu me-nyelinap keluar tanpa permisi. Hatinya sakit. Ma tanya panas. Setiap saat air matanya meng-ancam akan turun. Dia. tak mengerti kenapa Pasha begitu ketus sifatnya. Bahkan di depan Pika pun dia tak bisa bersikap lebih manis.

Tesa sudah hampir tiba di tempat tunggu bis. Dilihatnya ada tiga nenek sedang duduk di sana. Cepat-cepat disekanya matanya yang sete-ngah basah.
Dua hari kemudian Tesa berdiri lagi di depan
Pasha, menyodorkan obat yang mesti ditelan-nya. Setelah meletakkan gelas kembali di meja, Tesa duduk di depan pemuda itu. Sejenak di-awasinya wajahnya. Pasha sebenarnya amat me-narik. Tapi agaknya justru karena ketampanan-nya itu dia menjadi pongah dan membuat banyak orang tidak menyukainya. Namun terka-dang keadaannya menimbulkan iba. Kalau otak-nya sedang di tengah, kelihatan bahwa hatinya sebenarnya cukup baik.

Waktu itu pertengahan Juni. Udara sudah di-ngin, tapi di Australia sebelah barat memang tak pernah turun salju. Angin dingin tiba-tiba berembus keras dari jendela, membuat Tesa menggigil lalu bersin-bersin. Pasha menjalankan kursinya ke pinggir jendela, rupanya hendak menutupnya.

"Ah, biarkan saja terbuka," kata Tesa. "Kau butuh udara segar, sebab seharian berkurung terus di kamar."
"Tapi kau nanti masuk angin. Biarlah tutup saja."
"Jangan. Lebih baik aku pakai jaket dan duduk di dalam. Kalau kurang udara segar, nanti kau gampang sakit."

Pasha menurut. Mereka beralih duduk di meja dapur. Tesa menyetel radio supaya bisa mendengarkan lagu-lagu sambil menyetrika cu-cian, dan Pasha tidak keberatan. Paling sedikit dia tidak melarang.
Mereka saling berhadapan, sebab Tesa menyetrika di meja dapur. Tapi tentu saja Pasha tak dapat melihatnya. Mereka berdiam diri beberapa saat.

Pasha rupanya mulai tertarik pada lagu-lagu yang dide-ngarnya, sebab sesekali dia bersenandung atau ikut mengetuk-ngetukkan jari ke atas meja. Se-mentara itu Tesa teringat surat yang kemarin diterimanya dari rumah.
Adiknya, Daniel, ma-suk rumah sakit untuk operasi usus buntu. Syu-kur, berhasil dengan baik. Mungkin sekarang sudah balik ke rumah. Ibunya tidak bilang apa-apa soal biaya, tapi pasti ratusan ribu.
Alangkah baiknya kalau dia di sini bisa berhemat! Atau bahkan mencari biaya sendiri. Ibu memang ti-. dak pernah mengatakan bahwa mereka keku -rangan uang, tapi Tesa mengerti, membiayainya ke luar negeri cukup berat bagi orangtuanya. Karena itu tekadnya makin kuat untuk mencari uang.
Ah, seandainya pekerjaan yang sekarang bisa ditambah dengan pemberian les pada Profesor Meyer! Tapi dia tahu, dia harus memilih salah satu saja. Pasha pasti takkan mau ditinggal-tinggal, sehingga dia akhirnya akan terpaksa melepas pekerjaannya.

Memberi les memang hasilnya tidak sebesar honor yang diterimanya dari Pasha, tapi dia cuma datang ke tempat murid dua kali dua jam seminggu. Sele-bihnya waktu nya bebas. Dia masih bisa ikut kuliah atau mencari murid lebih banyak! Cuma, dia harus meninggalkan Pasha!
Entah kenapa, dia merasa sedih atau barangkali terharu ketika sampai pada keputusan harus pergi dari Pasha. Dia takkan pernah melihatnya lagi. Takkan pernah mendengar rengek-annya minta kue dadar atau makiannya bila sesuatu hal bertentangan dengan kehendaknya.

Sop yang sudah dingin, atau kopi yang kelewat cair, atau telur yang terlalu keras.... Terkadang lagaknya itu seakan Tesa adalah istrinya yang wajib merawatnya sebaik mungkin, bukan cuma sekadar pelayan yang setiap saat bisa minta berhenti.
Lagu di radio sudah berhenti. Di-je belum memutar lagu berikutnya.

"Senangkah kau bila operasiku nanti berhasil?"

Suaranya mengoyak tirai lamunan Tesa, sehingga membuatnya terkejut. Untung lagu baru segera berkumandang, dan suaranya yang mirip orang tercekik itu tidak sampai kedengaran oleh Pasha.

"Ya... dan tidak," dia nyeletuk tanpa dipikir lagi-"Eh, kenapa begitu?"
"Tentu saja aku senang kalau kau sudah sehat kembali. Bahagiakah engkau kalau bisa melihat lagi?"
"Sudah tentu! Aku kan ingin melihat bagaimana rupa bidadariku ini!"

D.J. = Disc Jockey = pemutar lagu-lagu
 
"Nah, karena kau senang, aku pun akan ikut senang. Tapi jangan terlalu membayangkan yang tidak-tidak, nanti kau kecewa. Sebab aku ini sebenarnya pernah kena cacar..."
"Kau... kau ... bopeng? Ah, aku tak percaya! Tidak! Aku tak bisa percaya! Mana mungkin si Thomas akan bilang bidadari kalau mukamu... tidak, ah! Kau bohong!"
"Mungkin saja cita rasa kawanmu lain de-nganmu! Bagimu bopeng itu pasti jelek, tapi siapa tahu si Thomas menganggapnya cantik seperti.."

Tesa ingin ketawa namun ditahannya. Walaupun sedang bergurau, dia tak pernah bisa men-duga kapan ketel uap di kepala Pasha akan meledak. Sebaiknya dia berhati-hati selalu.

"Kaubilang, kau senang, tapi barusan kaubilang juga tidak. Kenapa begitu?" Tesa menghela napas. 
"Yah! Kalau kau sudah bisa melihat kembali, berarti kau tidak perlu bantuanku lagi. Dan aku... yah! Takkan dapat melihatmu lagi!"

Tapi pada detik terakhir diralatnya jadi: "Dan aku.. yah! Akan kehilangan tambahan uang saku yang kubutuhkan. Begitu-lah manusia, Pas, selalu ingat kepentingan sendiri dulu!" Tesa ketawa.

Pasha kelihatan melongo. Wajahnya seperti anak kecil yang baru saja menyusahkan ibu, dan merasa menyesal telah melakukannya. Tesa jadi tidak enak hati melihatnya. Saat itu Pasha sungguh menimbulkan keharuan, polos, dan tak berdaya.

"Tak terpikir olehku bahwa kesembuhanku akan merupakan kabar jelek bagi orang lain!" gumamnya seakan pada diri sendiri. Lalu menambah dengan suara yang lebih keras.
"Kalau begitu, aku tidak mau dioperasi! Biar begini terus. Aku sudah terbiasa dengan keadaan ini, tidak apa-apa aku buta selamanya!"
"Tapi kau takkan bisa melihat diriku!" Tesa ketawa pelan.
Pasha mengangkat bahu. "Apa boleh buat. Tidak melihat pun, aku tetap percaya bahwa kau cantik. Seandainya tidak pun, tak jadi soal. Kalau bopeng, malah kebetulan!"
"Lho!"
"Berarti kemungkinan tak ada Orang mau pacaran denganmu! Jadi kau bisa datang terus kemari! Biarlah. Biar aku tetap buta. Asal kau tidak kehilangan penghasilan dan bisa datang ke sini tiap hari."
"Ah, kau ini egois!" Tesa nyeletuk tanpa sengaja.

Wajah Pasha jadi berkerut dan mendung. "Lho! Aku mau menolongmu kok malah ditu-duh egois?"
"Habis apa kalau enggak?! Kalau kau terus begini, kapan kuliahmu akan selesai? Apa orangtuamu takkan sedih melihat kau jadi tuna-netra karena enggak mau dioperasi?"
"Biarlah. Kalau sudah nasib! Aku rela!"
"Kasihan Pika, dong!"
"Kalau dia keberatan, aku relakan dia mencari pacar lain. Asal kau bisa terus berada di sam-pingku."
"Nah, bukankah itu egois juga namanya? Kalau aku harus terus-menerus menemani kau begini, mana aku bisa kuliah?"

Pasha terdiam seakan baru menyadari keke-liruannya.

"Dan aku juga tak bisa selamanya merawatmu di sini. Suatu saat, aku akan kembali ke tanah "

Pasha tercenung, menopang dagu di atas tangan kursinya.

Akhirnya dia mengangguk. "Ya, ya, ya, benar juga. Tapi kalau aku sembuh, berarti kau akan kehilangan kerja...."
Tesa memarahi diri sendiri sebab sudah bicara sembarangan. "Tidak apa-apa. Aku pasti bisa mencari kerja lain-"
"Misalnya?"
"Misalnya, mengajar bahasa Indonesia."
"Kenapa sih kau enggak balik saja ke Jakarta!"
"Aku malu dong balik sebelum berhasil. Orangtua sudah bersusah payah mengongkosi agar aku bisa sampai ke sini! Mereka begitu baik, tak pernah memaksakan kehendak mereka pada anak-anak. Untuk mereka tentunya lebih mudah bila aku kuliah di Jakarta saja, biaya hidupnya lebih ringan. Tapi mereka menghargai niatku untuk hijrah kemari, mencari pengalam-an. Justru karena kepercayaan mereka itu, aku ingin menyenangkan hati mereka. Aku ingin mereka bisa bangga melihat keberhasilanku nanti."
"Aku puji tekadmu yang kuat itu, Sel!"
 
Tesa menatap pemuda itu, lalu diam-diam menghela napas. Tidak. Dia tak mungkin memberitahu Pasha keputusannya saat ini. Biarlah besok saja.
Tapi besok pun keberaniannya tidak terkum-pul juga. Nopi menanyakan— ketika mereka ber-dua makan di dapur asrama—apakah dia jadi mulai pada Profesor Meyer tanggal satu Juli?! Tesa mengiakan, tapi dalam hati dia kurang yakin. Dia belum berhasil menemukan kesem-patan untuk memberitahu Pasha. Barangkali lebih baik mengatakan pada Pika saja dan mem-biarkan gadis itu menyampaikannya pada Pasha?!
Ternyata hal itu tidak mudah juga. Pika kelihatan begitu sibuk dan pikuk ketika mereka ketemu di dapur. Dia muncul dengan seorang pemuda Australia.

"Pik, aku mau ngomong sebentar," kata Tesa, tapi gadis itu melambaikan tangan sementara mulutnya menggigit roti berlapis sardencis yang barusan dibuatnya.
"Nanti saja, Tes. O ya, kenalkan nih, kawan kuliahku, Michael. Dan Michael, ini Tesa, dari Jakarta juga."

Michael menjabat tangannya begitu keras, sehingga Tesa nyaris meringis. Pemuda itu ber-tubuh kekar, tingginya sedang, matanya kelihatan ramah, wajahnya penuh bintik-bintik coklat.
Sebelum Tesa sempat mengulangi permintaannya, Pika sudah melambai lagi, lalu bersama temannya menghilang ke arah kamarnya.
Pemandangan dari jendela dapur tidak banyak menghibur hati. Udara di luar dingin, la- ngit kelabu, dan puncak-puncak pencakar langit tampak menambah keasingan di hati yang ra-wan.

Hari itu matahari cuma muncul sebentar, kehangatannya pun tak bersisa lama. Dedaunan meliuk menuruti kehendak sang angin yang berembus lalu tak mau singgah, namun cukup membuat repot mereka yang di jalan. Masing-masing berusaha merapatkan mantel serta me-nyembunyikan tangan dalam saku.
Tesa duduk termangu. Dilihatnya kalender yang tergantung di depan meja makan. Minggu depan sudah tanggal satu. Dia harus segera menyampaikan keputusannya pada Pasha! Besokkk!

==========

"Tidak bisa! Kau tidak bisa berhenti dari sini!" protes Pasha setengah kalap. Tesa melambaikan tangan memintanya supaya lebih tenang, walaupun tentu saja pemuda itu tidak bisa melihatnya (dan dia baru teringat kemudian).

"Dengarlah baik-baik, Pasha. Jangan protes dulu. Coba kaupikirkari dengan tenang, apa tugasku sebenarnya di sini: membereskan kamar dan membereskan ranjang; memasak sekadarnya atau memesankan makanan melalui telepon ataupun membelinya ke toko; membuat kopi, menyediakan biskuit dan nyamikan, mengatur suhu ruangan; mencuci baju serta menyetrika; membersihkan dapur dan perabot sehabis masak. Nah, apa lagi? Rasanya cuma itu doang. Membersihkan kamar mandi serta ngepel lantai, itu tugas Nyonya Allison yang datang seminggu dua kali. O ya, menyirami tanaman di pot-pot dekat jendela. Cuma itu."
"Belanja bahan makanan tiap minggu?" sambung Pasha deng nada penasaran.
"Ya, itu juga."
"Memasukkan surat-surat ke pos?" "Ya, betul."
"Membayar rekening-rekening?''

Tesa mengangguk, lalu ingat Pasha tak bisa melihatnya. "Ya."
"Membacakan surat-suratku, terutama dari rumah?"
"Ya," sahutnya meringis.

Sebenarnya tugas terakhir ini lebih pantas diserahkan pada Pika, yang rasanya lebih berhak untuk itu. Susahnya, temannya itu tidak bisa diharapkan akan datang pada waktu -waktu tertentu. Pika tampaknya terlalu sibuk di kampus, dan muncul ke sini sembarang waktu, bisa setiap saat, tapi lebih sering lagi, berhari-hari tidak datang, paling cuma menelepon tanya keadaan. Sedangkan Pasha seorang yang tidak sabaran. Begitu surat datang, saat itu juga dia harus tahu isinya. Tesa bisa mengerti, sebab dia sendiri pun selalu me-rindukan surat dari rumah.

"Nah, begitu banyak tugasmu, kaubilang kau di sini tidak aku perlukan?" "Tapi semua tugas itu tidak mutlak harus aku yang melakukan. Sebagian besar bisa kau kerjakan sendiri, Pasha,"
"Misalnya?" tantang Pasha setengah mengejek.
"Membereskan seprai, memasukkan cucian ke dalam mesin, pesan makanan lewat telepon, mengatur suhu... itu semua bisa kaukerjakan sendiri dengan latihan."
"Membuat kopi? Memasak air?"
"Pika bisa memasak air kalau dia datang, lalu menyimpannya dalam termos. Nah, tiap kali kau ingin membuat kopi, tinggal menuang air panas ke dalam cangkir, apa susahnya?"
"Dengan latihan, tentu!" angguk Pasha sedikit sinis.
"Pasha, kau kan tidak mau menggantungkan hidupmu selamanya pada orang lain?"
"Padamu, maksudmu?! Tidak! Tentu saja tidak! Mana aku berani! Pasti sebal sekali rasanya bagimu mengurus aku tiap hari seperti sekarang ini! Menemani diriku sehari suntuk! Tak bisa kuliah, tak bisa... ehem! pacaran, tak bisa segala macam! Tentu saja kau ingin secepatnya bebas dari aku!"

Tesa menggigit bibir, sementara matanya ber-linang-linang. Hatinya pedih bagai ditusuk-tusuk sembilu. ¦.

"Pasha, kau salah paham! Bukan itu alasanku untuk berhenti dari sini dan mengajar..."
"Apa profesor itu membayarmu jauh lebih tinggi dari aku?" tanya Pasha tanpa kenal kasihan. "Kau kan merawatku semata-mata karena uang, bukan? Nah, pasti orang itu telah mena-warkan honor yang lebih tinggi! Iya, kan?"
"Pasha...," tukas Tesa dengan suara tercekik air mata.
 
Sakit hatinya dituduh mata duitan seperti itu. Tapi Pasha rupanya sudah kalap.
 
"Bagaimana kalau aku naikkan honormu?
"Tapi kau enggak boleh kasih les segala macam! Kau cuma boleh mengurus diriku tok!"
"Sampai kapan?"

Pasha tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mulai menyebutkan semua tugas yang takkan mungkin dilakukannya sendirian.
 
"Gimana aku harus belanja makanan setiap minggu? Memasukkan surat-surat ke pos? Siapa yang akan membacakan aku surat-surat dan mengurus tagihan rekening? Siapa..."
"Pasha," kata Tesa sesabar mungkin, "untuk beli bahan makanan seperti telur, susu, dan barang kaleng, kau bisa minta tolong Nyonya Allison. Pasti dia mau, dengan imbalan sedikit. Begitu Juga pergi ke pos serta mengurus rekening. Membacakan surat dari rumahmu, seperti dulu pernah aku bilang, memang lebih cocok dilakukan oleh Pika daripada aku. Bukankah dia itu calon istrimu? Dia lebih berhak..."
"Ah," tinggalkan Pika!" potong Pasha mengeluh. "Dia tak pernah punya waktu lebih untukku."
"Aku rasa, dia akan bersedia seandainya ke-adaan memaksa." Pasha menghela napas, lalu menjulurkan badan ke depan.
"Selina, sebenarnya apa sih alas-anmu sampai kau begitu nekat mau berhenti dari sini? Sudah kukatakan, aku bersedia menaikkan honormu!"

Tesa kembali menggigit bibir. Rupanya orang ini cuma berhitung lewat uang semata. Dia tidak memikirkan bahwa seorang manusia juga bisa disetir oleh perasaan. Dan perasaan yang bagaimana!
Tidak. Dia harus lekas berlalu dari sini, pikir-nya. Makin lama akan makin sulit baginya melepaskan diri!

"Bagaimana, Selina? Kau setuju bukan dengan kenaikan honor? kau batalkan rencana untuk kasi les! Kau cuma boleh mengurus aku saja!"
"Sampai kapan?" jerit Tesa putus asa.
"Sampai... ya, paling tidak, sampai operasiku berhasil. Itu kan cuma tinggal lima bulan lagi. Mau dong, Sel? Setelah itu kau bisa kuliah kembali. Sekarang pun kau sedang libur, bukan? Setelah operasiku sukses, aku berjanji takkan menyusahkan engkau lagi! Oke?"

'Tapi, kau justru akan menyusahkan hatiku', jeritnya dalam hati.

"Dan kalau aku memaksa berhenti juga, gimana? Apa kau bisa menahanku?"
 
 Pasha terkulai lemas. Wajahnya memucat. Dia menggeleng.

"Tidak, Sel," bisiknya parau. "Aku takkan bisa menahanmu!"
 
Akhirnya Pika yang menengahi. Dia mema-rahi Tesa yang dianggapnya terlalu ingat kepen-tingan sendiri.

"Tapi itu justru demi kepentingannya, Pik!" bantah Tesa. "Aku tidak mau dia menjadi ter-gantung seratus persen padaku.' Sekarang pun sudah sulit aku minta izin untuk ke mana-mana. Maunya ditemani terus olehku. Itu kan sebenarnya tugasmu?"
"Ah, kau tahu sendiri betapa sibuknya aku! Sekolah kedokteran kan enggak seenak sekolah sekretaris, Tes!"
"Maksudmu, enggak segampang sekolahku!" tukas Tesa sinis.

Memang diakuinya Pika itu orangnya dinamis, hebat, lincah, dan otaknya encer, enggak seperti dirinya yang pas-pasan. Tapi betapapun hebatnya Pika, seharusnya dia lebih banyak menyisakan waktu untuk pacar-nya, bukan? Apalagi dalam keadaannya yang sekarang ini!

"Apa lantaran kau sibuk, aku jadi harus me-ngorbankan semua kepentinganku?"
"Lho! Apakah kita salah paham? Bukankah kau butuh uang, lalu aku tawari kerjaan! Ya, kan?"
"Ya. Tapi aku tidak bermaksud menyerahkan seluruh waktuku untuk mengurus Pasha! Sekarang aku telah menemukan kerjaan baru. Memberi les bahasa seminggu dua kali. Memang honornya jauh lebih kecil, tapi aku tidak begitu terikat Waktuku selebihnya bebas kupakai untuk keperluan lain."

Pika kelihatan bingung juga mendengar Tesa sudah mendapat sumber penghasilan baru. Dia insaf kalau gadis itu memaksa mau berhenti, dia takkan bisa menahan. Karena itu digantinya suaranya yang marah-marah tadi dengan bujukan halus.

"Tes, apa kau tega meninggalkan Pasha sekarang ini? Aku justru lagi sibuk-sibuknya menyiapkan diri untuk ujian. Selain itu, aku juga sudah mulai tugas di rumah sakit. Temanilah Pasha beberapa bulan lagi. Sampai dia dioperasi. Setelah itu kau boleh bebas, deh. Dan kami tidak akan melupakan pengorbananmu, Tes!"

Enak saja, pikir Tesa dengan pahit. Mentang-mentang punya duit! Setelah operasi berhasil, aku dibebaskan, tapi sementara itu hatiku sudah... barangkali sudah luka parah! Adakah yang akan peduli?!

"Aku bersedia mengurus Pasha sampai ope-rasinya sukses, tapi kukatakan padanya, aku minta izin untuk memberi les seminggu dua kali. Dan dia keberatan. Jadi, yah! Kalau dia begitu egois...!" Tesa mengangkat bahu.
"Aku berjanji akan membujuknya. Dia pasti setuju. Kau boleh memberi les seminggu dua kali. Tapi Pasha jangan kautinggalkan. Setuju?"

Entah bagaimana caranya Pika membujuk Pasha, tapi nyatanya pemuda itu setuju dengan kehendak Tesa. Demikianlah minggu demi minggu berlalu. Udara masih cukup dingin wa-laupun tidak sedingin di daerah bagian timur.
Tesa masih menjalankan tugasnya membeli barang-barang makanan seminggu sekali. Terkadang belanjaannya cukup banyak, termuat da-lam dua kantong, dan dia tak dapat menghangatkan tangannya bergantian ke dalam saku jaket. Biasanya Pika suka menemuinya di dapur asrama pada malam hari kalau dia mempunyai titipan khusus untuk akhir pekan. Seperti minggu lalu.

"Tes, belikan dada ayam ya barang tiga potong. Lalu atinya satu kotak yang setengah kilo. Juga jamur sekotak. Pasha kepingin makan sate hari Minggu besok. Jamur itu mau aku semur boat makan dengan supermi."

Khusus hari Minggu, dia memang libur, sebab itu hari untuk Pika dan Pasha berduaan. Pika sering masak-masak dan terkadang mengundang teman-teman, tapi Tesa sendiri belum pernah dipersilakan datang. Dia maklum. Pika tidak mau Pasha memperlakukannya sebagai teman. Ah, dia juga lebih senang dibiarkan sendiri, bisa menikmati tidur sampai puas.

Setelah pesta sate ayam itu, Senin berikutnya seperti biasa Tesa muncul di tempat Pasha. Udara pagi itu hangat sekali terutama embusan anginnya. Matahari bersinar cerah.
Pasha tengah duduk di depan jendela, tidak berbuat apa-apa. Wajahnya menatap ke bawah, seakan tengah memperhatikan orang-orang yang hilir mudik dengan berbagai urusan masing-masing.

"Kau mau sarapan apa pagi ini, Pasha? Sudah bosan dengan roti dan ham? Aku bisa mem-buatkan engkau nasi goreng yang enak. Mau?"
"Asal kau juga ikut makan," sahut Pasha tersenyum samar
"Oh, enggak keberatan. Sebenarnya sih, aku sudah melahap roti kacang setangkup. Tapi dalam udara seperti ini, perut memang cepat la-par, ya." Tesa beranjak mau ke dapur, ketika suara Pasha menghentikan langkahnya.
"Sakitmu sudah sembuh?"
Tesa keheranan. Sakit? Dia sakit? Sebelum hilang bingungnya, Pasha sudah meneruskan, "Kemarin kau enggak datang! Kan sudah aku bilang, kau harus datang! Kita mau memang-gang sate. Kata Pika kau sakit kepala!"

Hm. Jadi aku kemarin sakit kepala?! Apa boleh buat, kalau Pika sudah bilang begitu. Pasha memang menyuruhnya datang, tapi dianggapnya itu basa-basi belaka. Mungkin dia kasihan mendengar napasnya ngos-ngosan setelah menaiki tangga dengan belasan kilo bahan makanan. Dia sama sekali tidak menganggap undangan itu sungguh-sungguh. Terlebih karena Pika tidak ikut mengundang. Tahunya, dia dibilang sakit! Ya, deh, enggak apa.

"Memang, aku pening kemarin. Terlalu sering masuk angin, mungkin."
"Sekarang sudah baik?"
"Mendingan. Tapi kalau pulang terlalu malam, suka kambuh lagi!" Dia berdusta deh sekalian, biar diizinkan pulang sorean.
"Sebenarnya sudah kusisakan sepuluh tusuk untukmu, tapi menurut Pika, sate enggak bisa disimpan dalam kulkas. Bumbunya pasti basi."

Tesa ketawa sambil meringis dalam hati.
"Tentu saja. Aku juga enggak mau makan sate sisa! Kering, enggak enak! Oke deh, sekarang aku mau bikin nasi goreng. Kau tunggu di sini anteng- anteng, ya. Jangan melompat dari jendela!" Tesa ketawa, lalu menyingkir dari bantal kecil yang dilemparkan oleh Pasha ke arahnya.

Rupanya otak Pasha hari itu sedang di tengah. Sikapnya ramah, mudah diatur, dan tidak cerewet Tesa segera sibuk di dapur mengiris bawang, cabe, dan lain lain. Dalam beberapa menit saja wangi nasi goreng sudah memenuhi seluruh apartemen. Pasha rupanya menjadi tidak sabar menahan lapar, lalu muncul dalam kursinya di ambang pintu dapur.

"Nah, bolehkah aku masuk?"
"Tentu. Aku baru saja mau memanggilmu. piringmu sudah aku letakkan, juga gelasmu. Dan ini... nasi gorengnya!"

Mereka makan berdua dengan lahap sekali. Pasha tidak henti-hentinya berdecah memuji masakan Tesa. Lalu tiba-tiba saja dia berhenti menyuap dan memandang ke arah Tesa dari balik kacamata hitamnya.

"Minggu depan aku akan dioperasi," katanya tanpa emosi.
"Maukah kau mengantarkan aku ke rumah sakit?"

Tesa mencoba ketawa ringan, tapi bunyinya malah kedengaran gugup serta penuh khawatir.

"Mau sih mau," katanya kemudian. "Tapi, aku paling takut pergi ke sana. Kan ada Pika, apa enggak mendingan dia saja yang mengantarmu? Biarlah aku menunggu beritanya saja."

Pasha menghela napas. Dia menunduk dan mengacau nasi goreng di piringnya. Karena kebiasaan, Tesa memberitahukan, "Tomatmu ada di pukul dua. Mentimun di pukul sepuluh."

Tapi Pasha tidak mengacuhkan petunjuknya. Dia terus mengaduk-aduk nasinya tanpa menyendoknya ke mulut. Tesa jadi khawatir jangan-jangan bocah gede itu ngambek lagi. Betapa mudahnya Pasha tersinggung, pikirnya

"Pika ada praktikum hari itu, Selina. Dia enggak bisa bolos," katanya dengan suara kecil seakan kecewa sekali.

Tesa tidak berani menyanggah lagi, takut nanti "momongannya" itu benar-benar ngambek.

"Nah, tentu saja kalau Pika berhalangan, aku yang akan mengantarmu. Pokoknya, jangan sampai Pika merasa haknya dirampas olehku!"
"Hak apa?" Pasha mengangkat muka dan memandang ke depan dengan rupa bingung.
Tesa mengangkat bahu. "Ya, hak seorang pacar, dong! Hak apa lagi?!" Pasha melongo sejenak, kemudian ketawa ter-bahak. "Selina! Kau ini pikirannya macam-macam saja.Kita kan hidup di zaman modern, masa sih masih penuh prasangka begitu?"

Panas terasa wajah Tesa ditertawakan begitu.
Lebih merah lagi ketika Pasha menyambung, "Seandainya dia mencurigai engkau, tentunya dia takkan membiarkan engkau datang ke sini tiap hari, bukan?"
"Baiklah! Minggu depan aku akan mengantarmu/ kata Tesa cepat untuk mengakhiri perbin-cangan yang sensitif itu.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER