Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 11 Januari 2022

Tesa #5

Cerita Bersambung

Jumat berikutnya Tesa memenuhi janjinya datang main ke tempat Pasha untuk makan rujak. Tesa memang paling ahli bikin sambal rujak, sebab itu makanan kesukaannya.

"Sayang enggak ada kedondong, lobi-lobi, sama gandaria," katanya ngiler. Pasha meringis mendengarnya. "Asam lambungku kontan muncrat mendengar yang asam -asam. Dasar cewek! Ngidam enggak ngidam unya yang begituan saja! Seperti Pika juga!" Mendengar nama itu Tesa tiba-tiba teringat apa yang mau ditanyakannya. "Sebenarnya, ke-napa sih kau enggak ngerujak sama Pika saja?"
"Berarti aku mesti menunggu sampai dia ambil cuti, dong! Bisa-bisa terasiku sudah bulukan! es, Tes, apa kau belum juga paham? Cewekku enggak punya waktu untuk hal-hal lain ke-uali dua. Pertama, kuliah! Kedua, praktikum! Aku ini cuma jadi sampiran yang sepele.
Lantas, kau manda saja dijadikan barang sepele?! Tapi pikiran itu tidak diutarakannya,khawatir menyentuh topik tabu. Hatinya yang lembut jadi merasa kasihan. Dia mengerti, laki-laki ini kesepian dan butuh teman. Itu saja. Tidak lebih. Kalau toh dia mengucapkan yang tidak-tidak tempo hari, itu cuma keterlepasan biasa atau mungkin juga untuk menyanjung Tesa agar mau memenuhi setiap permintaannya, misalnya sering-sering mampir. Pasha tidak tahu Tesa paling imun terhadap rayuan. Sebab dulu dia sudah kenyang dirayu oleh Goffar, dan ternyata semuanya hanya "terang bulan te-rang di kali" belaka.

Seakan bisa menduga jalan pikiran Tesa, Pasha melanjutkan sendiri, "Kau tentunya heran kenapa aku mau saja disepelekan seperti kain rombengan. Yah! Terkadang aku pun ingin berontak. Tapi cinta kami sudah menemui terlalu banyak rintangan. Kami sudah berjuang terlalu lama menentang kekolotan serta kemunafikan orangtua kami. Kalau kami putus, ibaratnya menyerah pada larangan mereka yang kami anggap sama sekali enggak masuk akal. Mereka bersaing dalam pemasaran produk-produk mereka, lalu permusuhan itu pun mau mereka libatkan atas diri anak-anak mereka. Dan sekarang, setelah
ketahuan Pika sebenarnya acuh saja padaku, aku tak bisa mundur lagi. Justru kini mereka mulai mau merestui hubungan ini. Gara-garaku juga, sih. Waktu aku kecelakaan tempo hari, aku selalu mengirim surat—yang ditulis oleh Selina, gadis yang tak bisa aku lupakan—memuji-muji ketelatenan Pika mera-watku! Padahal yang dipuji itu entah sedang asyik di laboratorium mana. Atau tengah melo-tot mendengarkan kuliah. Orangtuaku jadi ber-kesan baik pada Pika, lalu melakukan pende-katan ke pihak sana. Orangtua Pika juga rupanya bukan bangsa pendendam. Nah, akhirnya mereka mencapai persetujuan...."

Pasha menatap Tesa, lalu tersenyum sendu. Tesa bingung, tidak mengerti bagaimana sebenarnya perasaan pemuda itu. Senyumnya tak bisa ditafsirkan maknanya. Hubungan sudah direstui, kok bukannya jingkrak-jingkrak kese-nangan?! Tapi malah meringis?!

"Wah, tentunya Pika senang sekali, ya!" seru Tesa dengan kegembiraan yang dibuat-buat.
"Entahlah," sahut Pasha setengah mengeluh. "Anak itu aneh. Di depan orang banyak, dia selalu memanjakan diriku. Mestinya itu berarti, dia bahagia bersamaku. Tapi kalau cuma ber-duaan, dia justru jadi enggak peduli. Malah aku yang mesti memanjakan dan melayaninya. Me-nyediakan makan, mencuci piring, atau masak-masak, wah mana dia mau! Itu tugasku! Tapi kalau ada orang lain, dia tampaknya manis pa-daku."

Dan Tesa tahu betapa menyenangkannya Pika kalau sedang manis! Itukah sebabnya Pasha jadi enggan melepaskan diri? Eh, eh, kok mikir sampai ke situ?! Enggan atau tidak, itu kan bukan urusannya! Dia kan cuma tempolong tempat orang menumpahkan unek-unek yang tak bisa diceritakannya pada sembarang kuping.

Rupanya Pasha sedang kerasukan setan rujak yang lezat itu. Bicaranya makin lama makin lancar dan juga makin ngawur. Kalau bisa, barangkali dia mau menumpahkan seluruh isi hatinya pada orang yang saat itu berada di depannya. Dan kebetulan saja manusia itu adalah dia, pikir Tesa.

"Tempo hari aku enggak kelihatan, sebab aku pergi ke Sydney. Pamanku datang untuk urusan bisnis. Dia enggak sempat mampir kemari, jadi dimintanya aku saja yang ke sana. Kata Paman, orangtuaku sudah menjumpai orangtua Pika. Mereka sudah setuju dengan hubungan kami. Dan pertunangan kami malah diminta supaya secepatnya dilangsungkan. Kalau bisa, dua bulan lagi. Tanggal dua puluh tujuh!"

Pasha menyeringai sambil mencolek sambal. "Herannya, aku kok enggak merasa terbang ke surga.ketujuh. Biasa-biasa saja. Padahal cinta ini sudah aku perjuangkan mati-matian bertahun-tahun lamanya. Malah aku pernah mengaflcam enggak bakal mau pulang lagi ke Jakarta kalau enggak direstui. Tapi kini!" Dia mengangkat ba-hu sambil sekali lagi mencolek bumbu.

"Mungkin begitu sifat manusia," sambungnya terus.
"Yang membuatnya bersemangat adalah perjuangan untuk mencapai sesuatu. Tapi setelah impiannya terlaksana, ya rasanya enggak ada yang istimewa. Biasa. Lumrah."

Tesa membisu sejak tadi, sebab Pasha tidak menunggu jawaban apa-apa dari dia. Yang di-perlukannya hanyalah sepasang kuping pende-ngar yang anteng. Dan Tesa pun menjalankan peran yang diberikan itu dengan baik. Namun dalam hati, dia toh berpikir juga. Pasha akan segera tukar dncin dengan Pika! Senangkah dia?! Atau malah sedih?!

Entahlah. Yang jelas, hatinya mendadak terasa plong! Lega seolah sudah terlepas dari bahaya. Ya, ya, kalau Pasha sudah resmi terikat, berarti godaan bagi Pasha akan berakhir. Dia pasti takkan mau mengingat-ingat lagi siapa Selina itu, atau cewek-cewek lain, misalnya... dirinya sendiri! Dan jauh di sudut hatinya, ada suara yang menyindir godaan akan berakhir bagi Pasha, dan bagi dirinya sendiri juga, bukan?!

Kalau dipikir-pikir, dia memang tidak bisa menemukan alasan yang tepat kenapa dia selalu mampir ke sana. Yah, mungkin karena dia se-nang saja berada di tempat Pasha. Mungkin juga dia haus pujian untuk kue-kuenya yang lezaf. Mungkin pula sekadar perintang waktu (walau sebenarnya tugas di kuliah banyak aja!).
Entah mana yang benar. Yang jelas, katanya pada diri sendiri, Pasha itu dianggapnya tidak lebih dari seorang abang baginya. (Benarkah? sindir pojok gulita dalam hatinya.)
Ya, ya, dia merindukan abangnya di Jakarta. Selama ini Markus yang selalu mengawalnya ke mana-mana. Terlebih setelah terjadinya musibah dengan Goffar. Kini, jauh dari rumah, dia merasa sebatang kara. Dia kangen perhatian dari seorang abang! Nah, Pasha-lah penggantinya. Tidak lebih!

Begitulah beberapa minggu berlalu. Pasha kembali seperti dulu, baik, ramah namun acuh tak acuh seakan setengah linglung. Terkadang dia memanggil Tesa dengan nama Pika, menyu-ruhnya membuatkan kopi, lalu minta maaf ketika dia menyadari kekeliruannya.

"No problem," sahut Tesa ketawa. "Tapi hati-hati, lho! Jangan sampai memanggil pacarmu si Tesa! Bisa ngamuk dia!"
"Aku akan hati-hati," janji Pasha nyengir-nyengir malu. "Barangkali aku sudah kebanyakan belajar, otakku sering kortsleting! Apa jadi-nya kalau aku nanti mengecupmu? Gawat, ga-wat, gawat!"

Pasha menggeleng-geleng, sementara Tesa ce-pat melarikan diri ke dapur. Dia tidak mau wajahnya yang terasa panas itu terlihat oleh Pasha. Sebab berani taruhan, pipinya pasti semerah kepiting rebus!

Selain keliru menyebut nama, Pasha rupanya kadang melupakan juga hal-hal lain. Misalnya, nama skuter saingan Vespa, seminggu lamanya tidak bisa diingatnya. Dia uring-uringan dan gelisah.

"Barangkali aku sudah ken a Alzheimer," katanya pada setiap teman kuliah.
"Kalau dalam sepuluh hari ingatanku enggak pulih, aku terpaksa harus membawa otakku ke labor buat Pit!"

Untunglah sebelum jatuh tempo, mendadak muncul dalam kepalanya kata Lambretta. Dia langsung menelepon Tesa.
"Tes, aku sudah ingat, Tes! Lambretta! Iya, kan? Saingan Vespa kan Lambretta, bukan? Ha, ha, ha, aku masih normal! Aku masih bisa me-lamar ke bagian bedah!"
"Syukurlah, Pasha. Aku senang sekali mende-ngarnya. Tapiii, apa kau sudah beritahu Pika?"

Ha-ha-ha di seberang sana mendadak sirna. Suaranya kedengaran lesu ketika dia mengaku, "Belum, Tes. Aku takut mengganggunya. Di samping itu, aku juga sebenarnya enggak tahu dia ada di mana, sedang kuliah vak apa."
"Oh, kalau enggak salah, dia enggak kuliah kok hari ini. Tadi aku melihatnya di ruang cuci, Anak-anak kan biasanya cuma mencuci kalau ada di rumah, khawatir pakaian disambar ta-ngan jail kalau ditinggal. Mau aku panggilkan?"
"Ah, tak usahlah. Nanti dia terganggu, padahal ini kan enggak pen ting."
"Kalau mengganggu aku sih, boleh ya?" Tesa nyeletuk tanpa dipikir lagi.

Sebenarnya dia penyakit pikun cuma main-main, tapi mendengar Pasha menarik napas kaget, Tesa segera menyesal.

"O, o, o, sorry banget. Aku sama sekali enggak kepikir, kau juga mungkin enggak mau diganggu. Maaf, Tes, aku..."
"Hai, orang cuma main..." potong Tesa, tapi Pasha terus menyambung. 
"Nanti deh, jam dua belas malam aku ganggu kau lagi! Byel"

Tesa ingin sengit, tapi juga ingin ketawa. Mo-nyet jantan ini bukannya lapor apa-apa pada biangnya, eh, malah selalu mengadu padanya!
Apa tampangnya sudah pantas jadi ibu asrama, nih, pikirnya masam. Tapi tidak urung, hatinya gembira sekali mendengar Pasha sudah bisa mertembus black-out-nya.

Ketika berjumpa dengan Pika di dapur men-jelang makan siang, Tesa langsung melapor perihal telepon tadi. Maksudnya untuk berbagi kegembiraan bahwa Pasha tidak pikun.

"Alaa," keluh Pika setengah jengkel. 
"Segala urusan kecil begitu saja mau diiklankan ke selu-ruh dunia!"

Tesa tertegun, kecewa dan tersinggung. Tidakkah dia tahu betapa pentingnya hal itu bagi Pasha?! Apakah dia sama sekali tidak mau peduli?! 
"Untung bukan aku yang diteleponnya!" tukasnya lagi seraya menggiling wortel, minum-annya setiap hari.
"Pik, apa kau enggak mengerti betapa pentingnya hal ini baginya? Kalau dia linglung terus, kan berarti dia enggak bakalan diizinkan masuk spesialisasi bedah, bukan?"
"Dan memang lebih baik juga jangan!" sahut Pika sambil menuang sari wortel ke dalam gelas. 
"Kau tahu apa, sih? Ahli bedah itu kerjanya enggak kenal waktu. Tengah malam pun mesti siaga untuk mengoperasi kasus gawat darurat. Kurang tidur, harus konsentrasi terus, tenaga diperah seperti kuda..."
"Sanggupkah dia? Dan aku? Kalau aku jadi istrinya, kan pasti ikut-ikutan terbangun kalau dia dipanggil orang?!"

Tesa terdiam. Kalau dikaji-kaji, keberatan Pika bisa diterima juga. Siapa sih yang mau diba-ngunkan tengah enak-enak tidur?! Siapa yang mau suaminya gentayangan di malam buta dengan gunting dan skalpel di tangan melepaskan usus yang terjepit atau menghentikan perdarah-an di bawah tengkorak yang hancur?! Tapi, kalau dipikir lebih lanjut, lalu siapa yang akan menolong korban-korban gawat itu bila semua orang seperti Pika pikirannya?! Ah, entahlah! Paling aman, setuju saja sama Pika!

"Ya, mungkin kau benar. Aku tak pernah terpikir ke situ," sahut Tesa yang tengah menyiapkan makan siang.
"Tentu saja aku benar!" sembur Pika dengan garang. "Cuma Pasha doang yang enggak punya pikiran. Orang itu enggak pernah memperhatikan kepentingan orang lain. Selalu dirinya sendiri yang jadi sumbu dunia. Nomor satu, kepentingannya. Nomor dua, kepentingannya. Nomor tiga pun masih kepentingannya! Terkadang aku sebal jadinya."
"Eh, eh, ketel uap meletup tutupnya!" Tesa ke-bingungan mendengar ocehan temannya. Sana ngeluh, ceweknya enggak punya waktu untuknya. Sini ngomel, cowoknya cuma ingat kepentingan dewek! Inikah yang disebut perang sabil?!

Atau perang dunia?! Iiih, jangan sampai dia harus menjadi Stalin atau Churchill! Ketika Tesa tidak memberi komentar apa pun, Pika menoleh lalu mengerutkan kening.

"Hei, gimana sih asal mulanya sampai Pasha-ku itu jadi suka mengadu padamu?"

Astaganaga! Bukan main kagetnya Tesa ditanyai begitu. Tentu. saja dia tidak siap dengan jawaban. Sekejap itu mulutnya yang mau mencicip sayur lodeh jadi menganga seperti mulut ikan kakap di luar air. Pasha-ku! Aduh, ampun! Memangnya kapan aku pernah bilang dia bukan Pasha-mu, Pik?! pikirnya dalam hati.

Untung Sabita muncul seakan diutus dari langit, dan Pika tidak berani meneruskan cecerannya. Sambil menggerendeng seperti anjing yang baru dicekoki afrodisiak, dia berlalu dengan segelas air wortel yang dicampur sari mentimun.

"Jamu apa lagi itu?" tanya Sabita yang selalu ingin tahu seperti anak balita. pembangkit berahi?
"Segar, ya?" Pika mengangguk dengan bangga.
"Entahlah; Kok bau amoniak?!"
"Matamu! Ini kan wortel, mentimun, dan pir!"
"Oh, aku sangka urine kemarin dari kulkas!"
"Arnit, amit, mesti minum urine! Biarpun Pasha-ku yang nyuruh, kagak bakal gue mau!" sergah Pika seraya berjalan ke kamarnya,

Sabita mengawasi sampai Pika lenyap di tikungan koridor, lalu dia menoleh pada Tesa yang baru saja menggelar tatakan makannya.

"Kenapa sih kangguru kita itu? Kok seperti lokomotif yang salah pemanasan? Disel-nya udah lama juga ya, enggak pernah nongol apel di sini."
"Pasha sedang sibuk bikin makalah. Pika sendiri, tahulah. Aku juga enggak ngerti kenapa dia sewot di siang cerah begini!" Tesa enggan membeberkan urusan orang lain.
"Eh, kok paham betui kau urusan dalam negeri orang lain? Barangkali kau sendiri yang ngetik makalahnya? Apa sih judulnya?"
"Buset! Kan Nopi itu temannya si Pasha. Ke-betulan saja aku dengar Nopi bilang begitu, apa sih yang diherankan?"
"Oh, begitu! Eh, Tes, mau enggak aku kasih nasihat? Jangan sampai terlibat deh sama urusan pribadi Pika! Fatal nantinya! Aku kan sahabat lamanya, jadi aku tahu berapa voltage tengahan amarahnya! Huh! Bisa membakar seluruh kota, tahu!"
"Siapa sih yang sudi terlibat?" katanya ringan, tapi dalam hati Tesa diam-diam gemetar juga. Sabita ini memang punya bakat jadi reserse.

Untung dia bisa cepat- cepat menemukan jawab-an yang masuk akal. Sebab temannya yang istimewa ini tidak gampang-gampang dipuaskan kalau sudah curiga. Pendeknya, dia takkan heran kalau kelak Sabita beralih dari akuntansi ke akademi calon-calon CIA atau KGB. Namun yang gawat adalah kalau sahabat karib Pika ini sampai ngaco belo di depan Pika, dengan cer-pen picisannya.

Sekali lagi untung baginya, keseratus ekor cacing dalam usus Sabita sudah sejak setengah jam yang lalu melakukan demo minta nasi, jadi anak itu pun terbirit-birit membuka kulkasnya mencari sisa-sisa kemarin dulu yang masih bisa dimakan!

Ketika bahaya udara sudah lewat, Tesa diam-diam melap keringat di kuduknya. Untuk selanjutnya kau mesti lebih hati-hati kalau bicara, kunyuk! katanya memperingatkan diri sendiri.
***

Pada suatu hari, seperti biasa Tesa sedang main di tempat Pasha. Dia tengah membuat kue apple pie sambil bersenandung pelan. Hatinya sedang riang. Kemarin dia menerima surat dari rumah memberitakan kelahiran tiga anak si Mopi, anjing spaniel kesayangannya cucu-cucunya itu begitu mempesona, sehingga langsung menghias meja belajarnya.

Sambil mengadoni kue pikirannya terbang mengarungi samudera, hinggap di jendela rumahnya, menengok ke dalam. Ibunya pasti tengah menggendong salah satu anak Mopi sambil memegangi botol susu, sementara Aster, adiknya, menyusui yang lain. Mopi sudah beberapa kali melahirkan, dan selalu dilayani dengan telaten oleh seluruh keluarga. Bahkan Bi Inem pun lebih suka kerja lembur daripada enggak sempat momong bayi-bayi si Mopi.

Ah, sedapnya kalau bisa terus tinggal di rumah! pikirnya melamun. Apa yang kucari di sini sebetulnya?! Semua yang kucintai ada di rumah! Hanya karena patah hati...

"Selina!" tiba-tiba didengarnya panggilan dari depan.
"Ya!" sahutnya dengan segera. Pasti Pasha memerlukan sesuatu. Kasih an memang kalau orang mesti tergantung pada manusia lain untuk hal-hal sekecil apa pun. Beruntung dia masih memiliki penglihatan yang baik. Walaupun Pasha itu lebih sering cerewet daripada anteng, namun Tesa toh bersyukur telah
mengenalnya. Sebab dengan begitu dia bisa lebih menghargai apa yang dimilikinya. Seandainya dia tak pernah ketemu orang cacat, barangkali dia akan terus mengeluh dan mengesah, dan selalu merasa kekurangan, serta mengasihani diri karena dikhianati kekasih!

Tergopoh-gopoh dibukanya celemek, lalu ber-lari ke depan. Dalam pikirannya dia sudah membayangkan Pasha terguling dari kursi roda. Suaranya barusan begitu mendesak.

"Ada apa?" tanyanya sedikit terengah, lalu dia terpaku di tempat. Wajahnya seketika itu juga menjadi pucat seperti kertas. Matanya nya-lang menatap ke depan dengan penuh ketakut-an.

Pasha tengah memandangnya tanpa berkedip. Pemuda itu sedang duduk dengan santainya di atas sepeda olahraganya. Dan matanya sama sekali tidak buta!

Pelan-pelan laki-laki itu menapakkan tungkai kirinya di lantai, lalu mengayunkan yang sebelah lagi, sehingga dia berdiri tegak. Kemudian selangkah-selangkah dia maju menghampiri. Seakan melihat ET, Tesa mundur-mundur keta-kutan, sampai akhirnya dia terjebak oleh tem-bok. Sementara itu Pasha tidak juga berhenti melangkah. Ketika sudah tiba di hadapan Tesa/ dikurungnya gadis itu dengan kedua tangan menempel di dinding.

"Nah, sekarang Pak Guru mau dengar siapa namamu yang sebenarnya! Awas jangan bohong! Siapa namamu, anak manis?"

Tesa tidak sanggup bersuara. Bibirnya terkatup macam kerang, sementara matanya makhluk luar angkasa makin membelalak nyaris mau melompat ke-luar.
"Ayo, bilang!"
Tesa menggeleng dengan lemah. "Hm. Bandel nih, ye?! Apa aku harus menelepon Pika untuk minta bantuan? Barangkali Pika lebih ingat?"
"Oh ja... ngan! Jangan panggil dia! Matilah aku kalau dia sampai tahu aku ada di sini!"
"Nah, jadi kau sudah ingat lagi siapa namamu? Sudah? Ayo, aku belum mendengar apa-apa. Sebut yang keras!"

Tesa menggigit bibir bawahnya sebelum me-nyemburkan jawaban. "Tesa! Semoga kau enggak bisa tidur tujuh hari tujuh malam!" kutuknya sengit, tapi Pasha mana peduli kutukan seorang noni manis. Setan pun pasti bersimpati pada mereka berdua dan tidak mau mengganggu! "Jadi Selina itu nama siapa?" "Aku tidak mengerti apa yang kautanyakan!" Tesa menggeleng.

"Jangan berlagak bodoh, ah. Tadi aku memanggil Selina, kenapa kau yang datang kalau itu bukan namamu?"
"Habis! Di sini kan cuma ada aku seorang, jadi siapa lagi yang kaupanggil selain aku?"
"Belum tentu aku mau memanggilmu, kan?! Mungkin juga aku cuma melamun, lalu mendadak tercetus nama itu dari bibirku. Iya, kan?! Kau tentunya enggak tahu, aku tak pernah melupakan Selina. Aku selalu teringat padanya, siang dan malam."
"Nah, itu kan urusanmu!" kata Tesa dengan lagak jemu. "Ayo, sekarang biarkan aku ke dapur lagi kalau kau memang enggak memanggil aku! Kue apelku nanti enggak matang-matang, nih," tukas Tesa tanpa berani menatap orang di depannya.
Pasha tidak membubarkan kurungannya, tapi sebelah tangannya mengangkat dagu Tesa dan menatapnya dalam-dalam. "Selina," ujarnya dengan lembut, "kenapa kau tidak berani meman-dangku?"
"Namaku bukan Selina!" bentak Tesa dengan marah.
"Ah, ah, ah, kau perlu latihan banyak sebelum pintar berdusta!" seru Pasha ketawa, tanpa melepaskan dagu di tangannya.
"Kalau kaupikir aku akan tergoda oleh segala ocehanmu, kau keliru, Pasha! Biarkan aku pergi ke dapur sekarang atau... aku takkan pernah datang lagi kemari!" ancam Tesa melotot.
"Uh, uh, uh, cakepnya wajah awak kalau naik persneling begitu! Selina, kau pasti akan datang lagi kemari! Taruhan, yuk?!"
"Hm. Besar amat egomu!"
"Tentu. Sebesar cinta di hatiku dan..."
"Hm," dengus Tesa mengejek. *^Kalau aku boleh tahu, apa sebabnya kau begitu menang taruhan?"
"Sebab... kalau saja kau sabar aku selesai bicara tadi, pasti kau sudah tahu... sebab, cintamu juga sebesar cintaku!"
"Apa? Iiih, sungguh menggelikan! Cintaku? Cintaku pada siapa? Padamu? Ah, jangan coba-coba bikin kangguru ketawa, dong! Kalau kau-pikir, aku akan tertarik pada orang yang begitu cerewet seperti engkau, wah, barangkali kau benar-benar sudah pikun," ejek Tesa tak ke-palang tanggung.
"Oh, oh, oh, jadi kau tahu bahwa aku ini cerewet? Dari mana? Pasti bukan dari Pika, dong? Selama kau berkali-kali main ke sini, se-ingatku aku selalu ramah dan anteng. Seingat-ku, aku cuma pernah sering cerewet pada se-orang saja. Bukan Pika. Bukan Tesa. Tapi, Selina! Ya, aku tahu, aku sangat cerewet pada waktu itu. Ini salah, itu enggak beres. Ini belum dikerjakan, sudah datang perintah lain. Waktu itu aku betul-berul seperti setan, jahat, dan cem-buru pada setiap manusia yang sehat. Tapi Selina dengan tabah selalu melayani perminta-anku. Keramahan serta kehangatannya begitu merasuki jiwaku. Kerap kali aku berpikir, alang-kah nyamannya kalau ditemani perempuan seperti itu seumur hidup! Bukan main bahagianya aku seandainya Pika bisa seperti Selina! Karena itu aku merasa amat kecewa ketika mendengar dia sudah balik ke Jakarta tanpa menemui aku lagi. Bahkan seorang pun tak ada yang tahu alamatnya. Kebanyakan malah belum pernah mendengar namanya. Tapi aku selalu terkenang padanya. Sering kali aku duduk termenung di .jendela, memikirkannya. Di manakah dia kini? Sedang apa? Kenapa dia balik? Seandainya cuma kekurangan biaya, aku bersedia membantu, sebab kehadirannya yang sebentar itu dalam hidupku sudah jauh lebih berharga daripada kehadiran sekian banyak gad is lain di sepanjang umurku. Dan sekarang... setelah aku menemu-kannya, kaupikir aku akan melepaskannya lagi?"Ditatapnya mata indah yang kelam penuh panik seperti mata anjing kecil yang terperang-kap dalam bahaya. Tesa ingin menunduk, tapi dagunya dipegangi terus. Dia tak berdaya mengelakkan tatapan yang begitu menyelidik ke dalam hatinya. Dia menggigil.

"Aku... aku sama sekali tidak mengerti cerita pendek apa yang barusan kausitir itu!" katanya memberanikan diri.
"Ah, ah, ah, jadi kau enggak ngerti? Uh, uh, uh, kasihan banget! Apa perlu kuajarkan dulu a-b-c-nya dari mula? Selina, aku tahu, kau enggak sebodoh itu! Ayo, mengakulah bahwa kau memang Selina!"
"Huh. Mana mungkin!" Tesa pura-pura ketawa geli padahal hatinya dag-dig-dug mencari jalan keluar. Seandainya macan ini nekat me-nuntut penjelasan dari Pika, ah, habislah dia! Namanya, hari depannya! Habis, runyek, han-cur! Bagaimana ya membuatnya percaya dia bukan Selina?! Huh! Itu sih gara-gara mela-mun ke rumah, jadi enggak siaga!
"Orang bukan Selina, kok mau disuruh ngaku begitu! Memangnya kau sudah buatkan aku bu-bur merah-bubur putih, apa?.'"
Sedetik itu Pasha kelihatan ragu. Dan Tesa menggunakan kesempatan ini untuk melepas-kan dagu agar bisa menyelinap dari bawah lingkaran lengan Pasha.
Tapi gerakannya justru mengembalikan ke-waspadaan laki-laki itu.
"Oh, oh, oh, kalau kau bukan Selina, coba bilang, kenapa kau begitu getol main ke sini?"
Tesa kemekmek. Dia tak bisa menjawab. Di dalam kamarnya, sebelum tidur, sudah sering kali dia mengajukan pertanyaan begitu pada diri sendiri. Hatinya merasa tidak enak, dolan-dolan ke tempat pacar orang lain kok rupanya sudah menjadi hobi baginya, apa sih sebabnya?! Perasaannya risi kalau sudah membayangkan rudingan Pika terhadapnya di depan anak-anak sedapur. Oh, ke mana akan disembunyikannya malunya?! Namun begitu, sia-sia dicarinya alas-an bagi hobi barunya itu. Dia senang main ke tempat Pasha, itu saja. Dan selama pemuda itu dianggapnya sama dengan Markus, abangnya, apa sih bahayanya?!. Buktinya sampai sekarang tak terjadi apa-apa yang tak diinginkan. Tapi saat ini...

Mendadak dia sadar bahwa Pasha masih me-nunggu jawaban dari bibirnya. Matanya membalas tatapan Pasha tanpa kedip. Dan akhirnya dia cuma mengangkat bahu. "Aku kan bukannya getol! Kau sendiri yang memaksa aku main ke slru! Kalau begitu, sekarang juga aku pulang, deh.
Kau enggak usah takut, aku takkan muncul lagi!" Tesa bergerak mau molos, tapi dicegah.
"Eh, eh, eh, enggak segampang itu. Sebelum adios, persoalan ini mesti dibikin terang dulu. Tahukah kau kenapa aku memaksamu datang ke sini terus? Sebab banyak hal telah membuat aku curiga, kau ini mungkin Selina! Aku tidak tahu apa maksud Pika menyembunyikan dirimu dari aku! Tapi aku takkan menyerah sebelum aku tahu siapa bidadariku itu sebenarnya. Selina..."
"Berapa kali mesti aku tegaskan, namaku bukan Selina?! Apa kau perlu melihat fotokopi surat lahir dan KTP?!" seru Tesa marah. Dan bencinya, kalau dia sudah kelewat marah, air matanya pun ikut-ikutan berlinang.

"Baiklah. Aku mengerti, namamu Tesa. Tapi aku juga tahu, Selina adalah kau! Kenapa hal itu bisa terjadi begitu?" tanya Pasha dengan lembut sambil menatap mata gadis itu lebih tajam lagi.

Tesa sengit betul dicecer seperti itu, sea kan dia sudah melakukan dosa yang tak berampun.

"Tanyalah Pika!" cetusnya tanpa dipikir lagi. Ini memang kelemahan yang selalu membuatnya pusing kepala. Dia lebih sering dipikir lebih dulu, sehingga terkadang mem-bawa akibat yang membuatnya tujuh keliling.

"Aha!" Macan itu kini meraung senang."Jadi, ada permainan ya antara kau dan Pika? Dengan kata lain, kau sudah mengaku, kau memang Selina, walaupun namamu sebenarnya Tesa. Iya, kan?"

Tesa tidak mampu menjawab. Dan kebisuan-nya itu memancing ketawa yang lebih gencar dari Pasha. Wajahnya yang semula diliputi se-dikit keraguan, kini bereahaya dan berbinar seperti bulan lima belas hari.

"Dan sekarang, setelah aku menemukan orang yang selama ini membuatku malarindu tropikangen, kaupikir aku akan membiarkannya pergi begitu saja? 'Kau enggak usah takut, aku takkan muncul lagi!'" Pasha ketawa menirukan ucapan Tesa tadi.
"Jadi, apa maumu?" tanya Tesa akhirnya, ke-walahari dan ingin lekas -lekas dibebaskan. Hatinya gerah berdekatan begitu dengan puma jan-tan ini, terlebih jantungnya yang sudah meng-gelepar sejak tadi. Beberapa menit saja lagi, dia khawatir debarnya sudah tak tertahankan dan jantungnya akan binasa!

Tapi seperti kucing yang baru mendapat anak tikus, dia tidak segera menerkam atau melepas-kannya, namun mempermainkannya, mengajak-nya kejar-kejaran.

"Hm, jadi Selina itu bopengan, ya?!" goda Pasha ketawa geli."Mana, coba aku lihat?!," Lalu tanpa permisi tangan di dagu tadi sudah beralih menyingkap rambut yang menutupi sebagian wajah dan dahinya. Jari telunjuknya mengelus pipinya selintas.

"Hm. Halus, kok. Enggak terasa ada bopeng-nya!"

Tesa menggertakkan gigi sambil berdoa se« moga datang geledek yang akan membuatnya meloncat pergi dengan kaget. Tapi surga rupa-nya sedang istirahat siang dan suasana tetap tenang.

"Apa maumu?" ulang Tesa mendesak. Hatinya dongkol sekali tidak bisa melepaskan diri dan terpaksa membiarkan Pasha main kucing-tikus dengannya. "Oh! Mauku buuaaanyak!!!" "Sebut saja! Paling-paling enggak aku ladeni!" "Masa iya?" Puma itu nyengir seakan kurang percaya. Dia seolah mau bilang, masa sih ada orang disodori undian yang sudah dapat hadiah kesatu, mau menolak?! Taruhan?" tantang Tesa sengit. "Aku mau kau menggantikan Pika di hatiku!" bisik Pasha tanpa senyum.
"Huk!" Tesa nyaris tercekik napasnya sendiri. Dia terperanjat bukan alang kepalang. Menggantikan...! Oh, Tuhan, sudah akan kiamatkah duniaku?! Apakah akan Kaubiarkan aku hancur binasa hanya gara-gara cinta seorang laki-laki?! Dan... betulkah itu cinta?! Rasanya kalau cinta, takkan begitu mudah dialihkan seperti 'tanah di depan PPAT (Fejabat Pembuat Akte Tanah)!

"Apa kau tega membunuhku?" tanyanya pa-rau.
"Lho!" Tentu saja Pasha jadi heran. "Kenapa sampai tragis begitu? Aku kan enggak penyakit-an, Tes. Badanku juga enggak berbau busuk, kan? Masa sih pacaran denganku bisa mem-buatmutewas?"

Oh, laki-laki, keluhnya dalam hati. Tidak bisa mengerti hati perempuan.
Tasha, kau jangan mengada-ada, deh. Jangan melamun yang bukan-bukan. Kau pacar Pika, temanku! Kau akan segera bertunangan dengan-nya, beberapa minggu lagi. Jangan mengira kau akan bisa memaksakan kehendakmu padaku! Aku takkan sudi mengenalmu lagi seandainya kau sampai memutuskan hubungan dengan Pika! Aku takkan pernah da tang lagi ke sini!"

Eh, eh, eh, kok jadi begini?! Pasha kebingung-an. Setahunya, tidak kurang dari dua gadis di kuliahnya yang akan bersedia terjun tanpa pa-yung ke Sungai Swan, asal saja bisa mendapat cintanya. Apalagi ditawarkan dengan cuma-cuma! Apakah Tesa ini sok atau berlagak tahan harga? Sangkanya, cinta bisa kena devaluasi, sampai ditahan-tahannya begitu?!

"Wah, wah, wah, kenapa begitu nekat, Tes? Kau enggak serius, kan?" "Tentu saja aku serius!" bentak Tesa. Lalu ditatapnya Pasha dengan mata berlinang. Ah,seandainya nasib ada di tangannya sendiri! Dia menghela napas. Aku sudah merasakan getirnya empedu yang kureguk dari tangan kawanku sendiri, pikirnya. Mana aku tega melakukan hal yang terkutuk itu terhadap temanku yang lain, walaupun orang itu tidak begitu akrab denganku?!

"Pasha, aku menganggapmu sebagai abangku sendiri. Karena itu aku enggak sungkan-sungkan main ke tempatmu. Aku merasa damai berada di dekatmu, sebab aku membayangkan kau ini seperti Markus, abang kesayanganku. Kenapa harus kaurusak suasana yang baik inf?/ Tak dapatkah kau juga menganggap aku seperti adikmu? Atau, barangkali kau malu punya adik seperti aku?"
"Kenapa kau bertanya sebodoh itu? Tentu saja aku mau! Mau, mau, mau! Seperti Pika, aku juga anak tunggal. Tapi andaikan sudah punya adik pun, aku tetap bersedia mendapat adik seperti engkau! Cumaaa..."

Hatinya yang sudah merasa lega, kembali berdebar mendengar kata penghabisan. Panjang amat cuma-nya itu! Pasti buntutnya tidak enak!

"...aku mau yang lebih dari sekadar adik! Aku mau kau selamanya berada di sisiku!"
"Oh, itu bisa diatur! No problem!"
"Sungguh?!" Mata Pasha yang besar penuh binar harapan.
"Sungguh!" Tesa mengangguk. "Dengan sya-rat..."
"Ah, ah, ah, gampang. Katakan saja! Semua-nya aku penuhi!"

Tesa menatapnya dengan rasa geli bercam-pur... entah bercampur apa.
Lambat-Iambat di-ucapkannya kaiimatnya. Biar jelas, satu kata per satu kata.

"...asal... kau ... tetap... meneruskan ... hubung-an... dengan... Pika!" "Aaah!" Pasha menguik seperti lembu mau dibantai. Dia menggeleng, rupanya bingung dan jengkel.
"Kalau sudah ada kau, buat apa lagi dia? Apa kau salah dengar? Aku mau kau sela-manya di sisiku! Tentu saja menggantikannya!"
"Dan aku cuma bersedia tinggal di samping-mu, datang ke sini tiap hari, bila kau tetap dengan Pika! Aku adikmu, ingat! Atau kau juga salah dengar?"

Pasha meringis mendengar teguran itu. Tapi Tesa tidak memberinya kesempatan untuk ber-pledoi. Dia menyerang terus tak kenal ampun.

"Begitu kau putus dengan Pika, aku pun akan segera menghilang dari hidupmu! Jangan kau-harap, kau lantas akan bisa mendekati aku! Apalagi menyuruh aku menggantikan tempatnya! Cinta adalah barang langka yang tak bisa dipindah-pindah begitu saja semaunya. Seperti tanaman bonsai, dia memerlukan perawatan ser-ta pemupukan yang khusus supaya terus segar dan tidak mati. Kau dan Pika sebenarnya saling mencintai, tapi kalian mungkin malas memupuk dan merawat hubungan. Aku tahu, kau sebenarnya mendambakan Pika..."
"Omong kosong!"
"...tapi kau malas merayu serta membujuknya. Akibatnya, dia juga terasa acuh saja padamu. Padahal sebenarnya dia sangat mencintaimu. Apa jadinya kalau kau pergi dari dia? Dapatkah kaubayangkan betapa kecewa dan pahitnya hati seorang wanita yang dikhianati demikian? Apalagi kalian sudah punya rencana sejauh itu!"

Tesa masih ingin memberi kuliah lebih pan-jang, ketika Pasha menghentikannya dengan ucapan yang telak sekali.

"Kelihatannya kau bicara dari pengalaman, nih?!" katanya sambil menatap lekat.

Wajah Tesa terasa hangat. Dia memaki dalam hati, kenapa begitu ceroboh sudah membuka rahasia pribadi. Apa boleh buat. Sudah telanjur. Asal saja bisa membatalkan niat Pasha yang nekat, dia rela. Yah, asal dunia tidak jadi dilan-da gempa! Biarlah! Isi perutnya pun rela di-muntahkannya asal damai terus di bumi me-reka.

Tesa mengangkat bahu. "Terserah apa duga-anmu. Yang penting, kau harus mengerti dengan jelas: aku cuma bersedia meneruskan per-sahabatan ini seperti sekarang bila kau tetap. bersama Pika! Begitu kau putus dengannya, aku pun segan menemui engkau lagi. Jadi, jangan pernah mimpi kau akan mampu merebutku! Sekarang tidak, sampai kapan pun tidak! Apalagi dengan menyakiti hati Pika!"

Pasha menarik napas panjang sekali lalu me-nahannya. Matanya penuh amarah ketika dia mendesis, "Sudah cukupkah kuliahmu bagiku? Bolehkah aku mohon diri dan mengusulkan su-paya kau balik saja ke dapur?"

Tesa merasa begitu lega, dilepaskan tanpa ba-nyak cincong, sehingga dia Iangsung melangkah setengah berlari ke belakang. Ketika sedang mengaduk kue, barulah dia tersadar: Pasha sa-ma sekali tidak mengatakan bahwa dia menyetujui syaratnya!
Sehabis makan pie, dengan tegas dia menun-tut janji. Pasha menghela napas sambil menun -dvk. "Baiklah, bu Dosen. Kalau itu yang kau -minta. Aku akan tetap bersama Pika seakan Selina tak pernah ada di dalam hidupku. Tapi ingat! Kau juga mesti datang seperti biasa ke-..

Tesa mengangguk. Tapi dia sudah membulat-kan tekad. Dia cuma akan muncul sampai dengan pertunangan Pasha dan Pika. Setelah itu, keadaan dinilainya aman, dan dia tak perlu me-musingkan diri lagi dengan Tuan Solem! Dia takkan datang-datang lagi ke tempatnya!

==========

Tanpa menyebut-nyebut nama Tesa, Pasha ber-keras menuntut agar semua —semua—anak-anak Indonesia diundang ke pesta pertunangan mereka. Pika sebenarnya sudah punya rencananya mengundang orang-orang tertentu saja.
"Teman-teman yang khusus saja. Pas," kata-nya dan tentu saja Tesa tidak termasuk di da-lamnya.
Sekarang setelah melihat daftar yang dibuat oleh Pasha, di mana seakan wajar, tertulis pula nama Tesa, Pika jadi terpaksa mesti mengubah rencananya. "Kalau begitu kita harus mengadakan pesta dua kali! Aku ogah kalau terlalu banyak orang sekaligus. Selain itu, dapur asramaku mana cu-kup untuk menampung mereka semua. Jadi, satu untuk anak-anak Melayu. Satunya lagi untuk teman-teman kuliah asing. Setuju, kan?"

Pasha tahu juga kapan mesti berhenti tawar-menawar dengan Pika. Dia sudah bersyukur, gadis itu mau menerima usulnya untuk mngundang semua anak, jadi terpaksa dia juga setuju pesta diadakan dua kali. Walaupun itu tentu saja pemborosan yang gila-gilaan. Tapi untuk pesta kedua, dia berjanji akan menyediakan yang serba sederhana saja. Tak perlu me-nonjolkan kemewahan, sebab atribut begitu ku-rang iaku di sini.-Lain halnya terhadap anak-anak kita yang gemar menggunjingkan orang, pikirnya. Kalau kurang mewah, nanti diributkan pelit!

"Bagaimana kalau pesta kedua itu dirayakan di tempatku saja, Pik? Jadi anak-anak kita enggak pada tahu. Aku khawatir mereka nanti ikut nimbrung lagi kalau dengar ada musik dan bir! Bisa-bisa dapurmu kepenuhan enggak bisa nam-pung! Juga dua kali berturut-turut, nanti dipro-tes oleh penghuni-penghuni lain yang kebising-an."
Pika berpikir, lalu mengangguk. Dia paham juga betapa bisingnya pesta-pesta semacam itu. Sampai jauh malam lagi. Suara ketawa mereka saja bisa terdengar sampai berkilo-kilo meter jauhnya.

Jadi, untuk alasan yang berbeda, kedua orang itu sepakat membagi pesta itu jadi dua. Pika setuju, sebab dia tidak ingin ada teman kuliah Pasha yang mengenali Tesa sebagai Bidadari Tuan Solem—Huh! Bidadari! dia mendengus dalam hati! Enaknya! Seberapa sih cakepnya dia dibandingkan diriku? Solent's angel?! Hm. Tapi sekarang sudah tidak lagi, bukan? Bidadari itu sudah aku pulangkan ke Jakarta! Ha!—sehingga akan tahulah Pasha siapa Selina itu sebenarnya! Tentu saja mimpi pun Pika tidak, bahwa Pasha sudah lama tahu!
Pasha setuju, sebab dia tidak ingin ada salah satu teman kuliahnya yang nanti jatuh cinta pada Tesa. Dia yakin, mereka tertarik padanya. Siapa tahu, ada yang nekat! Wah, bisa runyam!
***

Di luar, matahari bersinar cerah. Langit biru. Bunga-bunga aneka warna mekar berseri di ke-bun asrama. Pepohonan pun sudah menghijau kembali, meninggalkan musim dingin yang ke-labu.
Anak-anak bergembira. Ruang makan sudah dihias dengan meriah oleh mereka. Semuanya dengan sukarela mengabulkan permintaan Pika, sebab gadis itu sendiri mengaku tidak sempaf sama sekali untuk mengatur pesta, apalagi menghiasnya.
Memesan makanan jatuh ke tangan Sabita. Namun setelah membanding-bandingkan harga, akhirnya diputuskan bahwa mereka akan me-masak sendiri. Selain lebih murah rasanya juga pasti akan cocok dengan sclera mereka. Kalau makanan pesanan, kan belum tentu. Pika mengangguk saja setengah acuh mendengar putusan mereka, seolah mau menyatakan, ." kalian juga yang akan makan. Terserah mau kalian. Aku sih enggak begitu rakus! Apa juga jadi!"

Tesa yang sudah terkenal keahlian dapurnya, segera didaulat untuk memasak. Karena Pika memberi mereka kelonggaran dalam biaya, ma-ka Nopi yang diserahi uang, memutuskan untuk membelanjakan semua: Kalau perlu, malah akan minta tambah, tentu saja dengan memper-lihatkan bon. Walaupun Pika leluasa memberi-kan uang, namun dia termas.uk orang pedantik. Segala apa mesti ada dan beres, semua harus diletakkan pada tempatnya, dari titik koma sampai botol-botol kosmetik, apalagi bon-bon belanja.
Untuk menyenangkan hati Pasha, Pika me-nemui Tesa dan khusus minta dibuatkan ayam gulung dengan saus cokelat.

"Rebes," sahut Tesa ringan, padahal dalam hati dia berdarah. Tapi itulah nasib, pikirnya menghibur diri. Nasibnya memang tidak cerah. Kalau belum jodoh, tak perlu disesali!

Agar tidak merusak suasana yang penuh ke-gembiraan, Tesa tentu saja tidak mau membiar-kan dirinya hanyut diombang-ambingkan la-munan. Maka dengan penuh semangat dia ikut bekerja.
Seluruhnya ada enam macam masakan. Setiap anak memasak semacam, sesuai keahlian maslng-masing. Atina yang pandai menghias berjanji akan membuat flora dan fauna dari ber-bagai sayuran. Sabita, Ria, Nurul, Pualam, dan Dita akan mencurahkan kepandaian masing-masing. Udara berbau persaingan gara-gara Nopi berjanji akan menyediakan hadiah bagi juru masak yang masakannya paling laris.

Berbeda dengan Pika, Pasha justru menyenv patkan diri untuk membantu membereskan ser-ta mengatur ruangan pesta. Mendengar ulah Nopi, dia ketawa.

"Jangan suka melempar petasan, Pi! Nanti bisa perang, lho!"
"Ah, biar dunia ini tambah ramai, Pas. Kalau terlalu hambar, kan gairah
hidup bisa habis!" sahutnya sambil melekatkan kertas-kertas spiral ke dinding.
"Maksudmu, hidupmu, kali? Hidupku sih enggak pernah hambar!"
"Tentu saja kau bisa bilang begitu! Sebentar lagi kau akan bertunangan! Sedang aku? Makin lapuk juga dimakan usia!"
"Makanya rajin-rajin pamerkan tampangmu, dong! Siapa tahu ada yang masih senang gorila...!"
"Duillah, mentang-mentang jambulmu seim-bang sama botaknya Mr. T! Gini-gini, yang naksir sih ada juga, cuma D.C semua. Enggak ada yang AC. , yang timbal balik, gitu!" kata Nopi, si ahli perkabelan.

(aktor TV Amerika „,arus searah arus bolak-balik)
"Daripada kena AIDS, lebih baik enggak usah cerewet Ambil saja yang datang. Jelek dikit enggak jadi soal, pokoknya dia bebas virus!"
"Enak aja ngomong, lu! Main ambil-ambil begitu saja, kalau nyalanya tokcer seumur hidup, ya enggak apa. Tapi kalau baru beberapa tahun sudah sering short circuit, gimana? Apalagi kalau salah sambung, wah, kan bisa kebakaran!"
"Kalau begitu, prognosa-mu agak gawat, Pi. Bisa-bisa seumur hidup takkan ada therapi causal -nya. Paling-paling cuma therapi palliative saja. Tapi seperti kataku tadi, yang belakangan ini bisa menyebabkan AIDS, Iho!"
"Brengsek, lu! Kaukira aku ini suka jajan? Haram, deh. Lebih baik gue beli sabun obral-an....
"Untuk...?" tanya Pasha nyengir berlagak enggak ngerti, padahal sudah paham seratus per-sen.

Saat itu masuk Atina dan Nurul, sehingga Nopi tidak jadi memaki Pasha dan Pasha tak bisa memuaskan keinginannya menyindir te-mannya.

"Kerja yang benar, ya," seru Atina ke alamat Nopi, "kalau nanti mau dikasih makan!" "Aduh, kejam!" kata Pasha menggeleng. "Nah, itu!" keluh Nopi. "Galak beeng, deh,mengobati*penyebabnya mengobati keluhan, penyebab tidak. Dihilangkan cewek-cewek kalau hidungnya mancung dikit saja. Jadi, gimana D.C mau diubah jadi AC?"
"O, ini toh salah satu kabelnya?" sindir Pasha melirik Atina membuat gadis itu menoleh kian kemari dengan curiga. "Aku mencium sindiran di udara, nih!" ger-« taknya. "Mudah-mudahan sih cuma salah ki-rim!"
"Oh, salah kirim! Salah kirim!" sahut Nopi cepat-cepat. "Telegram yang jelek pasti selalu salah kirim, kok." Lalu ditambahkannya lebih pelan, "Kalau digalakin terus begini, umurku enggak bakal panjang, dong!"
"Apa kaubilang? Siapa yang galak?" tanya Atina yang rupanya tajam kupingnya.
"Eh, Tin, mari aku beri resep manjur," panggil Pasha yang tengah mengatur mikrofon di pojok.
"Apa?" Atina terpancing.
"Kalau mau dapat cowok secakep dia, tuh, kau mesti lembut dan nurut. Mengalah untuk menang! Nah, kalau sudah menang, baru kau boleh unjuk kekuatan...! Benar enggak nasihatku ini?"
"Iiih, siapa yang mau..." protes Atina, tapi terputus oleh teriakan Nopi yang penasaran.
"Teman kayak apa kau! Ngajarin yang bukan-bukan! Coba kalau ada yang nurut! Mampus aku! Dikira hatiku dielus domba, tahunya kena cengkeram macan biang!"

Nurul.terkikik lari ke tempat masak diil oleh Atina. Tak lama kemudian dari aral muncul Tesa yang berjalan tergesa-gesa. Matanya melirik jam di tembok, lalu memandang sekilas arlojinya.

"Mau ke mana sih buru-buru begitu, Neng?" sapa Nopi yang suaranya jadi Iain daripada sebelumnya. Tahulah Pasha, siapa yang meng-gerakkan medan magnet kawannya itu. Aneh-nya, Tesa kelihatan ad em saja.

"Aku hams kuliah, nih," sahut Tesa tanpa berhenfi.
"Sayurnya sudah matang, belum?" teriak Nopi.
"Awas, kalau ayam gulungku mentah di te-ngah!" ancam Pasha. Tesa menoleh dan melempar senyum pada keduanya, sehingga Nopi serentak menekan dadanya seakan kesakitan.
"Sebentar lagi aku akan balik. Pestanya kan malam, masih banyak waktu. Kalau enggak matang, iris deh kupingku!" Lalu dia menghilang di belokan koridor, meninggalkan sepasang wa-jah melongo bego. Tapi Pasha segera disadarkan oleh keluhan panjang dari Nopi.

"Uh! Heran, cewek begitu cakep kok enggak ada hatinya, ya? Dingin seperti salju!"
"Hm. Jadi ini juga kabel yang salah arus?" sindir Pasha.

Nopi mengangkat bahu. "Tapi kabelku! Bukan dari dia! Tesa enggak punya perasaan, lembut sih lembut, tapi satu ton dinamit pun belum tentu akan membuatnya berlari memeluk kita,mencari perlindungan!"
"Maksudmu, memelukmu? Kalau memeluk aku, barangkali dia masih mau!" "Uh! Mau coba?"
"Ah, jangan! Aku senang perdamaian teruta-ma di dalam negeri!" sahut Pasha. Lalu menam-bahkan dengan lebih serius, "Yah! Itulah tragis -nya hidup ini, Pi. Yang tidak diinginkan, kita peroleh dengan gampang. Yang kita inginkan, justru tak pernah akan diperoleh...."
"Pengalaman pribadi, nih?" Nopi balik me-nyindir membuat Pasha mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ceroboh! Bisa-bisa rahasianya nanti terbongkar. Kalau cuma namanya sendiri yang rusak, masa bodohlah! Tapi kalau Tesa sampai ikut-ikutan terseret, oh, dia takkan pernah me-maafkan dirinya sendiri!

"Lho!" sahutnya berlagak heran. "Kita kan se-dang membicarakan kasusmu!"
"Jadi kauanggap aku ini seumur hidup akan sial terus?"
"Tergantung arus hatimu sendiri. Kalau kau bisa membelokkannya ke saluran yang terse-dia..."

Telepon di ruang makan yang luas itu be dering. Nopi meraihnya lalu menyahut, "Ada”
"Binimu," kata nya pada Pasha.

Maka konsultasi mencari jodoh pun te berakhir.
Meja-meja disambung-sambung sampai me-menuhi panjang ruang makan. Selain anak-anak Indonesia, penghurti asrama di tingkat Pika juga diundang. Mereka senang, sebab ada suguhan anggur keluaran pabrik Seppelt yang terkenal di situ. Pasha memang sengaja membelinya untuk tamu-tamu itu.

Meja yang paling atas ditempati oleh Pika dan Pasha serta beberapa teman pilihan, teruta-ma dari Pika. Tesa sengaja datang agak terlam-bat—dengan menyalahkan jam kuliah yang di-perpanjangnya sendiri di perpustakaan; dia sudah menelepon Sabita, minta tolong agar ayam gulungnya dikukus lalu dipotong-potong—agar tak usah duduk semeja dengan Pasha. Tapi apa mau dikata, kursi yang kosong tinggal di meja paling bawah, letaknya justru berhadapan de-ngan Pasha!

Tanpa disadari oleh yang lain, berulang kali pemuda itu menatap ke meja di ujung dekat pintu, membuat Tesa berulang kali pula harus berlagak sibuk menyendok makanan di piring atau membuang pandang ke samping, pura-pura asyik mendengarkan celoteh yang men-jemukannya.

Kalau Pasha sedang lengah, terlalu asyik ketawa dan bergurau dengan orang-orang di dekatnya—dan itu sering terjadi—maka gantian Tesa yang membiarkan dirinya mengawasi mereka. Alanglah meriahnya masa muda itu kalau melihat tingkah mereka. Tapi apakah itu gambaran cermin bagi semua orang?! Misalnya dirinya sendiri?!
Suatu saat mata mereka bertemu! Tesa tengah asyik melamun sehingga dia tidak menyadari-nya dengan segera. Matanya memang menatap ke depan, tapi dia tidak melihat Pasha. Sebalik-nya, laki-laki itu memperhatikannya dengan saksama. Dia tahu, gad is itu tengah melamun. Matanya yang kelam kelihatan bagaikan sHb tanpa dasar, menenggelamkan apa saja yang jatuh ke permukaannya. Wajahnya yang bujur telur kelihatan rileks, namun penuh ramuan du-ka membayangi senyum santai yang mengulas bibirnya yang mungil. Apakah yang sedang kaupikirkan? tanyanya dalam hati. Apakah kau menyesal?! Apakah kau ingin aku mengubah keadaan?!

Seakan kena telepati, tiba-tiba saja Tesa me-ngetahui bahwa dirinya tengah diperhatikan orang. Matanya mengedip. Ketika terpandang olehnya sepasang mata di meja kepala, hatinya kontan terguncang hebat. Begitu bertatapan, saat itu pula dia melengos. Namun berita yang dilontarkan oleh mata indah di bawah naungan alis yang hitam lebat itu sudah menyentuh batinnya. Dan isinya dimengertinya, sekaligus membuatnya gelisah.

Ada penyesalan di situ. Menyesali diakah laki-laki itu?! Ada penuntutan. Apa lagi yang masih bisa dituntutnya dari dirinya?! Kenapa harus menyesal? Bukankah sejak mula sudah itu jalan yang dipilihnya?! Bahkan duri serta onak jelah -disingkirkan dengan begitu gigih, demi apa .yang telah dipilihnya. Kenapa menyesal setelah jalan menjadi licin dan banglas?!

Apa yang mau dituntut?! Dia tak punya piu-tang, juga Tesa tak punya apa-apa yang bisa diberikan. Cukuplah sudah kenangan bersama yang dijalin begitu tersembunyi. Itulah hadiah-nya baginya. Malam ini untaian penghabisan telah selesai. Dia takkan datang lagi ke tempat Pasha!
Karena berbagai halangan, keluarga Pasha tak bisa datang dari Jakarta. Maklum, ini kan baru tukar cincin. Tapi nanti di Jakarta, pernikahan serta ke Catatan Sipil pasti akan dihadiri oleh selengkapnya keluarga, begitu tulis ibunya.

Untung masih, ibu Pika bisa datang. Walau-pun beliau cuma hadir sebentar, tapi itu cukup sebagai rem untuk mencegah Pasha melakukan hal-hal yang mungkin kelak akan disesalinya. Kalau tak ada ibu mertua, entah apa yang akan clilakukannya malam itu. Anggur sudah naikjce kepala, membuat hatinya jadi ringan dan ingin mencampakkan kesetiaan ke dalam laut. Makin malam seraut wajah bujur telur nun jauh dari mejanya, kelihatan makin menawan. Sebaliknya, suara nyaring di sebelahnya makin kedengaran penuh tuntutan, tandas, dan tak bisa diabaikan. Malah ketawanya pun terdengar salah tempat.

Tapi untung, di sebelah yang lain—walau sebentar—duduk bertakhta ibu suri yang membuatnya mati langkah. Pasha berusaha melupa-kan semua kekecewaan hidup dengan menuang anggur berbotol-botol ke dalam perutnya.
Melihat suasana sudah makin hangat, ibu Pika minta diri, beristirahat ke kamar anaknya. Seakan yang berlalu itu mata-mata, pesta pun kini melonjak jadi lebih meriah. Jerit dan tawa campur aduk tak bisa dibedakan lagi. Edo me-metik gitar dengan jari-jari yang sudah gemetar dialiri anggur Seppelt. Dan Thamrin mengikuti dengan suaranya yang memang tak pernah em-puk. Tapi kini bunyinya sudah mirip knalpot bocor. Namun tak ada yang peduli.

Pasha masih terus mengobati ketawaran hatinya dengan Seppelt. Akibatnya, menjelang pesta usai, dia pun terkapar. Pika menggerutu;

"Ah, kau ini menyusahkan orang saja kerja-mu!" tuduhnya. "Berdirilah! Kau lebih baik pu-lang sekarang!"

Pika memegang lengannya dan memaksanya berdiri. Namun begitu pegangan dilepas, dia ambruk lagi seperti karung pasir. Pika menge-luh kesal. "Gimana ini," omelnya entah pada siapa. "Terang dia enggak bisa pulang. Lalu, harus nginap di mana?"
"Di kamarku bisa," sahut Nopi segera. "Tapi harus di lantai."
"Ah, lantaimu tanpa karpet. Bisa-bisa dia ma-suk angin kedinginan," tukas Edo.
"Siapa yang punya karung tidur?" tanya Nopi berkelilij "Tesa punya," sahut Atina.
"Ah, enggak!" sela Pika setengah marah me-noleh pada Tesa.
"Dia 'harus tidur di atas ka-sur!"
"Nah, siapa yang mau berkorban?" Thamrin menantang. Tak ada yang mau.
"Sayang, kamar kami berdua di blok lain!" tukas Edo lagi sambil menunjuk Thamrin sekali-an.
"Ranjangku sudah ditempati Mami," keluh Pika seakan menjelaskan atau minta maaf sebelum dia melancarkan tuntutan. Sebab sedetik kemudian dia menatap Tesa lalu berkata, "Tes, kau kan punya karung tidur. Gimana kalau ran-jangmu kaupinjamkan padanya?"
Caranya mengucapkan "padanya" itu membu-at Tesa merinding. Tahukah dia? Mengertikah dia? Curigakah dia? Tapi Tesa tak sempat ber-pikir terlalu lama. Semua mata memandangnya. Terpaksa dia cuma bisa mengangguk, habis mau bilang apa lagi? Jelas tak bisa menolak. Pika seolah sudah yakin bahwa dia akan setuju. Mengenai di mana dia harus tidur, itu rupanya bukan urusan Pika. Untung Atina masih punya peri kemanusiaan.

"Ssst, Tes. Kau ngungsi ke kamarku saja. Lan-taiku kan pakai karpet, jadi kau takkan masuk angin!"

Esoknya Pasha terjaga dengan perasaan aneh. Kasurnya kok lebih empuk?! Dan sarung bantal-nya harum banget. Eh, eh, eh, di mana ini?! Dibukanya mata. Bukan, ini bukan kamar Pika. Kamar siapakah ini?! Dia meloncat turun dari ranjang lalu memandang berkeliling. Dia segera tahu, ini kamar perempuan. Walaupun tak ada baju yang bergelantungan, tapi di bawah ranjang ada sandal merah, di belakang pintu ada tas gantung, dan di samping lemari ba-nyak sepatu.

Matanya segera tertarik untuk memeriksa meja tulis. Dia ingin tahu ini kamar siapa. Buku yang menggeletak terbuka dibiarkannya tanpa disentuh. Catatan kuliah. Takkan banyak mem- beri info. Tumpukan di sebelah kiri, textbook semua. Di sebelah kanan... ha, paling atas ini kan buku harian, bukan? Rupanya tadi malam pemiliknya tidak sempat membenahi atau... dia tidak menyangka tamunya akan berani kurang ajar menggeratak meja pribadi orang! Hm. Sungguh lancang! Sudah dibiarkan menumpang, tapi...!
Dia sudah menurunkan kembali buku itu dari tangannya ke atas meja, ketika matanya ter-tusuk oleh sepotong nama. Tesa.

Hm. Hm. Hm. Jadi ini kamarnya?! Hm. Hm. Fi, fa, fo, fum! Rahasia aneh telah tercium, pikirnya kesenangan. Ditariknya kursi lalu di-undangnya dirinya duduk di depan meja. De-flSyik dia membaca. Sayang, cuma berita dari rumah. Di antara halaman terselip pula beberapa foto. Ada gambar sederetan anak-anak anjing. Ada gambar rumah sedang dipugar.

Tiba-tiba hatinya tercekat. Gambar Tesa dalam pelukan seorang pemuda gagah! Huh! Ini kiranya! cetusnya dalam hati, penuh jengkel. Tapi ketika dia menemukan foto berikutnya, dia jadi ketawa sendiri. Pemuda itu ada lagi di situ. Kali ini menemani ayah dan ibu. Kiranya, sang abang! Entah kenapa, hatinya kok jadi lega kembali. Sinting, makinya pada diri sendiri.

Buku harian itu pun sudah ditutupnya. Tapi hatinya masih penasaran. Ah, biarlah, daripada iseng, lebih baik aku baca sampai tamat. Ini kan hari Minggu, pasti orang-orang menyangka aku masih tidur.
Maka disilangnya kakinya supaya lebih san-tai, lalu dibukanya kembali buku itu. Tepat pada halaman yang merekah, matanya tertumbuk pada sebuah keluhan: Ah!

Dengan hati berdebar ditelusurinya kalimat demi kalimat, lalu dia menghela napas. Dengan lesu direbahkannya kepalanya ke atas meja, me-nindih buku itu.
Itu kiranya sebabnya, pikirnya kecewa. Jadi Tesa mencintai seseorang. Jadi dia menolak dirinya bukan karena dia itu pacar Pika, temannya sendiri, tapi lantaran dia telah mencintai orang lain yang rupanya tidak menyadari hal itu. Dimanakah si pandir itu tinggal?! Di Jakarta?! Itu-kah sebabnya dia lari ke sini?!

Coba aku lihat apa yang ditulisnya paling penghabisan. Kepalanya diangkatnya. Buku itu dilembarinya lagi. Hm. Dua hari yang lalu! Apa?! Cuma sepotong kalimat saja?! "Semoga bahagia!" Hm. Mungkin abangnya atau salah satu orangtuanya berulang tahun.

Ditutupnya buku itu dan dikembalikannya ke tempat semula. Tapi, eh, betulkah ada keluarga-nya yang ulang tahun?! Hm. Dia harus mena-nyakannya! Entah kenapa, dia merasa itu pen-ting sekali! Dia harus tahu jawabnya!
***

Tapi Tesa ternyata tidak dijumpainya lagi. Beberapa kali ditunggunya di bawah tangga, namun gadis itu tak pernah muncul. Pernah dia bolos kuliah, khusus untuk menantikannya, namun sia-sia.

Akhirnya diputuskannya untuk menelepon ke loteng. Tuan Graham sendiri yang menyambut-nya.
"Begini, Tuan Graham. Aku ingin tanya, apa kalian sudah berhenti les sama Tesa?" ;
"Oh, enggak. Masih, kok. Memangnya kenapa?" "Soalnya, kok sudah lama aku tidak melihat-nya datang?"
"Oooh, dia minta ganti hari. Bukan lagi Selasa-Jumat, tapi Senin-Rahu." "Hm. Begitu. Sangkaku, kalian tidak cocok lagi dengannya, dan aku bersedia
mencarikan ganti guru yang lain," kata Pasha dengan nada tak bersalah.
"Ow! Kami cocok sekali dengan Tesa! Sudah seperti anak sendiri, deh." Tuan Graham ketawa gembira.
"Syukurlah kalau begitu. Aku senang men-dengamya," katanya mengakhiri telepon.
Hm. Hm. Hm. Fi, fa, fo, fum! Berganti hari rupanya si Putri Harum! Jadi, sekarang Senin dan Rabu! Hm. Hm. Hm.
Tentu saja Pasha tidak tahu bahwa Tesa telah bertekad melaksanakan keputusannya: setelah pemuda itu bertunangan dengan Pika (yang berarti tak ada ancaman lagi baginya!), dia juga tak perlu main terus ke tempat Pasha. Dulu itu kan cuma untuk memenuhi ancaman Pasha: kalau dia tidak datang, Pika akan diputusnya. Sekarang kan Pasha sudah terikat, jadi sip. Laki-laki itu takkan bisa mengancam-ancamnya lagi.

Terkadang Tesa suka melamun. Menyesalkan dia telah menolak Pasha?! Seandainya mereka memang saling mencinta, siapa yang bisa me nyalahkan?! Cinta tidak bisa dipaksakan, bukan?!

Tapiii, bukankah itu justru yang terjadi antara Goffar dan Shakira?! Mereka saling jatuh cinta! Siapa yang salah?! Kalau tak ada, lantas kenapa
dia masih sakit hati pada keduanya?! Kenapa dia jadi memusuhi mereka dan memutuskan persahabatan dengan Shakira?!
Tidak! Dia tidak mau jadi penghancur hati wanita lain! Dia tidak mau dibenci perempuan lain seperti Shakira pernah dibenci olehnya.
Yah! Kalau memang belum jodoh, tak usah dipaksakan, pikirnya menghibur diri.
***

Ternyata Senin dan Rabu pun mengecewakan Pasha. Setelah dia menelepon ke atas, baru ke-tahuan bahwa keluarga Graham sedang pergi berlibur. Tentu saja Tesa tidak muncul.

Dua kali dicobanya menelepon ke asrama. Tapi mungkin nasibnya sedang apes, gadis itu selalu kebetulan sedang keluar. Dia ingin sekali bicara dengannya sebelum matanya dioperasi sekali lagi. Mata kirinya masih perlu diperbaiki lagi untuk ketiga kali.

Dia menunggu-nunggu, tapi sampai saat dia mesti masuk ke rumah sakit, hubungan tetap gagal. Akhirnya dia terpaksa menulis surat. Me-nitip berita melalui telepon, dia tak berani. Ris-kan sekali. Dia maklum, tak ada yang bisa di-rahasiakan dalam asrama yang penuh cewek bawel seperti itu. Pasti lambat laun Pika akan tahu. Daripada perang saudara, lebih baik ditu -Hsnya kalimat singkat: "Aku akan dioperasi lack Maukah Selina menjengukku nanti?"

Surat itu membuat Tesa serba salah. Sebagai manusia biasa, tentu saja dia tak tega mem-biarkan orang lain dalam kesusahan dan tidak mengabulkan permintaannya yang begitu seder-hana. Tapi sebagai perempuan, dia enggan. Ba-nyak keberatannya. Seribu seratus "bagaimana" diandai-andaikan oleh hatinya yang gelisah.

Bagaimana seandainya ketemu Pika?! Bagaimana seandainya ketemu anak-anak lain dan dilaporkan pada yang berkepentingan?! Bagaimana seandainya...
Ah! Tapi tidak menengoknya barang sekali pun rasanya- kelewatan sekali. Setelah kepalanya hampir pecah, tibalah dia pada jalan tengah yang dianggapnya merupakan penyelesaian yang memadai. Dia akan pergi bersama Nopi. Andaikan ketemu anak-anak lain, atau Pika se-kalipun, dia bisa berdalih, diajak Nopi ke sana.

Nopi tentu saja senang sekali bisa berduaan dengan incaran kalbunya. Dia tidak mau pusing memikirkan berapa banyak udangnya di balik batu, pokoknya ini kesempatan langka yang sudah lama ditunggu! Dia bahkan tidak curiga bahwa ini semacam sandiwara juga.

Begitu Pasha mendengar suara Tesa, wajah-nya serentak mekar penuh senyum. Namun untung sekali dia belum sempat melontarkan panggilan berbau intim seperti "Sayang" atau "Manis" atau sebangsanya. Sebab segera juga didengarnya suara Nopi mengucapkan halo, mengikuti Tesa, sehingga diam-diam dia mengeluh kesal. Kenapa lagi bocah ini membawa-bawa bulldog!

Tengah mereka ngobrol seadanya, tiba-tiba Pasha bertanya, "Waktu tanggal dua puluh lima bulan lalu siapa sih yang ulang tahun, Tes? Ibumu? Ayahmu? Atau salah satu saudaramu?"
"Enggak ada. Memangnya kenapa?"
"Ah, enggak apa-apa. Aku sedang mengingat-ingat tanggal itu. Entah siapa yang bilang, ya. Kalau bukan kau, ya, Pika! Katanya di rumah ada yang ultah."

Setelah itu Pasha kelihatan tidak bergairah lagi ngobrol seakan kecapekan. Kunjungan pun dipersingkat seperlunya. Keadaan Pasha juga sama sekali tidak
mengkhawatirkan, minggu de-pan sudah boleh pulang. Jadi tak ada alasan untuk berlama-lama. Apalagi hati Tesa kebat-kebit terus. Setiap saat Pika bisa saja muncul. Dan alasan apa yang akan dikatakannya?!

Kalau dia bilang diajak Nopi, laki-laki yang cerdik itu pasti akan segera mencium adan'ya bangkai yang mulai busuk. Sebab jelas-jelas, Tesa-lah yang telah mengajaknya, bukan seba-liknya. Kalau Nopi sableng atau senang me-mancing di air payau, mungkin hal itu akan diadukannya pada Pika! Atau, dirinya diperas secara halus! Misalnya, dipaksa menjadi pacar-nya! Hatinya sudah lama meraba-raba ke mana gerangan tujuan sindiran Nopi yang banyak itu setiap kali mereka kumpul-kumpul di dapur beramai-ramai. Cuma radar hatinya belum bisa menerima sender radio dari Nopi.

Lega rasanya setelah berhasil minta permisi. Tapi Pasha rupanya belum mau sudah. Pada saat terakhir dia masih menemukan akal untuk mengingatkan Tesa pada maksudnya.

"O ya, bukumu yang dipinjam oleh Pika ada di tempatku. Kau bisa mengambilnya kapan saja sesempatmu. Bukankah Senin-Rabu kau kasih les?"

Hm. Jadi dia sudah tahu aku ganti hari! pi-kirnya masygul. Buku apa sih yang dimaksud-nya?! Hampir saja Tesa mengerutkan kening dan berbuat kesalahan. Namun sesaat itu juga keheranannya dia telan kembali.

"Baiklah. Nanti aku ambil kalau sempat. Buku itu sudah aku baca, kok. Sebenarnya enggak diambil pun, enggak apa-apa!"

Tapi Pasha kontan protes keras. "Tempatku sudah terlalu penuh! Buku itu harus kauambil, Tes."
"Baiklah," kata nya supaya bisa segera berlalu.
***

Sekali lagi Pasha menunggu dengan sia-sia. Sudah lebih dari sebulan dia kembali dari-rumah sakit, namun Tesa belum berhasil diper-gokinya.

Tentu saja dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu sudah bertekad untuk menghindarinya. Setelah sadar bahwa Pasha tahu dia berganti hari, maka Tesa sekali lagi minta hari les diubah. Dengan alasan dia ada kuliah sore. Kali ini dipilihnya Selasa dan Jumat. Mudah-mudahan Pasha tak pernah di rumah saat itu. Dan memang untuk beberapa kali les berlang-sung dengan aman. Dia tak pernah dicegat.

Karena itu betapa kagetnya Tesa ketika pada ' suatu hari Jumat didapatihya Pasha sudah ber-diri di bawah tangga! Dalam hati dia mengeluh. Oh, kalau saja dia tahu lebih dulu bahwa hari ini Pasha akan kebetulan berada di rumah...! Dia lebih suka honornya dipotong daripada datang juga mengajar!

Tentu saja Tesa tidak tahu bahwa Pasha sudah sengaja menunggunya. Laki-laki itu sudah mendapat info baru dari Nenek Graham yang rupanya tidak tahu ke mana arah angin bertiup!

"Hai, Tes!" Sapaannya seakan wajar saja.
"Hai," balas Tesa, berharap akan bisa berlalu tanpa gangguan.
"Eh, eh, eh, mau ke mana buru-buru begitu? Sudah lama enggak kau tengok abangmu...."
"Lain kali, Pasha," dia berkilah. "Aku banyak PR, nih."
"Gimana kalau dia ngambek, lalu ngadu sama Pika?" Pasha meneruskan tanpa mengacuhkan dalihnya.

Tesa mengeluh. Ditatapnya Pasha dengan me-maksakan diri. "Kau mau apa?"
"Nah, tanya dong begitu! Abangmu ini kan baru baik sakit. Dia kepingin makan kue yang enak!"

Tesa terpaksa ketawa. Dasar laki-laki! Sudah sebesar gajah pun masih berlagak seperti bocah cilik. Selalu minta dimanja. Ini sebenarnya tugas Pika, pikirnya berontak. Tapi dia tahu, dia tak berdaya menolak. Pertama, sebab dia belum tahu sampai di mana kenekatan Pasha untuk mengadu pada Pika. Mungkin kalau dia sudah dibikin terpojok oleh kecewa dan putus asa, dia bisa menciptakan gempa bumi tanpa ragu! Iiih, membayangkannya saja sudah ngeriii!

"Kau tunggu di sini! Aku pergi sebentar membelinya."
"Enggak mau!" bantah Pasha, betul-betul seperti bocah sungguhan. "Aku sudah menyedia-kan tepung, telur, gula, dan mentega. Aku mau kue yang kaubuat sendiri!"

Nenek Graham mendadak muncul dengan kantong belanjaan yang mempunyai roda. Rupanya Jumat sore dia ingin belanja makanan untuk seminggu.

Sambil melangkah turun pelan-pelan dia ter-senyum dan menyapa mereka. Tentu saja Tesa menjadi rikuh ketika Pasha menyuruhnya segera masuk. Kalau tidak dituruti, bisa-bisa si nenek menduga yang macam-macam. Terlebih setelah Pasha dengan ketawa lebar berkata, "Adikku ini bandel sekali. Selalu ogah mcnye-nangkan hati abangnya!"

Nenek ketawa menanggapi dengan lucu. Tentu saja dia tahu bahwa Pasha sudah bertunang-an dengan Pika, sebab tempo hari dia diundang waktu ada pesta di tempat Pasha. Dia juga percaya bahwa Tesa adik Pasha, walaupun mu-kanya memang tidak mirip. Tapi dirinya sendiri juga tidak mirip dengan abangnya, pikirnya.

Tesa mengerti bahwa nenek itu tidak curiga. Dan tentu saja dia tidak boleh diberi alasan untuk berpikir lain.

"Huh! Adikku ini malas banget! Ayo, dong, bikinkan aku kue!" Pasha merengek, lalu dido-rongnya Tesa masuk semen tara si nenek ketawa geli.

Tesa terpaksa masuk, meskipun hatinya membara.

"Ini sudah mirip penculikan!" semburnya begitu pintu sudah tertutup lagi. "0, yang lebih dari ini pun bisa terjadi, Tes. Kalau kau selalu membantah."
"Lalu, kenapa aku mesti terus-terusan menu-ruti kemauanmu?"
"Karena aku ini abangmu! Ingat itu! Ayo, sekarang mulailah ke dapur! Buatkan aku kue dadar yang enaaak!"

Tesa berpikir-pikir beberapa saat. Jelas dia takkan diizinkan pulang sebelum Pasha tercapai maksudnya. Karena itu cuma kue dadar, walaupun sebenarnya termasuk kewajiban Pika, biar-lah! Akan dikerjakannya secepat mungkin, su-paya lebih cepat lagi bisa pulang dengan pikiran itu dia segera melangkah ke dapur meninggalkan Pasha menulis laporan.

Karena pada dasarnya Tesa memang gemar main di dapur, tak lama kemudian pun kckesal-annya sudah terlupakan sebab sibuk mengolah adonan. Terlebih ketika kue sudah mulai dida-dar sesendok-sesendok, harumnya seperti membuatnya lupa di mana dia tengah berada. Sesaat dia betul-betul lengah, lalu tanpa sadar mulai bersenandung. Itu memang kebiasaannya di rumah kalau sedang asyik memasak. Dan biasa-nya Markus, Daniel, serta Aster sudah menung-gu hasilnya dengan sabar bersama Mopi. Kali ini bukan Markus, melainkan Pasha yang juga mulai mendengus-dengus menciumi udara dengan perasaan makin lama makin membubung. Telinganya menangkap bunyi senandung pelan dari ruang belakang. Wajahnya menyungging seulas senyum. Ah, seandainya ini bisa ber-langsung terus! pikirnya penuh rindu. Kenapa cuma dia selalu yang menuntut ini dan itu?! Kenapa sesekali tak mau dibahagiakannya Tesa?! Tapi, bagaimana caranya?!

Di tengah lamunannya Pasha tidak menya-dari adanya bahaya. Dia sungguh lupa bahwa Jumat sore tunangannya sering datang, walau tidak selalu. Dan Pika punya kunci sendiri, jadi tak pernah menekan bel. Selain itu, kalau siang hari, pintu apartemen memang jarang dikunci-nya. Kecuali dia sedang tidur atau keluar. Tesa begitu asyik mendadar dan berdendang.sehingga dia sama sekali tidak mendengar pintu dibuka orang. Pintunya memang tidak berderit, sih.

Begitu masuk, Pika segera tahu ada keaneh-an. Pertama, hidungnya langsung menchim wa- ngi kue. Kedua, telinganya mendengar senandung pelan yang pasti berasal dari pita suara perempuan! Ketiga, matanya melihat wajah se-orang lelaki yang pucat pasi walau bekas-bekas senyuman masih belum sirna dari matanya.

"Siapa?" tuntutnya.
"Tesa," sahut Pasha tanpa semangat.

Mendengar itu Pika langsung menyerbu ke dapur. Tesa sedang mengaduk adonan untuk dituang lagi ke wajan. Tangan kanannya me-megang sendok kayu, sementara lengan kirinya memeluk baskom plastik yang besar berwarna jingga. Dia begitu terkejut melihat kedatangan Pika, sehingga gerakannya serentak terhenti. Bah kan baskom itu nyaris terlepas dari pel u kan. Untung dia lekas tersadar apa yang tengah di-kerjakannya.

Dengan mata membelalak penuh horor di-awasinya Pika yang segera berkacak pinggang dekat pintu dapur. Di belakangnya terlihat Pasha melangkah dengan gontai.

Geledek pun tidak tanggung-tanggung lagi menyambar dengan dahsyatnya. "Hm. Pura-pura kasih les! Tahunya, tttjuanmu kemari, ya! Rupanya permainan kalian sudah diatur rapi sekali, nih!"

Merah selebar wajah Tesa disindir begitu.
Tapi mulutnya yang terkatup rapat tidak berhasil menemukan sanggahan yang tepat. Pikiran-nya buntu. Pandangannya terasa gelap. Cuma jantungnya
saja yang di rasa kan nya berpacu liar seakan pro tes mau meloncat keluar, tak mau diajak berkelahi.

Pika mendekatinya. Telunjuknya menuding, nyaris menyentuh hidungnya.
"Tes, bukankah tempo hari kau pernah bilang betapa sakit hati-mu ketika pacarmu direbut kawanmu! Lalu kau berjanji takkan melakukan dosa seperti itu ter-hadap orang lain. Kenapa sekarang kaulakukan itu terhadapku? Cis! Dasar punya bakat maling rupanya!"

Mata Tesa menjadi merah dan panas.

"Jangan kasar terhadap Selina!" hardik Pasha dari belakangnya, sehingga Pika menoleh ter-kejut. "Kau kaget? Oh, oh, oh, aku sudah lama tahu siapa dia!"

Pika menatap Tesa dengan penuh kebencian. Dia nyaris meludahinya.

Bibirnya yang men-cucut akhirnya cuma melontarkan serangkaian lagi tuduhan.
"Jadi kau juga sudah memberitahu siapa diri-mu? Dasar orang tak bisa pegang janji! Pantas dulu pacarmu direbut orang! Puas! Syukur!"

Air mata Tesa mendadak mancur keluar tak terbendung lagi. Sebenarnya dia pantang mena-ngis di depan orang lain, tapi hatinya terluka parah disembilu habis-habisan seperti itu. Air bening itu mengucur deras ke dalam baskom
yang masih dipeluknya. Ketika menyadari apa yang terjadi, dengan terperanjat diletakkannya adonan itu ke atas meja. Lalu dia berlari keluar. Disambarnya tas serta catatan untuknya menga-jar, kemudian dibukanya pintu dan dibiarkan-nya terpen tang. Dia tidak kuat lagi berdiam di neraka itu lebih lama, walau cuma untuk me-nutup pintu.

Pasha yang mengikutinya lekas-lekas meng-gabrukkan pintu, sebelum dia" kembali mengha-dapi Pika. Wajahnya dingin sekali dan kedua matanya sudah mati.

"Kau tidak berhak menuduhnya sekeji itu! Akulah yang memaksanya datang ke sini! Sudah berbulan-bulan dia mencoba menghindarkan diri, baru hari ini aku berhasil memergokinya. Dia tidak mau masuk, tapi aku sangat ingin dibuatkan kue dadar, jadi aku bujuk dia, itu pun dengan setengah mati! Dia sudah kuanggap sebagai adikku, Pik! Salahkah aku, meminta dibuatkan kue dadar? Habis kalau menunggumu, sampai kapan sempatnya? Dia kan sudah kuanggap adik! Maka..." Pasha mengangkat bahu.
"Kok enggak pernah kau bilang-bilang pada-ku? Mana aku tahu jadi nya?" seru Pika seakan membela diri.
"Ya, aku salah. Habis, aku khawatir kau nanti enggak mau ngerti, lalu marah!".
"Huh! Pendusta! Hidung belang! Adik? Adik ketemu gede?! Kaupikir aku ini bodoh seperti keledai apa? Gampang dibohongi?! Dasar mata keranjang! Satunya lagi berbakat maling! Klop, deh!" ejeknya. "Maling, katamu?" Kening Pasha mengerut hingga alisnya bersatu dan kedua matanya me-mancarkan sinar mau membunuh. Dia menundukkan kepala dan mendekat, sehingga tanpa sadar Pika sudah mundur selangkah saking ke-takutan.
"Maling? Tahukah kau, aku dulu sudah ham-pir membatalkan rencana pertunangan kita?! Tapi Tesa berkeras, dia cuma mau terus berkawan denganku kalau aku tidak meninggalkan diri-mu! Mengerti? Kita tetap bertunangan lantaran aku ditekan olehnya! Paham?"
"Oho! Jadi kau bertunangan denganku hanya supaya kau enggak kehilangan dia?" teriak Pika menggelegar.
Pasha terdiam.
"Jadi kau sebenarnya sudah tidak cinta pada-ku?"

Pasha masih diam.
"Dan kaukira aku ini cinta padamu? Bah! Aku cuma bangga lantaran kau ganteng dan teman-temanku banyak yang iri melihatku! Kaukira aku ini enggak laku kalau enggak mendapat belas kasihanmu? Hm. Ini aku kembalikan cincinmu!" Pika meloloskan cincin belah rotan dari jari manisnya dan meletakkannya di atas meja tulis.

"Aku tidak sudi dikasihani orang! Lihat saja!dalam waktu dekat ini aku pasti sudah bertunangan dengan Michael yang kucintai!"

Di-bukanya pintu lalu berlari keluar sebelum air matanya sempat menyembur.

"Pika!" seru Pasha mau mencegah.
Tapi gadis itu sudah menghilang di tangga. Untuk kedua kalinya Pasha menggabrukkan pintu lalu menguncinya. Dan malam itu Pika tidak pulang ke asrama.

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER