Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 09 Januari 2022

Tesa #3

Cerita Bersambung
 
Tesa mengantar Pasha sampai ke dalam kamar. Lalu dipegangnya lengannya ketika pemuda itu beralih dari kursi roda ke atas ranjang rumah sakit yang putih bersih. Dia tidak segera berba-ring, sebab masih memakai baju jalanan, belum berganti dengan daster rumah sakit yang ter-lipat rapi di ujung tempat tidur.
Tesa berpendapat sebaiknya dia berlalu sekarang, dan berniat mendorong kursi keluar. Tapi tahu-tahu Pasha menangkap tangannya serta menggenggamnya erat-erat.

"Berjanjilah bahwa kau akan berada di sini ketika aku sadar kembali, Sel!" Tesa tergugu. Seketika dia panik. Apa yang akan dijawabnya? Dia tidak tahu apakah Pika takkan keberatan dia menunggui Pasha dioperasi? Rasanya kok agak berbau intim dan membuat hatinya resah. Bagaimana kalau Pika nanti marah? Disangkanya, dia bisa-bisaan sendiri! Menunggui Pasha kan haknya.

Masa sih begitu lama dia praktikum? Kalau operasi selesai, pasti Praktikumnya juga sudah lama bubar, bukan?!
Apa Pika enggak keberatan? Aku takut dia nanti kurang senang!

"Ah, Sel! Kau ini kok kuno sekali, sih? Kau kan temanku juga. Apa salahnya teman menunggui teman dioperasi? Hitung-hitung memberi semangat dan ikut mendoakan supaya berhasil?"

Pikiran Pasha benar juga. Dia tidak menemu-kan alasan untuk mengelak. "Baiklah. Aku akan diam di sini sampai operasimu beres!" janjinya, lalu dengan lembut ditariknya kembali tangan-nya yang sejak tadi digenggam oleh Pasha. Dan itu dilakukannya tepat pada waktunya. Sebab sedetik kemudian terdengar pintu dibuka, lalu suara Pika yang nyaring penuh ketegangan me-nerobos masuk.

"Ah, untunglah kau belum apa-apa!" serunya menghampiri Pasha.
Tesa minggir sambil menoleh ke pintu. Pika muncul dengan lab-jas putih berkibaran tanpa dikancing. Di belakangnya berdiri mematung si Michael dengan kedua tangan masuk kantong. Dia kelihatan ragu, akan masuk atau tetap di ambang pintu.

Pika langsung memeluk Pasha dan mengecup pipinya dua kali kanan dan kiri. Tesa menun-duk agar tak usah menyaksikan terlalu lama. Kemudian didengarnya suara Pika memperke-nalkan temannya,

"Aku membawa Michael, Sha. Michael, ke-mari, beri selamat OP sama Pasha! Dan ini,ngng... Ttt... Selina! Kau sudah kenal, bukan?
Tempo hari di dapur?"

Michael menjabat tangan Pasha, lalu menoleh pada Tesa dan tersenyum sambil mengangguk. Tesa jadi kegerahan. Dia teringat, tempo hari Pika menyebutnya sebagai Tesa, lalu kini ber-ubah jadi Selina. Dia khawatir sekali jangan-jangan Michael nanti keheranan dan bertanya. Tapi untunglah pemuda itu diam saja. Mungkin sudah lupa namanya, mungkin juga tidak mau usil.

Tesa sudah tidak betah di situ, macam cacing terkubur abu. Dia gelisah, namun tidak me-nemukan alasan untuk melangkah keluar. Pika kelihatannya anteng saja duduk di samping Pasha di ranjang, sementara Michael berdiri di kaki ranjang dengan siku bertumpu ke besi. Cuma Tesa sendiri yang merasa kelebihan, berdiri dekat wastafel, ganti berganti kaki, seolah kecapekan.
Untung sekali masuk suster membawa nam-pan berisi suntikan dan beberapa ampul. Mereka dihalau semua. Tesa diam-diam menarik napas lega, dan cepat-cepat menghampiri pintu.

"Ingat janjimu barusan, Sel!" seru Pasha mengingatkan.
"Janji apa, sih?" tanya Pika dengan kening berkerut, setibanya mereka di luar kamar. Dengan lagak interogator Pika menghadapinya sambil berkacak pinggang.

Tesa menatapnya dan tiba-tiba—entah kenapa.—dia merasa iri pada temannya. Pika begitu cantik, lincah, anggun, dan penuh gaya dalam jas putihnya. Dia ad a lah segala-galanya yang pernah didambakan oleh Tesa namun takkan didapatnya: gadis dengan orangtua yang kaya, otak yang encer, dan kepandaian bergaul yang mengagumkan. Wajahnya yang cantik begitu mempesona. Wajahnya sendiri terasa buram dan lecek. Beberapa orang memang pernah meyakin-kan hatinya yang rapuh, bahwa mukanya manis serta menarik, bahkan cantik. Namun Tesa tak pernah yakin. Bagaimana dia akan yakin. Satu-satunya orang yang diharapkan mampu meya-kinkan harga dirinya yang penuh ragu itu, ter-nyata malah kepincuk oleh Shakira, sahabatnya! Oh, dia tak sudi lagi mengingat-ingat tentang Goffar! Buat apa menyusahkan hati sendiri untuk seorang pengkhianat?!

"O, itu! Pasha minta supaya aku menunggui-nya di sini sampai dia siuman lagi."

Diam-diam Tesa menghela napas. O, betapa didambakannya selingkar lengan perkasa yang akan memeluk bahunya saat-saat begini, seperti yang tengah dilakukan Michael terhadap Pika. Betapa sentosa dan aman rasanya hati....

"Oooh!" Pika kelihatan lega kembali. Dia malah ketawa manis. "Kalau begitu, kebetulan sekali. Aku bisa ikut grup belajarku. Semula aku pikir, sudah tak mungkin. Tapi sekarang, lan-taran sudah ada engkau yang akan menjaganya nanti, aku jadi lega dan enggak usah bolos.

Kalau ada sesuatu yang penting, tolong aku dihubungi di nomor ini ya, Tes." Pika menyodorkan secarik kertas yang ditulisinya cepat-cepat dengan beberapa angka.

"Ini tempat Michael. Kalau enggak ada apa-apa sih, enggak usah deh mengganggu. Nanti aku datang selesai study-group."

Tesa menyambut nomor telepon itu dengan mendongkol. Jangan mengganggu katanya! pikirnya. Demi untuk kepentingannya, dikatakannya mengganggu. Apakah grup belajarnya itu lebih penting dari nasib pacarnya?!

"Sudah, ya. Bye-bye."
Dan menghilanglah Pika bersama Michael dengan langkah-langkah meyakinkan yang membuat iri serta kagum orang yang melihat. Maka tinggallah Tesa di ruang tunggu, seperti Sapu Abu duduk menantikan utusan Pangeran yang akan membawa sepatu gelasnya yang tertinggal semalam di istana.

Di ruangan itu kebetulan tak ada orang lain, jadi dia tidak bisa ngobrol-ngobrol. Diraihnya sebuah majalah wanita. Dibuka-bukanya dari depan sampai ke belakang, namun minatnya tak ada untuk membaca. Hatinya terasa resah, entah kenapa. Diambilnya majalah yang lain. Dilembarinya seperti yang pertama. Demikianlah dia melewatkan waktu. Setelah kesal melihat-lihat gambar iklan, ditumpuknya kembali majalah-majalah itu ke tempat asal mereka, lalu dia berdiri meluruskan pinggang.
Mulailah dia berjaian mondar-mandir sepanjang lorong, seperti calon ayah tengah menunggu kelahiran bayinya yang pertama.

Akhirnya dia kesal diam di situ terus. Dicarinya seorang perawat dan ditanyakannya di mana kantin.
"Di lantai bawah, lorong sebelah kanan."
"Terima kasih," dia mengangguk, lalu mencari lift dan turun. Kantin itu tidak sulit dicari. Dari jauh pun wangi masakan sudah menerpa penciuman. Dituntun oleh hidungnya, Tesa tiba pada sebuah pintu kaca yang penuh ditempeli kertas-kertas penawaran barang-barang bekas serta operan kamar sewa bagi mahasiswa.

Tesa mendorong pintu dengan kedua tangan. Udara sejuk langsung menyelubungi tubuhnya. Di tembok sudah ditempelkan hiasan hiasan Natal, sebab sekarang sudah bulan Desember. Kantin itu cukup luas. Paling sedikit ada tiga puluh meja. Musik lembut mengalun menyen-tuh kalbu. Cuma ada beberapa orang kelihatan tengah minum kopi atau makan nyamikan. Rupanya memang belum waktu makan. Yang minum kopi itu mungkin para dokter. Mereka agaknya baru selesai jaga malam, sebab tampang mereka lusuh seperti orang kurang tidur.

Tesa pergi ke counter mengambil secangkir kopi pahit dan sepotong kue tar aprikot. Lalu dipilihnya meja yang sepi dekat pot tanaman. Dia duduk menghadap ke pintu, asyik meng-awasi orang-orang yang hilir mudik di lorong depan kantin. Beberapa pendatang baru memasuki ruangan dengan sikap tergesa-gesa, ada yang cuma meneguk secangkir kopi lalu pergi lagi. Rupanya tempo kerja para dokter serta perawat amat tinggi. Tesa bersyukur dia tidak jadi memilih kedokteran. Bisa kedodoran pakaiannya kalau dia mesti melangkah setengah berlari seperti mereka! Dia lebih suka hidup yang rileks dan santai. Karena itu dia merasa cukup masuk college saja.
Tapi Pasha dan Pika adalah manusia-manusia jempolan, pikirnya setengah kagum dan iri. Kagum untuk Pasha. Iri pada Pika. Keduanya adalah calon dokter yang hebat!

Sambil makan kue dan menghirup kopi, Tesa membiarkan dirinya melamun kian kemari, hingga pada Goffar sekalipun. Namun pengkhianat itu tidak dibiarkannya berlama-lama menyita pikirannya. Dia segan kembali ke masa lalu, mengasihani diri bertalu-talu. Tapi kalau dia teringat nasibnya kini serta kesulitan yang tengah melibat dirinya, mau tak mau hatinya terasa pedih. Dia berusaha memikirkan jalan keluar namun tidak diperolehnya. Hatinya tidak tega meninggalkan Pasha begitu saja, walaupun dia hanya pelayannya belaka, yang dibayar untuk merawat serta menemaninya selama dia tak berdaya....

Seandainya saat ini dia berlalu dari rumah sakit, pulang ke asrama dan tidak mengunjungi Pasha lagi—sebab sudah tak diperlukan; dia yakin operasi ini akan berhasil mengembalikah penglihatan Pasha—siapakah yang akan marah padanya?. Siapakah yang akan mencegahnya? Siapakah yang akan merasa kehilangan? Jawab-nya tidak ada, tidak ada, tidak ada!
Tapi hatinya tidak tega. Selain itu, dia sudah berjanji. Baginya, janji adalah sepotong ucapan yang teramat berat tanggung jawabnya. Bagai-manapun, mesti dipenuhi! Sebab kalau tidak, mungkin bisa membawa akibat buruk,
bahkan bisa menghancurkan sepotong hati seperti yang pernah dialaminya sendiri!
Janji seorang lelaki! Seorang Goffar yang tak punya kepribadian, persis "terang bulan terang di kali—buaya timbul disangka mati—jangan percaya mulut lelaki—berani sumpah takut mati!!!"

"Ampunilah aku, Tes. Aku mata gelap, aku lupa daratan, aku bodoh, aku egois. Shakira itu mana nempil dibandingkan sama dirimu. Sifat -nya juga enggak lembut, serakah, dan tak pernah peduli perasaan orang lain. Aku enggak yakin perkawinan kami bisa bertahan lama, tapi saat ini kami harus menikah! Kalau enggak, aku bisa dicincang sama bapaknya! Sebab Shakira sudah telanjur hamil"
"Oh, Goffar! Mana janjimu mau setia, mana sifat jantanmu menolak godaan, mana kekuatan imanmu, mana... mana...? Kau mau saja dicocok hidung, disuruh masuk ke mobil, diangkut ke Puncak! Katamu, kau mata gelap? Lupa daratan? Katamu, kau terdorong rasa ingin tahu? Katamu, kau diberi obat? Katamu, kau akan cerai begitu anakmu lahir? Katamu, kau pasti akan balik padaku?"
"Kaupikir, aku mau menampung sampah? Kaukira, dunia Cuma selebar telapak tangan?

Kaupikir, kau ini enggak bisa digantikan oleh orang lain? Kaukira, aku sudi cinta murahan seperti cintamu? Kauduga aku takkan bisa hidup tanpa dirimu?

"Bah! Aku lebih suka patah hati berkeping-keping daripada kehilangan harga diri! Aku lebih suka mandi air mata setiap malam daripada merampas ayah seorang anak kecil. Kalau kelak kau cerai juga, itu urusanmu, asal jangan kawin lagi dengan aku!"

Goffar memberikannya sehelai kartu undang-an yang segera dilemparnya ke keranjang sampah tanpa dibaca lagi. Dia menolak pergi ke pesta kawin mereka. Minggu sore itu dia mengunci diri dalam kamar memutar lagu-lagu sendu dan yakin matahari takkan terbit lagi esoknya. Tapi ternyata matahari tetap bersinar cerah, burung-burung masih meriah dan setelah pen-deritaan batinnya mengendap di dasar hati, timbul hasratnya hendak merantau ke selatan.
Goffar hampir kalap ketika tahu berita itu dari Daniel, adiknya. Seharian dia duduk dalam mobil—hadiah mertua-- di depan rumah, menunggu Tesa keluar. Tapi yang ditunggu tak muncul. ia pulang. Besoknya pagi-pagi jam enam sudah parkir lagi, begitu juga besoknya dan besoknya, sehingga akhirnya terasa terganggu dan hilang kesabaran. Dia tidak bisa keiuar rumah, padahal banyak yang haras diurus dan dibelinya.
Terpaksa abangnya Mark us, membawa kawannya yang punya seragam hijau. dan pemuda berkarakter tempe itu pun takut dengan ancaman entah apa yang dilontarkan abangnya. Pendeknya, petuah teman abangnya agar dia segera sirna dari situ dan jangan muncul lagi, diturutnya hingga tuntas. Namun dengan surat kilat khusus masih dicobanya menyentuh hatinya. Diserahkannya
surat itu ke tangan abangnya, utuh, dengan permintaan supaya dikembalikan. Sejak itu Goffar bagaikan sudah ditelan bumi tak ada kabar ceritanva lagi. Dan kisah mereka pun tamatlah sudah.

Setelah kopi serta kue masuk ke dalam perut, Tesa merasa lebih nyaman dan keresahan yang tadi melanda, kini lenyap sebagian.
Dilihatnya arloji. Dia sudah setengah jam di situ. Diambiinya tasnya dari atas meja, lalu digesernya kakinya mau berdiri, ketika pintu kantin didorong dari luar dan... dilihatnya Pika juga serta Michael masuk sambil ketawa, ketawa
Tesa membatalkan niatnya dan berusaha mendudukan diri supaya tidak kelihatan. Kedua orang itu langsung ke counter memilih makanan.
Tengah keduanya membelakanginya, Tesa cepat-cepat bangkit, lalu seakan dikejar setan, melangkah setengah berlari ke pintu, mendo-rongnya dengan kedua tangan dan keluar. Tanpa menoleh lagi dia langsung pergi ke lift untuk kembali ke ruang tunggu di lantai tiga.

Dua jam kemudian seorang perawat meng-hampirinya dan dengan manis memberi tahu kan bahwa pasien sudah sadar.

"Tuan Solem sudah berada di kamarnya lagi. Dia menanyakan Anda." "Oh. Terima kasih."

Tergesa-gesa diletakkannya majalah yang tengah dinikmati iklan-iklannya, lalu menyandang tasnya dan melangkah ke kamar Pasha.
Dihampirinya ranjang pelan-pelan seakan takut membangunkan yang tidur.
Tapi Pasha ternyata sedang menunggunya.

"Pasha," bisiknya sambil menyentuh tangan di atas selimut "Bagaimana perasaanmu?"
"Air," erangnya hampir tak kedengaran.

Tesa mengambil gelas yang sudah tersedia di atas meja dengan sendok teh kecil. Disuapkannya air bening itu sesendok ke dalam mulut Pasha. Perawat tadi sudah berpesan bahwa pasien belum boleh minum banyak-banyak.
Diletakkannya sendok dan gelas kembali ke atas meja.

"Lagi," tuntut Pasha dengan suara lemah. Tesa memberinya sesendok lagi. "Cukup dulu, Pasha. Enggak boleh sekaligus banyak."

Setelah itu dia duduk di atas kursi di sam-ping ranjang, memperhatikan Pasha dengan rasa kasihan. Kedua matanya dibalut. Dia kelihatan begitu tak berdaya. Ah, Tesa sungguh berharap operasi itu akan berhasil walaupun akibat-nya dia akan kehilangan gajinya yang besar.
Tesa teringat pada Pika di kantin.

"Pasha, apakah kau mau aku panggilkan Pika? Tadi aku diberinya nomor telepon ..." Mendadak dia teringat pesan Pika agar jangan mengganggu kalau tak ada apa-apa yang luar biasa. Misalnya?!

Pasha menggoyang tangan. "Tak... u... sah. Dia... si... buk. Cukup... kau sa... ja... di... si... ni"

Beberapa menit kemudian Pasha minta minum lagi. Rupanya obat yang disuntikkan padanya membuat mulut dan tenggorokannya kering.
Tesa kembali menyuapinya seperti bayi. De-mikianlah dia duduk di situ, merawat serta melayani "majikannya" sampai hari petang.
Pika akhirnya muncul. Sendirian. Langsung mengecup dahi Pasha sambil melontarkan beberapa kata sera yang dramatis. Rambutnya dielus penuh sayang. Sendok dan gelas direbutnya dari tangan Tesa, lalu dianjurkannya agar temannya itu pulang saja.

"Kau boleh istirahat, Ttt... Sel. Kan sudah ada aku di sini."

Tanpa pamit pada Pasha, gadis itu melangkah pergi. Sambil berjalan disesalinya hatinya yang merasa terusir oleh ucapan Pika. Mengerti dong, katanya sendirian, sudah ada dia, kau jadi kelebihan!! Tadi waktu betul- betul diperlukan, dia tidak ada, gerutunya dalam hati. Sekarang, setelah rasa haus Pasha hilang, dia baru datang dengan jas berkibaran! Ah, mengerti dong, kau kan cuma pelayan belaka, orang yang digaji. Dia kan pacar, calon tunangan dan istri! Walaupun Pasha kelihatannya ingin di-temani olehnya, itu kan tidak lebih dari rasa ketergantungan belaka pada perawat seperti kanak-kanak pada inang pengasuhnya! Bagaimanapun, dia harus tahu diri, jangan sampai hati yang sudah pecah gara-gara Goffar jadi makin hancur...!
***

Hari demi hari Tesa datang ke rumah sakit menjenguk Pasha. Sekarang dia tak boleh menemani terlalu lama, sebab sang pasien sudah segar dan bisa minum-makan sendiri. Kalau perlu bantuan dia cukup menekan bel. Selalu ada perawat yang siap datang menolong.

Pada suatu hari Pasha memberitahukannya sebuah berita gembira.
"Kemarin perbanku diganti. Dan Selina, mataku bisa melihat kembali! Bukankah itu sebuah mukjizat? Aku bisa normal lagi! Memang saat ini penglihatanku masih agak buram, tapi itu pun normal. Kalau perlu, mereka akan melakukan operasi kedua dalam enam bulan. Tapi sekarang pun aku sudah boleh kuliah lagi. Dan yang lebih penting, aku akan segera bisa melihatmu!"

Pasha ketawa gelak-gelak sementara tangan Tesa makin lama makin d ingin. Dia mencoba ikut ketawa agar tidak mencurigakan. Rupanya Pasha belum tahu rencana Pika. Dia takkan diperbolehkannya melihat wajah "Selina".

Siang itu datang tiga orang teman kuliah Pasha yang dulu pernah membujuknya agar mau kuliah lagi. Semuanya mahasiswa Australia. Mereka ketawa riang melihat Tesa.

"Aha, halo!" seru mereka padanya. Lalu me-nyambung, "Rupanya Bidadari Tuan Solem setia banget menjaga asuhannya!"

Seorang di antara mereka yang bernama Thomas dan berambut kuning jagung segera menepuk bahu Pasha. "Eh, kau kan bakal segera sembuh lagi. Sudah saatnya nih, bidadarimu kau oper padaku! Aku rasanya mau segera sakit! Beeerat!"
"Melalui mayatku!" Pasha menggerung membuat teman-temannya tertawa riuh dan Tesa menjadi merah wajahnya.

Malam harinya Pika sengaja menemui Tesa di dapur asrama. Kebetulan saat itu cuma ada - mereka berdua. Tanpa sungkan Pika langsung saja mengatakan apa yang ada dalam hatinya. "Tes, lantaran Pasha sudah sukses operasinya,kau tak usah deh datang lagi menemuinya!"
Tesa sudah tahu, larangan ini akan diucap-kan, tapi toh dia terkejut juga. Tidak disangkanya akan begitu cepat! Untung dia bisa lekas menutupi rasa kecewanya dengan senyum biasa, sehingga Pika tidak menyadari bahwa temannya kaget.

"Tentu saja kami berdua sangat berterima kasih sekali atas segala pengorbananmu selama ini."
"Ah, tak perlu, Pik. Bukankah aku sudah dibayar dengan cukup? Kapan... Pasha akan diperbolehkan pulang?" Dia berusaha bicara setenang mungkin, namun tidak urung suaranya bergetar juga.
"Besok, Tes. Setelah perbannya boleh dibuka. Karena itu... aku terpaksa minta agar kau jangan muncul lagi. Kau mengerti, bukan?"

Tesa mengangguk lesu. "Kalau begitu, tolong ambilkan buku bacaanku yang masih tertinggal di sana."

"Oke. Kau enggak marah, bukan, Tes?"
"Tentu saja tidak. Apa sih hakku untuk marah?" sahutnya dengan tawar.

Pika menarik keluar sebuah amplop dari saku bajunya lalu meletakkannya di atas meja.

"O ya, ini bonus dari kami seperti yang pernah dijanjikan."
Tesa menampik dengan gelengan kepala. "Tidak, ah. Aku tak bisa menerimanya. Aku sudah dibayar dengan cukup"
"Kami sudah berjanji!"
"Tapi aku tidak menanggapinya, bukan?"
"Ayo, ambil! Kalau enggak, Pasha nanti tersinggung"
"Apa kalian begitu kelebihan duit sampai mau dibuang-buang begini?"
"Ini kan bukan pemborosan, Tes. Ambillah. Nanti. aku ma rah, nih!" Tesa merasa serba salah. Dia memang butuh uang. Tapi kalau dia terima pemberian itu, rasanya dia jadi seperti bawahan yang diberi persen!

Dari luar dapur mereka melihat Atina, Sabita, dan Nopi mendatangi. Pika makin sibuk men-desak. Diambilnya sampul itu dari meja dan dijejalkannya ke dalam kantong sweter Tesa.

"Ayo, lekas amankan, nanti mereka semua jadi tahu!" desahnya memaksa.

Tesa tahu Pika tak bisa dibantah. Melihat suasana yang gawat, dengan terpaksa dia menerima dan mengucap terima kasih.

Dua hari kemudian mereka ketemu lagi di ruang cucian di bawah tanah. Mula-mula Pika seakan tidak mengacuhkannya. Wajahnya agak keruh. Tapi ketika Tesa menyapanya duluan ba-rulah dia mau membalas dengan "Selamat pagi".
"Apa kabar Pasha?" tanya Tesa setenang mungkin. Dia sadar, sebaiknya dia jangan ber-tanya sama sekali. Tapi rasa ingin tahunya tida bisa dibendung., dia sudah bisa membaca lagi."
"Sudah mulai kuliah kembali?" I^Semester depan."
Pika terdiam, menatap Tesa, lalu tiba-tiba dia menghela napas.
' "Ah, kesal, deh. Dia terus-terusan menanya-kan engkau. Akhirnya aku terpaksa bohong. Aku bilang, kau sudah pergi,keJakarta! Sorry, ya, aku bilang begitu."
"Ah, enggak apa-apa," sahut Tesa mencoba ketawa wajar. "Aku rasa malah itu yang paling baik. Pasha itu cuma ingin tahu kayak apa sih tampangku! Hahaha! Eh, teman-temannya sudah tahu lho yang mana Selina! Jadi, sebaiknya aku juga menghindar dari mereka!"
"Oh! Ada yang tahu siapa kau?" Pika kelihatan terkejut.
"Ya. Mereka pernah datang ke tempat Pasha membujuknya supaya kuliah lagi. Tapi Pasha ngotot mau tunggu operasi dulu. Waktu itu aku ada di sana. Dan beberapa hari yang lalu, pas sebelum dia diizinkan pulang, mereka datang menjenguknya!"
"Dan kau kebetulan ada di sana juga!" sam-bung Pika dengan nada kesal. Tesa mengangguk tak berdaya. "Bukan salah-ku, kan? Mana aku tahu mereka
bakal datang."
Pika tidak menanggapi, rupanya asyik dengan pikiran sendiri. Kemudian dia menghela sekali lagi. Setelah mengeluarkan semua cuciannya dari mesin, dia menoleh pada Tesa. | "Tesa, minggu depan Pasha ulang tahun. Sebenarnya aku ingin mengundangmu dan memperkenalkan kau pada Pasha sebagai Tesa. Kan anak-anak Melayu enggak ada yang tahu, kau pernah kerja di tempat Pasha. Jadi sip. Maksud-ku, agar kau punya kesempatan sekali lagi un-tuk melihat Pasha dan mungkijn- kau akan ikut gembira melihat dia^sudah pulih kembali seperti dulu. Tapiii; "Pasha juga sudah mengundang kawan-kawan kuliahnya yang karib. Dan aku baru tahu bahwa mereka pernah melihatmu dua .-kali. Sekarang, yah! Rencanaku terpaksa batal. Tes, maafkan aku. Aku tidak berani mengundangmu. Sebab pasti ketahuan bahwa aku sudah bohong. Pasha paling benci orang yang suka bohong. JadL.." Pika menatap Tesa dengan wajah lugu, mohon pengertian.

Tesa mengangguk tanpa diminta. Dia men-coba ketawa walaupun rasanya kedengaran sumbang.
"Ah, pesta dokter-dokter, mana se-dap! Jangan-jangan yang mereka bicarakan cu-ma penyakit-penyakit fatal melulu. Kan bosan tuh dengarnya kalau yang enggak ngerti macam aku!" Lalu dia melambai dan melenggang pergi sebelum Pika sempat bilang terima kasih atau sebelum air matanya keluar.

==========

Musim dingin telah berlalu. Kuliah sudah di-mulai kembali. Bagi Tesa, hidup menjadi rutin lagi seperti dulu. Pergi kuliah, kasih les bahasa, belajar, ngobrol-ngobrol di dapur dengan teman-teman setanah air, makan bersama, me-nunggu surat dari rumah, belanja bahan makan-an, pergi kuliah lagi, kasih les...
Memang menyenangkan bisa selalu bicara dengan teman-teman se-Jakarta, namun akibatnya, bahasa Inggrisnya kurang dipakai, karena itu dia senang sekali bisa mempraktekkannya dengan muridnya.

Profesor Meyer orangnya sudah tua, kurus kering, wajahnya tirus, hidungnya runcing. Dia hidup sendirian, katanya sudah cerai dua belas tahun yang lalu ketika anaknya masih berumur dua tahun.
Tesa kurang jelas apa keahlian si Prof. Kalau tidak salah, Nopi pernah bilang, ahli ilmu poli-tik. Yang pasti, bukan profesor kedokteran.
Profesor Meyer memperlakukannya seperti anak sendiri, bukan sebagai orang asing. Setiapkali selesai les, pasti ada acara minum-minum kopi atau teh. Karena ingin mempraktekkan bahasa Inggrisnya, Tesa tidak keberatan memper-panjang setiap kunjungan. Lambat laun, les itu seakan terbagi dua. Pertama, yang sesungguh-nya: Tesa mengajar. Tapi setelah itu, sambil milium dan makan kue, Profesor Meyer-lah yang mengajarnya bahasa Inggris. Mula-mula cuma percakapan biasa, lisan. Kemudian Prof, meng-usulkan agar dia membawa buku-buku. Dise-butkannya judulnya. Setelah itu, Tesa dianjur-kannya untuk membeli buku tulis. Dan dia pun mendapat PR.

Ketika Tesa menyatakan ingin memberi honor, Prof, menolak "Kalau begitu, kita sama-sama deh tidak menerima honor," usulnya.
Prof, berkeras menolak. "Kau harus tetap mendapat honor!" katanya setengah marah. "Kalau tidak, kau tak usah datang lagi ke sini!"

Terpaksalah Tesa menerima saja keadaan yang "berat sebelah" itu. Dirinya memang tidak dirugikan, tapi hatinya merasa malu. Untuk membalas jasa diam-diam, Tesa sering kali membawa kue atau masakan yang dibuatnya sendiri. Laki-laki tua itu kelihatan terharu atas perhatiannya, dan tak pernah menampik setiap oleh-olehnya.

Demikianlah les itu berlangsung tanpa absen dari bulan ke bulan. Tak terasa, setengah tahun telah berlalu sejak Pasha dioperasi. Mungkin dia sudah dioperasi untuk kedua kali dan peng-lihatannya sudah sempurna betul. Tesa ingin sekali tahu, namun dia sungkan menanyakan-nya pada Pika. Sementara itu hubungan guru dan murid ini pun bertambah erat juga. : Sampai pada suatu hari.... Sore itu Pasha berjalan kaki menuju perhen-tian bis dengan menenteng dua kantong berisi sayur-mayur. Mobilnya rusak, harus masuk bengkel, sedangkan makanannya sudah habis. Jadi terpaksa dia naik bis.

Lonceng gereja sudah menunjukkan jam enam kurang. Penumpang sudah sepi. Dari jauh dilihatnya cuma ada seorang gadis, tengah du-duk termenung. Ketika sudah dekat, didapati-nya bahwa itu orang setanah air. Betapa gem-bira hatinya. Setiap kali melihat teman setanah air yang belum dikenalnya, hatinya selalu dipe-nuhi harapan kalau-kalau saja dia tahu....

Gadis itu berbuntut kuda, mengenakan jeans dan blus longgar berwarna biru. Bibirnya tidak dipoles dan pipinya juga tidak kena pupur. Namun demikian, wajahnya yang bulat telur kelihatan menarik sekali. Dan matanya yang bulat... oh! Matanya tampak terkejut dan bibirnya yang mungil kelihatan bergerak-gerak seolah mau menyapa, namun entah kenapa, batal.

Pasha tidak merasa heran melihat gadis itu kaget atau malah sedikit ketakutan. Memang terkadang begitu sikap gadis-gadis manis yang baru saja tiba dari Jakarta atau kota lainnya.
Mereka masih canggung merighadapi laki-laki yang tidak dikenalnya, walaupun orang setanah air. Terlebih kalau gadis itu sendirian!
Dengan hasrat hendak menghalau ketakutan pada wajah gadis itu, serta membuktikan bahwa dirinya bukan serigala, Pasha sengaja duduk dekat di sampingnya, lalu menyapa duluan.

"Dari Jakarta?"
"Ya," Tesa mengangguk.
"Boleh tahu namanya? Saya sendiri dipanggil Pasha."

Sejenak Tesa terlupa. Hampir saja dia salah sebut, sebab sudah kebiasaan dinamakan Selina di depan Pasha.
"Nama saya Sss... Tesa!"
Alangkah manisnya dia kalau gugup begitu, pikir Pasha tersenyum dalam hati. Tapi kasihan ah, kalau dibikin gugup terus. Dan suaranya kecil banget, seakan takut kedengaran! Ah, lucu sekali sifatnya! Penggugup dan segan bicara!

Sebenarnya Tesa memang takut jangan-jangan suaranya dikenali. Tapi untunglah suaranya itu biasa-biasa saja, tidak mencolok dan sepintas lalu sukar dibedakan dari orang lain. Namun kalau diperhatikan, bagaimana? Mungkin bisa ke tahu an juga, kan?!

"SMA-nya dulu di mana?"
Aduh! Apakah Selina pernah ditanyai begitu juga? Kalau pernah, apa ya jawabnya dulu? Tentu saja dia tak boleh sampai ketahuan satu sekolah dengan Selina! Kenal pun enggak boleh. Namanya pun sebisanya belum pernah dengar!

"Di Budi Utomo," sahutnya akhirnya, sebab Pasha sudah mulai menatapnya penuh heran. Kan aneh kalau orang tidak bisa ingat nama sekolah sendiri?! Sebenarnya dia ingin memilih nama yang lain, tapi karena mendadak begitu, dia tidak siap untuk berbohong. Untunglah rupanya Selina belum pernah ditanya sekolah di mana. Dulu Pasha itu kan sibuk dengan diri sendiri, siang dan malam kerjanya cuma duduk di depan jendela, mengasihani nasibnya yang malang. Mana dia peduli mau tanya-tanya ten-tang orang lain!

"Wa'h! Kenal enggak sama Sosro, Sanu, dan Sambit? Di kelas kami ada jagoan PS3. Mereka itu tiga S-nya." Pasha nyengir. Dan kaulah P-nya, kata Tesa dalam hati.
"Cuma dengar nama-namanya," sahut Tesa netral agar tidak mencurigakan. Kalau bilang kenal, tentunya mesti kenal juga dengan jagoan yang keempat, bukan? Sebenarnya Tesa memang tidak kenal, sebab mereka empat tahun di atasnya, jadi sudah keluar waktu dia masuk SMA.

"Kami dulu badung sekali," kata Pasha, secara tidak langsung mengatakan bahwa dia termasuk gang PS3 itu. "Cewek-cewek sekelas, kami beri nama bagus. Namarnama Jepang. Michiko-san, Mariko-san, Yuriko-san, Ingusan...! Ha, ha, ha! Tentu saja cewek yang disebut Ingusan itu eng-gak mau terima nama bagusnya. Tapi apa boleh buat, kami enggak mau mengubahnya dan ka-milah yang berkuasa. Akhirnya dia nekat berji-baku. Sambil dibuatnya jatuh cinta, lalu dia di-pakenya meralat nama bagusnya. Jagoan-jagoan lain keberatan. Gang terpaksa bubar...." Pasha menggeleng, tersenyum sendirian, rupanya ter-kenang masa lalu yang manis.
"Dan sekarang mereka sudah punya gadis manis yang mungil. Sanu dan Sosro juga sudah punya tambatan hati. Tinggal aku...!" Pasha menghela napas.
"Eh, kan kau juga sudah ada Pika!" cetus Tesa tanpa dipikir lagi, dan ketika dilihatnya keheranan pada wajah Pasha, barulah disadari-nya kesalahannya.
"Oh, jangan heran!" tukasnya seakan menje-laskan. "Begitu dengar namamu, aku langsung tahu, kau pacarnya Pika! Semua orang sudah tahu kisahmu yang mirip Romeo dan Juliet!"
"Yah!" Pasha mengangguk seraya mengeluh. Tapi sebenarnya bukan itu yang' menyebabkan dia heran. Di antara sesama mahasiswa mana ada rahasia mengenai soal pacaran. Sebelum orangtua tahu, teman-teman sudah lebih dulu paham. Yang membuatnya heran adalah...

"Pika itu kawanku seasrama," Tesa sudah me-nyambung, memutus pikiran Pasha. "Dia sering mengeluh mengenai keadaan keluarga kalian. Mengenaskan, memang."
"Ayah kami tak mau saling mengalah. Pada-hal masalahnya cuma soal gengsi dan persaing-an dagang." "Kalau disatukan malah menguntungkan, bukan?"
"Begitu pikiran kita yang muda dan waras. Tapi orang yang sudah tua sulit sekali mengalah atau mau mengerti. Kami sebenarnya sudah pacaran dari SMA, tapi selalu sembunyi-sembunyi, sebab dilarang. Barulah setelah di sini, eh... kenapa aku jadi cerita soal riwayat hidup! Kau tentu sebal mendengarnya!" "Sama sekali, tidak!" Tesa tersenyum. "Mena-rik sekali. Aku harap moga-moga kalian bisa... bahagia...." Suaranya mendadak jadi kecil, sehingga dia cepat-cepat menunduk takut ketahu-an matanya berlinang.
"Sejak aku kecelakaan, memang mereka lebih lunak. Aku terus-menerus menulis surat me-nyatakan bahwa Pika-lah yang banyak mengu-rus diriku selama aku tak berdaya. Tapi sebenarnya sih, bukan..."
Tesa sudah ingin mencegah Pasha bicara te-rus, tapi kemudian dia teringat, Pasha tentu saja tidak diberitahu oleh Pika bahwa kehadiran Selina harus dirahasiakan.

"Yang berjasa besar adalah seorang gadis manis bernama Selina. Dia..."
"Dari mana kau tahu Selina itu manis?" Tesa tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.
"0, aku tahu begitu saja. Dari suaranya. Dari sentuhannya. Eh, kau pasti kenal denganya, bukan? Bagaimana sih wajahnya sebenarnya?"
"Wah, cewek pantang dong menilai sesama-nya!" sahut Tesa ketawa geli.
"Nanti kan bisa berat sebelah!"
"Ya, betul juga. Sayang ya, dia sudah balik ke Jakarta." Suara Pasha begitu menyedihkan sehingga hampir saja tercetus dari bibir Tesa sepotong kebenaran, tapi kemudian dia teringat janjinya pada Pika dan bibirnya pun terkatup kembali.

"Barangkali kau tahu alamatnya di sana?"
Tesa menggeleng. "Sayang, tidak”
Pasha menghela napas. "Heran. Rupanya tak ada seorang pun yang tahu mengenai dia! Ma-lah semuanya belum pernah mendengar namanya kecuali engkau."

Tesa menunduk untuk menyembunyikan galau di hatinya. Tentu saja cuma dia yang tahu! Habis, Pika tak pernah cerita pada siapa pun mengenai kehadiran Selina!

Pasha mengawasi Tesa yang sedang menunduk. Perasaan aneh kembali melanda dirinya. Ada sesuatu pada gadis itu yang rasanya tidak asing lagi baginya. Seakan mereka pernah ke-temu... apakah ini suatu de ja vu, pikirnya. Merasa sedang ditatap, Tesa menoleh. Mereka perasaan sudah pernah mengalami beradu pandang. Pasha heran melihat wajah gadis itu muram terus sejak tadi.

"Ngomong-ngomong, kenapa sih kau kelihat-annya begitu sedih? Barangkali aku bisa membantu?"

Berada di rantau orang sendirian, mendengar suara yang begitu simpatik yang sudah lama dikenalnya, membuat Tesa pecah tanggul pertahanannya. Diceritakannya mengenai Profesor Meyer yang belajar bahasa padanya. Dalam hati dia bersyukur, dulu tidak sampai membocorkan pada Pasha maupun Pika, siapa nama calon muridnya.

"Hubungan kami sudah akrab. Aku sudah menaruh kepercayaan padanya. Dia begitu baik, sehingga aku pun tidak segan-segan membuat-kannya berbagai penganan setiap kali les, mula-mula seminggu dua kali. Kemudian dia minta ditambah jadi tiga kali. Katanya, biar lekas pin-tar, sebab dia punya rencana mau ke Indonesia. Katanya, temannya ada yang jadi penasihat di Departemen Keuangan. Mungkin dia juga ingin jadi penasihat politik, kali! Tapi aku tak pernah bertanya. Eh, tahunya dia salah menafsirkan perhatianku. Mungkin sangkanya aku jatuh hati padanya. Dan tadi... dia... memeluk aku begitu erat sambil membelai-belai serta membisikkan segala omong kosong. Aku begitu kaget dan takut, sampai aku berontak dan lari ke jalan. Padahal hari ini mestinya aku gajian! Sekarang aku enggak berani da tang lagi untuk minta uangku...."

"Pantas kau begitu sedih! Bagaimana kalau aku antarkan kau ke sana? Apa yang menjadi hakmu, lebih baik kau tun tut!"
"Ah, jangan. Enggak usah. Aku lebih suka kelaparan daripada melihatnya sekali lagi."

Mereka berdiam diri sejenak. Bis berhenti di depan mereka. Tesa memperhatikan nomornya. Sayang, bukan untuknya.
"Itu bismu sudah datang," katanya pada Pasha.
"Biarlah. Aku masih ingin ngobrol denganmu," sahut pemuda itu menggeleng. Kemudian dia terkejut sendiri. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa itu bis yang jalan ke jurusan tempat tinggalnya?! Apakah namanya sudah begitu te-nar di samping nama Pika?! Tapi kemudian dijelaskannya sendiri, pasti Tesa mengetahuinya dari Pika. Mereka kan satu asrama. Kalau ma-lam, tidak ada kerjaan, ngobrol di dapur, apa lagi yang jadi topik selain pacar masing-masing?! Pasha tersenyum dalam hati. Tapi, kelihatannya gadis ini kok seperti belum punya gandengan?!

Di tengah lamunannya, tiba-tiba Pasha teringat sesuatu dan menepuk dahinya.

"Eh, gimana kalau kau kasih les pada teman-temanku di kos? Suami-istri setengah umur. Mereka baik sekali dan pasti takkan coba-coba melalapmu seperti Prof. tadi. Sudah lama mereka merengek minta les padaku, tapi aku mana ada waktu luang? Kalau aku enggak bisa lulus dalam dua tahun mendatang, bisa-bisa ayahku akan me-nyatroni kemari, membawa pistol! Aku sudah memboroskan banyak uang katanya!" Pasha ketawa kecil, lalu serius lagi.
"Gimana? Mau, ya? Nanti aku hubungi mereka dulu. Pasti mereka akan kegirangan mendapat guru secantik ini! Eh, kok merah muka-mu?!" goda Pasha ketawa.
"Kalau aku adukan pada Pika, tahu rasa kau!" ancam Tesa geli bercampur sengit. Dia seenak-nya saja menggoda, tidak tahu di dalam, hatiku sudah jungkir balik! pikirnya.
"Wah, jangan dong, aku minta maaf, deh, enggak berani lagi menggodamu. Tapi kalau kau memang mau kasih les, nanti aku minta mereka meneleponmu. Beritahukan saja nomor kamarmu. Teleponmu sama kan sama Pika?"

Tesa terpaksa menerima tawaran itu, sebab dia memang butuh murid. "Kamarku di tingkat dua, nomor tiga."
"Dan suami-istri itu tinggal di tingkat ketiga, di atas kamarku. Keduanya ramah sekali, kau pasti segera betah bersama mereka."

Sebuah bis kembali berhenti. Sekali ini, untuk Tesa. Dia pun bangkit sambil mengulurkan tangan. Terima kasih banyak, Pasha," katanya setengah berbisik.
Pasha menjabatnya erat sekali, seakan segan melepas.

"Sampai jumpa lagi," katanya. Tapi Tesa tidak menjawab. Dia tahu, mereka takkan berjumpa lagi. Tanpa menoleh dia melangkah naik ke dalam bis

Ketika Pasha tiba di rumah, ternyata Pika sudah menunggu. Dari arah dapur
tercium wangi masakan. Em. Udang rendang kesukaannya.

Pika mengecupnya dengan mesra sambil me-meluk lengannya dengan manja. "Ke mana saja sih, kok sampai telat begini? Apa kau-lupa? Ini kan Jumat sore, dan aku selalu kabur dari kuliah supaya bisa cepat-cepat ke sini!"
"Sorry, Pik, aku kelupaan. Soalnya, aku ke-temu kawanmu yang sedang kesusahan. Jadi aku bicara dulu sama dia untuk menolongnya."
"Kawanku? Siapa, sih?" tanya Pika dengan kening berkerut.
"Namanya Tesa. Dia hampir saja diperkosa oleh muridnya, sampai dia melarikan diri dan enggak bisa gajian. Aku kasihan melihatnya, jadi aku tawarkan murid -murid." Pasha menunjuk ke loteng. "Tuan dan Nyonya Graham kan sudah lama ingin belajar bahasa Indonesia? Jadi aku usulkan supaya dia saja yang mengajar. Nanti akan kutelepon mereka untuk memberi-tahu."

Pika mendengarkan dengan bibir terkatup. Tapi di dalam, makin lama dia makin bertambah kaget serta cemas. Jadi Tesa akhirnya ber-hasil juga kenalan dengan Pasha-nya?! Tahukah Pasha siapa Tesa sebenarnya? Itu harus diselidikinya! Segera! Begitu selesai makan, Pika menyuruh Pasha menelepon Tuan Graham.
"Jadi malam ini juga aku bisa memberi kabar pada Tesa," dalihnya.

Sebenarnya, dia tidak ingin Pasha sampai harus menelepon Tesa pri-badi.
Pasha menurut. Ternyata Tuan Graham me-nyambut dengan baik. Bahkan minta les dimulai besok atau sesegera mungkin.
Pika pulang ke asrama membawa berita gem-bira itu, dan langsung mengetuk pintu kamar Tesa. Dia dipersilakan masuk baik-baik. Tapi begitu pintu sudah ditutup, meledak marahnya sampai Tesa mundur ketakutan.

"Jadi di belakangku kau masih coba-coba mendekati Pasha, ya? Kau ingkar janji kalau begitu! Bukankah dulu kau sudah setuju untuk menjauhi Pasha begitu tugasmu beres? Apa kau sekarang berniat merebutnya, setelah kaulihat betapa gantengnya dia? Setelah matanya sembuh kembali?"

Tesa memegang lehernya seakan mau mene-nangkan jantungnya yang terasa meloncat sampai ke situ. Matanya berlinang dituduh yang bukan-bukan begitu. Terlebih karena dia di-ingatkan pada nasibnya sendiri. Dengan kekerasan hati dicobanya menahan air mata dan menjawab dengan tenang.

"Pik, aku tidak berniat melakukan hal seperti itu. Dulu aku juga pernah punya pacar segan-teng pacarmu. Tapi teman baikku merebutnya. Aku tahu bukan main sakitnya hati kehilangan pacar. Karena itu kau tak usah cemas. Aku takkan merebut Pasha-mu!"
"Tahukah dia siapa kau sebenarnya?" Tesa menggeleng. "Dia memang menanyakan tentang Selina. Aku bilang anak itu sudah balik ke Jakarta. Dia tanya alamatnya di sana. Aku bilang, enggak tahu."
"Hm. Nih! Ada kabar buatmu! Besok atau lusa kau sudah boleh mulai kasih les pada suami-istri Graham. Tapi awas, jangan main mata sama Pasha!"

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER