Tuan dan Nyonya Graham adalah sepasang merpati di ambang lima puluhan. Mereka menikah empat tahun yang lalu, masing-masing untuk kedua kali. Suami Maureen Graham me-ninggal hampir sepuluh tahun berselang karena komplikasi kencing manis. Sedangkan istri Roger ketabrak lori enam tahun yang lalu. Dari perkawinan terdahulu masing-masing mempu-nyai dua orang anak yang sudah dewasa dan berkeluarga.
Kakek dan nenek berambut kelabu itu sangat ramah, sehingga sebentar saja Tesa sudah merasa betah mengajar mereka. Selain suka melucu dan penuh humor, Nenek Graham juga senang memasak Setiap kali les, pasti ada suguhan. Berlainan dengan di tempat Profesor Meyer, di W Tesa bisa melahap semuanya dengan santai. Tak tahu, suguhan itu tidak mengandung udang di balik batu.
Nenek Maureen kelihatan lebih cepat menguaasai bahasa. asing daripada Kakek Roger.
Atas permintaan mereka, pelajaran itu disertai peragaan benda-benda.
Pada suatu kali Tesa menunjuk korek api, lalu mempersilakan si kakek untuk memintanya, Dengan serius dia bilang, "Berilah saya kereta api, saya mau merokok."
Ketawalah Tesa bersama Nenek Maureen, sehingga Kakek Roger tersipu-sipu. Pada les yang berikut, Tesa menunjukkan peta Pulau Jawa.
"Saya mau pergi dari Jakarta ke Surabaya naik..." Dan dia menunggu Kakek menjawab.
Dengan lantang dan gagah dia berseru, "...naik kereta man!"
Grrr. Yang lain ketawa. Kakek kebingungan, menoleh kiri-kanan seolah mau tanya di mana salahnya, kan jawaban itu sudah betul!
Begitulah setiap kali les ada saja kalimat yang aneh dan lucu. Seperti, "Maureen, bunuh lampu didapur," atau "Bunuh lemari pendingin!"
Tesa jadi teringat pada Ria, teman asrama yang berasal dari Sulawesi Selatan. Bicaranya persis begitu.
Kebalikannya, waktu harus pakai "bunuh", si kakek linglung dengan yakin memakai kata lain. "Orang itu dipadamkan oleh penjahat dengan pistol." Atau, "Orang itu padam ditabrak. mobil."
"Huss!" sera Nenek Maureen cepat-cepat.
"Orang itu tewas—tewas, mengerti?! Bukannya padam!—ditabrak mobil!"
Walaupun sering salah, sebenarnya Kakekpun cukup serius belajar, seperti istrinya. PR-nya tak pernah kelupaan dibikin. Tapi yang paling menggelikan Tesa terjadi pada suatu siang. Setelah makan kue dan membenahi catatan-catatannya ke dalam tas, Tesa pamit. Kedua muridnya mengantar sampai ke pintu.
"Bye-bye, dear," kata Nenek dengan mesra, tapi Kakek ingin menunjukkan kepandaiannya. Sambil melambai dengan antusias dia berseru, "Bye-bye\ Sampai mati!"
"Eh!" tegur istrinya.
"Bukan begitu! Sampai nanti! Bukan mati!"
Sambil menahan geli Tesa menuruni anak tangga ke bawah. Setibanya di tingkat dua, alangkah kagetnya dia ketika ditegur, "Apaan, tuh! Kok mesem-mesem sendirian?!"
Diangkatnya wajahnya. Kiranya Pasha tengah berdiri di anak tangga paling bawah. Sebelah tangannya bertumpu pada pinggir tangga. Tangan yang lain di dalam saku. Dan ketika Tesa berusaha mau jalan terus, tangannya melejit keluar untuk menahannya.
"Eeiiit, disapa kok enggak nyahut? Budek, ya?"
Tesa jadi ketawa walaupun tak ingin. Dia sungguh belum lupa teguran Pika yang begitu pedas di kamarnya ketika tahu bahwa dia telah berkenalan dengan Pasha. Tesa tidak mau hal itu terulang lagi.
"Kau sendiri apa-apaan menahan orang lewat?"
"Lantaran aku mau ngomong denganmu."
"Lain kali aja, deh. Aku masih harus member! les di tempat lain, nih!"
"Batalkan saja!"
"Enaknya. Mana bisa main batal-batal begitu! Memangnya ini di Melayu?!"
Pasha tetap tidak mau melepaskan ceng-keramannya dan Tesa tidak sudi berontak-berontak kayak adegan film kampungan. Dipelototinya Pasha sambil berusaha mengirim su-gesti agar laki-laki itu mau melepasnya. Tapi rupanya ilmu penyaluran pikirannya masih per -lu banyak latihan. Dia tak berhasil. Pasha malahan menyeretnya ke arah pintu apartemennya.
"Eh, eh, apa-apaan ini?" serunya agak panik.
"Telepon saja muridmu dari sini. Katakan, kau migrain! Dia pasti takkan marah."
"Apa itu migrain?"
"Sakit kepala sebelah."
"Sebelah mana?"
"Sebelah mana saja maumu. Boleh kiri, boleh kanan asal jangan dua-duanya. Nanti namanya sudah lain."
Tesa mencoba memperkuat kuda-kudanya di lantai. Bagaimanapun, saudara tetangganya di Jakarta pernah berguru pada ahli silat di Kampung Melayu, kalau tidak salah, golongan Gagak Hitam. Dan dia sampai bosan menyaksikannya berlatih. Kalau kuda-kudanya sudah di tancap di tanah, dua orang laki-laki tegap pun tak bisa mendorongnya apalagi menggeser dari tempatnya Kelihatannya sih seperti begini caranya, pikirnya sambil mengatupkan geraham dan menekankan kedua kakinya kuat-kuat ke lantai. Peluhnya sampai merembes keluar di dahi. Namun kok rasanya Pasha tetap berhasil menarik-nya?!
"Eh," seru Pasha ketika menoleh padanya. "Kenapa kau ngejan-ngejan begitu sampai mandi keringat? Apa belum tahu, itu bisa menyebabkan timbulnya wasir?"
Brengsek! kutuk Tesa dalam hati. Kok dia bisa tahu sih salah satu ketakutannya yang terbesar?! Wasir! Kata orang, penyakit itu ketu-runan. Dan ayah, ibu, kakek, serta abangnya semua sudah dapat. Tinggal dia yang belum dikunjungi jurik wasir! Sudah beberapa tahun ini dia waswas terus, takut kebagian! Iiih, amit-amit!
Terpaksa dihentikannya percobaan latihan jurus Kuda Besi Menghantam Pintu Neraka.
Mereka sudah tiba kini di depan pintu. Pasha mendorongnya dengan sebelah kaki sampai terjeblak lebar. Seperti kerbau dungu, Tesa membiarkan dirinya diajak masuk. Setelah di dalam barulah timbul paniknya. Dia mencoba melepaskan diri dan meraih daun pintu, tapi Pasha malah mendorongnya lebih jauh ke dalam sambil ketawa geli. Lalu ditutupnya pintu.
"Nah," katanya berdiri dengan tangan terlipat di dada. "Silakan menelepon muridmu. Itu tele-ponnya."
"Tidak. Aku harus pergi" sahut Tesa meng-geleng. Dia mau menelepon siapa? Hari ini tak ada les lain! Besok baru ada.
"Kenapa sih kau kelihatannya macam orang ketakutan begitu? Aku ini bukan pemakan orang. Duduklah. Aku cuma ingin membangga-kan hasil karyaku. Kue dadar! Tak ada orang lain yang bisa kupanggil untuk memujiku. Jadi kau saja yang aku sandera. Masa sih kau enggak mau memberikan sedikit kegembiraan pada orang lain? Jam berapa kau harus memberi les? Kau boleh segera pergi setelah mencicipi kueku. Tapi jangan harap, sebelumnya!"
Tesa jadi merasa geli dalam hati namun tidak diperlihatkannya. Tapi dia sekarang tidak melawan lagi disuruh ikut ke dapur, setelah tahu maksud Pasha yang sebenarnya. Di samping itu, dia kepingin sekali melihat kembali daerah kekuasaannya beberapa bulan yang lalu.
Masih seperti dulu. Cuma agak berantakan. Di sana-sini ada perabot yang terlupa dibenahi. Misalnya timbangan kue yang seharusnya ada di lemari bawah sebelah kiri. Kocokan telur yang baru saja dipakai bikin kue dadar, masih tergeletak di meja, belum turun ke tempat cuci piring. Panggangan roti yang penuh remah-remah belum dibersihkan. Bagaimana keadaan kulkas?! Ketika dia datang untuk pertama kali, lemari es itu kotor banget Rupanya baik Pika maupun Pasha sama-sama kelewat sibuk, tak pernah punya waktu untuk mengurus dapur.
Di atas meja dilihatnya setumpuk kue dadar berwarna kuning yang kelihatannya amat menggoda perut. Harumnya, oooi! Tesa melangkah seakan mau menghampiri meja, namun ketika lewat di depan kulkas, tanpa disadari tangannya sudah menjangkau pintu dan... membuka-nya.
Amboi! Sudah kembali kotor seperti sedia-kala! Mentega terbuka begitu saja, menyemiri pinggir-pinggir pintu. Sayuran setengah busuk masih dibiarkan di situ. Ham sebesar paha bayi menggeletak di tengah rak, menyita tempat dan menumpahkan saus dalam mangkuk.
Dia tahu, makanan Pasha memang cuma ham dan selada. Dia malas masak.
Andaikan rajin pun, dia tidak becus, menurut Pika.
Hm. Rupanya karena itu dia perlu betul mendengar pujian orang lain untuk kue dadar yang barangkali baru pertama kali dibuatnya dalam hidupnya.
"Kau mencari makanan? Lapar?"
Dia terkejut ketika tahu-tahu disadarinya tuan rumah sudah berdiri di belakangnya. Habis! Biasanya kan dia cuma jadi patung, tak berge-ming dari jendela! Jadi dia terlupa!
"Aku tidak punya apa-apa. Cuma ham dan selada setengah busuk!"
Tesa segera menutup pintu dengan sikap ber-salah, lalu menoleh. Dilihatnya Pasha sedang menyeringai malu, enggak bisa menawarkan yang lebih baik pada tamu istimewanya.
"Kita makan kue saja deh, ya?" katanya setengah membujuk.
Tesa tiba-tiba tersenyum. "Aku enggak lapar, kok. Barusan di atas, perutku sudah pol dijejali kue apel."
"Tapi kau harus mencicipi kue dadarku!" kata Pasha dengan cepat, khawatir barangkali perut Tesa yang sudah pol akan menolak.
"Oke, deh tukas gadis itu mengangguk se-raya menarik kursi untuk duduk. "Ada rezeki, masa sih mau ditampik?"
"Nah, gitu dong!" sambut Pasha kegirangan. Setelah menyodorkan piring kue yang se-tinggi gunung itu ke hadapan Tesa, dia pergi ke pojok dapur untuk membuat kopi. Maka di siang cerah itu mereka pun mengunyah kue dan menghirup kopi
"Enak?" tanya Pasha dengan nada khawatir. Tesa mengangguk, lalu nyeletuk, "Punya bakat terpendam juga nih rupanya!"
Pasha menunduk dan menghela napas diam-diam, tapi terlihat juga oleh Tesa. "Dulu," katanya tanpa mengangkat muka, "ada orang yang sering membuatkan aku kue ini. Setiap kali dia bikin, aku selalu berada di sampingnya men-dengarkan dia menyebutkan bahan-bahan yang diperlukan, terigu berapa, mentega berapa, telur, gula berapa, susu berapa. Saking keseringan, lama-lama aku jadi hafal."
Pasha mengangkat kepala dan memandang-nya dengan senyum sendu menghias wajah. Tesa kontan berdebar-debar ditatap begitu. Lekas-lekas dia menunduk, menyembunyikan salah tingkahnya dalam cangkir kopi. Namun rasa ingin tahunya terlalu besar. Diletakkannya cangkir itu, lalu tanpa berpikir lagi sudah nyeletuk, "Siapa sih orang itu? Ibumu?"
"Bukan." Pasha menggeleng. "Itu terjadi di sini. Namanya, Selina. Yang tempo hari sudah aku sebutkan. Seorang gadis yang amat manis!"
"Ah! Selina lagi!" seru Tesa dengan lagak jemu. "Dari mana kau tahu dia itu manis sekali? Rupanya kau belum pernah melihatnya, ya. Selina itu bopengan, tahu!"
Seketika suasana jadi hening. Cangkir di ta-ngan Pasha nyaris terbanting ke meja. Suap di mulutnya nyaris mencekik tenggorokan. Matanya melotot seakan melihat -setan gentayangan. Tesa hampir menyesal telah membunuh ilusi yang selama itu disayang-sayang dan dipuja oleh Pasha.
Tapi Pasha ternyata tidak marah atau kecewa. Dia hanya menghela napas. "Pantas," gumamnya. "Pantas dia tak mau menemui aku! Begitu aku bisa melihat lagi, dia langsung kabur ke Jakarta. Kabarnya dia minder!"
Hampir tercetus pertanyaan dari bibirnya, "Siapa bilang?" Tentu saja dia marah disebut minder, tapi sesaat kemudian dia tenang kembali. Biar saja mau dibilang apa kek, yang penting dia tahu itu tidak benar. Siapa lagi yang tega bikin isu begitu?! Pasti...
"Ya, ya, ya, kalau begitu perkataan Pika benar," sambung Pasha pelan seakan pada diri sendiri. "Selina itu minder. Cuma waktu itu aku belum tahu kenapa. Kiranya dia bopeng!"
Hm. Jadi benar dugaannya. Ular juga si Pika itu! Sudah aku tolong menjagai buah hatinya, eh, di belakangku dia jelek-jelekkan aku! Minder, katanya! Hm. Lantaran enggak punya pacar seganteng pacarnya?!
"Ah, orang sebaik itu! Kau tahu, Tesa, dulu itu aku sering kali memarahinya. Ini enggak benar, itu salah. Tapi dia selalu sabar dan tetap ramah. Ah, rasanya seratus tahun pun aku betah hidup bersamanya. Seandainya saja aku bisa ketemu dia lagi. Ah! Aku akan rela sekali mendampinginya, walaupun orang lain tak ada yang sudi padanya!"
Tesa jadi bengong menatapnya. Dilihatnya mata Pasha yang hitam dan indah itu berlinang. Hei! Tidak disangkanya leluconnya bisa jadi serins kayak gini! Mau ketawa pun sekarang sudah susah! Telanjur! Apa yang harus diperbuat-nya kini?!
Tiba-tiba dia teringat kawan-kawan kuliah Pasha yang pernah melihatnya. Keringat dingin mendadak mengucur di balik bajunya. Oh, ya! Untung sekali.
Pasha rupanya tidak sampai tanya-tanya pada Thomas seperti apa tampang "bidadarinya" dulu itu!
"Lantas, Pika mau dikemanakan?" tanyam tidak tanggung-tanggung, kepalang bohong, baiknya diteruskan saja memuaskan rasa ingin tahunya. Yang namanya Pasha ini kan tempo hari, aduh cerewetnya, mentang-mentang majikan yang bayar gaji! Biar sekarang dikilik-kilik-nya sedikit rasa ibanya. Kalau bisa sampai mewek, lebih bagus!
Tapi Pasha mungkin tidak mendengar. Dia tidak menjawab. Sebaliknya, seakan. tersadar ada tamu, didorongnya kembali piring kue dan memaksa Tesa mengambil lagi. Ditungguinya sampai gadis itu menggigit dan mengunyah, lalu dilontarkannya pertanyaan sekali lagi, "Enak?"
Tesa mengangguk, tersenyum. Tak ada lagi yang ingat soal memberi les. Nyaman juga ber-handai-handai begini. Tapi ah, mendadak dia teringat kemungkinan Pika muncul di situ. Dia mesti hengkang cepat-cepat kalau tidak mau dimaki orang!
Dia berlagak melihat arloji, mengerutkan ke-ning, lalu berdiri.
"Ayo, ah. Aku betul-betul harus pergi sekarang. Tapi sebelum itu, biarlah aku cuci dulu gelas-gelas ini. Kuemu sungguh enak. Kapan-kapan aku minta resepnya, ya!"
"Oh, enggak boleh! Kalau kau mau makan kue dadar, kau mesti datang ke sini!
"Huh!. Pelit!" Tesa mencibir heran, gampang betui orang jadi manja di depan cowok simpatik seperti ini! sambil mengangkut gelas-gelas ke bak cuci piring.
"Bukan pelit, Tes. Ilmu rahasia itu cuma ditu-runkan padaku seorang dengan pesan, katanya enggak boleh dikasih tahu ke siapa-siapa!" ujar Pasha dengan serius seakan itu ilmu' hitam yang berbahaya.
"Ah, ngibul" sambut Tesa setengah geli. Seingatnya, dia tak pernah berpesan begitu pada Pasha Solem.
"Betui, kok. Tapi Selina juga berpesan lagi, kalau ada gadis manis yang mau jadi pacarku yang setia dia boleh dikasih tahu...!"
"Wah, rupanya kau ini mata keranjang, ya! Sudah ada Pika, dan tadi masih merindukan cewek bopeng yang kauanggap sama cantik dengan dewi kayangan. Eh, masih kepingin pacar lain lagi yang mau kaupincuk dengan sepotong resep rahasia...."
"Habis! Aku kesepian!" keluhnya seakan kesakitan. "Pika terlalu sibuk dengan kuliah dan praktikum. Sekarang saja sudah begini, apalagi nanti kalau sudah lulus?! Pagi praktek, siang praktek, malam pun praktek. Kapan dia mau membagi waktu untuk keluarga? Barangkali aku salah, sudah menganjurkan supaya dia ikut aku masuk kedokteran!" Pasha menarik napas pan-jang pendek seperti orang dililit utang yang. ditunggui juru sita di depan rumah. Kelihatannya dia masih mau bikin pengakuan sejam-dua jam lagi, tapi Tesa merasa tidak sanggup jadi hakim yang tidak berat sebelah. Lebih baik dia pergi saja sekarang juga.
"Maksudku dulu, supaya kami bisa belajar sama-sama. Lalu nanti, prakteknya juga sama-sama...."
Tesa mengeringkan gelas yang terakhir. Dilihatnya sekali lagi arlojinya yang sebenarnya sudah mati sejak tadi (mungkin baterenya sudah habis, terpaksa dia langsung ke toko dari sini), lalu mengambil tas berisi dompet dan catatan mengajarnya. Dipandangnya Pasha (mungkin untuk terakhir kali, pikirnya) lekat-lekat seakan mau mematri wajahnya dalam hati.
"Sorry banget deh, Pas. Aku betul-betul mesti pergi. Sudah cukup lama aku di sini. Kalau ketahuan Pika, bisa perang nuklir, nih!"
"Dia takkan tahu!" suara Pasha begitu keras seperti geledek, sampai Tesa terperanjat. "Kalau tahu pun, enggak apa-apa. Seandainya dia berani marah, aku bisa lebih marah lagi. Aku punya banyak alasan...."
Walah, walah! Tesa enggak mau jadi saksi-dengar kericuhan dalam negeri orang. Cepat-cepat diputarnya gerehdel pintu, lalu melambai.
"Bye!"
."Nanti datang lagi!" seru Pasha.
Maksudnya sih terang mengundang, tapi na-danya kok setengah mengancam, pikir Tesa geli. Dia berlagak tidak mendengar dan tidak me-nanggapi.
Tapi dari sekali jadi dua kali. Dua kali jadi empat kali, lima kali, enam kali... Akhirnya, hampir setiap kali selesai memberi les di tingkat tiga, Tesa sudah ditunggu oleh Pasha di tingkat dua. Dan dia mau masuk memenuhi undangan-nya. Ketika dipikir-pikimya di kemudian hari, dia sungguh tidak tahu apa sebabnya dia mau saja diajak mampir. Padahal dia sadar bahwa Pasha itu milik orang lain dan dia sendiri tidak sudi dijadikan ban serep. Mungkin dia juga sama-sama kesepian seperti Pasha? Di rantau orang tanpa sanak keluarga?
Bagaimanapun, dia jadi senang bertandang. Malah rasanya makin giat mengajar suami-istri Graham, walaupun hal ini dibantahnya mati-matian (dalam hati).
Tentu saja Pasha jarang sekali bikin kue dadar. "Seenak-enaknya pun pasti bosan juga akhirnya," dalihnya, lalu memancing Tesa agar suka menunjukkan kemahirannya.
Herannya, gadis itu tidak menolak. Kalau si-angnya habis bertandang ke tempat Pasha, lalu malamnya ketemu Pika di dapur, dia merasa sedikit bersalah, kikuk, dan tidak banyak bicara. Tapi esoknya dia sudah lupa. Dan ketika datang lagi ke tempat Kakek-Nenek Graham, Pika sudah jauh di awang-awang, tak teringat lagi olehnya.
Begitulah dia jadi sering main ke tempat Pasha. Acaranya tak banyak variasi. Biasanya Pasha duduk membaca buku atau membuat laporan, sementara Tesa sibuk di dapur bikin kue. Kalau kue yang dipanggang atau-digoreng sudah berbau harum, Pasha akan terbirit-birit datang, menawarkan 'bantuan'. Tesa akan ketawa terpingkal-pingkal melihat tingkah Pasha yang berlagak mau menolong sungguhan. Kalau Tesa bilang semua sudah beres, tinggal tunggu matang, dia akan balik menengok kue setiap lima menit. Setelah kue siap, Pasha akan berhenti sebentar dari belajarnya, lalu mereka duduk di meja atau di lantai, melahap kue buatan Tesa sambil mendengarkan musik.
Pasha kelihatan ramah, berlainan sekali dengan masa ketika dia masih cacat. Dia juga selalu menanyakan kemajuan kuliah Tesa serta kepandaian murid-murid di loteng—Pasha me-nunjuk ke atas tempat tetangganya—dan Tesa selalu melaporkan kalimat-kalimat lucu yang di-katakan oleh Kakek Graham.
Walaupun Pasha penuh perhatian, namun Tesa tidak menjadi lengah. Dia tahu, pemuda itu masih mencintai Pika. Dia cuma kesepian belaka. Atau barangkali sengaja mengundang-nya ke situ untuk memancing rasa cemburu Pika?! Memang dia sering heran kenapa Pasha selalu mau menahannya lebih lama dan lebih lama lagi di tempatnya seakan berat berpisah. Apa dia mau tunggu sampai Pika muncul?! Awas saja kalau dia sampai memperalatnya!
Tidak. Dia tak boleh terjerumus ke dalam perangkap apa pun yang dipasang oleh Pasha ,laki-laki tak boleh terlalu dipercaya, pikirnya teringat pengalaman getir. Bahkan Selina pun sekarang sudah tidak dtingatnya lagi, padahal baru beberapa bulan berselang masih dirindu-kannya siang malam! Pasha milik Pika, titik. Dia main ke tempat laki-laki itu sekadar meng-isi kejenuhan hati (atau kekosongan?!).
Yang membuat Tesa terkadang gemetar (dalam hati) adalah stkap Pasha. Tanpa hujan tanpa angin dia suka berhenti mengunyah, mena-tapnya dengan aneh lalu bergumam hampir tak nyata, "Aku teringat pada seseorang...." atau, "Kau mengingatkan aku pada seseorang!"
Tentu saja Tesa tidak berani bertanya siapa orangnya, walaupun rasa ingin tahu membakar dadanya. Alih-alih, dia malah jadi ketakutan, jangan-jangan...
ah! Jangan coba-coba main api, kalau tidak mau terbakar, katanya memper-ingatkan diri.
"Siang ini aku mau bikin kue serabi!" katanya seakan memproklamasikan sebuah produk baru di bidang persabunan.
"Dengan santan manis yang gurih?"
Mata Pasha langsung berbinar. Tesa jadi kasihan melihat laki-laki ganteng setegap itu masih berlagak seperti anak kecil saking kesepian-nya. Betapa telantarnya dia! Sampai ngidam santan gurih yang manis!!
Dalam hati dia menyesali Pika yang tidak tahu diuntung. Berapa banyak cewek yang iri padanya. Coba hitung yang gampang: di dapur asrama saja sudah didengarnya Atina dan Sabita, sahabat Pika, yang hampir menceburkan diri ke Sungai Swan gara-gara cinta. tak sampai (pada Pasha Solem). Belum lagi gadis-gadis lain yang tidak didengar atau dikenalnya. Tapi pemilik asli justru tak peduli atau tidak berusaha menyenangkan hati kekasih. Pika tidak kelihatan ada kemauan untuk mempertahankan cinta-nya. Mungkin sangkanya Pasha sudah jadi mi-liknya sejak penitisan yang lalu!
"Ya, ya, dengan santan gurih yang manis. Pakai gula merah! Tapi kau diam-diam saja di sini, jangan ikut-ikutan ke dapur. Nanti bisa batal."
"Batal kenapa?" usik Pasha ketawa. "Masa sih bikin serabi aja bisa batal? Memangnya harus bugil?"
"Kalau misalnya ya, kan berarti kau tak boleh hadir, bukan?" "Bukan!"
sahutnya serius. "Apa?"
"Berarti boleh!"
"Apa? Udah deh, aku enggak jadi bikin. Men-dingan pulang, tidur!" Tesa beranjak ke pintu. Pasha lebih cepat lagi bergeser ke sana.
"Eh, sudah masuk enggak boleh keluar lagi sebelum bikin kue! Itu pantangan, tahu! Pamali! Ayo, ke dapur sana! Kalau tidak selesai kuenya ku sekap kau sampai beres!" Pasha berlagak mengancam dengan nada bengis, tapi matanya berbinar mau ketawa.
Tesa pun berlagak ngeri dan menggelinding ke dapur tanpa membantah.
Kalau dipikir-pikir-nya kemudian sikapnya persis remaja bego.
Ketika Tesa sudah di dapur kira-kira seper-empat jam, tiba-tiba Pasha berhenti menulis dan mengerutkan kening. Dari arah belakang dide-ngarnya bunyi kelontang-kelonteng panci dan sendok. Keningnya makin penuh kerut. Heran. Kok gadis itu sama sekali tidak mengalami ke-sulitan untuk menemukan alat-alat atau bahan-bahan yang diperlukannya?! Kalau Pika yang di sana, setiap satu menit pasti dia akan berkaok, "Pas, di mana gula jawa?"; "Pas, di mana pengo-cok telur?"; "Pas, di mana botol minyak?"
Heran. Anak ini rupanya memang sudah bia-sa main di dapur, sampai dia tahu di mana letak barang-barang...! Eh, tapi bagaimana dia bisa tahu di mana kocokan telur?! Alat itu jarang sekali dipakainya dan karena itu disimpannya dalam lemari yang paling atas. Untuk mengambilnya, orang setinggi Tesa perlu kursi. Jadi dia takkan mencari langsung ke sana ke-cuali dia sudah tahu tempatnya. Dari mana dia bisa tahu?!
Tesa rupanya sedang riang hatinya. Terdengar dia bersenandung pelan. Ah, sejuk perasaan pendengarnya. Suaranya merdu. Lagu itu seakan sudah sering didengarnya, tapi entah kenapa pikirannya mendadak jadi buntu. Dia tidak bisa ingat di mana pernah didengarnya irama merdu itu.
Sia-sia dia mencoba mengingat-ingat. Sampai akhirnya Tesa muncul membawa sepiring serabi hangat yang harum serta santan bergula jawa yang kelihatan gurih sekali. Pasha lupa seketika akan segala tanda tanya barusan. Buru-buru di-singkirkannya semua buku dari atas meja, lalu mereka duduk berhadapan menikmati hidangan istimewa itu.
"Ini memang kedoyananku!" tukasnya setelah menelan lima butir. "Santannya dari kaleng sih, mungkin sudah agak tengik?" tanya Tesa seakan
mau merendahkan mutu masakannya.
"Ah, enggak kok. Rasanya tetap enak, enggak bau apa-apa."
Pasha menatap Tesa. Tiba-tiba muncul kembali keheranan-keheranan tadi dalam otaknya. Baru saja dia mau bertanya, telepon berdering.
"Halo?"
Pasha mendengarkan sebentar, lalu mengiakan dan telepon diletakkannya kembali. Dia menoleh pada Tesa. "Pika mau datang membawa pizza."
Senyum cerah memoles wajah tampannya. Rupanya itu salah satu kedoyanannya pula, pikir Tesa.
"Aku lebih baik segera angkat kaki," tukas gadis itu seraya bangkit. Lalu tiba-tiba terpan-dang olehnya kue serabi yang masih banyak.
"Mau diapakan kue begini banyak? Pika pasti curiga"
Pasha menghela napas.
"Yah! Sebaiknya kau-bawa saja, Tes. Aku bakal kewalahan kalau Pika sampai ngamuk"
Tesa mengangkat piring itu mau dibawa ke dapur.
"Eh, tunggu dulu! Aku masih kepingin lagi!" Diraihnya piring itu dan dicomotnya empat serabi. Kemudian dituangnya santan gurih ke atas mereka. Tesa menunggu lalu mengambil mangkuk santan untuk dituang ke dalam kantong plastik.
Ketika dia tengah membungkus kue-kue itu, Pasha tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya sambil memegang piring dan menyantap serabi yang sebentar-sebentar dicelupnya ke dalam santan.
"Tes," katanya setengah berbisik, "maaf, ya. Kau terpaksa pergi begitu saja."
Tesa ketawa sumbang walau hati merintih. "Oh, enggak apa-apa. Aku maklum." Dalam hati ditambahnya, "Aku maklum, aku kan cuma pe-rintang waktu. Tentu saja kau enggak mau sampai ribut dengan kekasih, bukan?! Aku harus tahu diri, dong. Siapa aku, siapa Pika!"
"Kau enggak marah? Sungguh?"
"Lho, memangnya kenapa aku mesti marah? Aku juga enggak mau dong dimaki orang!
Selain itu, aku memang tidak punya niat untuk merampas kekasih orang!" Dia melrrik Pasha dengan sen yum netral padahal dalam hati cuma Tuhan yang tahu.
"Ayo, ah! Jangan ngomong begitu. Pika juga pasti tahu, kau bukannya cewek sembarangan yang gampang-gampang direbut hatinya. Tapi tempo-tempo pikiran seorang gadis suka sempit dan kuno kalau itu menyangkut pacaran. Jadi, yah! Meskipun kita tahu kita tak punya niat apa-apa, kita cuma berteman doang, tapi kalau Pika melihatmu di sini, aku khawatir namamu akan dirusaknya ke seluruh benua Australia!"
Tesa ketawa gelak sambil mengikat bungkusan kuenya dan santan kinca.
Lumayan untuk Nopi serta kawan-kawan lain yang selalu kela-paran.
Diambilnya tasnya. "Sudah, ya. Bye."
Pasha meraih tangannya seakan masih mau bikin upacara perpisahan yang lebih mesra, namun Tesa dengan gesit mengelak dan cepat-cepat menuju ke pintu.
Setibanya di jalan barulah disadarinya betapa sakit hatinya. Yah! Dia telah diusir seperti anjing! Dia takkan pernah mau ke sana lagi!! Biarlah Pasha mati kesepian tanpa teman! Dia tak sudi dijadikan kain sampiran sementara yang bagus sedang dijemur!
Tapi setelah duduk dalam bis menyaksikan pemandangan Sungai Swan yang indah, hatinya terbuka lagi. Salah sendiri, pikirnya, kenapa main-main dengan pacar orang! Akibatnya setiap saat bisa diusir pulang kalau majikan asli mau datang!
==========
Tekadnya dilaksanakannya dengan gigih. Selama tiga minggu, dia menghindari pintu Pasha. Itu berarti enam kali, sebab dia memberi les di tingkat ketiga dua kali seminggu. Tapi kalau kemudian dikajinya, sebenarnya tekadnya toh tidak mendapat tantangan apa-apa. Sebab pintu itu selalu tertutup dan Pasha sendiri tidak kelihatan batang hidungnya.
Tesa tidak mau memikirkan apakah Pasha kini sudah menjauhinya atau tidak lagi kesepian atau bagaimana. Dia tak peduli apa alasan Pasha. Pokoknya dia cukup merasa lega tidak lagi mendapat gangguan. Namun begitu, tiap kali lewat di depan pintu hati kecilnya terkadang masih berharap pintu akan mendadak terbuka agar dapat ditunjukkannya tekadnya untuk tidak menjadi kain sampiran. Kakinya tanpa terasa sudah berhenti sejenak di anak tangga paling bawah. Tapi wajah yang penuh senyum itu tidak menyambutnya lagi. Maka hatinya pun melenguh, lalu dia menunduk dan 'nelangkah cepat-cepat turun ke tingkat satu.
Setelah hal itu terjadi enam kali, Tesa sudah membiasakan diri dengan keadaan baru itu. Dia tak pernah lagi berharap akan melihat Pasha atau menerima undangannya untuk mampir. Setelah dirinya menjadi biasa dengan perubahan ini, pikirarmya pun menjadi tenang. Dia malah bisa berangkat mengajar dengan perasaan lebih cerah sebab kekhawatiran—akan kepergok Pika—yang dulu-dulu tak pernah menyergap hatinya lagi. Semangat mengajarnya lebih meng-gebu-gebu, sebab konsentrasi pikirannya kini tidak lagi bercabang ke kamar lain.
Dia sudah merasa cukup puas bisa bersantai sejenak dengan kedua Kakek dan Nenek Graham seusai les, lalu buru-buru pulang untuk tidur siang atau membuat pekerjaan rumah kalau ada.
Di dapur, dia bisa menentang mata Pika dengan lebih jujur dan ikut seloroh teman-teman tanpa ada apa- apa yang perlu disembunyikan. Anak-anak asrama biasa masak-masak bersama. Setiap orang menyumbang satu macam sayur, lalu mereka duduk semeja dan makan besar. Biasanya Tesa jarang mau ikut, tapi kini dia lebih banyak meluangkan waktu untuk menunjukkan kebolehannya di depan teman-temannya. Yang paling terkesan tentu saja Nopi. Matanya yang jeli segera tahu bahwa gadis-gadis lain kebanyakan tidak pintar masak. Maklum, sela-a jadi anak sekolahan rupanya tak pernah meninjau dapur dan ibu mereka pun terlalu memanjakan mereka.
Pernah sekali Nopi menyindir Atina yang menggoreng dendeng kiriman dari rumah.
"Waduh, enggak kalah alotnya sama kulit sepatu, nih," ledek Nopi yang baru berhasil meng-gigitnya setelah giginya terancam copot.
"Aku kelamaan menggorengnya dan kelupaan merendam dulu," sahut Atina mengaku salah.
Nopi menghela napas sabar. "Yah, aku maklum. Zaman sekarang, para ibu lebih suka anak gadis mereka jadi dokter atau insinyur daripada jadi ratu dapur. Kebanyakan nyonya rumah abad ruang angkasa ini sudah menyerahkan gelar itu pada si Mbok yang masih tahu mana terasi, mana lengkuas!"
"Ah, aku masih bersedia kursus kok, Nop, asal lihat -lihat dulu cowok mana yang mesti aku sediakan makan tiap hari!" sahut Atina jadi gemas.
"Oho, dengan perkataan lain, aku ini belum cukup pantas kausediakan makanan? Jadi kau enggak suka sama aku?!" seru Nopi melotot, seakan tidak percaya di dunia masih ada makhluk yang begitu bodoh.
Tentu saja Atina kelabakan mendengar sin-diran yang mengandung peringatan itu, sebab terus terang, hatinya sudah kecantol cowok sipil itu. "Lho, lho, lho, kok jadi salah paham, sih? Aku kan enggak bilang kau ini kurang pantas aku suguhi, cuma..."
" ...kau ogah!" sambung Nopi membuang hj-dung ke atas, berlagak sombong. "Ya, deh, aku maafkan sekali ini. Tapi lain kali mesti bikin soto untukku, ya! Soto sulung! Yang enak!"
"Mampus aku!" bisik Atina ke telinga Sabita yang duduk di sebelahnya. "Apa sih itu soto sulung? Dengar pun baru kali ini!"
"Kalau soto bungsu aku bisa," goda Sabita, tidak menyangka bahwa Atina begitu bloon. Dengan girang anak itu menoleh pada Nopi yang duduk di kepala meja bagaikan raja dike-lilingi beberapa selir.
"Nop, soto sulung itu kurang enak. Mending-an soto bungsu saja, gimana? Itu aku bisa!" kata Atina penuh keyakinan (akan bantuan Sabita).
Sebelum raja bersabda, selir yang bernama Nurul sudah berseru heran, "Belum pernah se-umur hidup aku mendengar nama itu. Ada juga soto Kudus, soto Bandung, soto Madura, atau soto Banjar, tapi soto sulung? Soto bungsu?!" "Wah, kalau begitu kau goblok! Enggak pernah ke dapur, ya? Mentang-mentang sekolahnya tinggi..."
Panas juga Nurul disebut goblok. Langsung saja mulutnya yang terkenal suka ceplas- ceplos menyahut lantang, "Memang enggak, kok! Aku kan mau jadi nyonya rumah, bukannya jadi ratu dapur alias si Mbok! Di rumahku juga cuma pembantu yang tahu gimana bikin tempe bacem, pepes oncom, ayam goreng Mbok Berek, ayam goreng Jawa, ayam goreng Kalasan, ayam goreng segala macam! Kalau kau kepingin punya istri ahli masak, kawin saja dengan mbok-ku!"
Merah padam muka Nopi. Tapi dia tidak marah. Malah ketawa terbahak-bahak. "Itu namanya kita berdua tidak berjodoh," katanya mengejek, lalu melirik Tesa yang tengah sibuk memindahkan gulungan ayam cincang dari ku - kusan ke atas piring. Tentu saja gerakan ini tidak luput dari monitor radar si Atina. Hatinya segera berdegup kencang. Dia tahu, Tesa memang hobi masak. Dan bila cowok yang satu ini betul-betul rakus, wah, wah, wah, bisa-bisa Tesa yang mendapatnya! Ini tentu saja mesti dicegah. Tapi gimana caranya?! Mungkin dia perlu baik-baik dengan Tesa, lalu pelan-pelan minta diajari masak!
Gulungan kertas sudah dibuka dan ayam cincang itu dipotong-potongnya, lalu piring dibawanya ke meja. Semua gerakan Tesa diperhatikan oleh Nopi dengan penuh kekaguman, sementara Atina sendiri sibuk merekam tingkah laku Nopi.
Ketika piring diletakkan di atas meja, semua mata mendadak jadi membesar mengawasi ayam dengan pandangan kelaparan. Tesa yang tidak menyadari sikap teman-temannya, dengan anteng mengambil tempat duduk di sebelah Ria. Melihat semuanya cuma bengong memandang ke tengah meja, dia segera berseru, "T^ ayo dong. Jangan diliatin melulu! Nop, kau yang bagiin."
"Yuhuuii! Makasih atas kepercayaanmu, Tes!" katanya sambil menggosok-gosok tangan.
"Jangan dia, ah!" sergah Nurul yang masih dongkol dibilang goblok, "Cowok kan rakus, nanti kita semua kagak kebagian apa-apa! Tesa saja yang bagi!"
"Eh, memang begitu dong aturannya! Cowok yang memberi, cewek-cewek tinggal menerima doang!"
"Iiih, porn...!" nyeletuk Atina yang mendadak jadi sebal melihat Nopi mengelus Tesa dengan pandang memuja, padahal gadis itu sendiri tengah menunduk sibuk mengiris timun. Tesa sama sekali tidak peduli pada cowok, pikir Atina. Ada yang bilang, dia pernah patah hati, lalu jadi kapok. Kalau enggak salah, Pika yang bilang. Dasar Nopi itu memang kerbau, enggak tahu hatinya ada di mana!
Nopi tidak peduli semua protes. Yang punya sendiri sudah menyerahkan mandat, jadi persetan dengan segala mosi tidak percaya! Dengan tenang dia mengangkat sepotong gulungan ayam yang kelihatan lezat nian, lalu garpunya dibiarkannya berhenti di tengah udara sambil matanya menyapu setiap wajah. "Ayo, ada yang mau dapat bagian, enggak?"
Sabita cepat-cepat mengulurkan piringnya. Kalau soal makanan, dia tidak mau pusing siapa yang bikin atau siapa yang bagi, pendeknya asal cepat dapat jatah!
"Iiih, kok rakus?!" tegur Atina pada sahabat-nya.
"Habis! Aku kan sakit maag, Tin!" dia membela diri. "Aku sudah kelaparan!" Dengan sikap seakan amat terpaksa, akhirnya Nurul dan Atina pun mau menerima pembagian dari Nopi. Tesa menyorongkan piringnya paling akhir. Dan mungkin itu cuma perasaan Atina belaka, tapi dia seakan melihat bahwa Nopi sengaja memilihkan potongan yang paling gemuk untuk gadis itu. Yah, enggak apa, deh, pikirnya menghibur diri. Kan Tesa yang masak dan keluar duit!
Tengah mereka asyik berpesta, tahu-tahu pintu dapur asrama terbuka lebar. Siapa yang ma-suk?! Tesa mengangkat wajah dan seketika itu juga menunduk lagi. Pika muncul menggandeng Pasha! Ya, Allah, pikirnya. Jangan biarkan dia melihat aku! Jangan biarkan mereka duduk di sini.
Tapi Pasha sudah melihat masakan enak-enak di atas meja dan segera menjawil Nopi yang memang dikenalnya. "Boleh numpang sepiring enggak, nih?"
Walaupun sebenarnya enggak rela sebab dia masih ingin nambah dua piring lagi Nopi tidak berani menolak. Terpaksa disilakannya ke-dua tamu tak diundang itu untuk ikut menyikat bersih piring-mangkuk di atas meja.
"Hm. Ayam Ini enak sekali. Apa sih namanya? Chicken pie? Atau bakso? Siapa sih yang bikin?" tanya Pasha sambil memandang berkeliling, lalu tiba-tiba mulutnya setengah melongo seakan keheranan.
Agak di ujung meja duduk Tesa yang kelihatan acuh saja sendirian. Semula, sepintas lalu dikiranya itu gadis baru yang tidak dikenalnya, sehingga tidak diperhatikannya. Tapi kini wa-jahnya menunjukkan rasa gembira sekaligus...
Kangen?! Tidak! Dia mesti hati-hati kalau tidak mau babak belur dipukuli oleh Pika yang nangkring di sebelahnya, memonitor setiap gerakan-nya seperti kamera televisi yang paling canggih. Dia bukan takut, tapi ingin damai, pikirnya membela sikapnya.
"Jangan usil, ah, .tanya-tanya siapa yang masak!" bentak Pika setengah cemburu. Dan Pasha langsung menutup mulut. Tapi Atina yang se-nang keributan sebagai atraksi, segera menyebut nama Tesa.
Kini Pasha tidak bisa lagi masa bodoh. Dia sudah diberitahu siapa yang telah membuat ma-sakan yang dipujinya tadi. Terpaksa dia mesti juga memberi pujian.
"Oh, kiranya Tesa! Enak, lho. Boleh sering-sering, nih!" Maksudnya cuma ingin berkelakar. Siapa tahu, Pika jadi sewot.
"Maumu! Memangnya orang kebanyakan waktu diam di dapur terus! Apa masakanku masih kurang sedap sih sampai kau kepingin dimasakin orang lain?!"
Wah, celaka! pikir Tesa dari ujung meja. Runyam kalau mereka bertengkar gara-gara diri-nya. Bisa-bisa Pika akan menuduhnya yang bukan -bukan. Apalagi kalau dia sudah menaruh curiga bahwa Tesa pernah atau sering datang ke tempat Pasha! Wah, Pika pasti takkan segan-segan menjelek-jelekkannya di depan anak-anak semua!
Dengan hati kebat-kebit Tesa berlagak tidak menyadari situasi yang sudah genting. Sambil ketawa dia menegur Pasha, "Iya, nih! Heran, sifat cowok kok semuanya begitu? Selalu pura-pura memuji cewek lain, padahal maksudnya sebenarnya cuma ingin lebih dimanja "
Pasha menatapnya seakan mau protes, tapi Tesa mengedip satu kali dan dia mengerti. Pika menjadi tenang lagi setelah paham bahwa itu hanya taktik belaka dari kaum laki-laki agar lebih diperhatikan oleh "orang rumah"! Dalam hati dia mengaku bersalah, kurang memanjakan Pasha. Habis, dia kelewat sibuk dengan kuliah.
Setelah makannya selesai, Tesa mengangkut piringnya sendiri ke ruang sebelah untuk dicuci. Dita mengikuti, juga dengan piring sendiri. Tak lama kemudian muncul Nopi, berlagak mau menunggu sampai gadis-gadis itu beres dengan piring mereka. Tapi Tesa mengerti bahwa dia kepingin ditawari bantuan. Karena selama ini Nopi selalu baik padanya, Tesa jadi malu hati.
"Mana, Nop, aku cuci piringmu."
"Aiiii, betui, nih? Trimse, nih ye!" katanya tanpa sungkan, lalu menghilang lagi dengan wajah berseri-seri.
"Kerajinan betul sih, kau!" tukas Dita. "Nanti jadi kebiasaan! Kalau patse sih lain perkara! Nopi kan enggak pernah mau naksir kita-kita ini, Tes. Matanya juling ke yang pirang-pirang melulu, tahu!" .
Tesa ketawa. Karena piring yang dicucinya cuma satu, sebentar saja Dita sudah selesai, lalu balik ke ruang makan. Sedang Tesa masih sibuk membilas piring-piring dan sendok, muncul Pika dengan setumpuk perabot.
"Tes, aku minta tolong dong sekalian, nih. Piringku dan piring Pasha. Nanti kapan-kapan aku yang gantian men cuci piringmu. Mau, kan?"
Sebenarnya Tesa sebal, tapi melawan mulut yang begitu manis, dia tak sanggup. Pika memang bisa amat sangat manis melebihi madu asli, kalau ada maunya.
"Taruh saja di situ," sahutnya tanpa menoleh. "Trims, ya. Lain kali aku yang gantian. Benar, deh!"
Tentu saja Tesa tidak menaruh banyak kepercayaan pada janji Pika, walau misalnya disertai sumpah sekalipun. Paling-paling setelah dua puluh empat jam dia akan melupakan janji itu.
Tapi setelah diliriknya tumpukan piring gelas itu, mangkelnya berkurang. Bagaimanapun, itu kan bekas makan Pasha juga. Piring bekas Pika cuma satu dan gelasnya tak ada, barangkali masih dipakai.
Tengah Tesa menjadi babu dapur begitu, tiba-tiba datang Pasha mau membuang kulit jeruk ke dalam tong sampah. Langkahnya setengah terhenti melihat siapa yang ada di sana. Tapi kemudian diteruskannya seakan tak terjadi apa-apa.
"Sibuk, nih?" tegurnya basa-basi.
"Seperti kaulihat," sahut gadis itu singkat tanpa menghentikan gerakan sikat menyabuni piring.
Ketika Pasha melihat bahwa dia sedang mencuci piring bekasnya sendiri, dia segera tahu bahwa Pika malas.
"Pika yang menyuruhmu mengerjakan semua itu?" tanyanya menegaskan. Tentu saja Tesa tak bisa mengatakan hal yang sebenarnya. Tapi kalau dia cuma ketawa saja, tentu Pasha akan curiga juga. Terpaksalah dia berdusta untuk kebaikan Pika.
"Ah, enggak, kok. Aku yang mau sendiri. Kan sekalian, cuma sedikit ini." Pasha belum puas dengan jawaban yang diragukannya itu, namun dia tidak mendesak. "Mari aku bantu," katanya kemudian.-
Sebelum Tesa sempat menolak, Pasha sudah meraih serbet dari gantungan dan mulai mengeringkan piring-piring yang sudah bersih.
Mereka bekerja tanpa bicara. Pasha bahkan sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa dia sudah lama mengenal Tesa, dan bukan sekadar ketemu di ruang makan tadi. Tesa maklum, ini tentunya gara-gara Pika hadir di kamar sebelah.
Setiap saat monyet kecil itu bisa inspeksi dan menimbulkan onar kalau dilihatnya ada sesuatu yang kurang menyenangkan hatinya. Sebagai anak orang kaya, Pika tentu saja sudah biasa dimanja dan adatnya pun jadi disesuaikan dengan kebiasaan itu. Tesa tidak mau ada ribut-ribut. Apalagi karena di antara Pasha dan diri-nya memang tak ada apa-apa, jadi rugi betul kalau sampai disangka yang tidak-tidak, pikirnya.
Setelah semua piring dan sendok garpu beres dikeringkan, Pasha menggantungkan kembali lap di tempatnya. Lalu dikeluarkannya saputangan untuk mengeringkan jari-jarinya. Tesa melihat lipatan saputangan biru yang tidak dise-trika itu. Rupanya sejak dia berhenti, tak ada orang yang sempat menyetrika. Pasha pasti repot Pika mana mau...
"Ah, kok saputangan robek itu masih kau-pakai terus!" Tesa nyeletuk tanpa dipikir lagi. Pasha yang tengah melap tangan segera membuka lipatan-lipatan saputangannya. Benar saja. Ada sudut yang robek.
"O, iya! Aku tidak tahu!" katanya tersipu.
Saking malunya, saat itu dia tidak teringat untuk bertanya dari mana Tesa bisa tahu! Tapi setelah kembali ke tempatnya, Pasha mendadak teringat insiden itu dan jadi keheranan.
"Eh, dari mana si Tesa itu bisa tahu saputanganku robek?" gumamnya setengah bertanya pada Pika, lalu diceritakannya apa yang tadi terjadi. Hati gadis itu tercekat. Diam-diam dia menyesali kecerobohan temannya yang asal ngomong itu. Tentu saja Pasha jadi curiga!
"Ah, barangkali dulu kau pernah juga memakai saputangan itu, dan dia pernah melihat, itu sudah robek!" sahut Pika berusaha^ meyakinkan bahwa Tesa tentunya bukan pandai sihir yang bisa melihat sesuatu dalam saku orang lain.
Pasha terdiam menerima penjelasan seakan sudah puas, tapi sebenarnya jauh dari itu. Pikirannya terus-menerus berputar mencari jawaban yang lebih masuk akal. Makin dikaji, lerasa makin banyak keanehan muncul sekitar gadis lembut yang pendiam itu, pikirnya. Senyum serta tatapannya terkadang sangat misterius. Adakah rahasia yang terpaksa disimpannya dalam kalbu?! Adakah duka yang pernah melanda hatinya, sehingga pantulan matanya senantiasa ragu dan samar seakan terselubung sehelai tirai paksaan?!
Terlalu banyak tanda tanya yang meletup sekitar dirinya, seperti buih-buih kecil yang timbul setelah ombak berlalu. Misalnya, Tesa kelihatan begitu terbiasa di apartemennya, sehingga tidak perlu bantuan di dapur. Dia juga tahu warna gelas yang harus dipakai untuk makan nyamikan atau makan nasi. Pasha mempunyai hobi yang aneh. Dia suka sekali mengumpulkan gelas-gelas keramik ber-tangkai dari segala tempat. Ada yang biru, kenang-kenangan dari pernikahan Pangeran Charles dan Lady Di; ada yang coklat keemasan memperingati hari ulang tahun Ratu; ada yang putih sebagai peringatan akan anu; ada yang hijau; masih ada lagi yang merah, yang kuning, yang jingga, dan lain lain. Yang terakhir ini dibelinya di tempat pelelangan teh, bukan untuk peringatan hari besar apa pun. Warnanya jingga terang dengan hiasan hijau berbentuk hati. Ini khusus untuk sarapan, disertai tatakan piring yang serasi warna serta bentuknya.
Nah, untuk makan kue-kue di sore hari, dia selalu senang memakai gelas putih yang penuh gambar kucing-kucing kecil dalam segala pose. Tentu saja dia tak pernah menggembar-gemborkan kebiasaan itu melalui iklan radio ataupun gosip percakapan biasa. Jadi, apakah cuma kebetulan Tesa mengambil gelas-gelas itu untuk minum kopi?! Benarkah dia bukan pandai sihir yang bisa menembus pikiran orang?!
Cuma ada dua jawaban. Ya dan tidak. Dan masing-masing mengandung arti yang dalam. Hm. Dia harus tahu sampai tuntas!
Ketika Tesa turun dari loteng rumah keluarga Graham pada hari Selasa berikutnya, dia terkejut mendapati Pasha sudah menunggu di lantai bawahnya. Sudah lama dia melupakan kebiasaan laki-laki ini, sehingga tak pernah lagi ber-harap akan melihatnya duduk berjongkok di depan pintu dekat anak tangga.
"Hei!" sapanya dengan ketawa yang misterius.
"Hei!" sambutnya setengah gugup.
"Yuk, main ke tempatku," undangnya seraya loncat berdiri.
"Lain kali, deh. Aku sibuk," sahutnya mau melangkah terus. Tapi Pasha tentu saja bukan Pasha kalau dibiarkannya seorang gadis manis menolak undangannya. Disambarnya lengan Tesa dan tidak diizinkannya dia melangkah turun.
"Sudah lama kita enggak makan kue dadar bersama," katanya seakan kangen.
"Betul!" sahut Tesa agak memberungut. "Aku sangka kau sudah lupa padaku! Tumben hari ini ingat lagi!"
"Aku barusan balik dari Sydney Jumat lalu. Minggunya kan kita ketemu di asrama. Ayam gulungnya enak sekali!!!"
"Mmm. Enggak punya recehan," Tesa mendengus mendengar pujian yang sudah basi itu. "Ayo, ah. Biarkan aku pergi."
"Eh, jangan begitu, dong. Mari masuk dulu. Aku minta maaf, deh, sebab enggak sempat ngasih tahu aku pergi. Masa kau sampai ngambek?"
"Tentu saja tidak!" cetus Tesa melotot. "Memangnya kenapa mesti ngambek? Kau kan bukan pacarku!"
Pasha meringis mendengar ucapan yang tandas itu, tapi dia tetap tersenyum. Tesa mengibaskan lengan ingin lepas, namun Pasha malah mempererat cekalannya. Dipertontonkannya senyum simpanannya yang paling manis. Dan rayuan mautnya tentu saja sudah lulus testing sekian belas gadis di Jakarta. Tesa yang relatif masih lugu, dengan cuma seorang Goffar se-bagai sertifikat pengalamannya, tentu saja susah melawan.
"Ayo, dong, Non. Jangan gitu, ah. Kalau betul enggak ngambek, ayo dong, mampir. Kalau enggak mau, tandanya memang betul ngambek"
"Aku memang enggak ngambek, tapi aku enggak mau mampir. Lain kali kataku. Sekarang aku lagi sibuk Lain kali, benar deh aku mampir."
Pasha menatapnya dengan tajam, lalu dia mendesis perlahan seraya pameran senyum odol. "Gimana kalau aku kasih tahu Pika, kau ngambek?"
"Kau sinting!" seru Tesa terbelalak. "Dia pasti akan marah besar. Namaku pasti akan hancur sampai ke ujung dunia! Takkan ada tempat lagi bagiku untuk menaruh muka!"
"Nah, rupanya kau sudah paham akibatnya! Karena itu, jangan kaupaksa aku untuk melaporkan, kau sekarang tak mau lagi main ke tempatku!"
"Kau berani mengadu? Kau enggak takut Pika nanti marah padamu?"
"Biar amat! Lagian, dia enggak bakal berani marah padaku! Taruhan, deh! Ayo, mau masuk atau mau diaduin?"
"Ini pemerasan!" seru Tesa marah. "Lepaskan aku!"
"0, bukan! Jangan bilang begitu, dong. Aku cuma ingin kautemani makan rujak. Mau, dong?"
"Rujak?" Dari mana monster ini tahu bahwa aku paling doyan rujak, pikir Tesa geregetan. Mungkin dia mengompes keterangan dari Pika?! Memang mereka sering banget bikin rujak di asrama. Dan ratunya tentu saja Tesa!
"Aku baru mendapat kiriman terasi nomor satu dari rumah. Jadi aku mau bikin rujak. Gula jawa, cabe, dan asam kan gampang dibeli. Juga buah-buahannya. Yuk, kita ngerujak berdua...." Lalu diseretnya Tesa yang sudah lemah lutut-nya itu mendekati pintu kamar.
"Aku repot...," kilah Tesa dengan suara melemah. Bayangan rujak yang pedas dan segar membuat liurnya hampir berbuih.
"Kalau kau tidak mau, aku laporkan pada Pika. Kau harus menerima undanganku!" kata Pasha dengan tegas. Lalu tanpa menunggu bantahan lagi, dibukanya pintu dan didorongnya Tesa ke dalam.
Mata gadis itu segera jelalatan mencari piring rujak. Ternyata tidak ada! Hidungnya yang tajam segera mencoba membaui terasi dan bumbu rujak. Dalam ruangan yang selalu tertutup bia-sanya bebauan begitu jelas tertangkap. Ternyata tak ada apa-apa yang tercium. Mengertilah dia, Pasha sudah berdusta. Mungkin cuma akal bulus untuk menjebaknya.
Ketika laki-laki itu meleng, Tesa secepat kilat melompat ke pintu lalu memutar gerendel. Tapi seperti rusa betina melihat anaknya dalam ba-haya, Pasha pun segera melompat ke samping-nya. Dia berdiri di antara pintu dan Tesa, menghalangi jalan keluarnya.
"Jangan pergi, dong, Tes. Ada yang mau aku katakan!" Suaranya kini setengah memohon, tidak mengandung ancaman.
"Aku tidak mau diancam-ancam!"
"Maafkan aku, Tes. Aku terpaksa melakukan-nya supaya kau mau mampir."
"Huh! Kau cuma ingat kesenangan sendiri, ya? Kau enggak tahu, bukan main repotnya aku! Ini kan musim. ujian!"
"Sekali lagi, maaf, Tes. Aku... aku... sebenarnya sangat menyukai engkau. Aku... aku... rasa, aku... sudah jatuh cinta padamu!" Pasha meng-ucapkan kalimat terakhir cepat-cepat seakan takut. tercekik sesuatu. Setelah itu dia menelan ludah dengan rupa dungu. Plak! Tamparan itu datang tanpa alarm, sehingga wajah Pasha yang bersemu merah di pi-pi membayangkan rasa kaget yang sangat. Tapi mata Tesa lebih menakutkan. Mereka memancarkan kebencian yang menyala.
"Itu yang mau kaukatakan pada teman baik pacarmu?!" bentak Tesa dengan marah. "Kau tidak menghargai kepercayaan yang diberikan Pika padamu! Dan kau menyinggung perasaan-ku! Kaupikir aku semurah itu?!"
Lalu tiba-tiba, begitu saja air matanya menderas turun. Tesa mendadak teringat pada Goffar. Mungkin begitu juga ulah Goffar terhadap Shakira. Cuma bedanya, mungkin temannya itu segera menyambut baik...! Apakah dia akan merendahkan diri seperti Shakira cuma untuk sepotong cinta, dengan melukai hati orang lain?! Tidak!
Pasha menggosok-gosok pipinya yang pedih. Dia belum bisa memutuskan akan marah atau ketawa terbahak ditempeleng begitu. Sebab se-umur hidup belum pernah dia kena tampar sepotong tangan lembut. Ketika melihat air mata bercucuran, dia sangat terkejut. Hati laki-laki-nya jadi kehilangan akal, bingung dan panik. Tentu saja dia tidak menduga bahwa Tesa ter-kenang pada bekas pacarnya yang tidak setia.
"Ampuni aku, Tes. Aku tidak menyangka ba-kal menyinggung perasaanmu. Maaf, Tes. Aku sama sekali bukan menganggap kau ini murah. Entahlah. Ada sesuatu yang memaksa aku mengatakannya tadi padamu." Pasha menyentuh bahu Tesa dan ketika gadis itu tidak berontak,dipegangnya lebih erat. Dikeluarkannya saputangan dan disusutnya air mata sepanjang pipi.
Tesa mengeluarkan sapu tangannya sendiri, lalu membersit hidung. Dia berusaha menghentikan tangisnya, lalu ditatapnya Pasha dengan mata yang masih berbinar basah.
"Aku menghargai engkau, Pasha. Janganlah menjadi laki-laki yang tidak setia!" katanya dengan suara hampir tak terdengar.
Pasha mengatupkan bibirnya erat-erat dan mengangguk berulang-ulang dengan sungguh-sungguh.
"Sekarang aku harus pulang!" kata gadis itu dengan tegas sambil mendorong Pasha ke samping agar dia dapat membuka pintu.
"Nanti aku antarkan!" kata Pasha dengan cepat "Matamu lebih baik kaubasuh dulu supaya enggak terlalu merah. Kebetulan mobilku baru kembali dari bengkel, aku mau mentes jalannya."
Tesa mengangguk tanpa membantah, lalu melangkah ke kamar mandi.
Pasha menyambar lengannya sekeluarnya dari sana.
"Tes, soal rujak itu, aku enggak bohong, lho. Aku bukannya mau memancingmu dengan akal bulus. Aku memang niat mau bikin rujak, tapi aku tunggu kau yang bikin...."
Tesa tidak menanggapi. Pasha menyeretnya ke dapur, lalu memperlihatkannya sebungkus terasi, gula, cabe, serta buah-buahan.
Tesa menggeleng. "Aku enggak ingin-hari ini," keluhnya pelan.
"Aku mengerti. Lain kali, deh. Kapan kau datang lagi ke loteng? Jumat, bukan? Aku tunggu, ya."
"Lebih baik kaupanggil Pika saja. Buah-buahan itu mungkin takkan tahan begitu lama."
"O, itu gampang. Aku bisa membeli yang baru," sahutnya tanpa menanggapi usul Tesa untuk memanggil Pika.
Tesa menghela napas dan mengumpulkan keberaniannya yang terakhir sebelum dia melangkah pulang.
"Pasha, kalau kau ingin aku main lagi ke sini, • kau mesti berjanji takkan pernah lagi meng-ulangi pernyataan konyol seperti tadi! Kalau kau enggak mau janji, aku juga enggak mau mampir lagi ke sini! Ingatlah! Pacarmu adalah Pika. Dialah calon istrimu! Aku adalah teman baiknya. Sampai kapan pun aku takkan pernah jatuh cinta padamu!" Ditatapnya Pasha yang terdiam seperti kerbau dungu.
"Nah," katanya tegas, "kau mau janji apa enggak?"
"Ya, ya, ya," sahut Pasha gelagapan seakan baru dibangunkan dari mimpi, "aku... berjanji.. Tapi Jumat kau betul datang, ya?"
Tesa menarik napas lega dan mengangguk.
Bersambung #5
"Huh! Kau cuma ingat kesenangan sendiri, ya? Kau enggak tahu, bukan main repotnya aku! Ini kan musim. ujian!"
"Sekali lagi, maaf, Tes. Aku... aku... sebenarnya sangat menyukai engkau. Aku... aku... rasa, aku... sudah jatuh cinta padamu!" Pasha meng-ucapkan kalimat terakhir cepat-cepat seakan takut. tercekik sesuatu. Setelah itu dia menelan ludah dengan rupa dungu. Plak! Tamparan itu datang tanpa alarm, sehingga wajah Pasha yang bersemu merah di pi-pi membayangkan rasa kaget yang sangat. Tapi mata Tesa lebih menakutkan. Mereka memancarkan kebencian yang menyala.
"Itu yang mau kaukatakan pada teman baik pacarmu?!" bentak Tesa dengan marah. "Kau tidak menghargai kepercayaan yang diberikan Pika padamu! Dan kau menyinggung perasaan-ku! Kaupikir aku semurah itu?!"
Lalu tiba-tiba, begitu saja air matanya menderas turun. Tesa mendadak teringat pada Goffar. Mungkin begitu juga ulah Goffar terhadap Shakira. Cuma bedanya, mungkin temannya itu segera menyambut baik...! Apakah dia akan merendahkan diri seperti Shakira cuma untuk sepotong cinta, dengan melukai hati orang lain?! Tidak!
Pasha menggosok-gosok pipinya yang pedih. Dia belum bisa memutuskan akan marah atau ketawa terbahak ditempeleng begitu. Sebab se-umur hidup belum pernah dia kena tampar sepotong tangan lembut. Ketika melihat air mata bercucuran, dia sangat terkejut. Hati laki-laki-nya jadi kehilangan akal, bingung dan panik. Tentu saja dia tidak menduga bahwa Tesa ter-kenang pada bekas pacarnya yang tidak setia.
"Ampuni aku, Tes. Aku tidak menyangka ba-kal menyinggung perasaanmu. Maaf, Tes. Aku sama sekali bukan menganggap kau ini murah. Entahlah. Ada sesuatu yang memaksa aku mengatakannya tadi padamu." Pasha menyentuh bahu Tesa dan ketika gadis itu tidak berontak,dipegangnya lebih erat. Dikeluarkannya saputangan dan disusutnya air mata sepanjang pipi.
Tesa mengeluarkan sapu tangannya sendiri, lalu membersit hidung. Dia berusaha menghentikan tangisnya, lalu ditatapnya Pasha dengan mata yang masih berbinar basah.
"Aku menghargai engkau, Pasha. Janganlah menjadi laki-laki yang tidak setia!" katanya dengan suara hampir tak terdengar.
Pasha mengatupkan bibirnya erat-erat dan mengangguk berulang-ulang dengan sungguh-sungguh.
"Sekarang aku harus pulang!" kata gadis itu dengan tegas sambil mendorong Pasha ke samping agar dia dapat membuka pintu.
"Nanti aku antarkan!" kata Pasha dengan cepat "Matamu lebih baik kaubasuh dulu supaya enggak terlalu merah. Kebetulan mobilku baru kembali dari bengkel, aku mau mentes jalannya."
Tesa mengangguk tanpa membantah, lalu melangkah ke kamar mandi.
Pasha menyambar lengannya sekeluarnya dari sana.
"Tes, soal rujak itu, aku enggak bohong, lho. Aku bukannya mau memancingmu dengan akal bulus. Aku memang niat mau bikin rujak, tapi aku tunggu kau yang bikin...."
Tesa tidak menanggapi. Pasha menyeretnya ke dapur, lalu memperlihatkannya sebungkus terasi, gula, cabe, serta buah-buahan.
Tesa menggeleng. "Aku enggak ingin-hari ini," keluhnya pelan.
"Aku mengerti. Lain kali, deh. Kapan kau datang lagi ke loteng? Jumat, bukan? Aku tunggu, ya."
"Lebih baik kaupanggil Pika saja. Buah-buahan itu mungkin takkan tahan begitu lama."
"O, itu gampang. Aku bisa membeli yang baru," sahutnya tanpa menanggapi usul Tesa untuk memanggil Pika.
Tesa menghela napas dan mengumpulkan keberaniannya yang terakhir sebelum dia melangkah pulang.
"Pasha, kalau kau ingin aku main lagi ke sini, • kau mesti berjanji takkan pernah lagi meng-ulangi pernyataan konyol seperti tadi! Kalau kau enggak mau janji, aku juga enggak mau mampir lagi ke sini! Ingatlah! Pacarmu adalah Pika. Dialah calon istrimu! Aku adalah teman baiknya. Sampai kapan pun aku takkan pernah jatuh cinta padamu!" Ditatapnya Pasha yang terdiam seperti kerbau dungu.
"Nah," katanya tegas, "kau mau janji apa enggak?"
"Ya, ya, ya," sahut Pasha gelagapan seakan baru dibangunkan dari mimpi, "aku... berjanji.. Tapi Jumat kau betul datang, ya?"
Tesa menarik napas lega dan mengangguk.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel