Cerita Bersambung
Beberapa hari kemudian Tesa muncul di tingkat tiga untuk memberi les. Sebenarnya dia sudah tidak ingin datang ke tempat itu lagi tapi dia masih memerlukan uangnya. Begitu dia bisa mendapat murid lain, Kakek dan Nenek Graham ini akan dilepasnya. Bukan karena mereka murid -murid yang malas, tapi lantaran Tesa sudah segan mengunjungi tempat itu. Dia khawatir jangan-jangan pada suatu hari akan kesamprok juga dengan...
Rupanya hari itu memang dia sedang naas. Baru saja dijejakkannya kaki di tingkat dua, matanya sudah melihat malapetaka. Pasha tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Tesa mengeluh dalam hati. Yah, mudah-mudahan dia sedang menunggu orang lain, pikirnya sambil mau berlagak formal. Dia akan tersenyum, me-nyapa selamat siang, lalu berbelok dan naik ke tingkat tiga. Tapi tidak. Agaknya Pasha memang sedang menunggunya! Oh, dasar sedang sial! Sebelum dia sempat berbelok, bahkan sebelum dia bilang halo, pemuda itu sudah mendekatinya. Lang-kahnya mengerikan sekali panjangnya. Dalam sekejap dia sudah berada di sampingnya, meng-halangi jalannya. Naik ke tingkat tiga tak bisa, mau turun ke bawah lagi pun tidak mungkin. Di belakangnya tembok dan di depannya sepa-sang lengan yang kuat. Pelan -pelan, tanpa disadarinya, dia dihalau ke sudut, ke depan pintu kamar, tepat di bawah tangga.
Tesa memutuskan untuk tidak memperlihatkan rasa takut. Dia berusaha tersenyum meya-kinkan. "Ah, halo, Pas, selamat siang. Rupanya kau enggak kuliah, nih?"
"Aku sengaja menunggumu!" sahut yang di-tanya tanpa senyum.
"Oh!" Tapi jangan biarkan dia tahu bahwa kau takut! pikirnya dengan gagah. "Ayo, deh, aku mau ke atas. Telat, nih!" ujarnya seringan mungkin, seakan tidak mengerti maksud ucap-an Pasha.
"Mereka sedang ada urusan keluar, Tes. Ke-duanya tidak di rumah."
"Lho! Ah, masa?! Mereka tidak memberitahu!"
"Sebetulnya aku harus meneleponmu tadi pagi. Roger, si kakek, sudah menelepon ke asramamu, tapi tak ada yang mengangkat."
"Aku kuliah pagi-pagi. Dan anak-anak lain rupanya pergi semua." "Nah, lalu dia minta aku yang menghubungi kau! Tapi aku sengaja membiarkanmu datang,sebab ada yang mau aku bicarakan. Marilah masuk!"
"Sorry, enggak bisa. Aku harus segera pergi lagi," kata Tesa dengan lagak orang yang banyak urusan.
"Ke mana?'' tanya Pasha dengan kening ber-kerut. "Bukankah ini jam untuk kasih les? Dan sekarang lesnya batal? Berarti kau bebas, dong! Benar, enggak?!" Tesa menghela napas. Dia tahu kebandelan Pasha. 0, ya dia masih ingat waktu dia tak mau beranjak dari jendela walaupun udara dingin! Waktu dia ogah makan obat! Waktu dia...
"Ayolah masuk!"
Tesa menggeleng. "Pasha, janganlah menambah lagi kebencian Pika padaku! Dia sekarang sudah jadi musuhku, tahu!"
"Musuhku juga”
"Apa maksudmu?"
"Tes, aku sudah putus dengan Pika!"
"Itu urusanmu! Asal jangan gara-gara aku!" Tiba-tiba Tesa terkejut, baru menyadari apa yang didengarnya. "Eh, apa katamu?!"
"Iya, betul! Dia sudah meninggalkan aku. Katanya, minggu depan atau bulan depan, dia pasti akan bertunangan dengan Michael!"
"Michael?! Oh!"
Tesa mengeluh. Tentu ini gara-gara dirinya! Kenapa sih dia sok iseng main-main ke tempat pacar orang? Akibatnya sekarang mereka berantakan.
"Maafkan aku," bisiknya dengan mata ber-linang. "Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membujuknya..."
Pasha menggeleng. "Tak perlu. Aku tidak mau memaksanya. Hubungannya dengan Michael bukan hal baru bagiku, Tes. Aku takkan heran bila dia menggunakan kesempatan itu untuk melaksanakan keinginan hatinya." "Maksudmu... mereka sudah lama...?" « Pasha mengangguk dengan wajah sendu."Aku yakin begitu! Ah, sudahlah. Tak usah panjang-panjang mempercakapkan orang lain. Yang sudah basi terpaksa dibuang saja, tak gu-na ditangisi."
Tesa terdiam. Dia teringat pernah beberapa kali melihat Pika dan Michael berduaan. Sikap mereka memang kelihatan dekat, tapi dia tidak pernah mengira bahwa kedua nya begitu intim!
"Eh, kok jadi melamun? Yuk, masuk sekarang? Mau, dong?!" Untuk pertama kalinya Pasha kelihatan tersenyum menawan.
Tesa menatap matanya yang bulat kehitaman. Dia menimbang-nimbang beberapa saat. Memang diakuinya, dia tergoda untuk masuk, Les batal. PR dari kuliah sudah dibuatnya. Di asrama sendirian pasti membosankan. Dan... bukankah Pasha kini sudah bebas?! Tak ada orang yang akan marahl
Tapi akhirnya dia terpaksa menggeleng, membuat binar-binar di mata
hitam-bulat itu redup disergap kecewa. Tesa memutuskan tak mau mencari keruwetan, sebab rupanya pacaran selalu mengundang problem baginya. "Sorry, Pas, aku tak bisa!"
Dia berbalik mau menuruni tangga, tapi Pasha mencekal lenganya dan
mendesaknya ke tembok. Dikurungnya Tesa dan didekatkannya wajahnya.
"Kau sebenarnya menyukai aku, bukan? Karena itu kau tahan merawat aku
setahun lebih, bukan?" bisik Pasha berdesah sambil menatapnya lekat-lekat Tesa membuang pandang ke samping dan pura-pura mendengus dengan suara tidak sabaran. "Oh, aku melakukannya demi uang belaka, kau sudah lupa? Aku butuh uang waktu itu! Sangat butuh Ayo, biarkanlah aku berlalu!"
Tapi Pasha tak mau melepas kurungannya. "Kau sungguh tidak menyukai diriku?" desaknya.
"Kalau seperti yang kaumaksud, jawabnya tidak!"
"Kau bohong!" tuduh Pasha dengan mata melotot, tapi suaranya setengah putus asa.
Tesa tidak sampai hati melihatnya kecewa begitu. Dia tersenyum.
"Tentu saja aku menyukaimu, Buyung!"
"Nah, kan?!"
"Seperti aku pun menyukai teman-teman Iain!"
"Ah, bohong! Dengan aku pasti tidak sama! Ya,kan?"
"Terserah, deh, kau mau percaya atau tidak!"
"Ya, kan?!" seru Pasha penasaran.
Tesa mengibaskan lengan yang mengurung-nya. "Aku mau pulang sekarang!" Tapi kurungannya tak berhasil didobraknya. Dilihatnya pemuda itu seakan makin nekat mau menahan-nya.
"Siapa sih nama orang itu, eh, setan itu yang sudah menghancurkan hatimu? Sampai kau tak sudi percaya pada laki-laki lagi?!"
Wajah Tesa menjadi merah. Dia sudah hampir menyemprot, "Itu bukan urusanmu!" Tapi Pasha sudah memberondong terus, "Atau bahkan membuatmu takut pada mereka?! Siapakah namanya?"
Pasha menatapnya dengan mata kembali berbinar. Tesa mengelak tanpa disadari. Se-konyong-konyong dia merasa kikuk, padahal lebih dari setahun laki-laki itu berada dalam belas kasihannya. Kalau lapar, dia akan merengek minta makan! Terkadang kepingin makan kue dadar seperti orang ngidam! Malah menangis tanpa malu-malu kalau sudah kesal memikirkan nasib! Dan sekarang...! Dia berani banyak tingkah?!
"Bukan Pasha, kan?" sambung pemuda itu nyengir sebelum Tesa sanggup memutuskan bagaimana akan menghadapinya. Semua terjadi dalam sekejap
mata. Pasha menunduk dan me-ngecupnya. "Sudah lama ingin kulakukan," bi-siknya.
Tesa menunduk tanpa berkutik. Dia sungguh menyesal kenapa datang ke situ hari itu. Coba, dia berlagak sakit dan menelepon Nenek Graham...! Huh! Dia menghela napas, rasanya kok makin kikuk?! Tapi nasi sudah menjadi bubur. Apa boleh buat.
"Tes, tubuh manusia itu mengenal reorganisasi. Artinya, yang rusak atau sakit akan diganti dengan yang baru. Begitu juga perasaannya. Apa yang dulu terasa menyakitkan, lama- lama akan hilang. Kecewa, frustrasi, penasaran, sakit hati, semua itu tidak kekal. Pasti akan dire-organisasi menjadi rasa senang, sentosa, bahagia, dan puas. Asal... kita mau berusaha me-nyembuhkannya. Patah tumbuh hilang berganti, Tes. Buat apa yang tidak setia dipikirkan terus? Cuma membuat uban tumbuh! Suatu waktu kau pasti akan menyadari, kau tak mau memikirkan masa lalu terus. Juga tak ada gunanya. Dan tak pantas memberi kehormatan seperti itu bagi pengkhianat. Buat apa membikin dirimu merana bagi makhluk yang tak punya perasaan halus? Tes; yuk, mari masuk. Bantu aku mengetik makalah. Nanti aku buatkan kau kue dadar yang lezaaat! Ayo, bilang, siapa sih namanya?"
"Goffar!" bisiknya tanpa disadari.
***
Pika pindah ke asrama Michael yang terletak di sebelah barat kota, dekat taman indah. Tak berapa lama pun anak-anak lain sudah tahu bahwa dia telah putus dengan Pasha dan kini beralih pada Michael. ;
Tesa ingin menyembunyikan dulu hubungan-nya dengan Pasha, namun pemuda itu rupanya tak bisa gampang-gampang digebah. Setiap akhir pekan dia pasti muncul di asrama, ikut meramaikan acara makan mereka. Seperti biasa, tiap hari Minggu mereka masak bersama, masing-masing satu macam, lalu disantap beramai-ramai. Tentu saja teman-temannya segera mencium bau sangit dan yang paling uring-uringan adalah Nopi.
"Habislah sekarang harapanku!" keluhnya tanpa menjelaskan harapan macam apa.
"Kan masih ada aku!" sambut Atina yang rupanya paham.
"Nanti dulu, ah! Tunggu tahun dua ribu! Kalau aku masih belum mati dalam perang nuklir, dan semua perempuan lain sudah cacat, nah!" katanya mengangkat bahu seakan menyerah. Atina ingin sekali mencekokkan sesendok sambal ke dalam mulutnya. Sayang waktu itu terlalu banyak orang, dan dia segan menjadi sumber gosip.
Tesa terpaksa membiarkan Pasha datang se-maunya, sebab dianggapnya itu lebih mending daripada berduaan saja di tempat Pasha.
"Kalau kau enggak mau aku muncul di asra-mamu, terpaksa harus kau yang datang ke tempatku I Kalau enggak pernah ketemu, enggak lucu, dong, kan namanya pacaran!" kata Pasha tempo hari.
Tesa masih ragu terhadap hubungan mereka. Dia bimbang. Di satu pihak, dia enggan pacaran sekali lagi—setelah riwayatnya dulu bersama Goffar—terlebih dengan bekas pacar orang. Memang betul, dia tidak merebutnya— terang-terangan—tapi kalau tak ada dirinya, apakah Pika dan Pasha pasti akan bubar?!
Pertanyaan itu acap kali menghantui pikirannya dan tak ada jawaban yang bisa meyakinkannya bahwa dia sama sekali tak bersalah. Dia sadar, Pasha menaruh hati padanya sejak tahu siapa dirinya. Selina yang dicari-cari! Bidadari Tuan Solem! Oh, - kawan -kawan Pasha masih juga melontar kan olok-olok itu bila mereka melihatnya berjalan di samping Pasha Solem.
Walaupun Tesa selalu ingin menghindar, namun Pasha justru tampaknya seakan ingin me-mamerkan dia terus. Setiap ada acara di fakultasnya, Tesa pasti diundang. Tapi dia sering juga diajak ke sana walau tak ada acara apa-apa. Tentu saja tak pernah terpikir oleh Tesa bahwa Pasha mungkin cuma ingin memanaskan hati bekas pacarnya. Sebab mereka kerap kali ketemu di halaman atau perpustakaan uni. Pika memang tak pernah ramah sejak dulu padanya. Kini dia sudah mau menyapa, tapi sikapnya tidak hangat. Dan Tesa sedapat mungkin selalu men-jauhinya. Dia tak bisa terlalu menyalahkan. Seandainya Pika masih mencintai Pasha, pasti dia akan sakit hati benar. Untunglah, tampaknya dia sudah melekat pada cowok pirangnya.
Yah! Tesa bimbang di satu pihak untuk menerima Pasha seterusnya. Namun di lain pihak, dia tak dapat menyangkal perasaan hatinya sendiri. Pasha memang menarik! Sekeras-kerasnya batu karang, kalau digempur badai sepanjang tahun, lama-lama pasti berlubang juga. Begitu pula dengan pertahanan hatinya.
Pasha seorang laki-laki yang teguh kemauan-nya, sukar dielakkan, penuh perhatian, hangat, namun tegas. Sejak dia memutuskan untuk mendapatkan Tesa, rasanya sulit sekali bagi gadis itu melepaskan diri. Itu pun kalau dia sungguh-sungguh ingin lepas...!
Dalam kebimbangan begitu, hubungan mereka berjalan terus. Malahan makin erat. Ketika sebulan kemudian Pasha tertimpuk bola tenis, Tesa tahu-tahu mendapati dirinya sudah terjerat. Aku tak bisa lagi melepaskan diri, pikirnya. Aku sudah telanjur jatuh cinta!
Cedera itu rupanya hebat sekali, sampai retina pada mata kiri itu terlepas di tempat yang dulu dioperasi. Terpaksa Pasha harus masuk lagi ke rumah sakit.
Selama Pasha diopname, siang-malarn Tesa memikirkan keselamatannya. Apakah operasi itu akan berhasil?! Apakah penglihatannya akan pulih seperti semula?! Apakah akan timbul komplikasi?! Apakah dia masih perlu dioperasi sekali lagi?! Apakah hal seperti itu akan bisa terulang kembali?! Apakah untuk selamanya dia takkan boleh main tenis lagi?! Apakah... oh! Rasanya dia hampir gila memikirkan pemuda itu. Setiap kali ada waktu luang, dia pasti ber-gegas ke rumah sakit menjenguk Pasha. Untunglah waktu opname cuma seminggu. Ketika dia datang untuk membawa Pasha pulang, pemuda itu tengah menantikannya. Dari balik kacamata hitam diawasinya pintu masuk ke kamar. Begitu Tesa muncul, dia segera berdiri dari kursi. Melihat wajahnya yang cerah, gadis itu segera menduga bahwa operasinya telah berhasil dengan memuaskan. Tapi dia tidak ber-siap-siap untuk menerima pelukan demikian erat.
"Aduh!" serunya menggoda. "Aku hampir tak bisa napas, nih!"
"Oh, sorry," seru Pasha tersipu. "Habis, aku kelewat girang, sih! Tes, mataku sudah pulih lagi seratus persen! Dan aku juga tak perlu dioperasi lagi! Ajaib enggak, tuh?! Semula aku sudah takut, mataku ini bakal tamat riwayatnya dan perlu dicongkel! Hiii! Ternyata..."
"Oh! Sungguh? Wah, harus dirayakan, tuh!" cetus Tesa, namun dia segera menyesal sudah terlepas omong.
"Ya, ya, ya, tentu saja! Kita masak-masak di tempatmu! Kita undang semua kawanku!" seru Pasha nyaris berjingkrak kegirangan.
Tesa meringis dalam hati. Maksudnya tadi kan hanyalah makan berdua saja, dengan lilin bunga. Bukannya pesta...
"Eh, Tes! Aku punya ide, nih! Kenapa kita enggak mau sekalian tukar cincin?" Betapa terkejutnya Tesa. Sesaat dia mengawasi Pasha tanpa mampu buka mulut. Ketika kemudian dipaksanya menjawab, suaranya ga-gap-
"Ta... tapi... Pika kan be... lum ka... win, eh... tu... nang... an... de... ngan Mi....chael!"
"Itu urusan mereka! Pokoknya kami sudah resmi putus! Ibuku sudah aku beritahu!"
"Ta... pi... ibu... ku... be... Ium! Kita kan enggak mungkin main tukar cincin sembarangan? Kita ha... rus memberitahu dulu, dong!"
"Ah, ini kan belum upacara nikah, Tes! Baru simbol saja untuk menunjukkan, kau sudah jadi milikku, dan Nopi-babi itu jangan coba-coba naksir kau lagi! Pada ibumu dan ibuku, kita akan memberitahu tentu saja. Secepatnya! Oke, ya?"
"Pas, kalau cuma takut sama Nopi, enggak usah tukar cincin dulu, deh. Aku jamin, dia takkan berhasil mencuri hatiku. Kalau aku mau dengannya, kenapa enggak dari dulu saja waktu kau masih bersama Pika?! Pendeknya, kalau cuma Nopi, beres, deh. Tak usah khawatir. Eh, kalau wajahmu cemberut, gantengmu berkurang, Iho!" Tesa mencoba berkelakar dan mengalihkan topik.
"Siapa tahu bukan cuma Nopi, tapi masih ada yang lain?" tukas Pasha kepala batu.
"Sudah, ah, jangan bicarakan hal itu lagi, aku enggak suka," Tesa berlagak mengajuk dan Pasha takut jangan-jangan nanti dia marah sungguhan lalu lari! jadi dia terpaksa menurut dan mengerem mulutnya.
"Ayo, buka dong kacamatamu, biar aku pan-dang lagi matamu yang cakep!" "Aku belum boleh kena sinar, Tes. Tapiii, eh, sejak kapan kaulihat mataku...
"ehm ... cakep?!" Suara Pasha mirip betul anak kecil, sehingga Tesa hampir tak bisa menyembunyikan geli hatinya.
"Sejak dulu, dong! Masa mendadak saja? Yuk, sudah beres tas dan barang-barangmu? Kita pu-lang sekarang saja."
Tesa cepat-cepat mengajaknya berlalu sambil pura-pura tidak melihat betapa cerah senyum di wajah si ganteng. Dasar cowok zaman sekarang, pikirnya geli. Perlu juga rupanya disebut cakep dan ganteng! Huh, kemayu!
pikirnya makin geli, melihat Pasha kembali menghampiri cermin di atas wastafel.
"Tahan, tuh! Enggak kalah dari cewek rupanya!" seru Tesa, maksudnya tentu saja genitnya itu. Tapi sang arjuna malah jadi tersipu, rupanya salah paham.
"Ah, bisa saja kau, Tes!"
"Memangnya aku bilang apa, sih? Bahwa kau enggak kalah cakep dengan cewek? Hiii, mau mu!" Tesa tak tahan harus menggoda.
"Awas kau, monyet! Nanti kau! Aku sekap kau di... eh... eh... eh... jangan tinggalkan aku, dong! Gimana aku mesti pulang sendiri?"
"Monyet mana bisa mengantar kau pulang?"
"Lidahku keseleo. Bidadari, maksudku. Ayo, bidadariku, antar aku pulang... nyet!" Pasha me-nambahkan yang terakhir dengan suara pelan. Geram juga hatinya diolok-olok barusan. Kalau tidak dibalasnya nanti, hm! Pikirannya sudah melambung dalam angan-angan bagaimana ca-ranya membuat cewek cakep minta-minta am-pun, menyembah Duli Yang Dipertuan Agung Pasha Solem!
Pesta untuk merayakan kesembuhan Pasha berlangsung murah serta meriah. Pika sebenarnya tidak diundang, sebab dia sudah pindah asrama, tapi entah bagaimana rupanya dia tahu di dapur ada pesta. Tahu-tahu dia muncul ber-sama Michael. Seketika suasana jadi sepi. Tapi seakan tidak menyadari keadaan, Pika terus nyelonong masuk seraya berseru, "Mau numpang makan, boleh enggak? Mana nih nyonya rumahnya?"
Tesa yang tengah berdiri depan oven mem-belakangi pintu, segera menoleh. Seketika itu wajahnya kelihatan kaget dan bingung melihat siapa yang datang. Otomatis matanya melirik ke arah Pasha yang tengah mengeluarkan kaleng-kaleng bir dari lemari pendingin. Pasha sedang sibuk dan tak bisa ditanyai. Aku harus menangani sendiri!
"Oh, tentu saja boleh, Pik! Silakan! Kebetulan kita sedang kekurangan orang untuk nanti mencuci piring!" seru nya, bersyukur dalam hati sudah berhasil menjawab dengan cepat, sehingga suasana tidak menjadi kikuk. Anak-anak lain pun segera bersorak menyetujui usul Tesa.
"Buset! Kalau begitu aku ke sini cari peng-gebuk, ya!" Suasana pun menjadi makin meriah. Bahkan Pasha jadi asyik ngobrol dengan Michael. Keduanya memang sudah saling kenal di kuliah.
Demikianlah hubungan Tesa dan Pasha sema-kin erat serta mesra. "Setelah pelajaranmu selesai nanti, sebaiknya kau jangan. langsung pulang," usul Pasha pada suatu kali. "Teruskan saja mengambil kursus komputer sambil menemani aku kuliah. Nanti kita pulang sama-sama."
Tesa sih setuju saja. Cuma persoalannya, dia tak punya biaya lagi. "Kasihan kan morot terus dari Mami," dalih-nya.
"Kalau aku pulang, bisa langsung cari duit buat bantu Mami."
"Soal biaya, kau tak usah pusing, Tes. Kalau kita sudah resmi, pasti orangtuaku takkan keberatan membiayai kau juga!"
"Nanti deh kita bicarakan lagi kalau sudah tiba waktunya," sahut Tesa mengelak. Bukan pertama kali itu Pasha mengiming-iming bahwa dia ingin mereka secepatnya menikah. Tak usah tunggu sampai pulang dulu ke rumah. Dan Tesa belum berani mengabari ibunya mengenai pacar barunya ini. Ibu pasti enggak setuju kalau dia mau terburu-buru. Perkawinan adalah ikatan seumur hidup, pasti begitu nasihat ibunya, jadi harus dipikirkan matang-matang.
Tapi di kemudian hari, Tesa tidak begitu yakin lagi akan kemantapan nasihat itu. Dia terkadang melamun, ah, seandainya saja dia tidak terlalu lama membuang waktu untuk berpikir sampai matang! Ah! Dan saat itu dia cuma bisa mengeluh penuh sesal.
Hari itu mereka berdua sudah berjanji akan pergi ke kebun binatang. Seperti anak kecil, sejak kemarinnya Tesa sudah kegirangan sampai susah tidur. Pagi itu tingkahnya seperti cacing dimandiin abu. Sebentar-sebentar dia berden-dang atau mondar-mandir dari kamar ke dapur tanpa tujuan tertentu.
"Waduh! Kelihatannya senang betul! Lagakmu seperti orang kena lotre saja, nih, Tes!" kata Sabita, kepingin ikut kebagian.
"Ada yang ditunggu? Kok belum muncul, ya," sindir Atina.
Nopi sok tahu.
"Bukan nunggu, kok!" bantahnya
"Kau mau bikin janji denganku, tapi malu banyak orang! Iya, kan?! Ini sih, cecurut-cecurut enggak mau pada nyingkir!"
"Siapa yang kausebut begitu?" seru Atina penasaran. Tampangmu sendiri enggak lebih mending dari nyingnying."
"Eh, kalau memang yakin kau bukannya cecurut, kenapa mesti nasping?" Nopi ketawa terbahak.
"Sudah, ah. Kok jadinya berantem pagi-pagi begini?" Tesa mencoba mendamaikan, tapi Atina malah mendelik pada Nopi sambil melirik ke cangkimya seakan kepingin membubuhi racun. Tesa berniat mengalihkan pembicaraan, ketika Nurul dan Ria tahu-tahu mendobrak pintu dapur seakan terjadi kebakaran, lalu menatap mereka dengan napas tersengal-sengal.
Nopi segera memanfaatkan kesempatan bagus itu untuk meluaskan pandangan. Kedua gadis itu mengenakan jeans dan T-shirt ketat, sehingga pemandangan alam bukan main me-mukaunya. Ria segera menyadari dan menyem-protnya, "Hei, mata keranjang! Jangan pandangi aku seperti itu! Kualat nanti, ujianmu jeblok!"
"Eh, aku kan sedang menghitung gerak napasmu, kok malah disumpahi?! Kalau kau napas terlalu cepat, kan bisa bahaya, tuh!" sergah Nopi padahal dia memang sedang cuci mata.
(anak tikus)
Habis kapan lagi bisa melihat bukit-bukit naik-turun begitu indah, pikirnya. Sangat bagus buat kesehatan mata! Daripada mesti pakai boorwater.
Nurul tidak ikut-ikutan nimbrung, sebab tak tahan lagi mau menyampaikan kabar yang me-ngejutkan.
"Pada belum tahu, kan? Pika di rumah sakit!"
"Haaa?!" semua tercengang. - "Kenapa dia?" tanya Sabita yang paling erat dengan Pika, temannya sejak di SMA.
Ria menarik kursi, lalu duduk. Dengan begitu dadanya jadi tertutup meja dan Nopi tidak bisa leluasa lagi menatapnya. Napasnya pun sudah lebih tenang. Nurul segera mengerti dan meng-ikuti contohnya.
"Pika kecelakaan bersama Michael!" kata Ria memulai.
"Oh!"
"Mereka baru pulang libur tiga hari ke rumah orangtua Michael. Kabarnya, Pika luka parah. Sekarang ini kami mau menengok. Ada yang mau ikut?"
Semuanya menyatakan mau.
"Aku beritahu Pasha dulu," kata Tesa tergesa-gesa menuju telepon. Tapi sampai lama dibiar-kannya pesawat itu berdering, namun sia-sia. Tak ada yang mengangkat.
"Barangkali dia sudah di jalan mau kemari," kata Tesa ketika kembali ke dapur dengan lesu. Tapi aku ikut kalian saja. Biar aku tinggalkan pesan baginya, supaya segera menyusul ke rumah sakit"
Namun betapa terkejutnya Tesa ketika mereka melangkah ke dalam lorong, lalu mengintai dari jendela kaca. Ternyata Pasha sudah berada di dalam kamar gawat darurat, tengah sibuk membincangkan beberapa buah gambar rontgen! Pasti dia bukannya sedang dinas jaga, pikir Tesa. Sebab hari ini kan mereka sudah punya rencana mau ke kebun binatang! "Sayang kita enggak boleh masuk!" tukas ¦ Sabita dengan kesal. "Aku ingin melihat dari dekat bagaimana keadaannya!"
"Itu memang sudah peraturan," kata Nopi yang selalu menerima keadaan apa adanya.
"Mungkin takut kita nanti menularkan kuman?
"Kan bisa pakai baju steril seperti Pasha itu!". cetus Atina yang juga mengkal.
"Tunggu saja apa kata Pasha kalau dia nanti keluar!" kata Nopi seakan mau menyabarkan.
Tapi yang ditunggu justru tidak keluar-keluar. Pasha memang tidak tahu bahwa teman -temannya sedang menantinya. Seorang perawat yang muncul dari dalam kamar segera disandera oleh Nopi dengan senyumnya yang cukup menawan para makhluk halus yang kesepian.
"Suster, kenapa kami tidak boleh masuk? Giliran satu-satu kan bisa?"
"Tidak bisa!" sahut perawat dengan bengis " Tuan Solem pun sebenarnya tidak boleh masuk. Tapi sang pasien terus-menerus meracau memanggilnya, jadi terpaksa diizinkan!"
Ketika Pasha muncul di luar kamar, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah Tesa yang pucat. Dia segera menghampiri dan me-meluknya, lalu mengajaknya duduk. Yang lain mengikuti seperti anak ayam takut kehilangan induk.
"Sorry, Tes, rencana kita ke kebun binatang batal!"
Tesa menggeleng. "Bagaimana keadaannya?"bisiknya dengan bibir gemetar.
Pasha juga menggeleng sambil mena'rik napas. "Cukup parah." Lalu dia bungkam.
"Parah bagaimana?" Sabita menegaskan dengan rasa tidak puas. Pasha kembali cuma menggeleng. Air muka-nya keruh sekali. Tesa menatapnya dan tiba-tiba dilihatnya setetes air bening bergayut di sudut matanya. Pasha menangis! Oh, kalau begitu pasti keadaan Pika sangat gawat!
"Apakah dia akan...?" Sabita tak mampu meneruskan.
Pasha lagi-lagi menggeleng. "Tak tahulah aku," keluhnya penuh kepedihan.
***
Kecelakaan itu ternyata amat hebat dan berbuntut panjang. Michael pincang kakinya dan harus memakai penyangga, entah untuk berapa lama. Pika memang akhirnya bisa selamat dari maut, namun pukulan yang fatal dialami oleh Tesa!
Pasha sengaja mengajaknya ke tempatnya agar mereka bisa bicara tanpa gangguan teman-teman. Tesa dibuatkannya kue dadar kesukaan-nya. Tapi gadis itu cuma berhasil menelan se-potong. Mungkin hatinya terlalu risau. Mungkin juga hati Pasha yang risau, sehingga adonannya kurang gurih.
Dengan telaten dilayaninya kekasihnya makan-minum seakan itu .perjamuan mereka yang penghabisan. Pasha bolak-balik ke dapur belasan kali seolah mau memperpanjang saat di mana dia harus membuka kartu, menuang ke-benaran. Tesa bangkit membawa gelas.
"Kau mau apa?"
"Mau mengambil air lagi."
"Biar aku yang ambilkan!"
Dengan sigap di-rebutnya gelas itu sampai Tesa keheranan.
"Enggak sari-sarinya kau seperti orang edan kerepotan begitu!" Tapi Pasha tidak menanggapi seakan tidak mendengar. Ketika gelas diserahkan, Tesa menumpahkannya sedikit ke atas pakaiannya.
"Wah, aku kelupaan bawa saputangan!" ke-luhnya. "Di mana tisumu?"
"Aku ambilkan!" Dan Pasha pun kembali ke belakang setengah berlari. Tesa mengerutkan kening sambil menggeleng. Rupanya dia mau menebus rasa kangennya sejak sebulan merawat Pika, pikirnya tersenyum. Setelah akhirnya tak ada lagi yang bisa dikerjakan, dengan ngeri Pasha terpaksa menjatuhkan diri di samping Tesa. Sofa panjang itu terkadang digunakan sebagai tempat tidur kalau ada temannya menginap. Biasanya mereka duduk berimpitan, namun kini Pasha agak menjauh beberapa belas senti.
Setelah menahan napas dan mengeluh panjang-pendek dalam hati, akhirnya saat itu pun tiba.
Tesa termangu mendengarkannya seakan kurang percaya atau bahkan tidak mengerti. Pasha mengulangi seolah mau meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah bicara.
"Pika sekarang lumpuh, Tes. Dia perlu perawatan jangka panjang. Dan...
dia memohon agar aku sudi kembali padanya. Dia ingin dirawat olehku!"
Seakan tersadar dari mimpi, Tesa menatap Pasha dengan mata berapi.
"Tapi dia sendiri tak pernah mau merawatmu waktu kau membutuhkannya!"
"Aku tahu," sahut Pasha dengan nada sabar. "Tapi aku enggak tega untuk menolaknya."
"Bukankah dia sudah mencampakkan engkau?"
"Aku tahu."
"Ke mana Michael?"
Dia sendiri Juga butuh pertolongan, jadi mana mungkin merawat Pika. Saat ini dia sedang beristirahat di rumah orangtuanya, aku dengar."
"Apa... apakah mereka sudah putus?"
"Aku rasa, ya." Pasha menghela napas. Ah, susahnya membuat Tesa mengerti.
"Karena itu dia minta kau kembali padanya!"
"Aku rasa... begitu."
Mereka diam. Setelah lewat lima menit, akhirnya Pasha tak sanggup lagi disiksa seperti itu. Dia tidak bisa menyaksikan Tesa diam bengong seperti orang hampir tersambar petir. Lebih cepat dia berlalu, lebih baik bagi mereka, pikirnya. Kalau memang sudah kemauan Tuhan, tak bisa dielakkan.
Disentuhnya lengan Tesa.
"Tes, sudilah mengerti. Aku kasihan padanya. Kalau kau melihat dia, pasti kau pun akan jatuh kasihan juga."
Tesa menoleh serta menatapnya. "Apa kau masih mencintainya?"
Pasha menggeleng. "Aku tak mau menyakiti hatimu dengan jawaban apa pun. Kalau aku bilang ya, kau pasti cemburu dan kesal. Kalau aku bilang tidak, kau juga akan marah serta penasaran. Kedua keadaan itu akan membuat kau tidak bahagia. Bila kau tahu aku tidak mencintainya lagi, mungkin kau akan menunggu aku terus, menunggu sesuatu yang takkan pernah bisa terjadi lagi. Kau akan menghancurkan masa depanmu. Tidak, Tes! Itu tak boleh kau-lakukan!"
Tesa menggertakkan geraham. Sungguh dia menyesal sudah melibatkan diri dengan pemuda itu. Kenapa dia pacaran lagi?! Bukankah sudah diketahuihya bahwa hal itu selalu meruwet-kan hidupnya?! Siapa pun "di atas sana" rupanya tidak suka melihatnya bahagia.
Ditatapnya Pasha dengan menantang.
"Lantas, apa yang boleh kulakukan?"
"Bereskanlah sekolahmu secepatnya. Kalau tidak salah ingat, tinggal empat bulan lagi, bukan? Setelah itu, pulanglah ke Jakarta! Lupakan-lah aku!" Pasha mengepalkan tinjunya erat-erat seakan kesal sekali menghadapi keadaan dirinya yang tak berdaya.
Lebih gampang disebut daripada dilakukan, pikir Tesa sinis. Pasha seolah tercabik hatinya melihat gadis itu termangu seakan hilang akal. Seandainya dia mau meraung atau ngamuk, ah, itu lebih baik, pikirnya. Tapi Tesa cuma diam saja menatap karpet. Matanya kering. Bibirnya terkunci rapat.
Pasha tidak tahan melihat keadaannya seperti itu. Diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya. Dan Tesa tidak melawan maupun menyambut. Dia sungguh seperti orang hilang pikiran!
"Tes, janganlah putus harapan, Sayang. Memang beginilah dunia. Hidup ini cuma panggung sandiwara. Dan lakonnya kebanyakan tragis. Manusia yang kurang beruntung seperti kita berdua, lebih banyak jumlahnya daripada mereka yang bahagia. Tapi percayalah, Tuhan itu maha pengasih. Kesengsaraan kita takkan kekal..."
"Ya, betul!" Tiba-tiba terdengar suara Tesa dalam pelukannya.
"Ambil saja pisau...!"
"Tesa!" Pasha terpana mendengar pikiran gadis itu. Apa yang ditakutkannya rupanya memang benar. Tesa berdiam diri saja dan itu lebih berbahaya daripada bila dia ngamuk serta marah. Orang yang tidak bisa melampiaskan kekesalan hatinya biasanya makan di dalam. Itu tak boleh terjadi pada gadis yang dicintainya.
"Sekali pikiran itu tak boleh kaubiarkan merasuki kepalamu! Aku melarangnya!"
"Apa kau masih punya hak untuk melarang aku?" tanya Tesa mencibir, lalu tiba-tiba dia melepaskan diri dan menyingkir ke pojok sofa.
"Tes, percayalah pada suatu hari kau pasti akan bahagia. Sekarang kau memang marah, penasaran, dan patah hati. Tapi kelak bila kau telah menemukan tambatan hati yang baru, pasti kau akan bersyukur, kita tidak jadi melangsungkan hubungan ini. Kau akan tahu, aku memang tidak pantas bagimu. Aku sama sekali tidak pantas menerima cintamu yang tulus. Lu-pakanlah aku...."
Tesa menatapnya dengan tajam. Pelan-pelan. matanya berlinang. Bibirnya menggeletar.
"Haruskah... haruskah... kau kembali padanya?" bi-siknya hampir tak terdengar.
Pasha menguatkan hati dan mengangguk. "Ya. Aku tak bisa menelantarkan orang yang sudah mempercayakan hidupnya di tanganku. Ingatlah, Tes, aku ini calon dokter. Masa depanku sedang mengalami ujian yang berat saat ini. Kalau aku gagal, berarti aku takkan dapat menjadi dokter yang baik bagi mereka yang butuh pertolongan. Dokter harus berani berkorban paling banyak. Cobalah mengerti, Tes."
"Kenapa harus aku sendiri yang mengerti? Kenapa dia tidak?! Kenapa cuma kau dan aku yang mesti berkorban?! Tidak adil! Sungguh tidak adil! Seharusnya dia tidak meminta itu dari engkau! Kan bisa saja dia mencari perawat seperti yang dilakukannya dulu bagimu?! Dia tidak punya perasaan! Dia sungguh tidak berperasaan!" Lalu tiba-tiba Tesa terguguk menangis. Ditutupinya wajahnya dengan tangan dan dari sela-sela jarinya air mata turun tak henti-henti. Napasnya tersendat-sendat.
Pelan dan lembut Pasha mengurai kedua ta-ngannya, lalu disusutnya mata serta kedua pip! dengan saputangannya. Dipeluknya kembali gadis itu sampai tangisnya reda.
"Nah," katanya akhirnya sambil menatap Tesa dari jarak selengan.
"Sekarang perasaanmu sudah sedikit lega, bukan? Marilah aku antarkan pulang."
"Tak usah! Aku bisa pulang sendiri!" Tesa mengibaskan tangannya dan berdiri. Tanpa membuang waktu lagi disambarnya tasnya dari meja, lalu berlari ke pintu, membukanya, dan menghilang.
==========
"Aku sekarang berada di airport! Apa kau betul-betul tak mau mengubah kembali pendirian-mu?"
"Kenapa membuang waktu, Far? Lebih baik kau lekas pergi ke ruang tunggu, nanti keting-galan planel"
"Jadi, kau... betul-betul keras kepala?!" Suara di seberang sana bukan main kesal kedengaran-nya.
"Selamat jalan, Goffar!" Lalu Tesa meletakkan kembali pesawat telepon. Ketika diangkatnya mukanya, tahu-tahu didapatinya Bos sedang membungkuk di depannya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, sementara dasinya ter-juntai di hadapannya bergoyang-goyang. Lirik-annya menyengat sekali ketika dia bertanya, 'Siapa sih Pak Goffar itu?"
"Seorang pembohong!" cetus Tesa tanpa di-P'ikir lagi.
“hmmm" Rupanya kau sudah dibohongi olehnya”-tukas Bos dengan senyum penuh arti.
"Kau tampak kesal sekali. Bagaimana kalau nanti malam kita makan bersama?"
"Terima kasih. Tapi sebaiknya Bapak makan bersama istri saja di rumah!"
"Lho! Aku belum punya istri!" bantah Bos setengah membelalak.
"Apakah Bapak juga mau disebut pembohong?"
"Lho! Lho! Lho! Nanti aku mintakan surat keterangan masih bujangan dari lurahku kalau kau tidak percaya!"
"Tak usahlah, Pak. Saya percaya sekarang."
"Makan malam itu jadi, ya?"
"Jangan sekarang, Pak. Kepala saya pusing, pikiran masih kalut."
"Baiklah. Tapi lain kali tak boleh ada alasan lagi!" kata Bos seraya memutar badan kembali ke dalam ruangannya.
Tesa menarik napas lega. "Huh! Susah kalau dapat majikan yang masih bujangan seperti itu, pikirnya. Hampir setiap minggu ada saja tawaran yang enggak-enggak. Makan malamlah, nonton bioskoplah, mancing ke Pulau Bidadari-lah, atau menemani dinas ke luar kota! Bahkan ke luar negeri juga! Untung sejauh itu dia masih bisa mengelak."
"Pak, saya tidak bisa ke luar kota, Ibu sedang sakit!"
"Pak, saya tidak sabaran mancing-mancing, lebih baik beli saja di Pasar ikan! Langsung dipanggang atau digoreng!"
"Pak, saya lebih suka melihat video saja di rumah daripada mesti dandan untuk ke bioskop! Belum lagi bau rokoknya! Dan minta ampun WC-nya!"
Bagi Tesa itu cuma sekadar alasan. Tapi akibatnya, Bos hampir saja membeli pesawat TV dan video untuk dinikmati sehabis jam kantor! Untung Pak Tambua yang ditugaskan mencari info soal tipe, keburu memberi bisikan pada Tesa. Gadis itu kemudian mencari kesempatan untuk menyindir Bos, jangan sampai hilang wibawa atau disebut sinting!
"Saya sih segan dimanja oleh Bos seperti se-orang kawan saya. Lebih baik minta berhenti saja!" tukasnya ketika mereka sedang makan siang berdua di kantin.
"Lho, dimanja kok enggak mau?! Kamu ini spesies dari bulan, apa?!"
"Habis! Pikir saja oleh Bapak. Pegawai yang dimanja oleh atasan itu pasti akan dijauhi dan disindir-sindir sama rekan-rekan lain. Mana enak kerja dalam suasana begitu?"
Rupanya Bos termakan juga oleh "perumpamaan" yang mirip ancaman itu. Video tidak jadi dibeli. Dia juga tidak begitu gencar lagi melancarkan manuver-lewat-jam-kantor-nya.
Tesa tersenyum sendirian. Sudah hampir tiga tahun dia betah jadi sekretaris presdir. Dan sudah setahun dia aman dari manuver. Rupanya mendengar suaranya yang tegas di telepon barusan, Bos kembali angot sintingnya. Biarlah.
Toh dia tahu, Bos takkan memaksa. Dia pasti khawatir nanti karyawati kesayangannya itu akan kabur. Bos pernah bilang, dia bersedia menunggu sampai kapan saja atau... sampai Tesa disambar orang lain? Hiii! Takkan pernah, pikirnya tegas.
***
Sejak dia kembali dari Perth tiga tahun yang lalu, dia sudah bertekad tak mau lagi terlibat cinta. Cuma bikin ruwet pikiran. Ujung-ujung-nya toh sama saja: putus! Mungkin sudah nasib-nya mesti membujang seumur hidup. Dan untuk seorang wanita zaman kini, itu sama sekali tidak tragis. Malah lebih enak, hidup jadi tak banyak cincong.
Beragam alasannya kenapa dia menolak Goffar yang merengek minta visa masuk lagi ke hatinya. Salah satunya adalah itu: dia tak mau lagi terlibat cinta!
Ketika dia baru saja kembali dari Australia, ibunya sudah memperingatkan, "Awas dengan Goffar. Begitu tahu kau sudah balik, dia pasti akan terus mengganggumu! Selama ini barang-kali sudah sepuluh kali dia minta-minta alamat-mu di Perth. Katanya mau ketemu. Tapi tidak Mami berikan."
Betul saja dugaan ibunya. Telepon mulai sering berdering. Goffar rupanya tidak takut membayar rekening. Terkadang sehari sampai lima kali. Walaupun dibilang baru saja masuk ke kamar mandi dia ngotot mau menunggu.
Katanya, khawatir nanti ditinggal pergi oleh Tesa kalau pesawat dimatikan. Tesa terpaksa melayani bicara. Tapi sejak semula dia sudah menyatakan dengan tegas bahwa jembatan mereka sudah musnah tcrbakar. Sampai kiamat pun dia takkan mau kembali atau mengijinkan Goffar balik padanya.
"Kewajibanmu sekarang adalah Shakira!"
"Aku harus menemui engkau," tuntut Goffar berkeras.
"Kalau kita sudah ketemu, pendirian-mu pasti akan berubah!"
Tesa minta ampun dalam hati. Betapa tak tahu maIunya pria ini, pikirnya. Seberapa ganteng pun dia dulu misalnya, kini bagi nya masih lebih menarik penghuni Ragunan di Pasar Minggu!
Mula-mula Tesa tak mau ketemu. Tapi Goffar terus menteror dengan telepon. Seisi rumah jadi kebisingan. Ayahnya mengomel terus setiap kali pesawat berdering walaupun belum tahu itu dari siapa. Ibunya malah sampai melonjak kaget sambil mengawasi pesawat tanpa berkutik. Tesa sadar, mereka semua sudah kena perang saraf.
Demi ketenteraman rumah, dan sekalian menyadarkan Goffar bahwa masa lalu itu tak pernah kembali, maka dia setuju untuk bertemu. Goffar berusaha meyakinkan gadis itu, betapa kelirunya dia mengawini Shakira, betapa masih dicintainya Tesa, betapa rindunya dia ingin me-nyambung kembali tali yang sudah putus, betapa... masih puluhan "betapa" lagi.
Namun dengan tenang Tesa mengabaikan semua itu. "Masa lalu kita sudah terkubur, Far!"
Pengaruh Goffar padanya sudah tak bersisa. Laki-laki itu memukul-mukul dada, menangis, menjerit, memaksa, mengancam, namun Tesa tetap tak bergeming.
"Apa yang sudah dikubur, takkan pernah bisa kembali! Walaupun kau me-neteskan air mata darah!"
Ketika dia pulang sendirian dengan mobilnya yang second-hand, perasaan Tesa campur aduk. Senang sekaligus sedih. Hatinya senang, sebab ternyata dia sudah bisa melepaskan diri dari Goffar. Hatinya yang dulu patah, kini sudah terpaut lagi. Namun dia sedih juga bila teringat kemungkinan manis yang dulu pernah diharapkan. Ah, seandainya tak ada halangan, entah seperti apa hidup mereka berdua kini!
Setelah pertemuan itu tak membawa hasil, Goffar mulai memaksa lewat jalan lain. Karena Tesa sudah bilang, dia tak mau lagi menerima telepon, maka laki-laki itu mulai mengirimkan surat kilat khusus. Lagaknya melebihi anak pu-ber yang dilanda cinta monyet.
"Kalau kau tak mau kembali padaku, aku akan bunuh diri!" tulisnya suatu kali.
Tesa mengembalikan surat itu tanpa komentar. Dia masih ingat untuk mengirimkannya ke alamat kantor, agar rumah tangga Goffar jangan kalut. Entah bagaimana reaksi Shakira seandainya dia sampai tahu!
"Kalau kau tak mau kembali padaku, akan kubunuh istri dan anak-anakku!"
Surat itu juga diriturnya. Tapi susulannya datang makin gencar. Akhirnya Tesa tak mau lagi payah-payah mengembalikan. Robek saja, ma-sukkan tong sampah! Beres. Buat apa buang uang untuk melayani orang gila, pikirnya.
Semua ancaman itu ternyata memang cuma gertak belaka. Tak pernah dilaksanakan. Hanya yang terakhir ini rupanya dijalankan juga. Goffar mengancam akan pergi meninggalkan keluarganya. Katanya, dia mau ke Amerika dan takkan pulang kembali. Katanya, pada istri dan orangtua dia bilang mau sekolah lagi. Tapi Tesa menduga, dia cuma ingin menghambur-hambur-kan uang istri di luar negeri. Kalau sudah bang-krut, dia pasti akan kembali sendiri mengemis lagi pada Shakira.
Ternyata sangkaannya itu betul. Lima bulan setelah kepergian Goffar, istrinya menelepon Tesa nangis-nangis minta dia datang ke rumah-nya. Semula Tesa tidak mau. Sejak pulang dari Perth, dia belum pernah ketemu Shakira. Rasa-nya segan. Apalagi disuruh main ke tempatnya. Tapi Shakira mendesak. Katanya dia butuh sekali pertolongan untuk membawa anaknya ke rumah sakit.
Mendengar itu, hati Tesa tergerak. Rasanya tidak tega membiarkan teman dalam kesusahan.
"Baiklah nanti sore aku datang," janjinya.
"Sekarang!" Shakira seakan menuntut."Mana bisa, Shak. Sekarang kan jam kantor. Sabarlah, tak lama lagi juga sore. Aku akan segera berangkat jam setengah lima nanti."
Shakira memang menelepon ke kantor. Semula dia mengebel ke rumah. Oleh ibu Tesa dia diberitahu bahwa Tesa ada di kantor. Shakira mendesak minta nomor telepon kantor dengan alasan ada urusan yang maha penting. Sebenar-nya ibu Tesa segan memberikan, tapi Shakira pandai membujuk. Selain itu, Tesa memang tak pernah memesan agar nomor telepon kantornya dirahasiakan.
"Anakku sudah payah, Tes. Sudah tiga hari berak-berak. Rasanya kolera," kata Shakira di antara sedu sedan. "Kalau ditunggu sampai sore, pasti terlambat. Kalau dia sampai huk... huk... huk... mati, gimana? Apa kau mau menanggung dosanya?!"
Tesa berkeringat dingin. Digigitnya bibirnya. Temannya itu memang pintar bicara. Siapa sih yang mau menanggung dosa seperti itu?! Tapi kenapa Shakira tak bisa membawanya sendiri ke rumah sakit?! "Kenapa tidak kaubawa sendiri, Shak?"
"Anakku yang besar sedang sakit, Tes. Eng-gak bisa ditinggal. Aku enggak punya pembantu. Juga enggak... punya... uang..."
Aduh. Sungguh tidak sampai hati Tesa men-dengar kesulitan Shakira yang bertubi-tubi. Dia jadi serba salah. Meninggalkan kantor berarti kurang disiplin. Tapi membiarkan Shakira tanpa pertolongan rasanya keterlaluan.
"Baiklah, Shak," katanya akhirnya setelah berperang batin beberapa saat.
"Aku akan menolongmu. Barangkali abang atau adikku ada di rumah dan bisa aku mintai bantuan. Kalau enggak, terpaksa aku sendiri nanti yang datang.
"Tenanglah, ya."
"Oh, terima kasih, Tes. Kau sungguh baik...." Tesa menutup telepon pelan-pelan, segan mendengarkan ucapan terima kasih dari orang yang pernah menghancurkan hatinya. Kemudian diteleponnya rumahnya.
"Mam, apa Markus ada di rumah?"
"Abangmu kan tugas di puskesmas hari ini, Tes. Ada apa?"
"Kalau Daniel?"
"Barusan pergi dijemput teman-temannya. Katanya mau berenang. Ada apa sih tumben-tumbenan mencari mereka saat begini?!"
"Enggak ada apa-apa. Cuma ini, Shakira perlu bantuan...."
"0, ya, tadi memang dia menelepon kemari."
"Saya tahu. Sudah ya, Mam. Saya lagi sibuk, nih."
Tesa terpaksa minta izin dari Bos untuk ke-luar sebentar. Mobilnya dikebut agar lekas sampai. Menilik suara Shakira di telepon, pastilah anak itu sudah hampir sekarat. Dan dugaannya ternyata benar.
Anak itu kurus, pucat, dan setengah tidak sadar. Dia terbaring di ranjang di antara kain-kain lapuk yang rupanya sudah lama tak pernah dicuci. Baunya bukan main. Shakira sendiri tidak lebih mending keadaannya. Tesa sampai keheranan dan hampir-hampir tak bisa menge-nali lagi temannya dulu itu. Begitu cepatnya kecantikan. seseorang pudar direnggut derita, pikirnya penuh kasihan. Badan Shakira sudah kurus, tak terawat Rambutnya kusam terburai-burai belum disisir, mukanya penuh lemak belum dicuci. Dia pasti belum mandi, pikirnya. Kemudian dia tahu sebabnya.
"Umur berapa anak ini, Shak?"
"Setahun lebih."
Tesa lupa menegaskan lebihnya berapa, tidak tahu bahwa di rumah sakit mereka akan melit sekali mau tahu lebih berapa bulan
"Kalau betul kolera, mestinya kakaknya jangan dibaringkan di ranjang yang sama," kata Tesa menunjuk anak laki-laki yang tengah mengawasi begitu apatis dari sudut ranjang, de-ngan matanya yang cekung.
Kalau dihitung-hitung, mestinya anak itu sudah hampir tujuh tahun atau bahkan lebih. Ketika dia berangkat ke Perth, Shakira sudah hamil. Dia memang sudah mengandung sebelum pernikahan. Tapi anak suluhgnya kelihatan se-perti balita. Gizinya buruk sekali. Kenapa begitu? pikir Tesa heran. Bukankah Shakira itu anak orang kaya?! Bukankah karena itu maka Goffar jadi kepincuk padanya?! Tesa yang mis-kin mana ada harapan untuk bersaing! Kan begitu sindir Shakira dulu pada seorang teman mereka yang menyampaikannya lagi padanya.
"Ranjang anak-anak sudah aku jual. Terpaksa kami tidur bertiga di ranjangku ini."
"Tapi dia bisa ketularan."
"Dia sudah ketularan," sahut Shakira pasrah.
"Cuma enggak segawat adiknya."
Tesa tidak suka mendengar nada suara Shakira yang begitu memelas. Dia ingin cepat-cepat berlalu dari situ.
"Sebaiknya anak ini diseka dulu dengan lap hangat sebelum aku bawa," kata Tesa yang se-benarnya merasa jijik melihat kotornya anak itu serta mencium baunya yang amis. Sejak tadi dia memaksakan diri jangan sampai muntah.
"Aku tak punya uang untuk beli air, Tes," keluh Shakira. "Masih ada sisa sepanci, cuma untuk minum...."
"Kau tak punya pompa?"
"Pompa listrik sudah lama rusak. Goffar enggak mau membetulkan. Oh! Dia tak mau meng-urus apa pun. Yang diingatnya cuma..." Shakira menghentikan bicaranya seakan takut telanjur. Tapi tangannya yang terkepal dan matanya yang mendelik ketika menatap Tesa membuat gadis itu paham apa kelanjutan kata-katanya.
"Kalau aku tak salah lihat tadi, di halaman depan ada pompa tangan, bukan? Apa itu juga sudah macet?"
"Aku tak kuat memompanya, Tes," keluh Shakira menunduk.
Oooh! Dasar anak orang kaya, pikir Tesa. geregetan. Memompa air pun tak mau! Padahal keadaan sudah gawat. Tapi ketika diperhatikan-nya Shakira sekali lagi diam-diam, Tesa meng-hela napas. Barangkali dia tidak berdusta.
Badannya yang kurang makan itu pasti sudah tak punya tenaga untuk kerja seberat itu.
Dia menyesal tadi begitu terburu-buru se-hingga kelupaan membeli makan an. Tapi dia sungguh tidak menyangka bahwa keadaan Shakira sudah begini fatal.
Anak yang sakit berat itu jelas mesti dibawa ke rumah sakit dengan segera.
Tapi anehnya, Shakira tidak kelihatan terburu-buru.
"Baiklah kalau tak ada air, cukup diganti saja pakaiannya. Aku rasa yang ini sudah penuh kotoran. Aku tunggu di luar, ya."
Tesa melangkah ke ruang depan tanpa menunggu reaksi Shakira sebab dia sudah tak tahan dengan bau kamar tidur itu. Setiba di depan, barulah dia berani menarik napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan diri ke atas kursi yang, kelihatan sudah tak terawat, walaupun benda itu dulu pasti termasuk mahal.
Ketika dia menoleh mendengar langkah, be-tapa terkejutnya dia melihat Shakira di bela-kangnya. Ternyata perempuan itu telah meng-ikutinya keluar dan kini berdiri di depannya. Sebelum dia mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba
Shakira sudah menudingnya dan suaranya penuh dendam.
"Ini semua gara-garamu! Coba kau mau menerima kehendak Goffar, dia pasti takkan pergi ke luar negeri! Aku rela dimadu atau diceraikan asal dia tetap di sini. Dalam keadaan begini, aku pasti masih bisa minta bantuannya! Tapi gara-gara kau sok jual mahal dia sekarang pergi!!! Kau kini yang harus menanggung semua biaya perawatan anakku! Hu... huk... huk... kalau dia sampai mati, aku bunuh kau!" Shakira menangis tersedu-sedu.
Tesa tercengang mendengar tuduhan itu, sehingga dia tidak sanggup menanggapi. Dia duduk terpaku, diam membisu seperti boneka batu. Suara tangis Shakira makin rawan me-nusuk telinga. Ketika perempuan itu tiba-tiba jatuh mendeprok di lantai, barulah Tesa seakan terjaga dari mimpi yang kelewat buruk. Dia tidak tahu apakah Shakira hampir pingsan atau-kah sengaja menjatuhkan diri. Dalam kagetnya dia tergesa-gesa bangkit dari kursi, lalu meng-hampiri. Palutan baju lusuh yang apak baunya itu dipeluknya sambil bibirnya mengucapkan kata-kata hiburan tanpa disadarinya.
"Sudahlah, Shak. Kuatkan hatimu. Tenanglah. Pikirkan anak-anakmu yang sedang sakit. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku. Lu-pakan dulu hal-hal lain."
"Oh, Tes, maafkan aku. Maafkan kata-kataku barusan."
Tesa mengangguk.
"Kau mau memaafkan, bukan? Kau telah me-maafkan aku, bukan? Aku benar-benar enggak sengaja menyakiti hatimu. Itu cuma luapan perasaan_" Shakira menatapnya dari balik air mata.
Tesa mengangguk. "Aku tahu," katanya pelan. "Oh, Tes, seandainya saja kau sudi menerima Goffar kembali..."
"Itu tidak mungkin, Shak. Lebih baik sekarang secepatnya aku bawa anakmu...," kata Tesa mengalihkan percakapan. Dia sebenarnya sangat khawatir akan keadaan anak yang sudah pucat kebiruan itu. Tapi ibunya seakan tidak mendengar.
"Kenapa, Tes? Karena kau tak mau menyakiti hatiku? Itukah alasanmu? Tidak mengertikah engkau, dengan penolakanmu itu kau telah lebih menyakiti aku dan anak-anakku? Akibat buruknya akulah yang mesti menanggung! Kau sih enak saja, bebas, gembira!"
"Shakira, kalau kau mau terus mengungkit-ungkit peristiwa itu, sebaiknya aku pergi saja sekarang!" ancam Tesa yang akhirnya menjadi kesal dan hilang sabar.
"Jangan, Tes! Kau rela menjadi pembunuh anakku?" Shakira menatapnya dengan mata membara, dan Tesa melengos, tak mau meladeni.
"Aku cuma kesal, Tes. Aku tahu kau menolak Goffar hanya lantaran kau sombong! Ya, kau mau menunjukkan, kau tak perlu cintanya lagi! Kau bisa hidup tanpa dia! Maaf, Tes, aku terpaksa meluapkan semua ini supaya hatiku lega.
"Shak, di mana ibumu?" tanya Tesa dengan sisa kesabaran yang tipis dan tekad untuk mengalihkan pembicaraan.
Tiba-tiba meledak lagi tangis Shakira. Lebih merawankan dari tadi. Dadanya turun-naik, na-pasnya tertahan-tahan.
"Dia... dia... sudah lama meninggal! lima ta-hun yang lalu!"
"Oh! Dan ayahmu?"
"Dia sudah kawin lagi Oh, Tes, kalau ibuku masih ada, pasti aku takkan sengsara kayak beginil" keluhnya sambil menyusut mata. "Kenapa kau tidak minta bantuan pada ayah-mu?"
Tapi Shakira kembali tersedu sedan lebih hebat lagi, sehingga Tesa khawatir takkan berhenti sebelum kiamat.
"Mau pindah ke kursi?," katanya sambil meng-angkat Shakira setengah dipaksa dan membim-bingnya ke kursi.
Tangisnya kini agak mereda. Diangkatnya se-dikit ujung roknya, lalu dibersitnya ingusnya. Tesa menunduk sebab tidak tahan melihat pe-mandangan itu. Rasanya daging rendang yang tadi siang dimakannya sudah bersiap di ulu hati mau melejit keluar.
Shakira menghentikan tangisnya, lalu memandang Tesa. Matanya yang merah dan sembap tidak membuat wajahnya yang kumuh sedikit lebih menarik. Kebalikannya malah.
"Tes, maukah kau mendengar kisah riwayat hidupku?"
"Lain kali, Shak. Sekarang yang penting, anakmu dulu!"
"Tidak!" Shakira menggeleng. "Sebaiknya sekarang saja. Aku harus menceritakannya pada-mu! Kalau kau sudah mendengar betapa besar kesengsaraanku, barangkali kau akan rela mengampuni semua dosaku padamu!"
"Sudah kuampuni, Shak. Biarlah kubawa anakmu sekarang juga!"
Tesa sibuk setengah mati ingin segera berlalu. Tentu saja dia tak mau menanggung dosanya seandainya kelak terjadi apa-apa dengan si sakit
Tapi Shakira tak bisa dibantah. Sejak dulu dia memang selalu mesti dituruti kemauannya. Maklum anak tunggal dari orangtua kaya! Ka-rena tak ada jalan
lain, terpaksa Tesa duduk siap mendengarkan. Pikirnya, makin cepat di-mulai makin baik, agar tidak terlalu banyak waktu terbuang percuma. "Tes, ayahku sejak semula memang tidak me-nyetujui perkawinanku. Katanya Goffar itu pe-malas dan kawin cuma karena harta ayahku. Sayang aku tidak mau percaya dan baru me-nyadari sekarang setelah terlambat. Waktu ibuku masih ada, keadaan kami lumayan, sebab ibuku diam-diam selalu memberi sumbangan. Kami tidak sampai kekurangan. Tapi setelah Ibu meninggal dan ayahku kawin lagi, sokongan pun berhenti. Setiap kali aku minta bantuan, ayahku malah mengejek. Ibu tiriku juga ikut-ikutan mencemooh. Akhirnya aku tak pernah datang lagi. Habis percuma. Uang tak dapat, tapi aku malah dihina oleh mereka. Kerja Goffar memang tak tentu. Dia keluar-masuk kantor te-rus. Sebentar-sebentar berhenti, lalu pindah lagi. Alasannya selalu sama, gaji kurang. Habis, dia tak punya kepandaian khusus, masa mau meng-harapkan gaji besar? Dia marah kalau aku kritik begitu. Dan sejak tahu, kekayaan ayahku takkan jatuh ke tanganku, dia mulai kasar padaku serta anak-anak juga. Intan berlian peninggalan ibuku satu per satu dijualnya. Uangnya cuma sebagian saja diserahkannya padaku, sebagian besar dipergunakannya sendiri untuk foya-foya. Dia malah pernah punya pacar. Perempuan itu begitu kurang ajarnya sampai berani datang ke sini, mencarinya!
"Setelah perhiasan tak bersisa lagi, deposito ibuku mulai digerogoti. Terakhir, dikurasnya semua untuk dibawa ke luar negeri! Sekarang aku tak punya duit sepeser pun! Hadiah-hadiah kawin satu per satu aku tawarkan ke tetangga. Cangkir-cangkir, piring-piring mahal... paling laku tiga ribu, lima ribu, padahal harga sebenar-nya tiga-empat kali lipat. Mereka tahu aku butuh, mereka sengaja menekanku. Mereka berlagak tak memerlukan barang-barang itu, pada-hal aku lihat mata mereka hijau kesenangan! Yah! Sekadar untuk menangsel perut. Kalau hadiah-hadiah itu pun sudah habis, entah gi-mana lagi nasib kami nanti!" Shakira mengeluh panjang seperti lokomotif kereta api dalam per-jalanannya yang terakhir.
Tesa melongo mendengar kisah itu, sampai dia terlupa bahwa dia tak boleh lama-lama di situ.
"Kau mau aku carikan kerjaan?" tanyanya se-saat kemudian ketika semangatnya sudah ter-kumpul lagi.
"Aku tak bisa meninggalkan anak -anak!" ke-luh Shakira dengan suara fatal.
"Kalau ada pembantu, tentu kau bisa meninggalkan mereka. Mau aku carikan pembantu?"
"Tapi aku bisa kerja apa, Tes? Ijazahku cuma SMA doang. Belajar ngetik, aku malas. Tata bu-ku dan akuntansi memang kelemahanku sejak dulu. Aku pernah duduk di bangku sastra Ing-gris setahun, tapi aku enggak sanggup menerus-kan. Terlalu banyak kata-kata asing yang sukar aku hafalkan!" Shakira menunduk memperhati-kan jari-jari tangannya yang kurus dan keriput.
Tesa diam-diam mengeluh sendiri. Susah juga kalau terlahir sebagai anak orang kaya, namun bernasib paria!
"Kalau begitu sebaiknya kau mencari pekerja-an yang bisa kauselesaikan di rumah!"
"Ah, kerja apa?" keluhnya tanpa minat.
"Hm. Apa, ya?" Tesa berpikir1 sejenak, lalu ia menepuk dahinya. "Aku tahu! Konveksi! Kau pasti bisa menjahit, bukan? Tetangga bibiku membuka..."
"Tapi aku tak bisa menjahit!" potong Shakira memutuskan harapan Tesa untuk menolongnya. "Aku tak pernah menginjak mesin jahit seumur hidupku! Semua bajuku biasa dibawa ke tukang jahit. Kalau yang robek-robek atau lepas kan -cingnya, itu urusan ibuku. Yah! Memang aku sedikit menyesal kenapa dulu tak mau belajar! Tapi sekarang sudah terlambat!"
"Kenapa terlambat? Kau kan bisa belajar?"
"Aku tak punya mesin! Mesin ibuku sudah diambil oleh ibu tiriku!"
Huh! Tesa mengerti tak ada gunanya memperpanjang masalah itu. Shakira memang sudah tak mau bekerja. Dasar biasa dimanja, keluhnya dalam hati. Tapi, lantas dari mana mau diperolehnya uang untuk makanan anak-anaknya?!
"Lalu, rumah ini kau sewa?"
"Oh, ini diwariskan Ibu padaku. Dulu kan orangtuaku .tinggal di sini. Waktu ayahku kawin lagi, dia pindah ke rumah baru. Rumah ini memang atas nama ibuku. Kami berdua lantas pindah dari rumah kontrak ke sini setelah ibuku tiada."
Masih untung, pikir Tesa. Jadi dia takkan sampai diusir orang ke jalanan. Tega betul ayah-nya menyepak Shakira seperti itu! Walaupun mula-mula perkawinannya tidak disetujui, tapi setelah ada dua orang cucu, sepantasnya kan mereka diampuni? pikir Tesa tak mengerti.
"Sebenarnya kenapa sih ayahmu begitu pada suamimu?" Dia sengaja menggunakan panggilan itu, sebab rasanya tidak sreg untuk menyebut nama.
Shakira menghela napas. Matanya berkilat ta-jam. "Salah Goffar juga, sih!" serunya keki. Ru-panya dia sudah tak mau lagi membela suami.
"Sekali dia memalsukan tanda tangan ayahku di atas cek seharga dua juta! Sudah diampuni. Eh, dilakukannya lagi kedua kali. Lima belas juta! Naik pitamlah ayahku. Dia tidak diakui menantu lagi. Ayahku mengirim surat pada mertuaku, menyatakan putus hubungan. Dan aku disuruh memilih: ayahku atau Goffar. Sial-nya, kenapa aku sampai memilih dia! Jadilah aku pun ikut tidak diakui lagi sebagai anak!"
Tesa terdiam dengan hati kecut. Kiranya begitu sebabnya! Tidak dinyana tidak disangka begitu rendahnya Goffar! Dan dia masih berani-berani merayu serta memaksanya untuk kembali?! Apakah laki-laki itu betul-betul tak punya malu?!
"Yah! Aku perlu biaya banyak, Tes. Untuk membayar utang ke sana-sini. Aku sudah me-nunggak rekening listrik enam bulan! Rumah ini pun rasanya hams aku jual, Tes! Begitu ada yang cocok harganya, pasti aku lepas."
"Sudah ada yang menawar?"
"Belum. Habis tak ada lagi teman atau kenal-an yang datang kemari."
"Kenapa enggak pasang iklan?"
"Aku tak punya uang."
"Mau aku tolong pasangkan?"
Seketika itu Tesa melihat Shakira mau mengangguk. Namun entah kenapa, tahu-tahu dia menggeleng.
"Tanpa iklan, takkan ada orang yang tahu. Sampai kapan rumah ini akan terjual?"
"Ah, aku tak mau menyusahkan engkau!"
"Enggak, kok. Aku tinggal minta tolong orang kantor yang biasa mengurus pemasangan iklan-iklan perusahaan kami."
"Ah, nanti aku jadi berutang budi padamu! Belum lagi soal pengobatan anakku nanti...."
Tesa mengeluh dalam hati. Dalam keadaan kepepet begini masih mau bersombong-sombong!
"Itu gampang diatur, Shak. Nanti kalau rumah ini sudah terjual, kau bisa membayar kembali ongkos pemasangan iklan itu. Bagaimana?"
Tesa tidak tahu, justru itu yang ditakutkan oleh Shakira! Lama dia terdiam. Tesa menegaskan dua-tiga kali, tapi dia tetap tidak menyahut. Setelah disepak berulang-ulang, barulah dia ber-sedia buka mulut.
"Berapa... yang akan kauminta nanti?"
Tesa tercengang tak mengerti. Jadi dia tak bisa menyahut selain, "Apa maksudmu?"
"Kau tahu, dalam jual-beli rumah, perantara selalu mendapat dua persen dari penjual dan dua persen dari pembeli, tapiii... aku rasanya tak sanggup memberimu lebih dari... ehm... setengah persen!"
"Oh, Shakira!" seru Tesa antara sebal dan ka- sihan. "Aku mau memasangkan iklan itu se-mata-mata untuk menolongmu! Aku tidak ingin menjadi perantara dan kau tak perlu memberi aku sesen pun!"
Barulah sekarang Shakira kelihatan lega dan mau dipasangkan iklan. Tesa bangkit lalu me-ngeluarkan dompet dari tas gantungnya.
"Aku rasa sudah saatnya anakmu kubawa. Kau tentunya perlu uang juga untuk nanti me-nengoknya. Ini lima ribu." Tesa menyodorkan selembar lima ribuan, tapi Shakira menolak.
"Ah, tak usah. Jangan. Aku takkan mene-ngoknya, kok. Aku rasa tidak perlu. Di sana dia akan dirawat dengan cukup baik, bukan? Dan kau nanti^mau membawanya pulang kembali, kan?"
"Kalau aku sempat, boleh saja. Tapi kau sendiri pasti perlu uang juga untuk sehari-hari. Anakmu yang sulung itu perlu banyak buah-buahan dan obat Ayo, ambillah. Jangan sung-kan."
Tesa menjejalkan uang itu ke telapak tangan Shakira.
"Karena kau begitu memaksa, baiklah!" katanya menghela napas seakan terpaksa.
"Tapiii...kalau begitu, gimana kalau aku sekalian saja minta pinjam... dua puluh ribu?"
Bagian gawat darurat pada jam begini biasa-nya sepi. Tapi siang itu kebetulan ada tabrakan berantai. Tiga mobil sekaligus saling cium. Yang jadi korban lima orang, dua di antaranya parah sekali.
Di tengah keributan begitu muncul Tesa dengan kostumnya yang apik dan sepatunya yang canggih, menggendong seorang balita yang dekil banget.
"Mungut di mana, Bu?" tanya seseorang keheranan.
"Huss!" sergah temannya mungkin. "Jangan -jangan itu anaknya sendiri! Dibilang mungut!" "Habis! Seperti gembel dari emperan warung,sih!"
"Ketabrak apa, Bu?" tanya seorang suster yang tengah sibuk pegang gunting dan perban. Dia cuma menoleh sekilas.
"Muntaber," sahut Tesa dan beberapa orang yang sudah berkerumun, mendadak jadi minggir, rupanya takut ketularan. Sebagian malah sudah menutupi hidung dengan tangan.
"Taruh saja di situ," perintah suster itu sambil menunjuk dipan kosong dengan dagunya. Tesa cepat-cepat menurut. Dia khawatir anak itu nanti mencret lagi dan kena pakaiannya. Dia kan masih harus kembali ke kantor....
Seorang perawat senior muncul dari ruang sebelah dalam. Matanya yang sem pat segera tahu bahwa Tesa tadi belum menjelma di situ.
"Kenapa?" tanyanya mendongakkan muka.
"Muntaber, Suster. Tolong cepat di..." bisik Tesa yang sudah makin khawatir melihat anak itu diam saja.
Sejak di mobil tadi, dia tidak bergerak seinci pun dari tempatnya di bangku belakang. Dia sungguh khawatir jangan-jangan pertolongan sudah terlambat.
Perawat gemuk setengah umur itu melirik sekilas lalu dengan tenang menyalahkan.
"Kenapa baru dibawa sekarang, Bu? Anaknya sudah soporokomateus"
Tesa makin ketakutan. Dia tak usah mengerti istilah yang dikatakan tadi, sebab wajah suster itu sudah menjelaskannya. Dia kini mengambil sehelai kartu merah, lalu duduk di belakang meja tanpa menyilakan Tesa ikut duduk. Di situ memang tak ada kursi lain. Kursi kedua telah diisi oleh perawat yang tengah sibuk main gun-ting dan perban merawat seorang pemuda yang rupanya salah satu korban tabrakan berantai tadi.
Terpaksa Tesa berdiri di depan meja.
"Nama orangtua?" tanya perawat, siap dengan bolpen.
"Goffar!" sahutnya tak bisa berpikir lama-lama. Suster itu kelihatannya sibuk banget.
Tubuhnya bergoyang-goyang, seakan setiap saat mau bangkit terus dari kursi. "Nama pasien?"
Mati, nih! Aku lupa menanyakan siapa nama-nya! Shakira juga tidak memberitahu. Gimana ini? Suster menatap dari balik belingnya dengan sedikit heran. Tentu saja aneh kalau dia tak tahu siapa nama anak yang dibawanya. Salah-salah dia bisa dituduh menculik.
Dalam keadaan bingung, cuma satu nama yang muncul dalam benaknya. Itu pun karena nama itu memang tak pernah absen dari pikir-annya, walau dalam tidur sekalipun.
"Pasha!"
"Umur?"
"Setahun lebih."
"Berapa bulan?"
Ini sih mirip Cerdas-Cermat, pikirnya. Dia tidak dibcri kesempatan lama untuk berpikir. Karena anak itu kelihatan kecil dan kurus, maka sekenanya saja dia menebak.
"Empat bulan."
"Setahun empat bulan," gumam suster sambil menulis. Lalu menyusul ditanyakan alamat, dan pekerjaan orangtua. Setelah itu riwayat penyakit. Di sini Tesa terpaksa mengarang bohong saja, habis daripada gelagapan terus seperti orang bego.
Setelah suster merasa puas dengan wawan cara itu, barulah dihamplrinya sang pasien.
"Anak ini mesti diopname, Bu."
Itu sudah diduganya. Tapi berapa lama?! Soalnya, dia yang haras menanggung, jadi mesti I disiapkannya biaya yang cukup.
"Berapa lama, Suster?"
"Oooh, sudah gawat begini, paling sedikit sepuluh hari! Itu, kalau dia enggak jalan malam ini juga!"
Tesa merinding mendengar nya. Dalam hati dia berdoa semoga Tuhan berbelas kasihan pada anak yang malang itu.
"Tolong Suster, dirawat sekarang juga."
"Ya, sana, pergi ke kasir dulu, bayar uang jaminan!" Lalu suster berjalan pergi meninggal-kannya tanpa kesempatan membantah atau ber-tanya.
Terpaksa Tesa berlalu, setelah tanya sana-sini di mana letak kasir. Dia tidak membawa uang banyak. Dua puluh ribu sudah diberikannya pada Shakira. Yang tersisa mungkin cuma tiga puluhan. Mudah- mudahan boleh sebagai uang muka. Sisanya akan disetorkannya besok.
Untung hari ini dia membawa uang begitu banyak. Biasanya tak pernah lebih dari dua puluhan, sebab tak ada keperluan. Paling- paling untuk uang bensin atau jaga- jaga siapa tahu mobilnya mogok di tengah jalan lalu perlu bantuan dido-rong. Selain itu, tak ada keperluan apa-apa.
Sepulang kantor, dia hampir selalu langsung ke rumah. Pada jam istirahat siang, rekan-rekannya senang berkeliaran di bawah, di pusat pertoko-an. Kantor mereka terletak di tingkat kedua puluh enam. Terkadang dia ikut juga, tapi cuma sekadar melemaskan otot-otot kakL
Sebenarnya kasir menuntut paling, sedikit separo dari perkiraan ongkos perawatan. Tesa memohon pertimbangan.
"Ini peraturan, Bu. Uangnya bukan untuk saya!" sahutnya ketus.
"Saya tahu," ujar Tesa sesabar mungkin.
"Tapi saya telanjur cuma membawa uang segini. Besok pagi akan saya serahkan sisanya."
Kasir yang kurus dan nyureng itu menatap Tesa dari balik kacamata yang melorot turun. Ditaksirnya baju Tesa yang rapi serta dandanan-nya yang anggun. Bukan orang miskin, pikir -nya. Tapi, siapa tahu?! Kaya, miskin, kalau ada kesempatan lari tanpa bayar, semua mau! pikir-nya.
"Ada KTP?"
Tesa mengangguk, mengeluarkan benda ituI dan menyerahkannya. Kasir mencatat KTP itu dengan teliti. Keningnya berkerut beberapa kali —dan Tesa ketawa dalam hati: rasain!—sebab angka-angka dari komputer itu banyak yang tak terbaca, buram cetakannya.
"Tapi besok pagi sisanya mesti betul-betul diserahkan, ya?!" ancam kasir sambil mengembali-kanKTP.
Tesa mengangguk setengah mau bersumpah. Setelah selesai membayar, dia balik bergegas ke ruang gawat darurat. Dilihataya di kaki "Pasha" sudah terpasang infus, sehingga dia merasa lega sedikit.
Perawat senior itu muncul kembali dari dalam. Tesa memperlihatkan tanda bayar. Perawat membelah dua kertas itu pada bagian yang di-tandai, lalu menahan sebelah. Belahan yang lain dikembalikannya.
"Bolehkah saya pulang sekarang?" tanya Tesa.
"Tidak mau ditunggui?"
"Saya harus ke kantor."
"Baiklah kalau begitu. Alamat dan nomor telepon sudah Ibu berikan tadi, bukan?"
Tesa mengangguk, lalu berbalik dan melang-kah pergi. Baru kira-kira beberapa meter, dia merasa seakan namanya dipanggil. Tapi karena di situ penuh orang, dan dia yakin tak ada yang mengenalnya, maka disangkanya orang Iain yang dipanggil. Mungkin nama orang itu bunyinya kebetulan mirip dengan "Tesa", pikir-nya.
Namun sebenarnya dia agak keliru. Memang namanya yang dipanggil. Dan orang yang me-manggilnya jadi termangu ketika gadis itu tidak menoleh. Orang itu kebetulan keluar dari ruang dalam ketika Tesa pas membalikkan badan. Sesaat dia tertegun seakan kurang yakin akan penglihatannya. Tapi kemudian dia berseru ter-tahan, "Tesa!"
Ketika gadis itu terus saja melangkah, dia menarik napas seakan mengeluh. Perawat yang sejak tadi memperhatikan di sebelahnya, kini. menyodorkan kartu merah ke depan wajahnya.
"Dokter Solem, itu pasiennya."
Yang dipanggil menoleh, lalu berdehem untuk menghilangkan salah tingkahnya barusan.
"Muntaber? Setahun empat bulan?" Tiba-tiba dia berhenti membaca. Bibirnya setengah ter-buka, matanya nyalang menatap tulisan suster. Goffar! Pasha! Jadi, tidak salah! Barusan dia bukan bermimpi!
Ah! Dia kembali pada Goffar!
"Ada apa, Dok?"
"Oh, eh, anu, Suster Rani, coba bawa kemari tensimeter!"
(alat pengukur tekanan darah.)
Bersambung #7
Rupanya hari itu memang dia sedang naas. Baru saja dijejakkannya kaki di tingkat dua, matanya sudah melihat malapetaka. Pasha tengah berdiri di depan pintu kamarnya. Tesa mengeluh dalam hati. Yah, mudah-mudahan dia sedang menunggu orang lain, pikirnya sambil mau berlagak formal. Dia akan tersenyum, me-nyapa selamat siang, lalu berbelok dan naik ke tingkat tiga. Tapi tidak. Agaknya Pasha memang sedang menunggunya! Oh, dasar sedang sial! Sebelum dia sempat berbelok, bahkan sebelum dia bilang halo, pemuda itu sudah mendekatinya. Lang-kahnya mengerikan sekali panjangnya. Dalam sekejap dia sudah berada di sampingnya, meng-halangi jalannya. Naik ke tingkat tiga tak bisa, mau turun ke bawah lagi pun tidak mungkin. Di belakangnya tembok dan di depannya sepa-sang lengan yang kuat. Pelan -pelan, tanpa disadarinya, dia dihalau ke sudut, ke depan pintu kamar, tepat di bawah tangga.
Tesa memutuskan untuk tidak memperlihatkan rasa takut. Dia berusaha tersenyum meya-kinkan. "Ah, halo, Pas, selamat siang. Rupanya kau enggak kuliah, nih?"
"Aku sengaja menunggumu!" sahut yang di-tanya tanpa senyum.
"Oh!" Tapi jangan biarkan dia tahu bahwa kau takut! pikirnya dengan gagah. "Ayo, deh, aku mau ke atas. Telat, nih!" ujarnya seringan mungkin, seakan tidak mengerti maksud ucap-an Pasha.
"Mereka sedang ada urusan keluar, Tes. Ke-duanya tidak di rumah."
"Lho! Ah, masa?! Mereka tidak memberitahu!"
"Sebetulnya aku harus meneleponmu tadi pagi. Roger, si kakek, sudah menelepon ke asramamu, tapi tak ada yang mengangkat."
"Aku kuliah pagi-pagi. Dan anak-anak lain rupanya pergi semua." "Nah, lalu dia minta aku yang menghubungi kau! Tapi aku sengaja membiarkanmu datang,sebab ada yang mau aku bicarakan. Marilah masuk!"
"Sorry, enggak bisa. Aku harus segera pergi lagi," kata Tesa dengan lagak orang yang banyak urusan.
"Ke mana?'' tanya Pasha dengan kening ber-kerut. "Bukankah ini jam untuk kasih les? Dan sekarang lesnya batal? Berarti kau bebas, dong! Benar, enggak?!" Tesa menghela napas. Dia tahu kebandelan Pasha. 0, ya dia masih ingat waktu dia tak mau beranjak dari jendela walaupun udara dingin! Waktu dia ogah makan obat! Waktu dia...
"Ayolah masuk!"
Tesa menggeleng. "Pasha, janganlah menambah lagi kebencian Pika padaku! Dia sekarang sudah jadi musuhku, tahu!"
"Musuhku juga”
"Apa maksudmu?"
"Tes, aku sudah putus dengan Pika!"
"Itu urusanmu! Asal jangan gara-gara aku!" Tiba-tiba Tesa terkejut, baru menyadari apa yang didengarnya. "Eh, apa katamu?!"
"Iya, betul! Dia sudah meninggalkan aku. Katanya, minggu depan atau bulan depan, dia pasti akan bertunangan dengan Michael!"
"Michael?! Oh!"
Tesa mengeluh. Tentu ini gara-gara dirinya! Kenapa sih dia sok iseng main-main ke tempat pacar orang? Akibatnya sekarang mereka berantakan.
"Maafkan aku," bisiknya dengan mata ber-linang. "Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membujuknya..."
Pasha menggeleng. "Tak perlu. Aku tidak mau memaksanya. Hubungannya dengan Michael bukan hal baru bagiku, Tes. Aku takkan heran bila dia menggunakan kesempatan itu untuk melaksanakan keinginan hatinya." "Maksudmu... mereka sudah lama...?" « Pasha mengangguk dengan wajah sendu."Aku yakin begitu! Ah, sudahlah. Tak usah panjang-panjang mempercakapkan orang lain. Yang sudah basi terpaksa dibuang saja, tak gu-na ditangisi."
Tesa terdiam. Dia teringat pernah beberapa kali melihat Pika dan Michael berduaan. Sikap mereka memang kelihatan dekat, tapi dia tidak pernah mengira bahwa kedua nya begitu intim!
"Eh, kok jadi melamun? Yuk, masuk sekarang? Mau, dong?!" Untuk pertama kalinya Pasha kelihatan tersenyum menawan.
Tesa menatap matanya yang bulat kehitaman. Dia menimbang-nimbang beberapa saat. Memang diakuinya, dia tergoda untuk masuk, Les batal. PR dari kuliah sudah dibuatnya. Di asrama sendirian pasti membosankan. Dan... bukankah Pasha kini sudah bebas?! Tak ada orang yang akan marahl
Tapi akhirnya dia terpaksa menggeleng, membuat binar-binar di mata
hitam-bulat itu redup disergap kecewa. Tesa memutuskan tak mau mencari keruwetan, sebab rupanya pacaran selalu mengundang problem baginya. "Sorry, Pas, aku tak bisa!"
Dia berbalik mau menuruni tangga, tapi Pasha mencekal lenganya dan
mendesaknya ke tembok. Dikurungnya Tesa dan didekatkannya wajahnya.
"Kau sebenarnya menyukai aku, bukan? Karena itu kau tahan merawat aku
setahun lebih, bukan?" bisik Pasha berdesah sambil menatapnya lekat-lekat Tesa membuang pandang ke samping dan pura-pura mendengus dengan suara tidak sabaran. "Oh, aku melakukannya demi uang belaka, kau sudah lupa? Aku butuh uang waktu itu! Sangat butuh Ayo, biarkanlah aku berlalu!"
Tapi Pasha tak mau melepas kurungannya. "Kau sungguh tidak menyukai diriku?" desaknya.
"Kalau seperti yang kaumaksud, jawabnya tidak!"
"Kau bohong!" tuduh Pasha dengan mata melotot, tapi suaranya setengah putus asa.
Tesa tidak sampai hati melihatnya kecewa begitu. Dia tersenyum.
"Tentu saja aku menyukaimu, Buyung!"
"Nah, kan?!"
"Seperti aku pun menyukai teman-teman Iain!"
"Ah, bohong! Dengan aku pasti tidak sama! Ya,kan?"
"Terserah, deh, kau mau percaya atau tidak!"
"Ya, kan?!" seru Pasha penasaran.
Tesa mengibaskan lengan yang mengurung-nya. "Aku mau pulang sekarang!" Tapi kurungannya tak berhasil didobraknya. Dilihatnya pemuda itu seakan makin nekat mau menahan-nya.
"Siapa sih nama orang itu, eh, setan itu yang sudah menghancurkan hatimu? Sampai kau tak sudi percaya pada laki-laki lagi?!"
Wajah Tesa menjadi merah. Dia sudah hampir menyemprot, "Itu bukan urusanmu!" Tapi Pasha sudah memberondong terus, "Atau bahkan membuatmu takut pada mereka?! Siapakah namanya?"
Pasha menatapnya dengan mata kembali berbinar. Tesa mengelak tanpa disadari. Se-konyong-konyong dia merasa kikuk, padahal lebih dari setahun laki-laki itu berada dalam belas kasihannya. Kalau lapar, dia akan merengek minta makan! Terkadang kepingin makan kue dadar seperti orang ngidam! Malah menangis tanpa malu-malu kalau sudah kesal memikirkan nasib! Dan sekarang...! Dia berani banyak tingkah?!
"Bukan Pasha, kan?" sambung pemuda itu nyengir sebelum Tesa sanggup memutuskan bagaimana akan menghadapinya. Semua terjadi dalam sekejap
mata. Pasha menunduk dan me-ngecupnya. "Sudah lama ingin kulakukan," bi-siknya.
Tesa menunduk tanpa berkutik. Dia sungguh menyesal kenapa datang ke situ hari itu. Coba, dia berlagak sakit dan menelepon Nenek Graham...! Huh! Dia menghela napas, rasanya kok makin kikuk?! Tapi nasi sudah menjadi bubur. Apa boleh buat.
"Tes, tubuh manusia itu mengenal reorganisasi. Artinya, yang rusak atau sakit akan diganti dengan yang baru. Begitu juga perasaannya. Apa yang dulu terasa menyakitkan, lama- lama akan hilang. Kecewa, frustrasi, penasaran, sakit hati, semua itu tidak kekal. Pasti akan dire-organisasi menjadi rasa senang, sentosa, bahagia, dan puas. Asal... kita mau berusaha me-nyembuhkannya. Patah tumbuh hilang berganti, Tes. Buat apa yang tidak setia dipikirkan terus? Cuma membuat uban tumbuh! Suatu waktu kau pasti akan menyadari, kau tak mau memikirkan masa lalu terus. Juga tak ada gunanya. Dan tak pantas memberi kehormatan seperti itu bagi pengkhianat. Buat apa membikin dirimu merana bagi makhluk yang tak punya perasaan halus? Tes; yuk, mari masuk. Bantu aku mengetik makalah. Nanti aku buatkan kau kue dadar yang lezaaat! Ayo, bilang, siapa sih namanya?"
"Goffar!" bisiknya tanpa disadari.
***
Pika pindah ke asrama Michael yang terletak di sebelah barat kota, dekat taman indah. Tak berapa lama pun anak-anak lain sudah tahu bahwa dia telah putus dengan Pasha dan kini beralih pada Michael. ;
Tesa ingin menyembunyikan dulu hubungan-nya dengan Pasha, namun pemuda itu rupanya tak bisa gampang-gampang digebah. Setiap akhir pekan dia pasti muncul di asrama, ikut meramaikan acara makan mereka. Seperti biasa, tiap hari Minggu mereka masak bersama, masing-masing satu macam, lalu disantap beramai-ramai. Tentu saja teman-temannya segera mencium bau sangit dan yang paling uring-uringan adalah Nopi.
"Habislah sekarang harapanku!" keluhnya tanpa menjelaskan harapan macam apa.
"Kan masih ada aku!" sambut Atina yang rupanya paham.
"Nanti dulu, ah! Tunggu tahun dua ribu! Kalau aku masih belum mati dalam perang nuklir, dan semua perempuan lain sudah cacat, nah!" katanya mengangkat bahu seakan menyerah. Atina ingin sekali mencekokkan sesendok sambal ke dalam mulutnya. Sayang waktu itu terlalu banyak orang, dan dia segan menjadi sumber gosip.
Tesa terpaksa membiarkan Pasha datang se-maunya, sebab dianggapnya itu lebih mending daripada berduaan saja di tempat Pasha.
"Kalau kau enggak mau aku muncul di asra-mamu, terpaksa harus kau yang datang ke tempatku I Kalau enggak pernah ketemu, enggak lucu, dong, kan namanya pacaran!" kata Pasha tempo hari.
Tesa masih ragu terhadap hubungan mereka. Dia bimbang. Di satu pihak, dia enggan pacaran sekali lagi—setelah riwayatnya dulu bersama Goffar—terlebih dengan bekas pacar orang. Memang betul, dia tidak merebutnya— terang-terangan—tapi kalau tak ada dirinya, apakah Pika dan Pasha pasti akan bubar?!
Pertanyaan itu acap kali menghantui pikirannya dan tak ada jawaban yang bisa meyakinkannya bahwa dia sama sekali tak bersalah. Dia sadar, Pasha menaruh hati padanya sejak tahu siapa dirinya. Selina yang dicari-cari! Bidadari Tuan Solem! Oh, - kawan -kawan Pasha masih juga melontar kan olok-olok itu bila mereka melihatnya berjalan di samping Pasha Solem.
Walaupun Tesa selalu ingin menghindar, namun Pasha justru tampaknya seakan ingin me-mamerkan dia terus. Setiap ada acara di fakultasnya, Tesa pasti diundang. Tapi dia sering juga diajak ke sana walau tak ada acara apa-apa. Tentu saja tak pernah terpikir oleh Tesa bahwa Pasha mungkin cuma ingin memanaskan hati bekas pacarnya. Sebab mereka kerap kali ketemu di halaman atau perpustakaan uni. Pika memang tak pernah ramah sejak dulu padanya. Kini dia sudah mau menyapa, tapi sikapnya tidak hangat. Dan Tesa sedapat mungkin selalu men-jauhinya. Dia tak bisa terlalu menyalahkan. Seandainya Pika masih mencintai Pasha, pasti dia akan sakit hati benar. Untunglah, tampaknya dia sudah melekat pada cowok pirangnya.
Yah! Tesa bimbang di satu pihak untuk menerima Pasha seterusnya. Namun di lain pihak, dia tak dapat menyangkal perasaan hatinya sendiri. Pasha memang menarik! Sekeras-kerasnya batu karang, kalau digempur badai sepanjang tahun, lama-lama pasti berlubang juga. Begitu pula dengan pertahanan hatinya.
Pasha seorang laki-laki yang teguh kemauan-nya, sukar dielakkan, penuh perhatian, hangat, namun tegas. Sejak dia memutuskan untuk mendapatkan Tesa, rasanya sulit sekali bagi gadis itu melepaskan diri. Itu pun kalau dia sungguh-sungguh ingin lepas...!
Dalam kebimbangan begitu, hubungan mereka berjalan terus. Malahan makin erat. Ketika sebulan kemudian Pasha tertimpuk bola tenis, Tesa tahu-tahu mendapati dirinya sudah terjerat. Aku tak bisa lagi melepaskan diri, pikirnya. Aku sudah telanjur jatuh cinta!
Cedera itu rupanya hebat sekali, sampai retina pada mata kiri itu terlepas di tempat yang dulu dioperasi. Terpaksa Pasha harus masuk lagi ke rumah sakit.
Selama Pasha diopname, siang-malarn Tesa memikirkan keselamatannya. Apakah operasi itu akan berhasil?! Apakah penglihatannya akan pulih seperti semula?! Apakah akan timbul komplikasi?! Apakah dia masih perlu dioperasi sekali lagi?! Apakah hal seperti itu akan bisa terulang kembali?! Apakah untuk selamanya dia takkan boleh main tenis lagi?! Apakah... oh! Rasanya dia hampir gila memikirkan pemuda itu. Setiap kali ada waktu luang, dia pasti ber-gegas ke rumah sakit menjenguk Pasha. Untunglah waktu opname cuma seminggu. Ketika dia datang untuk membawa Pasha pulang, pemuda itu tengah menantikannya. Dari balik kacamata hitam diawasinya pintu masuk ke kamar. Begitu Tesa muncul, dia segera berdiri dari kursi. Melihat wajahnya yang cerah, gadis itu segera menduga bahwa operasinya telah berhasil dengan memuaskan. Tapi dia tidak ber-siap-siap untuk menerima pelukan demikian erat.
"Aduh!" serunya menggoda. "Aku hampir tak bisa napas, nih!"
"Oh, sorry," seru Pasha tersipu. "Habis, aku kelewat girang, sih! Tes, mataku sudah pulih lagi seratus persen! Dan aku juga tak perlu dioperasi lagi! Ajaib enggak, tuh?! Semula aku sudah takut, mataku ini bakal tamat riwayatnya dan perlu dicongkel! Hiii! Ternyata..."
"Oh! Sungguh? Wah, harus dirayakan, tuh!" cetus Tesa, namun dia segera menyesal sudah terlepas omong.
"Ya, ya, ya, tentu saja! Kita masak-masak di tempatmu! Kita undang semua kawanku!" seru Pasha nyaris berjingkrak kegirangan.
Tesa meringis dalam hati. Maksudnya tadi kan hanyalah makan berdua saja, dengan lilin bunga. Bukannya pesta...
"Eh, Tes! Aku punya ide, nih! Kenapa kita enggak mau sekalian tukar cincin?" Betapa terkejutnya Tesa. Sesaat dia mengawasi Pasha tanpa mampu buka mulut. Ketika kemudian dipaksanya menjawab, suaranya ga-gap-
"Ta... tapi... Pika kan be... lum ka... win, eh... tu... nang... an... de... ngan Mi....chael!"
"Itu urusan mereka! Pokoknya kami sudah resmi putus! Ibuku sudah aku beritahu!"
"Ta... pi... ibu... ku... be... Ium! Kita kan enggak mungkin main tukar cincin sembarangan? Kita ha... rus memberitahu dulu, dong!"
"Ah, ini kan belum upacara nikah, Tes! Baru simbol saja untuk menunjukkan, kau sudah jadi milikku, dan Nopi-babi itu jangan coba-coba naksir kau lagi! Pada ibumu dan ibuku, kita akan memberitahu tentu saja. Secepatnya! Oke, ya?"
"Pas, kalau cuma takut sama Nopi, enggak usah tukar cincin dulu, deh. Aku jamin, dia takkan berhasil mencuri hatiku. Kalau aku mau dengannya, kenapa enggak dari dulu saja waktu kau masih bersama Pika?! Pendeknya, kalau cuma Nopi, beres, deh. Tak usah khawatir. Eh, kalau wajahmu cemberut, gantengmu berkurang, Iho!" Tesa mencoba berkelakar dan mengalihkan topik.
"Siapa tahu bukan cuma Nopi, tapi masih ada yang lain?" tukas Pasha kepala batu.
"Sudah, ah, jangan bicarakan hal itu lagi, aku enggak suka," Tesa berlagak mengajuk dan Pasha takut jangan-jangan nanti dia marah sungguhan lalu lari! jadi dia terpaksa menurut dan mengerem mulutnya.
"Ayo, buka dong kacamatamu, biar aku pan-dang lagi matamu yang cakep!" "Aku belum boleh kena sinar, Tes. Tapiii, eh, sejak kapan kaulihat mataku...
"ehm ... cakep?!" Suara Pasha mirip betul anak kecil, sehingga Tesa hampir tak bisa menyembunyikan geli hatinya.
"Sejak dulu, dong! Masa mendadak saja? Yuk, sudah beres tas dan barang-barangmu? Kita pu-lang sekarang saja."
Tesa cepat-cepat mengajaknya berlalu sambil pura-pura tidak melihat betapa cerah senyum di wajah si ganteng. Dasar cowok zaman sekarang, pikirnya geli. Perlu juga rupanya disebut cakep dan ganteng! Huh, kemayu!
pikirnya makin geli, melihat Pasha kembali menghampiri cermin di atas wastafel.
"Tahan, tuh! Enggak kalah dari cewek rupanya!" seru Tesa, maksudnya tentu saja genitnya itu. Tapi sang arjuna malah jadi tersipu, rupanya salah paham.
"Ah, bisa saja kau, Tes!"
"Memangnya aku bilang apa, sih? Bahwa kau enggak kalah cakep dengan cewek? Hiii, mau mu!" Tesa tak tahan harus menggoda.
"Awas kau, monyet! Nanti kau! Aku sekap kau di... eh... eh... eh... jangan tinggalkan aku, dong! Gimana aku mesti pulang sendiri?"
"Monyet mana bisa mengantar kau pulang?"
"Lidahku keseleo. Bidadari, maksudku. Ayo, bidadariku, antar aku pulang... nyet!" Pasha me-nambahkan yang terakhir dengan suara pelan. Geram juga hatinya diolok-olok barusan. Kalau tidak dibalasnya nanti, hm! Pikirannya sudah melambung dalam angan-angan bagaimana ca-ranya membuat cewek cakep minta-minta am-pun, menyembah Duli Yang Dipertuan Agung Pasha Solem!
Pesta untuk merayakan kesembuhan Pasha berlangsung murah serta meriah. Pika sebenarnya tidak diundang, sebab dia sudah pindah asrama, tapi entah bagaimana rupanya dia tahu di dapur ada pesta. Tahu-tahu dia muncul ber-sama Michael. Seketika suasana jadi sepi. Tapi seakan tidak menyadari keadaan, Pika terus nyelonong masuk seraya berseru, "Mau numpang makan, boleh enggak? Mana nih nyonya rumahnya?"
Tesa yang tengah berdiri depan oven mem-belakangi pintu, segera menoleh. Seketika itu wajahnya kelihatan kaget dan bingung melihat siapa yang datang. Otomatis matanya melirik ke arah Pasha yang tengah mengeluarkan kaleng-kaleng bir dari lemari pendingin. Pasha sedang sibuk dan tak bisa ditanyai. Aku harus menangani sendiri!
"Oh, tentu saja boleh, Pik! Silakan! Kebetulan kita sedang kekurangan orang untuk nanti mencuci piring!" seru nya, bersyukur dalam hati sudah berhasil menjawab dengan cepat, sehingga suasana tidak menjadi kikuk. Anak-anak lain pun segera bersorak menyetujui usul Tesa.
"Buset! Kalau begitu aku ke sini cari peng-gebuk, ya!" Suasana pun menjadi makin meriah. Bahkan Pasha jadi asyik ngobrol dengan Michael. Keduanya memang sudah saling kenal di kuliah.
Demikianlah hubungan Tesa dan Pasha sema-kin erat serta mesra. "Setelah pelajaranmu selesai nanti, sebaiknya kau jangan. langsung pulang," usul Pasha pada suatu kali. "Teruskan saja mengambil kursus komputer sambil menemani aku kuliah. Nanti kita pulang sama-sama."
Tesa sih setuju saja. Cuma persoalannya, dia tak punya biaya lagi. "Kasihan kan morot terus dari Mami," dalih-nya.
"Kalau aku pulang, bisa langsung cari duit buat bantu Mami."
"Soal biaya, kau tak usah pusing, Tes. Kalau kita sudah resmi, pasti orangtuaku takkan keberatan membiayai kau juga!"
"Nanti deh kita bicarakan lagi kalau sudah tiba waktunya," sahut Tesa mengelak. Bukan pertama kali itu Pasha mengiming-iming bahwa dia ingin mereka secepatnya menikah. Tak usah tunggu sampai pulang dulu ke rumah. Dan Tesa belum berani mengabari ibunya mengenai pacar barunya ini. Ibu pasti enggak setuju kalau dia mau terburu-buru. Perkawinan adalah ikatan seumur hidup, pasti begitu nasihat ibunya, jadi harus dipikirkan matang-matang.
Tapi di kemudian hari, Tesa tidak begitu yakin lagi akan kemantapan nasihat itu. Dia terkadang melamun, ah, seandainya saja dia tidak terlalu lama membuang waktu untuk berpikir sampai matang! Ah! Dan saat itu dia cuma bisa mengeluh penuh sesal.
Hari itu mereka berdua sudah berjanji akan pergi ke kebun binatang. Seperti anak kecil, sejak kemarinnya Tesa sudah kegirangan sampai susah tidur. Pagi itu tingkahnya seperti cacing dimandiin abu. Sebentar-sebentar dia berden-dang atau mondar-mandir dari kamar ke dapur tanpa tujuan tertentu.
"Waduh! Kelihatannya senang betul! Lagakmu seperti orang kena lotre saja, nih, Tes!" kata Sabita, kepingin ikut kebagian.
"Ada yang ditunggu? Kok belum muncul, ya," sindir Atina.
Nopi sok tahu.
"Bukan nunggu, kok!" bantahnya
"Kau mau bikin janji denganku, tapi malu banyak orang! Iya, kan?! Ini sih, cecurut-cecurut enggak mau pada nyingkir!"
"Siapa yang kausebut begitu?" seru Atina penasaran. Tampangmu sendiri enggak lebih mending dari nyingnying."
"Eh, kalau memang yakin kau bukannya cecurut, kenapa mesti nasping?" Nopi ketawa terbahak.
"Sudah, ah. Kok jadinya berantem pagi-pagi begini?" Tesa mencoba mendamaikan, tapi Atina malah mendelik pada Nopi sambil melirik ke cangkimya seakan kepingin membubuhi racun. Tesa berniat mengalihkan pembicaraan, ketika Nurul dan Ria tahu-tahu mendobrak pintu dapur seakan terjadi kebakaran, lalu menatap mereka dengan napas tersengal-sengal.
Nopi segera memanfaatkan kesempatan bagus itu untuk meluaskan pandangan. Kedua gadis itu mengenakan jeans dan T-shirt ketat, sehingga pemandangan alam bukan main me-mukaunya. Ria segera menyadari dan menyem-protnya, "Hei, mata keranjang! Jangan pandangi aku seperti itu! Kualat nanti, ujianmu jeblok!"
"Eh, aku kan sedang menghitung gerak napasmu, kok malah disumpahi?! Kalau kau napas terlalu cepat, kan bisa bahaya, tuh!" sergah Nopi padahal dia memang sedang cuci mata.
(anak tikus)
Habis kapan lagi bisa melihat bukit-bukit naik-turun begitu indah, pikirnya. Sangat bagus buat kesehatan mata! Daripada mesti pakai boorwater.
Nurul tidak ikut-ikutan nimbrung, sebab tak tahan lagi mau menyampaikan kabar yang me-ngejutkan.
"Pada belum tahu, kan? Pika di rumah sakit!"
"Haaa?!" semua tercengang. - "Kenapa dia?" tanya Sabita yang paling erat dengan Pika, temannya sejak di SMA.
Ria menarik kursi, lalu duduk. Dengan begitu dadanya jadi tertutup meja dan Nopi tidak bisa leluasa lagi menatapnya. Napasnya pun sudah lebih tenang. Nurul segera mengerti dan meng-ikuti contohnya.
"Pika kecelakaan bersama Michael!" kata Ria memulai.
"Oh!"
"Mereka baru pulang libur tiga hari ke rumah orangtua Michael. Kabarnya, Pika luka parah. Sekarang ini kami mau menengok. Ada yang mau ikut?"
Semuanya menyatakan mau.
"Aku beritahu Pasha dulu," kata Tesa tergesa-gesa menuju telepon. Tapi sampai lama dibiar-kannya pesawat itu berdering, namun sia-sia. Tak ada yang mengangkat.
"Barangkali dia sudah di jalan mau kemari," kata Tesa ketika kembali ke dapur dengan lesu. Tapi aku ikut kalian saja. Biar aku tinggalkan pesan baginya, supaya segera menyusul ke rumah sakit"
Namun betapa terkejutnya Tesa ketika mereka melangkah ke dalam lorong, lalu mengintai dari jendela kaca. Ternyata Pasha sudah berada di dalam kamar gawat darurat, tengah sibuk membincangkan beberapa buah gambar rontgen! Pasti dia bukannya sedang dinas jaga, pikir Tesa. Sebab hari ini kan mereka sudah punya rencana mau ke kebun binatang! "Sayang kita enggak boleh masuk!" tukas ¦ Sabita dengan kesal. "Aku ingin melihat dari dekat bagaimana keadaannya!"
"Itu memang sudah peraturan," kata Nopi yang selalu menerima keadaan apa adanya.
"Mungkin takut kita nanti menularkan kuman?
"Kan bisa pakai baju steril seperti Pasha itu!". cetus Atina yang juga mengkal.
"Tunggu saja apa kata Pasha kalau dia nanti keluar!" kata Nopi seakan mau menyabarkan.
Tapi yang ditunggu justru tidak keluar-keluar. Pasha memang tidak tahu bahwa teman -temannya sedang menantinya. Seorang perawat yang muncul dari dalam kamar segera disandera oleh Nopi dengan senyumnya yang cukup menawan para makhluk halus yang kesepian.
"Suster, kenapa kami tidak boleh masuk? Giliran satu-satu kan bisa?"
"Tidak bisa!" sahut perawat dengan bengis " Tuan Solem pun sebenarnya tidak boleh masuk. Tapi sang pasien terus-menerus meracau memanggilnya, jadi terpaksa diizinkan!"
Ketika Pasha muncul di luar kamar, yang pertama-tama dilihatnya adalah wajah Tesa yang pucat. Dia segera menghampiri dan me-meluknya, lalu mengajaknya duduk. Yang lain mengikuti seperti anak ayam takut kehilangan induk.
"Sorry, Tes, rencana kita ke kebun binatang batal!"
Tesa menggeleng. "Bagaimana keadaannya?"bisiknya dengan bibir gemetar.
Pasha juga menggeleng sambil mena'rik napas. "Cukup parah." Lalu dia bungkam.
"Parah bagaimana?" Sabita menegaskan dengan rasa tidak puas. Pasha kembali cuma menggeleng. Air muka-nya keruh sekali. Tesa menatapnya dan tiba-tiba dilihatnya setetes air bening bergayut di sudut matanya. Pasha menangis! Oh, kalau begitu pasti keadaan Pika sangat gawat!
"Apakah dia akan...?" Sabita tak mampu meneruskan.
Pasha lagi-lagi menggeleng. "Tak tahulah aku," keluhnya penuh kepedihan.
***
Kecelakaan itu ternyata amat hebat dan berbuntut panjang. Michael pincang kakinya dan harus memakai penyangga, entah untuk berapa lama. Pika memang akhirnya bisa selamat dari maut, namun pukulan yang fatal dialami oleh Tesa!
Pasha sengaja mengajaknya ke tempatnya agar mereka bisa bicara tanpa gangguan teman-teman. Tesa dibuatkannya kue dadar kesukaan-nya. Tapi gadis itu cuma berhasil menelan se-potong. Mungkin hatinya terlalu risau. Mungkin juga hati Pasha yang risau, sehingga adonannya kurang gurih.
Dengan telaten dilayaninya kekasihnya makan-minum seakan itu .perjamuan mereka yang penghabisan. Pasha bolak-balik ke dapur belasan kali seolah mau memperpanjang saat di mana dia harus membuka kartu, menuang ke-benaran. Tesa bangkit membawa gelas.
"Kau mau apa?"
"Mau mengambil air lagi."
"Biar aku yang ambilkan!"
Dengan sigap di-rebutnya gelas itu sampai Tesa keheranan.
"Enggak sari-sarinya kau seperti orang edan kerepotan begitu!" Tapi Pasha tidak menanggapi seakan tidak mendengar. Ketika gelas diserahkan, Tesa menumpahkannya sedikit ke atas pakaiannya.
"Wah, aku kelupaan bawa saputangan!" ke-luhnya. "Di mana tisumu?"
"Aku ambilkan!" Dan Pasha pun kembali ke belakang setengah berlari. Tesa mengerutkan kening sambil menggeleng. Rupanya dia mau menebus rasa kangennya sejak sebulan merawat Pika, pikirnya tersenyum. Setelah akhirnya tak ada lagi yang bisa dikerjakan, dengan ngeri Pasha terpaksa menjatuhkan diri di samping Tesa. Sofa panjang itu terkadang digunakan sebagai tempat tidur kalau ada temannya menginap. Biasanya mereka duduk berimpitan, namun kini Pasha agak menjauh beberapa belas senti.
Setelah menahan napas dan mengeluh panjang-pendek dalam hati, akhirnya saat itu pun tiba.
Tesa termangu mendengarkannya seakan kurang percaya atau bahkan tidak mengerti. Pasha mengulangi seolah mau meyakinkan dirinya bahwa dia tidak salah bicara.
"Pika sekarang lumpuh, Tes. Dia perlu perawatan jangka panjang. Dan...
dia memohon agar aku sudi kembali padanya. Dia ingin dirawat olehku!"
Seakan tersadar dari mimpi, Tesa menatap Pasha dengan mata berapi.
"Tapi dia sendiri tak pernah mau merawatmu waktu kau membutuhkannya!"
"Aku tahu," sahut Pasha dengan nada sabar. "Tapi aku enggak tega untuk menolaknya."
"Bukankah dia sudah mencampakkan engkau?"
"Aku tahu."
"Ke mana Michael?"
Dia sendiri Juga butuh pertolongan, jadi mana mungkin merawat Pika. Saat ini dia sedang beristirahat di rumah orangtuanya, aku dengar."
"Apa... apakah mereka sudah putus?"
"Aku rasa, ya." Pasha menghela napas. Ah, susahnya membuat Tesa mengerti.
"Karena itu dia minta kau kembali padanya!"
"Aku rasa... begitu."
Mereka diam. Setelah lewat lima menit, akhirnya Pasha tak sanggup lagi disiksa seperti itu. Dia tidak bisa menyaksikan Tesa diam bengong seperti orang hampir tersambar petir. Lebih cepat dia berlalu, lebih baik bagi mereka, pikirnya. Kalau memang sudah kemauan Tuhan, tak bisa dielakkan.
Disentuhnya lengan Tesa.
"Tes, sudilah mengerti. Aku kasihan padanya. Kalau kau melihat dia, pasti kau pun akan jatuh kasihan juga."
Tesa menoleh serta menatapnya. "Apa kau masih mencintainya?"
Pasha menggeleng. "Aku tak mau menyakiti hatimu dengan jawaban apa pun. Kalau aku bilang ya, kau pasti cemburu dan kesal. Kalau aku bilang tidak, kau juga akan marah serta penasaran. Kedua keadaan itu akan membuat kau tidak bahagia. Bila kau tahu aku tidak mencintainya lagi, mungkin kau akan menunggu aku terus, menunggu sesuatu yang takkan pernah bisa terjadi lagi. Kau akan menghancurkan masa depanmu. Tidak, Tes! Itu tak boleh kau-lakukan!"
Tesa menggertakkan geraham. Sungguh dia menyesal sudah melibatkan diri dengan pemuda itu. Kenapa dia pacaran lagi?! Bukankah sudah diketahuihya bahwa hal itu selalu meruwet-kan hidupnya?! Siapa pun "di atas sana" rupanya tidak suka melihatnya bahagia.
Ditatapnya Pasha dengan menantang.
"Lantas, apa yang boleh kulakukan?"
"Bereskanlah sekolahmu secepatnya. Kalau tidak salah ingat, tinggal empat bulan lagi, bukan? Setelah itu, pulanglah ke Jakarta! Lupakan-lah aku!" Pasha mengepalkan tinjunya erat-erat seakan kesal sekali menghadapi keadaan dirinya yang tak berdaya.
Lebih gampang disebut daripada dilakukan, pikir Tesa sinis. Pasha seolah tercabik hatinya melihat gadis itu termangu seakan hilang akal. Seandainya dia mau meraung atau ngamuk, ah, itu lebih baik, pikirnya. Tapi Tesa cuma diam saja menatap karpet. Matanya kering. Bibirnya terkunci rapat.
Pasha tidak tahan melihat keadaannya seperti itu. Diraihnya gadis itu ke dalam pelukannya. Dan Tesa tidak melawan maupun menyambut. Dia sungguh seperti orang hilang pikiran!
"Tes, janganlah putus harapan, Sayang. Memang beginilah dunia. Hidup ini cuma panggung sandiwara. Dan lakonnya kebanyakan tragis. Manusia yang kurang beruntung seperti kita berdua, lebih banyak jumlahnya daripada mereka yang bahagia. Tapi percayalah, Tuhan itu maha pengasih. Kesengsaraan kita takkan kekal..."
"Ya, betul!" Tiba-tiba terdengar suara Tesa dalam pelukannya.
"Ambil saja pisau...!"
"Tesa!" Pasha terpana mendengar pikiran gadis itu. Apa yang ditakutkannya rupanya memang benar. Tesa berdiam diri saja dan itu lebih berbahaya daripada bila dia ngamuk serta marah. Orang yang tidak bisa melampiaskan kekesalan hatinya biasanya makan di dalam. Itu tak boleh terjadi pada gadis yang dicintainya.
"Sekali pikiran itu tak boleh kaubiarkan merasuki kepalamu! Aku melarangnya!"
"Apa kau masih punya hak untuk melarang aku?" tanya Tesa mencibir, lalu tiba-tiba dia melepaskan diri dan menyingkir ke pojok sofa.
"Tes, percayalah pada suatu hari kau pasti akan bahagia. Sekarang kau memang marah, penasaran, dan patah hati. Tapi kelak bila kau telah menemukan tambatan hati yang baru, pasti kau akan bersyukur, kita tidak jadi melangsungkan hubungan ini. Kau akan tahu, aku memang tidak pantas bagimu. Aku sama sekali tidak pantas menerima cintamu yang tulus. Lu-pakanlah aku...."
Tesa menatapnya dengan tajam. Pelan-pelan. matanya berlinang. Bibirnya menggeletar.
"Haruskah... haruskah... kau kembali padanya?" bi-siknya hampir tak terdengar.
Pasha menguatkan hati dan mengangguk. "Ya. Aku tak bisa menelantarkan orang yang sudah mempercayakan hidupnya di tanganku. Ingatlah, Tes, aku ini calon dokter. Masa depanku sedang mengalami ujian yang berat saat ini. Kalau aku gagal, berarti aku takkan dapat menjadi dokter yang baik bagi mereka yang butuh pertolongan. Dokter harus berani berkorban paling banyak. Cobalah mengerti, Tes."
"Kenapa harus aku sendiri yang mengerti? Kenapa dia tidak?! Kenapa cuma kau dan aku yang mesti berkorban?! Tidak adil! Sungguh tidak adil! Seharusnya dia tidak meminta itu dari engkau! Kan bisa saja dia mencari perawat seperti yang dilakukannya dulu bagimu?! Dia tidak punya perasaan! Dia sungguh tidak berperasaan!" Lalu tiba-tiba Tesa terguguk menangis. Ditutupinya wajahnya dengan tangan dan dari sela-sela jarinya air mata turun tak henti-henti. Napasnya tersendat-sendat.
Pelan dan lembut Pasha mengurai kedua ta-ngannya, lalu disusutnya mata serta kedua pip! dengan saputangannya. Dipeluknya kembali gadis itu sampai tangisnya reda.
"Nah," katanya akhirnya sambil menatap Tesa dari jarak selengan.
"Sekarang perasaanmu sudah sedikit lega, bukan? Marilah aku antarkan pulang."
"Tak usah! Aku bisa pulang sendiri!" Tesa mengibaskan tangannya dan berdiri. Tanpa membuang waktu lagi disambarnya tasnya dari meja, lalu berlari ke pintu, membukanya, dan menghilang.
==========
"Aku sekarang berada di airport! Apa kau betul-betul tak mau mengubah kembali pendirian-mu?"
"Kenapa membuang waktu, Far? Lebih baik kau lekas pergi ke ruang tunggu, nanti keting-galan planel"
"Jadi, kau... betul-betul keras kepala?!" Suara di seberang sana bukan main kesal kedengaran-nya.
"Selamat jalan, Goffar!" Lalu Tesa meletakkan kembali pesawat telepon. Ketika diangkatnya mukanya, tahu-tahu didapatinya Bos sedang membungkuk di depannya. Kedua tangannya bertumpu di atas meja, sementara dasinya ter-juntai di hadapannya bergoyang-goyang. Lirik-annya menyengat sekali ketika dia bertanya, 'Siapa sih Pak Goffar itu?"
"Seorang pembohong!" cetus Tesa tanpa di-P'ikir lagi.
“hmmm" Rupanya kau sudah dibohongi olehnya”-tukas Bos dengan senyum penuh arti.
"Kau tampak kesal sekali. Bagaimana kalau nanti malam kita makan bersama?"
"Terima kasih. Tapi sebaiknya Bapak makan bersama istri saja di rumah!"
"Lho! Aku belum punya istri!" bantah Bos setengah membelalak.
"Apakah Bapak juga mau disebut pembohong?"
"Lho! Lho! Lho! Nanti aku mintakan surat keterangan masih bujangan dari lurahku kalau kau tidak percaya!"
"Tak usahlah, Pak. Saya percaya sekarang."
"Makan malam itu jadi, ya?"
"Jangan sekarang, Pak. Kepala saya pusing, pikiran masih kalut."
"Baiklah. Tapi lain kali tak boleh ada alasan lagi!" kata Bos seraya memutar badan kembali ke dalam ruangannya.
Tesa menarik napas lega. "Huh! Susah kalau dapat majikan yang masih bujangan seperti itu, pikirnya. Hampir setiap minggu ada saja tawaran yang enggak-enggak. Makan malamlah, nonton bioskoplah, mancing ke Pulau Bidadari-lah, atau menemani dinas ke luar kota! Bahkan ke luar negeri juga! Untung sejauh itu dia masih bisa mengelak."
"Pak, saya tidak bisa ke luar kota, Ibu sedang sakit!"
"Pak, saya tidak sabaran mancing-mancing, lebih baik beli saja di Pasar ikan! Langsung dipanggang atau digoreng!"
"Pak, saya lebih suka melihat video saja di rumah daripada mesti dandan untuk ke bioskop! Belum lagi bau rokoknya! Dan minta ampun WC-nya!"
Bagi Tesa itu cuma sekadar alasan. Tapi akibatnya, Bos hampir saja membeli pesawat TV dan video untuk dinikmati sehabis jam kantor! Untung Pak Tambua yang ditugaskan mencari info soal tipe, keburu memberi bisikan pada Tesa. Gadis itu kemudian mencari kesempatan untuk menyindir Bos, jangan sampai hilang wibawa atau disebut sinting!
"Saya sih segan dimanja oleh Bos seperti se-orang kawan saya. Lebih baik minta berhenti saja!" tukasnya ketika mereka sedang makan siang berdua di kantin.
"Lho, dimanja kok enggak mau?! Kamu ini spesies dari bulan, apa?!"
"Habis! Pikir saja oleh Bapak. Pegawai yang dimanja oleh atasan itu pasti akan dijauhi dan disindir-sindir sama rekan-rekan lain. Mana enak kerja dalam suasana begitu?"
Rupanya Bos termakan juga oleh "perumpamaan" yang mirip ancaman itu. Video tidak jadi dibeli. Dia juga tidak begitu gencar lagi melancarkan manuver-lewat-jam-kantor-nya.
Tesa tersenyum sendirian. Sudah hampir tiga tahun dia betah jadi sekretaris presdir. Dan sudah setahun dia aman dari manuver. Rupanya mendengar suaranya yang tegas di telepon barusan, Bos kembali angot sintingnya. Biarlah.
Toh dia tahu, Bos takkan memaksa. Dia pasti khawatir nanti karyawati kesayangannya itu akan kabur. Bos pernah bilang, dia bersedia menunggu sampai kapan saja atau... sampai Tesa disambar orang lain? Hiii! Takkan pernah, pikirnya tegas.
***
Sejak dia kembali dari Perth tiga tahun yang lalu, dia sudah bertekad tak mau lagi terlibat cinta. Cuma bikin ruwet pikiran. Ujung-ujung-nya toh sama saja: putus! Mungkin sudah nasib-nya mesti membujang seumur hidup. Dan untuk seorang wanita zaman kini, itu sama sekali tidak tragis. Malah lebih enak, hidup jadi tak banyak cincong.
Beragam alasannya kenapa dia menolak Goffar yang merengek minta visa masuk lagi ke hatinya. Salah satunya adalah itu: dia tak mau lagi terlibat cinta!
Ketika dia baru saja kembali dari Australia, ibunya sudah memperingatkan, "Awas dengan Goffar. Begitu tahu kau sudah balik, dia pasti akan terus mengganggumu! Selama ini barang-kali sudah sepuluh kali dia minta-minta alamat-mu di Perth. Katanya mau ketemu. Tapi tidak Mami berikan."
Betul saja dugaan ibunya. Telepon mulai sering berdering. Goffar rupanya tidak takut membayar rekening. Terkadang sehari sampai lima kali. Walaupun dibilang baru saja masuk ke kamar mandi dia ngotot mau menunggu.
Katanya, khawatir nanti ditinggal pergi oleh Tesa kalau pesawat dimatikan. Tesa terpaksa melayani bicara. Tapi sejak semula dia sudah menyatakan dengan tegas bahwa jembatan mereka sudah musnah tcrbakar. Sampai kiamat pun dia takkan mau kembali atau mengijinkan Goffar balik padanya.
"Kewajibanmu sekarang adalah Shakira!"
"Aku harus menemui engkau," tuntut Goffar berkeras.
"Kalau kita sudah ketemu, pendirian-mu pasti akan berubah!"
Tesa minta ampun dalam hati. Betapa tak tahu maIunya pria ini, pikirnya. Seberapa ganteng pun dia dulu misalnya, kini bagi nya masih lebih menarik penghuni Ragunan di Pasar Minggu!
Mula-mula Tesa tak mau ketemu. Tapi Goffar terus menteror dengan telepon. Seisi rumah jadi kebisingan. Ayahnya mengomel terus setiap kali pesawat berdering walaupun belum tahu itu dari siapa. Ibunya malah sampai melonjak kaget sambil mengawasi pesawat tanpa berkutik. Tesa sadar, mereka semua sudah kena perang saraf.
Demi ketenteraman rumah, dan sekalian menyadarkan Goffar bahwa masa lalu itu tak pernah kembali, maka dia setuju untuk bertemu. Goffar berusaha meyakinkan gadis itu, betapa kelirunya dia mengawini Shakira, betapa masih dicintainya Tesa, betapa rindunya dia ingin me-nyambung kembali tali yang sudah putus, betapa... masih puluhan "betapa" lagi.
Namun dengan tenang Tesa mengabaikan semua itu. "Masa lalu kita sudah terkubur, Far!"
Pengaruh Goffar padanya sudah tak bersisa. Laki-laki itu memukul-mukul dada, menangis, menjerit, memaksa, mengancam, namun Tesa tetap tak bergeming.
"Apa yang sudah dikubur, takkan pernah bisa kembali! Walaupun kau me-neteskan air mata darah!"
Ketika dia pulang sendirian dengan mobilnya yang second-hand, perasaan Tesa campur aduk. Senang sekaligus sedih. Hatinya senang, sebab ternyata dia sudah bisa melepaskan diri dari Goffar. Hatinya yang dulu patah, kini sudah terpaut lagi. Namun dia sedih juga bila teringat kemungkinan manis yang dulu pernah diharapkan. Ah, seandainya tak ada halangan, entah seperti apa hidup mereka berdua kini!
Setelah pertemuan itu tak membawa hasil, Goffar mulai memaksa lewat jalan lain. Karena Tesa sudah bilang, dia tak mau lagi menerima telepon, maka laki-laki itu mulai mengirimkan surat kilat khusus. Lagaknya melebihi anak pu-ber yang dilanda cinta monyet.
"Kalau kau tak mau kembali padaku, aku akan bunuh diri!" tulisnya suatu kali.
Tesa mengembalikan surat itu tanpa komentar. Dia masih ingat untuk mengirimkannya ke alamat kantor, agar rumah tangga Goffar jangan kalut. Entah bagaimana reaksi Shakira seandainya dia sampai tahu!
"Kalau kau tak mau kembali padaku, akan kubunuh istri dan anak-anakku!"
Surat itu juga diriturnya. Tapi susulannya datang makin gencar. Akhirnya Tesa tak mau lagi payah-payah mengembalikan. Robek saja, ma-sukkan tong sampah! Beres. Buat apa buang uang untuk melayani orang gila, pikirnya.
Semua ancaman itu ternyata memang cuma gertak belaka. Tak pernah dilaksanakan. Hanya yang terakhir ini rupanya dijalankan juga. Goffar mengancam akan pergi meninggalkan keluarganya. Katanya, dia mau ke Amerika dan takkan pulang kembali. Katanya, pada istri dan orangtua dia bilang mau sekolah lagi. Tapi Tesa menduga, dia cuma ingin menghambur-hambur-kan uang istri di luar negeri. Kalau sudah bang-krut, dia pasti akan kembali sendiri mengemis lagi pada Shakira.
Ternyata sangkaannya itu betul. Lima bulan setelah kepergian Goffar, istrinya menelepon Tesa nangis-nangis minta dia datang ke rumah-nya. Semula Tesa tidak mau. Sejak pulang dari Perth, dia belum pernah ketemu Shakira. Rasa-nya segan. Apalagi disuruh main ke tempatnya. Tapi Shakira mendesak. Katanya dia butuh sekali pertolongan untuk membawa anaknya ke rumah sakit.
Mendengar itu, hati Tesa tergerak. Rasanya tidak tega membiarkan teman dalam kesusahan.
"Baiklah nanti sore aku datang," janjinya.
"Sekarang!" Shakira seakan menuntut."Mana bisa, Shak. Sekarang kan jam kantor. Sabarlah, tak lama lagi juga sore. Aku akan segera berangkat jam setengah lima nanti."
Shakira memang menelepon ke kantor. Semula dia mengebel ke rumah. Oleh ibu Tesa dia diberitahu bahwa Tesa ada di kantor. Shakira mendesak minta nomor telepon kantor dengan alasan ada urusan yang maha penting. Sebenar-nya ibu Tesa segan memberikan, tapi Shakira pandai membujuk. Selain itu, Tesa memang tak pernah memesan agar nomor telepon kantornya dirahasiakan.
"Anakku sudah payah, Tes. Sudah tiga hari berak-berak. Rasanya kolera," kata Shakira di antara sedu sedan. "Kalau ditunggu sampai sore, pasti terlambat. Kalau dia sampai huk... huk... huk... mati, gimana? Apa kau mau menanggung dosanya?!"
Tesa berkeringat dingin. Digigitnya bibirnya. Temannya itu memang pintar bicara. Siapa sih yang mau menanggung dosa seperti itu?! Tapi kenapa Shakira tak bisa membawanya sendiri ke rumah sakit?! "Kenapa tidak kaubawa sendiri, Shak?"
"Anakku yang besar sedang sakit, Tes. Eng-gak bisa ditinggal. Aku enggak punya pembantu. Juga enggak... punya... uang..."
Aduh. Sungguh tidak sampai hati Tesa men-dengar kesulitan Shakira yang bertubi-tubi. Dia jadi serba salah. Meninggalkan kantor berarti kurang disiplin. Tapi membiarkan Shakira tanpa pertolongan rasanya keterlaluan.
"Baiklah, Shak," katanya akhirnya setelah berperang batin beberapa saat.
"Aku akan menolongmu. Barangkali abang atau adikku ada di rumah dan bisa aku mintai bantuan. Kalau enggak, terpaksa aku sendiri nanti yang datang.
"Tenanglah, ya."
"Oh, terima kasih, Tes. Kau sungguh baik...." Tesa menutup telepon pelan-pelan, segan mendengarkan ucapan terima kasih dari orang yang pernah menghancurkan hatinya. Kemudian diteleponnya rumahnya.
"Mam, apa Markus ada di rumah?"
"Abangmu kan tugas di puskesmas hari ini, Tes. Ada apa?"
"Kalau Daniel?"
"Barusan pergi dijemput teman-temannya. Katanya mau berenang. Ada apa sih tumben-tumbenan mencari mereka saat begini?!"
"Enggak ada apa-apa. Cuma ini, Shakira perlu bantuan...."
"0, ya, tadi memang dia menelepon kemari."
"Saya tahu. Sudah ya, Mam. Saya lagi sibuk, nih."
Tesa terpaksa minta izin dari Bos untuk ke-luar sebentar. Mobilnya dikebut agar lekas sampai. Menilik suara Shakira di telepon, pastilah anak itu sudah hampir sekarat. Dan dugaannya ternyata benar.
Anak itu kurus, pucat, dan setengah tidak sadar. Dia terbaring di ranjang di antara kain-kain lapuk yang rupanya sudah lama tak pernah dicuci. Baunya bukan main. Shakira sendiri tidak lebih mending keadaannya. Tesa sampai keheranan dan hampir-hampir tak bisa menge-nali lagi temannya dulu itu. Begitu cepatnya kecantikan. seseorang pudar direnggut derita, pikirnya penuh kasihan. Badan Shakira sudah kurus, tak terawat Rambutnya kusam terburai-burai belum disisir, mukanya penuh lemak belum dicuci. Dia pasti belum mandi, pikirnya. Kemudian dia tahu sebabnya.
"Umur berapa anak ini, Shak?"
"Setahun lebih."
Tesa lupa menegaskan lebihnya berapa, tidak tahu bahwa di rumah sakit mereka akan melit sekali mau tahu lebih berapa bulan
"Kalau betul kolera, mestinya kakaknya jangan dibaringkan di ranjang yang sama," kata Tesa menunjuk anak laki-laki yang tengah mengawasi begitu apatis dari sudut ranjang, de-ngan matanya yang cekung.
Kalau dihitung-hitung, mestinya anak itu sudah hampir tujuh tahun atau bahkan lebih. Ketika dia berangkat ke Perth, Shakira sudah hamil. Dia memang sudah mengandung sebelum pernikahan. Tapi anak suluhgnya kelihatan se-perti balita. Gizinya buruk sekali. Kenapa begitu? pikir Tesa heran. Bukankah Shakira itu anak orang kaya?! Bukankah karena itu maka Goffar jadi kepincuk padanya?! Tesa yang mis-kin mana ada harapan untuk bersaing! Kan begitu sindir Shakira dulu pada seorang teman mereka yang menyampaikannya lagi padanya.
"Ranjang anak-anak sudah aku jual. Terpaksa kami tidur bertiga di ranjangku ini."
"Tapi dia bisa ketularan."
"Dia sudah ketularan," sahut Shakira pasrah.
"Cuma enggak segawat adiknya."
Tesa tidak suka mendengar nada suara Shakira yang begitu memelas. Dia ingin cepat-cepat berlalu dari situ.
"Sebaiknya anak ini diseka dulu dengan lap hangat sebelum aku bawa," kata Tesa yang se-benarnya merasa jijik melihat kotornya anak itu serta mencium baunya yang amis. Sejak tadi dia memaksakan diri jangan sampai muntah.
"Aku tak punya uang untuk beli air, Tes," keluh Shakira. "Masih ada sisa sepanci, cuma untuk minum...."
"Kau tak punya pompa?"
"Pompa listrik sudah lama rusak. Goffar enggak mau membetulkan. Oh! Dia tak mau meng-urus apa pun. Yang diingatnya cuma..." Shakira menghentikan bicaranya seakan takut telanjur. Tapi tangannya yang terkepal dan matanya yang mendelik ketika menatap Tesa membuat gadis itu paham apa kelanjutan kata-katanya.
"Kalau aku tak salah lihat tadi, di halaman depan ada pompa tangan, bukan? Apa itu juga sudah macet?"
"Aku tak kuat memompanya, Tes," keluh Shakira menunduk.
Oooh! Dasar anak orang kaya, pikir Tesa. geregetan. Memompa air pun tak mau! Padahal keadaan sudah gawat. Tapi ketika diperhatikan-nya Shakira sekali lagi diam-diam, Tesa meng-hela napas. Barangkali dia tidak berdusta.
Badannya yang kurang makan itu pasti sudah tak punya tenaga untuk kerja seberat itu.
Dia menyesal tadi begitu terburu-buru se-hingga kelupaan membeli makan an. Tapi dia sungguh tidak menyangka bahwa keadaan Shakira sudah begini fatal.
Anak yang sakit berat itu jelas mesti dibawa ke rumah sakit dengan segera.
Tapi anehnya, Shakira tidak kelihatan terburu-buru.
"Baiklah kalau tak ada air, cukup diganti saja pakaiannya. Aku rasa yang ini sudah penuh kotoran. Aku tunggu di luar, ya."
Tesa melangkah ke ruang depan tanpa menunggu reaksi Shakira sebab dia sudah tak tahan dengan bau kamar tidur itu. Setiba di depan, barulah dia berani menarik napas dalam-dalam, lalu menjatuhkan diri ke atas kursi yang, kelihatan sudah tak terawat, walaupun benda itu dulu pasti termasuk mahal.
Ketika dia menoleh mendengar langkah, be-tapa terkejutnya dia melihat Shakira di bela-kangnya. Ternyata perempuan itu telah meng-ikutinya keluar dan kini berdiri di depannya. Sebelum dia mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba
Shakira sudah menudingnya dan suaranya penuh dendam.
"Ini semua gara-garamu! Coba kau mau menerima kehendak Goffar, dia pasti takkan pergi ke luar negeri! Aku rela dimadu atau diceraikan asal dia tetap di sini. Dalam keadaan begini, aku pasti masih bisa minta bantuannya! Tapi gara-gara kau sok jual mahal dia sekarang pergi!!! Kau kini yang harus menanggung semua biaya perawatan anakku! Hu... huk... huk... kalau dia sampai mati, aku bunuh kau!" Shakira menangis tersedu-sedu.
Tesa tercengang mendengar tuduhan itu, sehingga dia tidak sanggup menanggapi. Dia duduk terpaku, diam membisu seperti boneka batu. Suara tangis Shakira makin rawan me-nusuk telinga. Ketika perempuan itu tiba-tiba jatuh mendeprok di lantai, barulah Tesa seakan terjaga dari mimpi yang kelewat buruk. Dia tidak tahu apakah Shakira hampir pingsan atau-kah sengaja menjatuhkan diri. Dalam kagetnya dia tergesa-gesa bangkit dari kursi, lalu meng-hampiri. Palutan baju lusuh yang apak baunya itu dipeluknya sambil bibirnya mengucapkan kata-kata hiburan tanpa disadarinya.
"Sudahlah, Shak. Kuatkan hatimu. Tenanglah. Pikirkan anak-anakmu yang sedang sakit. Aku pasti akan membantumu sekuat tenagaku. Lu-pakan dulu hal-hal lain."
"Oh, Tes, maafkan aku. Maafkan kata-kataku barusan."
Tesa mengangguk.
"Kau mau memaafkan, bukan? Kau telah me-maafkan aku, bukan? Aku benar-benar enggak sengaja menyakiti hatimu. Itu cuma luapan perasaan_" Shakira menatapnya dari balik air mata.
Tesa mengangguk. "Aku tahu," katanya pelan. "Oh, Tes, seandainya saja kau sudi menerima Goffar kembali..."
"Itu tidak mungkin, Shak. Lebih baik sekarang secepatnya aku bawa anakmu...," kata Tesa mengalihkan percakapan. Dia sebenarnya sangat khawatir akan keadaan anak yang sudah pucat kebiruan itu. Tapi ibunya seakan tidak mendengar.
"Kenapa, Tes? Karena kau tak mau menyakiti hatiku? Itukah alasanmu? Tidak mengertikah engkau, dengan penolakanmu itu kau telah lebih menyakiti aku dan anak-anakku? Akibat buruknya akulah yang mesti menanggung! Kau sih enak saja, bebas, gembira!"
"Shakira, kalau kau mau terus mengungkit-ungkit peristiwa itu, sebaiknya aku pergi saja sekarang!" ancam Tesa yang akhirnya menjadi kesal dan hilang sabar.
"Jangan, Tes! Kau rela menjadi pembunuh anakku?" Shakira menatapnya dengan mata membara, dan Tesa melengos, tak mau meladeni.
"Aku cuma kesal, Tes. Aku tahu kau menolak Goffar hanya lantaran kau sombong! Ya, kau mau menunjukkan, kau tak perlu cintanya lagi! Kau bisa hidup tanpa dia! Maaf, Tes, aku terpaksa meluapkan semua ini supaya hatiku lega.
"Shak, di mana ibumu?" tanya Tesa dengan sisa kesabaran yang tipis dan tekad untuk mengalihkan pembicaraan.
Tiba-tiba meledak lagi tangis Shakira. Lebih merawankan dari tadi. Dadanya turun-naik, na-pasnya tertahan-tahan.
"Dia... dia... sudah lama meninggal! lima ta-hun yang lalu!"
"Oh! Dan ayahmu?"
"Dia sudah kawin lagi Oh, Tes, kalau ibuku masih ada, pasti aku takkan sengsara kayak beginil" keluhnya sambil menyusut mata. "Kenapa kau tidak minta bantuan pada ayah-mu?"
Tapi Shakira kembali tersedu sedan lebih hebat lagi, sehingga Tesa khawatir takkan berhenti sebelum kiamat.
"Mau pindah ke kursi?," katanya sambil meng-angkat Shakira setengah dipaksa dan membim-bingnya ke kursi.
Tangisnya kini agak mereda. Diangkatnya se-dikit ujung roknya, lalu dibersitnya ingusnya. Tesa menunduk sebab tidak tahan melihat pe-mandangan itu. Rasanya daging rendang yang tadi siang dimakannya sudah bersiap di ulu hati mau melejit keluar.
Shakira menghentikan tangisnya, lalu memandang Tesa. Matanya yang merah dan sembap tidak membuat wajahnya yang kumuh sedikit lebih menarik. Kebalikannya malah.
"Tes, maukah kau mendengar kisah riwayat hidupku?"
"Lain kali, Shak. Sekarang yang penting, anakmu dulu!"
"Tidak!" Shakira menggeleng. "Sebaiknya sekarang saja. Aku harus menceritakannya pada-mu! Kalau kau sudah mendengar betapa besar kesengsaraanku, barangkali kau akan rela mengampuni semua dosaku padamu!"
"Sudah kuampuni, Shak. Biarlah kubawa anakmu sekarang juga!"
Tesa sibuk setengah mati ingin segera berlalu. Tentu saja dia tak mau menanggung dosanya seandainya kelak terjadi apa-apa dengan si sakit
Tapi Shakira tak bisa dibantah. Sejak dulu dia memang selalu mesti dituruti kemauannya. Maklum anak tunggal dari orangtua kaya! Ka-rena tak ada jalan
lain, terpaksa Tesa duduk siap mendengarkan. Pikirnya, makin cepat di-mulai makin baik, agar tidak terlalu banyak waktu terbuang percuma. "Tes, ayahku sejak semula memang tidak me-nyetujui perkawinanku. Katanya Goffar itu pe-malas dan kawin cuma karena harta ayahku. Sayang aku tidak mau percaya dan baru me-nyadari sekarang setelah terlambat. Waktu ibuku masih ada, keadaan kami lumayan, sebab ibuku diam-diam selalu memberi sumbangan. Kami tidak sampai kekurangan. Tapi setelah Ibu meninggal dan ayahku kawin lagi, sokongan pun berhenti. Setiap kali aku minta bantuan, ayahku malah mengejek. Ibu tiriku juga ikut-ikutan mencemooh. Akhirnya aku tak pernah datang lagi. Habis percuma. Uang tak dapat, tapi aku malah dihina oleh mereka. Kerja Goffar memang tak tentu. Dia keluar-masuk kantor te-rus. Sebentar-sebentar berhenti, lalu pindah lagi. Alasannya selalu sama, gaji kurang. Habis, dia tak punya kepandaian khusus, masa mau meng-harapkan gaji besar? Dia marah kalau aku kritik begitu. Dan sejak tahu, kekayaan ayahku takkan jatuh ke tanganku, dia mulai kasar padaku serta anak-anak juga. Intan berlian peninggalan ibuku satu per satu dijualnya. Uangnya cuma sebagian saja diserahkannya padaku, sebagian besar dipergunakannya sendiri untuk foya-foya. Dia malah pernah punya pacar. Perempuan itu begitu kurang ajarnya sampai berani datang ke sini, mencarinya!
"Setelah perhiasan tak bersisa lagi, deposito ibuku mulai digerogoti. Terakhir, dikurasnya semua untuk dibawa ke luar negeri! Sekarang aku tak punya duit sepeser pun! Hadiah-hadiah kawin satu per satu aku tawarkan ke tetangga. Cangkir-cangkir, piring-piring mahal... paling laku tiga ribu, lima ribu, padahal harga sebenar-nya tiga-empat kali lipat. Mereka tahu aku butuh, mereka sengaja menekanku. Mereka berlagak tak memerlukan barang-barang itu, pada-hal aku lihat mata mereka hijau kesenangan! Yah! Sekadar untuk menangsel perut. Kalau hadiah-hadiah itu pun sudah habis, entah gi-mana lagi nasib kami nanti!" Shakira mengeluh panjang seperti lokomotif kereta api dalam per-jalanannya yang terakhir.
Tesa melongo mendengar kisah itu, sampai dia terlupa bahwa dia tak boleh lama-lama di situ.
"Kau mau aku carikan kerjaan?" tanyanya se-saat kemudian ketika semangatnya sudah ter-kumpul lagi.
"Aku tak bisa meninggalkan anak -anak!" ke-luh Shakira dengan suara fatal.
"Kalau ada pembantu, tentu kau bisa meninggalkan mereka. Mau aku carikan pembantu?"
"Tapi aku bisa kerja apa, Tes? Ijazahku cuma SMA doang. Belajar ngetik, aku malas. Tata bu-ku dan akuntansi memang kelemahanku sejak dulu. Aku pernah duduk di bangku sastra Ing-gris setahun, tapi aku enggak sanggup menerus-kan. Terlalu banyak kata-kata asing yang sukar aku hafalkan!" Shakira menunduk memperhati-kan jari-jari tangannya yang kurus dan keriput.
Tesa diam-diam mengeluh sendiri. Susah juga kalau terlahir sebagai anak orang kaya, namun bernasib paria!
"Kalau begitu sebaiknya kau mencari pekerja-an yang bisa kauselesaikan di rumah!"
"Ah, kerja apa?" keluhnya tanpa minat.
"Hm. Apa, ya?" Tesa berpikir1 sejenak, lalu ia menepuk dahinya. "Aku tahu! Konveksi! Kau pasti bisa menjahit, bukan? Tetangga bibiku membuka..."
"Tapi aku tak bisa menjahit!" potong Shakira memutuskan harapan Tesa untuk menolongnya. "Aku tak pernah menginjak mesin jahit seumur hidupku! Semua bajuku biasa dibawa ke tukang jahit. Kalau yang robek-robek atau lepas kan -cingnya, itu urusan ibuku. Yah! Memang aku sedikit menyesal kenapa dulu tak mau belajar! Tapi sekarang sudah terlambat!"
"Kenapa terlambat? Kau kan bisa belajar?"
"Aku tak punya mesin! Mesin ibuku sudah diambil oleh ibu tiriku!"
Huh! Tesa mengerti tak ada gunanya memperpanjang masalah itu. Shakira memang sudah tak mau bekerja. Dasar biasa dimanja, keluhnya dalam hati. Tapi, lantas dari mana mau diperolehnya uang untuk makanan anak-anaknya?!
"Lalu, rumah ini kau sewa?"
"Oh, ini diwariskan Ibu padaku. Dulu kan orangtuaku .tinggal di sini. Waktu ayahku kawin lagi, dia pindah ke rumah baru. Rumah ini memang atas nama ibuku. Kami berdua lantas pindah dari rumah kontrak ke sini setelah ibuku tiada."
Masih untung, pikir Tesa. Jadi dia takkan sampai diusir orang ke jalanan. Tega betul ayah-nya menyepak Shakira seperti itu! Walaupun mula-mula perkawinannya tidak disetujui, tapi setelah ada dua orang cucu, sepantasnya kan mereka diampuni? pikir Tesa tak mengerti.
"Sebenarnya kenapa sih ayahmu begitu pada suamimu?" Dia sengaja menggunakan panggilan itu, sebab rasanya tidak sreg untuk menyebut nama.
Shakira menghela napas. Matanya berkilat ta-jam. "Salah Goffar juga, sih!" serunya keki. Ru-panya dia sudah tak mau lagi membela suami.
"Sekali dia memalsukan tanda tangan ayahku di atas cek seharga dua juta! Sudah diampuni. Eh, dilakukannya lagi kedua kali. Lima belas juta! Naik pitamlah ayahku. Dia tidak diakui menantu lagi. Ayahku mengirim surat pada mertuaku, menyatakan putus hubungan. Dan aku disuruh memilih: ayahku atau Goffar. Sial-nya, kenapa aku sampai memilih dia! Jadilah aku pun ikut tidak diakui lagi sebagai anak!"
Tesa terdiam dengan hati kecut. Kiranya begitu sebabnya! Tidak dinyana tidak disangka begitu rendahnya Goffar! Dan dia masih berani-berani merayu serta memaksanya untuk kembali?! Apakah laki-laki itu betul-betul tak punya malu?!
"Yah! Aku perlu biaya banyak, Tes. Untuk membayar utang ke sana-sini. Aku sudah me-nunggak rekening listrik enam bulan! Rumah ini pun rasanya hams aku jual, Tes! Begitu ada yang cocok harganya, pasti aku lepas."
"Sudah ada yang menawar?"
"Belum. Habis tak ada lagi teman atau kenal-an yang datang kemari."
"Kenapa enggak pasang iklan?"
"Aku tak punya uang."
"Mau aku tolong pasangkan?"
Seketika itu Tesa melihat Shakira mau mengangguk. Namun entah kenapa, tahu-tahu dia menggeleng.
"Tanpa iklan, takkan ada orang yang tahu. Sampai kapan rumah ini akan terjual?"
"Ah, aku tak mau menyusahkan engkau!"
"Enggak, kok. Aku tinggal minta tolong orang kantor yang biasa mengurus pemasangan iklan-iklan perusahaan kami."
"Ah, nanti aku jadi berutang budi padamu! Belum lagi soal pengobatan anakku nanti...."
Tesa mengeluh dalam hati. Dalam keadaan kepepet begini masih mau bersombong-sombong!
"Itu gampang diatur, Shak. Nanti kalau rumah ini sudah terjual, kau bisa membayar kembali ongkos pemasangan iklan itu. Bagaimana?"
Tesa tidak tahu, justru itu yang ditakutkan oleh Shakira! Lama dia terdiam. Tesa menegaskan dua-tiga kali, tapi dia tetap tidak menyahut. Setelah disepak berulang-ulang, barulah dia ber-sedia buka mulut.
"Berapa... yang akan kauminta nanti?"
Tesa tercengang tak mengerti. Jadi dia tak bisa menyahut selain, "Apa maksudmu?"
"Kau tahu, dalam jual-beli rumah, perantara selalu mendapat dua persen dari penjual dan dua persen dari pembeli, tapiii... aku rasanya tak sanggup memberimu lebih dari... ehm... setengah persen!"
"Oh, Shakira!" seru Tesa antara sebal dan ka- sihan. "Aku mau memasangkan iklan itu se-mata-mata untuk menolongmu! Aku tidak ingin menjadi perantara dan kau tak perlu memberi aku sesen pun!"
Barulah sekarang Shakira kelihatan lega dan mau dipasangkan iklan. Tesa bangkit lalu me-ngeluarkan dompet dari tas gantungnya.
"Aku rasa sudah saatnya anakmu kubawa. Kau tentunya perlu uang juga untuk nanti me-nengoknya. Ini lima ribu." Tesa menyodorkan selembar lima ribuan, tapi Shakira menolak.
"Ah, tak usah. Jangan. Aku takkan mene-ngoknya, kok. Aku rasa tidak perlu. Di sana dia akan dirawat dengan cukup baik, bukan? Dan kau nanti^mau membawanya pulang kembali, kan?"
"Kalau aku sempat, boleh saja. Tapi kau sendiri pasti perlu uang juga untuk sehari-hari. Anakmu yang sulung itu perlu banyak buah-buahan dan obat Ayo, ambillah. Jangan sung-kan."
Tesa menjejalkan uang itu ke telapak tangan Shakira.
"Karena kau begitu memaksa, baiklah!" katanya menghela napas seakan terpaksa.
"Tapiii...kalau begitu, gimana kalau aku sekalian saja minta pinjam... dua puluh ribu?"
Bagian gawat darurat pada jam begini biasa-nya sepi. Tapi siang itu kebetulan ada tabrakan berantai. Tiga mobil sekaligus saling cium. Yang jadi korban lima orang, dua di antaranya parah sekali.
Di tengah keributan begitu muncul Tesa dengan kostumnya yang apik dan sepatunya yang canggih, menggendong seorang balita yang dekil banget.
"Mungut di mana, Bu?" tanya seseorang keheranan.
"Huss!" sergah temannya mungkin. "Jangan -jangan itu anaknya sendiri! Dibilang mungut!" "Habis! Seperti gembel dari emperan warung,sih!"
"Ketabrak apa, Bu?" tanya seorang suster yang tengah sibuk pegang gunting dan perban. Dia cuma menoleh sekilas.
"Muntaber," sahut Tesa dan beberapa orang yang sudah berkerumun, mendadak jadi minggir, rupanya takut ketularan. Sebagian malah sudah menutupi hidung dengan tangan.
"Taruh saja di situ," perintah suster itu sambil menunjuk dipan kosong dengan dagunya. Tesa cepat-cepat menurut. Dia khawatir anak itu nanti mencret lagi dan kena pakaiannya. Dia kan masih harus kembali ke kantor....
Seorang perawat senior muncul dari ruang sebelah dalam. Matanya yang sem pat segera tahu bahwa Tesa tadi belum menjelma di situ.
"Kenapa?" tanyanya mendongakkan muka.
"Muntaber, Suster. Tolong cepat di..." bisik Tesa yang sudah makin khawatir melihat anak itu diam saja.
Sejak di mobil tadi, dia tidak bergerak seinci pun dari tempatnya di bangku belakang. Dia sungguh khawatir jangan-jangan pertolongan sudah terlambat.
Perawat gemuk setengah umur itu melirik sekilas lalu dengan tenang menyalahkan.
"Kenapa baru dibawa sekarang, Bu? Anaknya sudah soporokomateus"
Tesa makin ketakutan. Dia tak usah mengerti istilah yang dikatakan tadi, sebab wajah suster itu sudah menjelaskannya. Dia kini mengambil sehelai kartu merah, lalu duduk di belakang meja tanpa menyilakan Tesa ikut duduk. Di situ memang tak ada kursi lain. Kursi kedua telah diisi oleh perawat yang tengah sibuk main gun-ting dan perban merawat seorang pemuda yang rupanya salah satu korban tabrakan berantai tadi.
Terpaksa Tesa berdiri di depan meja.
"Nama orangtua?" tanya perawat, siap dengan bolpen.
"Goffar!" sahutnya tak bisa berpikir lama-lama. Suster itu kelihatannya sibuk banget.
Tubuhnya bergoyang-goyang, seakan setiap saat mau bangkit terus dari kursi. "Nama pasien?"
Mati, nih! Aku lupa menanyakan siapa nama-nya! Shakira juga tidak memberitahu. Gimana ini? Suster menatap dari balik belingnya dengan sedikit heran. Tentu saja aneh kalau dia tak tahu siapa nama anak yang dibawanya. Salah-salah dia bisa dituduh menculik.
Dalam keadaan bingung, cuma satu nama yang muncul dalam benaknya. Itu pun karena nama itu memang tak pernah absen dari pikir-annya, walau dalam tidur sekalipun.
"Pasha!"
"Umur?"
"Setahun lebih."
"Berapa bulan?"
Ini sih mirip Cerdas-Cermat, pikirnya. Dia tidak dibcri kesempatan lama untuk berpikir. Karena anak itu kelihatan kecil dan kurus, maka sekenanya saja dia menebak.
"Empat bulan."
"Setahun empat bulan," gumam suster sambil menulis. Lalu menyusul ditanyakan alamat, dan pekerjaan orangtua. Setelah itu riwayat penyakit. Di sini Tesa terpaksa mengarang bohong saja, habis daripada gelagapan terus seperti orang bego.
Setelah suster merasa puas dengan wawan cara itu, barulah dihamplrinya sang pasien.
"Anak ini mesti diopname, Bu."
Itu sudah diduganya. Tapi berapa lama?! Soalnya, dia yang haras menanggung, jadi mesti I disiapkannya biaya yang cukup.
"Berapa lama, Suster?"
"Oooh, sudah gawat begini, paling sedikit sepuluh hari! Itu, kalau dia enggak jalan malam ini juga!"
Tesa merinding mendengar nya. Dalam hati dia berdoa semoga Tuhan berbelas kasihan pada anak yang malang itu.
"Tolong Suster, dirawat sekarang juga."
"Ya, sana, pergi ke kasir dulu, bayar uang jaminan!" Lalu suster berjalan pergi meninggal-kannya tanpa kesempatan membantah atau ber-tanya.
Terpaksa Tesa berlalu, setelah tanya sana-sini di mana letak kasir. Dia tidak membawa uang banyak. Dua puluh ribu sudah diberikannya pada Shakira. Yang tersisa mungkin cuma tiga puluhan. Mudah- mudahan boleh sebagai uang muka. Sisanya akan disetorkannya besok.
Untung hari ini dia membawa uang begitu banyak. Biasanya tak pernah lebih dari dua puluhan, sebab tak ada keperluan. Paling- paling untuk uang bensin atau jaga- jaga siapa tahu mobilnya mogok di tengah jalan lalu perlu bantuan dido-rong. Selain itu, tak ada keperluan apa-apa.
Sepulang kantor, dia hampir selalu langsung ke rumah. Pada jam istirahat siang, rekan-rekannya senang berkeliaran di bawah, di pusat pertoko-an. Kantor mereka terletak di tingkat kedua puluh enam. Terkadang dia ikut juga, tapi cuma sekadar melemaskan otot-otot kakL
Sebenarnya kasir menuntut paling, sedikit separo dari perkiraan ongkos perawatan. Tesa memohon pertimbangan.
"Ini peraturan, Bu. Uangnya bukan untuk saya!" sahutnya ketus.
"Saya tahu," ujar Tesa sesabar mungkin.
"Tapi saya telanjur cuma membawa uang segini. Besok pagi akan saya serahkan sisanya."
Kasir yang kurus dan nyureng itu menatap Tesa dari balik kacamata yang melorot turun. Ditaksirnya baju Tesa yang rapi serta dandanan-nya yang anggun. Bukan orang miskin, pikir -nya. Tapi, siapa tahu?! Kaya, miskin, kalau ada kesempatan lari tanpa bayar, semua mau! pikir-nya.
"Ada KTP?"
Tesa mengangguk, mengeluarkan benda ituI dan menyerahkannya. Kasir mencatat KTP itu dengan teliti. Keningnya berkerut beberapa kali —dan Tesa ketawa dalam hati: rasain!—sebab angka-angka dari komputer itu banyak yang tak terbaca, buram cetakannya.
"Tapi besok pagi sisanya mesti betul-betul diserahkan, ya?!" ancam kasir sambil mengembali-kanKTP.
Tesa mengangguk setengah mau bersumpah. Setelah selesai membayar, dia balik bergegas ke ruang gawat darurat. Dilihataya di kaki "Pasha" sudah terpasang infus, sehingga dia merasa lega sedikit.
Perawat senior itu muncul kembali dari dalam. Tesa memperlihatkan tanda bayar. Perawat membelah dua kertas itu pada bagian yang di-tandai, lalu menahan sebelah. Belahan yang lain dikembalikannya.
"Bolehkah saya pulang sekarang?" tanya Tesa.
"Tidak mau ditunggui?"
"Saya harus ke kantor."
"Baiklah kalau begitu. Alamat dan nomor telepon sudah Ibu berikan tadi, bukan?"
Tesa mengangguk, lalu berbalik dan melang-kah pergi. Baru kira-kira beberapa meter, dia merasa seakan namanya dipanggil. Tapi karena di situ penuh orang, dan dia yakin tak ada yang mengenalnya, maka disangkanya orang Iain yang dipanggil. Mungkin nama orang itu bunyinya kebetulan mirip dengan "Tesa", pikir-nya.
Namun sebenarnya dia agak keliru. Memang namanya yang dipanggil. Dan orang yang me-manggilnya jadi termangu ketika gadis itu tidak menoleh. Orang itu kebetulan keluar dari ruang dalam ketika Tesa pas membalikkan badan. Sesaat dia tertegun seakan kurang yakin akan penglihatannya. Tapi kemudian dia berseru ter-tahan, "Tesa!"
Ketika gadis itu terus saja melangkah, dia menarik napas seakan mengeluh. Perawat yang sejak tadi memperhatikan di sebelahnya, kini. menyodorkan kartu merah ke depan wajahnya.
"Dokter Solem, itu pasiennya."
Yang dipanggil menoleh, lalu berdehem untuk menghilangkan salah tingkahnya barusan.
"Muntaber? Setahun empat bulan?" Tiba-tiba dia berhenti membaca. Bibirnya setengah ter-buka, matanya nyalang menatap tulisan suster. Goffar! Pasha! Jadi, tidak salah! Barusan dia bukan bermimpi!
Ah! Dia kembali pada Goffar!
"Ada apa, Dok?"
"Oh, eh, anu, Suster Rani, coba bawa kemari tensimeter!"
(alat pengukur tekanan darah.)
Bersambung #7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel