Cerita Bersambung
Karena repot sekali, Tesa tidak bisa keluar kantor. Markus dan Daniel juga sibuk dengan urus-an mereka sendiri. Terpaksa dia minta tolong kurir di kantor untuk menyetorkan uang ke rumah sakit.
Siangnya dalam rapat, Bos menugaskan Tesa pergi ke Bandung bersama kepala pemasaran untuk mengecek problem-problem yang bersangkutan dengan pembentukan kantor cabang.
Ketika Tesa kelihatan mengerutkan kening, Bos yang sangat sayang padanya mengira bahwa gadis itu enggan berpisah darinya. Dia se-gera ketawa lebar.
"Paling lama cuma tiga hari, Tesa," katanya menenteramkan, padahal Tesa tengah memikirkan bahwa dia takkan bisa menjenguk "Pasha" kalau begitu.
Sorenya dia ngebel Shakira memberitahukan hal itu.
"Aku pergi kira-kira tiga hari, Shak. Uang jaminan sudah aku setorkan. Kau masih punya uang untuk menengok anakmu?"
Shakira menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Tesa beranggapan bahwa dia masih punya uang.
"Kalau ada kebutuhan mendesak selama aku pergi, kau minta tolong abangku,saja. Nanti aku kasih tahu dia."
Urusan di Bandung ternyata bertele-tele. Tesa dan kepala pemasaran baru bisa pulang setelah hari kelima. Sementara itu perawat dan dokter sama-sama menunggu kedatangan ibu si "Pasha", walaupun masing-masing dengan alasan yang berbeda.
"Belum ditengok juga, Sus?" tanya Dokter Solem pada suatu pagi.
"Belum nih, Dok. Tahu tuh, ke mana ya ibu-nya? Apa anak ini mau ditinggal di sini? Ibunya sih kelihatan kayak orang berduit, tapi mana tahu ya, Dok, kalau misalnya enggak halal...."
"Husss!" protes sang dokter.
"Eh, benaran deh, Dok. Tuh, di bagian bersalin, ada pasien yahud, deh. Penampilannya meyakinkan, alamatnya juga di daerah bebas banjir. Pokoknya, orang kaya, deh. Eh, tahunya dia kabur, bayinya ditinggal. Waktu disamperin, ternyata sudah pindah. Lalu tanya sana-sini, baru ketahuan, rupanya hasil hubungan tidak sah! Sekarang bayi itu diambil sama Dokter Bujang. Nah, siapa tahu yang ini...?!" Suster Rani meng-angkat bahu ketika mendapati dokternya tidak meladeni, asyik membaca status.
Sebenarnya dia tengah menghafalkan nomor telepon. Sejak hari pertama Dokter Solem sudah kepingin menghubungi ibu si "Pasha". Tapi selalu saja banyak paramedis di dekatnya, sehingga dia tidak berani mengangkat telepon. Juga memang tak ada alasan baginya untuk ngebel. Tapi sekarang, dirasanya alasan itu sudah ada dan cukup mendesak! Anak itu sudah bisa di-pulangkan! Kenapa Ibu tidak juga datang menengok?!
Tapi dia tetap tidak berani menelepon didengarkan oleh perawat. Kalau yang disiarkan itu apa adanya, masih mending. Tapi kalau yang tertangkap kuping itu cuma sepotong-sepotong seperti teka-teki, lalu yang kosong mau diisi dengan karangan sendiri oleh Suster Rani, wah, ampun!
Sorenya, ketika Suster Rani sudah pulang dan penggantinya yang lugu dan kupluk sedang sibuk membaca laporan di kamarnya, Dokter Solem pun nekat. Setelah yakin takkan ada pasien baru yang akan mengetuk pintu, dan rekan-rekan semua sudah sirna dibawa lari mobil masing-masing, maka dijatuhkannya tubuh -nya ke atas kursi. Setelah mengucap wan-tu-tri (kebiasaan ngebrek di rumah!), diangkatnya telepon lalu diputarnya nomor yang sudah dihafalkannya seratus kali.
Agak lama berdering tanpa ada yang mengangkat. Jangan-jangan dia tidak di rumah, pikir-nya mulai berkeringat dingin. Tapi kan pasti ada orang lain! Misalnya pembantu! Ya, pasti ada pembantu. Mungkin sedang sibuk atau tanggung menyetrika. Oh, tidak, sedang me-masak air, tak boleh ditinggal. Sebentar lagi dia pasti datang terbirit-birit mengangkat telepon ini.
Namun detik demi detik berlalu. Harapannya sia-sia. Di rumah itu memang tak ada orang rupanya. Dilihatnya arloji. Pasti dia masih di kantor! Baru jam tiga lewat. Tapiii, masa sih rumahnya kosong sama sekali?! Tak masuk akal Goffar akan membiarkan istrinya bekerja di kantor tanpa pembantu di rumah!
Ketika dia sudah hampir menyerah, tanpa harapan, mendadak pesawat diangkat, lalu ter-dengar suara setengah membentak, "Ya, halo!"
"Selamat sore..." Brengsek, aku mau bilang apa, nih! Hm.
Sorenya dia ngebel Shakira memberitahukan hal itu.
"Aku pergi kira-kira tiga hari, Shak. Uang jaminan sudah aku setorkan. Kau masih punya uang untuk menengok anakmu?"
Shakira menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Tesa beranggapan bahwa dia masih punya uang.
"Kalau ada kebutuhan mendesak selama aku pergi, kau minta tolong abangku,saja. Nanti aku kasih tahu dia."
Urusan di Bandung ternyata bertele-tele. Tesa dan kepala pemasaran baru bisa pulang setelah hari kelima. Sementara itu perawat dan dokter sama-sama menunggu kedatangan ibu si "Pasha", walaupun masing-masing dengan alasan yang berbeda.
"Belum ditengok juga, Sus?" tanya Dokter Solem pada suatu pagi.
"Belum nih, Dok. Tahu tuh, ke mana ya ibu-nya? Apa anak ini mau ditinggal di sini? Ibunya sih kelihatan kayak orang berduit, tapi mana tahu ya, Dok, kalau misalnya enggak halal...."
"Husss!" protes sang dokter.
"Eh, benaran deh, Dok. Tuh, di bagian bersalin, ada pasien yahud, deh. Penampilannya meyakinkan, alamatnya juga di daerah bebas banjir. Pokoknya, orang kaya, deh. Eh, tahunya dia kabur, bayinya ditinggal. Waktu disamperin, ternyata sudah pindah. Lalu tanya sana-sini, baru ketahuan, rupanya hasil hubungan tidak sah! Sekarang bayi itu diambil sama Dokter Bujang. Nah, siapa tahu yang ini...?!" Suster Rani meng-angkat bahu ketika mendapati dokternya tidak meladeni, asyik membaca status.
Sebenarnya dia tengah menghafalkan nomor telepon. Sejak hari pertama Dokter Solem sudah kepingin menghubungi ibu si "Pasha". Tapi selalu saja banyak paramedis di dekatnya, sehingga dia tidak berani mengangkat telepon. Juga memang tak ada alasan baginya untuk ngebel. Tapi sekarang, dirasanya alasan itu sudah ada dan cukup mendesak! Anak itu sudah bisa di-pulangkan! Kenapa Ibu tidak juga datang menengok?!
Tapi dia tetap tidak berani menelepon didengarkan oleh perawat. Kalau yang disiarkan itu apa adanya, masih mending. Tapi kalau yang tertangkap kuping itu cuma sepotong-sepotong seperti teka-teki, lalu yang kosong mau diisi dengan karangan sendiri oleh Suster Rani, wah, ampun!
Sorenya, ketika Suster Rani sudah pulang dan penggantinya yang lugu dan kupluk sedang sibuk membaca laporan di kamarnya, Dokter Solem pun nekat. Setelah yakin takkan ada pasien baru yang akan mengetuk pintu, dan rekan-rekan semua sudah sirna dibawa lari mobil masing-masing, maka dijatuhkannya tubuh -nya ke atas kursi. Setelah mengucap wan-tu-tri (kebiasaan ngebrek di rumah!), diangkatnya telepon lalu diputarnya nomor yang sudah dihafalkannya seratus kali.
Agak lama berdering tanpa ada yang mengangkat. Jangan-jangan dia tidak di rumah, pikir-nya mulai berkeringat dingin. Tapi kan pasti ada orang lain! Misalnya pembantu! Ya, pasti ada pembantu. Mungkin sedang sibuk atau tanggung menyetrika. Oh, tidak, sedang me-masak air, tak boleh ditinggal. Sebentar lagi dia pasti datang terbirit-birit mengangkat telepon ini.
Namun detik demi detik berlalu. Harapannya sia-sia. Di rumah itu memang tak ada orang rupanya. Dilihatnya arloji. Pasti dia masih di kantor! Baru jam tiga lewat. Tapiii, masa sih rumahnya kosong sama sekali?! Tak masuk akal Goffar akan membiarkan istrinya bekerja di kantor tanpa pembantu di rumah!
Ketika dia sudah hampir menyerah, tanpa harapan, mendadak pesawat diangkat, lalu ter-dengar suara setengah membentak, "Ya, halo!"
"Selamat sore..." Brengsek, aku mau bilang apa, nih! Hm.
"Pak Goffar ada?" Suara di seberang sana mendadak jadi jelaS sekali membentak. Aduh, judesnya! Inikah Tesa sekarang?!
"Tidak ada! Ini dari mana?"
"Dari rumah sakit! Saya Dokter Solem."
"Oh."
Apakah dia mendengar nada khawatir sedikit?
"Saya istrinya. Ada apa, Dokter?"
Sungguh. Suaranya melunak sedikit. Sedikiiit... tapi masih lebih kasar dari yang diingat nya dulu. Atau barangkali dia sendiri yang sudah pikun? Mungkinkah mengingat suara orang setelah lewat sekian tahun?
"Anu, Bu. Anak Ibu sudah bisa diambil kembali..." Niatnya untuk menegur kenapa tak pernah ditengok, batal. Dia tidak punya keberanian untuk mengatakannya. "Kapan, Dokter?"
Tidak kedengaran dia bergembira? Enggak halal?! Ah, si Rani itu memang paling bisa ngecor gosip! Lidahnya kelewat panjang!
"Kapan saja. Sore ini. Atau besok. Ya, lebih baik besok saja. Temui saya dulu. Ya, saya masih perlu memberikan resep. Ya, besok. Jangan lupa, temui saya dulu!"
Ketika pesawat sudah diletakkan kembali, barulah disadarinya bahwa tubuhnya mandi keringat Astaga! Apa-apaan ini?! pikirnya jengkel namun geli. Maju ujian pun tak pernah begini senewen! Apa lagi besok?!
Apakah Tesa masih mengenalinya? Bagaimana kalau dia menyangkal kenal?! Aduh, betapa malunya dia kalau Tesa merasa keheranan, mengaku tak pernah ketemu. Terlebih kalau dia datang dengan suami, dan Goffar melecehinya! Bagaimana mau dipertahankannya gengsinya kalau itu terjadi?!
Tiba-tiba dia berharap matahari takkan terbenam sore ini, sehingga hari berikutnya bisa ditunda....
***
"Tidak ada! Ini dari mana?"
"Dari rumah sakit! Saya Dokter Solem."
"Oh."
Apakah dia mendengar nada khawatir sedikit?
"Saya istrinya. Ada apa, Dokter?"
Sungguh. Suaranya melunak sedikit. Sedikiiit... tapi masih lebih kasar dari yang diingat nya dulu. Atau barangkali dia sendiri yang sudah pikun? Mungkinkah mengingat suara orang setelah lewat sekian tahun?
"Anu, Bu. Anak Ibu sudah bisa diambil kembali..." Niatnya untuk menegur kenapa tak pernah ditengok, batal. Dia tidak punya keberanian untuk mengatakannya. "Kapan, Dokter?"
Tidak kedengaran dia bergembira? Enggak halal?! Ah, si Rani itu memang paling bisa ngecor gosip! Lidahnya kelewat panjang!
"Kapan saja. Sore ini. Atau besok. Ya, lebih baik besok saja. Temui saya dulu. Ya, saya masih perlu memberikan resep. Ya, besok. Jangan lupa, temui saya dulu!"
Ketika pesawat sudah diletakkan kembali, barulah disadarinya bahwa tubuhnya mandi keringat Astaga! Apa-apaan ini?! pikirnya jengkel namun geli. Maju ujian pun tak pernah begini senewen! Apa lagi besok?!
Apakah Tesa masih mengenalinya? Bagaimana kalau dia menyangkal kenal?! Aduh, betapa malunya dia kalau Tesa merasa keheranan, mengaku tak pernah ketemu. Terlebih kalau dia datang dengan suami, dan Goffar melecehinya! Bagaimana mau dipertahankannya gengsinya kalau itu terjadi?!
Tiba-tiba dia berharap matahari takkan terbenam sore ini, sehingga hari berikutnya bisa ditunda....
***
Sementara itu Shakira tidak meletakkan telepon, melainkan cuma menekan tombol, lalu langsung memutar nomor kantor Tesa.
"Halo, boleh bicara dengan Nona Tesa?"
"Oh, dia masih belum pulang dari
Bandung, Bu. Ini dari mana? Mau titip pesan?"
Dengan kesal Shakira membanting telepon tanpa meladeni.
Esoknya, dia spesial mengambil waktu dua jam untuk bersolek dengan rapi. Anak sulungnya sudah sembuh dari demam dan mencret, tapi masih lemah. Dititipnya anak itu pada tetangga sebelah kiri yang lebih sederhana dan tidak keberatan menolong. Tetangga sebelah kanan tak pernah dikenalnya. Rumahnya yang mewah bertingkat tiga itu selalu kelihatan sepi seakan memang tak pernah ada penghuninya. Rumah di sebelah kiri biasa-biasa saja, lebih kecil dari rumahnya sendiri dan agak usang. Di halaman, mereka membuka warung kecil tem-pat Shakira sering ngebon beras dan minyak.
Setelah menitip anaknya, Shakira pergi me-ngenakan pakaiannya yang terbaik, yaitu sepan hitam terbuat dari sutera dengan blus putih berenda terbuat dari polyester.
Kira-kira sejam kemudian telepon di kantor Tesa herdering. Kebetulan dia sendiri yang mengangkat, sebab operator sedang ke WC.
Setelah mendengar bahwa itu Tesa sendiri, langsung saja Shakira marah-marah.
Bandung, Bu. Ini dari mana? Mau titip pesan?"
Dengan kesal Shakira membanting telepon tanpa meladeni.
Esoknya, dia spesial mengambil waktu dua jam untuk bersolek dengan rapi. Anak sulungnya sudah sembuh dari demam dan mencret, tapi masih lemah. Dititipnya anak itu pada tetangga sebelah kiri yang lebih sederhana dan tidak keberatan menolong. Tetangga sebelah kanan tak pernah dikenalnya. Rumahnya yang mewah bertingkat tiga itu selalu kelihatan sepi seakan memang tak pernah ada penghuninya. Rumah di sebelah kiri biasa-biasa saja, lebih kecil dari rumahnya sendiri dan agak usang. Di halaman, mereka membuka warung kecil tem-pat Shakira sering ngebon beras dan minyak.
Setelah menitip anaknya, Shakira pergi me-ngenakan pakaiannya yang terbaik, yaitu sepan hitam terbuat dari sutera dengan blus putih berenda terbuat dari polyester.
Kira-kira sejam kemudian telepon di kantor Tesa herdering. Kebetulan dia sendiri yang mengangkat, sebab operator sedang ke WC.
Setelah mendengar bahwa itu Tesa sendiri, langsung saja Shakira marah-marah.
"Gimana sih kau ini, kenapa enggak ngasih tahu berapa biaya anakku? Sekarang aku tak punya duit!" ,
"Apa dia sudah boleh pulang?" tanya Tesa keheranan sambil menghitung-hitung. Eh, belum sepuluh hari.
"Iya. Memangnya mau berapa lama, sih? Aku kan enggak sanggup kalau terlalu lama! Sekarang gimana, nih! Anakku enggak bisa dibawa pulang kalau biayanya belum dilunasi! Kenapa kau enggak mau ngasih tahu biar aku siap-siap!"
"Oh, aku baru semalam pulang dari Bandung, Shak. Jam sepuluh tadi malam. Keretanya terlambat. Tapi, aku kira anakmu takkan pulang secepat itu... hm, gimana, ya. Sekarang kau di mana?"
"Di rumah sakit”
"Hm. Gimana, ya. Gini saja, deh. Bisa enggak kau ke kantorku? Aku enggak bisa keluar. Soalnya kerjaan menumpuk. Nanti aku berikan uangnya. Berapa sih kurangnya? Aku sudah bayarkan seratus ribu."
"Semuanya seratus sembilan puluh delapan ribu empat ratus rupiah! Kan kelas kambing! Maklumlah, anak orang enggak punya!" Suara Shakira kedengaran sinis, sehingga Tesa merasa tidak enak hati. Waktu itu memang dia tidak menegaskan minta kelas satu dan rupanya oleh perawat otomatis dimasukkan ke kelas tiga.
"Rupanya waktu itu aku amat terburu-buru, Shak, sampai kelupaan tanya kelasnya. Tapi kan masih cukup bersih, bukan?"
"Apa dia sudah boleh pulang?" tanya Tesa keheranan sambil menghitung-hitung. Eh, belum sepuluh hari.
"Iya. Memangnya mau berapa lama, sih? Aku kan enggak sanggup kalau terlalu lama! Sekarang gimana, nih! Anakku enggak bisa dibawa pulang kalau biayanya belum dilunasi! Kenapa kau enggak mau ngasih tahu biar aku siap-siap!"
"Oh, aku baru semalam pulang dari Bandung, Shak. Jam sepuluh tadi malam. Keretanya terlambat. Tapi, aku kira anakmu takkan pulang secepat itu... hm, gimana, ya. Sekarang kau di mana?"
"Di rumah sakit”
"Hm. Gimana, ya. Gini saja, deh. Bisa enggak kau ke kantorku? Aku enggak bisa keluar. Soalnya kerjaan menumpuk. Nanti aku berikan uangnya. Berapa sih kurangnya? Aku sudah bayarkan seratus ribu."
"Semuanya seratus sembilan puluh delapan ribu empat ratus rupiah! Kan kelas kambing! Maklumlah, anak orang enggak punya!" Suara Shakira kedengaran sinis, sehingga Tesa merasa tidak enak hati. Waktu itu memang dia tidak menegaskan minta kelas satu dan rupanya oleh perawat otomatis dimasukkan ke kelas tiga.
"Rupanya waktu itu aku amat terburu-buru, Shak, sampai kelupaan tanya kelasnya. Tapi kan masih cukup bersih, bukan?"
"O ya, anaku juga harus tahu diri, dong.
"Masih untung ada orang yang mau membawanya ke rumah sakit!"
Shakira ini mau apa sih, pikir Tesa agak kesal. Sedang angot sintingnya, kali?! Kok nyindir-nyindir terus?!
"Jadi kurangnya sembilan puluh delapan ribu empat ratus ya, Shak." Tesa cepat mengalihkan perhatian Shakira yang lagi angot itu.
"Iya, betul! Eh, Tes, aku enggak mau dikasih, lho!" seru Shakira.
"Habis?"
Aneh orang ini. Kalau begitu, buat apa nelepon sambil marah-marah?!
"Masih untung ada orang yang mau membawanya ke rumah sakit!"
Shakira ini mau apa sih, pikir Tesa agak kesal. Sedang angot sintingnya, kali?! Kok nyindir-nyindir terus?!
"Jadi kurangnya sembilan puluh delapan ribu empat ratus ya, Shak." Tesa cepat mengalihkan perhatian Shakira yang lagi angot itu.
"Iya, betul! Eh, Tes, aku enggak mau dikasih, lho!" seru Shakira.
"Habis?"
Aneh orang ini. Kalau begitu, buat apa nelepon sambil marah-marah?!
"Aku pinjam saja!"
Aduh, gagah suaranya, pikir Tesa geli. Seingataya, dulu pun di SMA, Shakira itu senang minjam padahal bapaknya kaya. Dia sering kekurangan uang, dan dengan nyaman selalu melupakan utang-utangnya!
"Baiklah," sahutnya biar jangan bertele-tele.
Aduh, gagah suaranya, pikir Tesa geli. Seingataya, dulu pun di SMA, Shakira itu senang minjam padahal bapaknya kaya. Dia sering kekurangan uang, dan dengan nyaman selalu melupakan utang-utangnya!
"Baiklah," sahutnya biar jangan bertele-tele.
"Aku tunggu, deh."
Karena dia tidak membawa uang sebanyak yang diperlukan, Tesa terpaksa ngebon di kantor. Begitu diberi uang, Shakira cepat cepat ber-lalu seakan sudah tidak sabar mau menjemput anaknya. Padahal selama itu tidak sekali pun ditengoknya!
Sebenarnya dia sudah tak tahan ingin ketemu dokter yang suaranya begitu lembut di telepon. Ketika melihat cermin tadi pagi, dia tahu hidupnya masih penuh harapan. Tesa sendiri agakpangling melihatnya, namun tidak dikatakannya. Shakira berdandan ekstra perlente, malah wajahnya agak medok menurut selera Tesa. Bibirnya terlalu merah menantang, rouge di pipi seperti sepuhan merah yang pernah dilihatnya di atas kue bakpau sementara pensil alisnya benar-benar mirip goresan arang pada vandalisme tembok. Yang paling gawat lagi, rupanya foundation bedaknya tidak diencerkannya, tapi langsung dioleskan ke pipi. Akibatnya di sana-sini ada yang tebal, yaitu tempat-tempat pertama kali krem itu dipoleskan. Sekarang bercampur sedikit dengan keringat, make-upnya mulai luntur. Mungkin mereknya tidak bona-fide.
"Ayo ah, Tes! Aku- perlu buru- buru, nih! Daaag!" serunya dengan ketawa meriah. Tesa menggeleng-geleng melihat sikap temannya yang tidak sabaran seakan perlu mengejar kereta penghabisan!
Dokter Solem juga sama-sama tidak sabar. Sejak pagi sudah dipesannya Suster Rani.
Karena dia tidak membawa uang sebanyak yang diperlukan, Tesa terpaksa ngebon di kantor. Begitu diberi uang, Shakira cepat cepat ber-lalu seakan sudah tidak sabar mau menjemput anaknya. Padahal selama itu tidak sekali pun ditengoknya!
Sebenarnya dia sudah tak tahan ingin ketemu dokter yang suaranya begitu lembut di telepon. Ketika melihat cermin tadi pagi, dia tahu hidupnya masih penuh harapan. Tesa sendiri agakpangling melihatnya, namun tidak dikatakannya. Shakira berdandan ekstra perlente, malah wajahnya agak medok menurut selera Tesa. Bibirnya terlalu merah menantang, rouge di pipi seperti sepuhan merah yang pernah dilihatnya di atas kue bakpau sementara pensil alisnya benar-benar mirip goresan arang pada vandalisme tembok. Yang paling gawat lagi, rupanya foundation bedaknya tidak diencerkannya, tapi langsung dioleskan ke pipi. Akibatnya di sana-sini ada yang tebal, yaitu tempat-tempat pertama kali krem itu dipoleskan. Sekarang bercampur sedikit dengan keringat, make-upnya mulai luntur. Mungkin mereknya tidak bona-fide.
"Ayo ah, Tes! Aku- perlu buru- buru, nih! Daaag!" serunya dengan ketawa meriah. Tesa menggeleng-geleng melihat sikap temannya yang tidak sabaran seakan perlu mengejar kereta penghabisan!
Dokter Solem juga sama-sama tidak sabar. Sejak pagi sudah dipesannya Suster Rani.
"Kalau ibunya si Pasha datang, beritahu saya! Jangan biarkan dia membawa anak itu pulang sebelum ketemu dengan saya! Ingat! Jangan lupa! Saya harus ketemu dulu dengannya!"
Mendapat pesan yang begitu dto, tentu saja Suster Rani bersiaga penuh. Maka begitu ada orang muncul dan menyatakan diri sebagai ibu dari pasien di kamar tiga, perawat itu terbirit-birit mencari atasannya.
Setelah jogging di lorong hampir sepuluh menit, barulah yang dicari ketemu. Sementara itu napasnya sudah hampir putus, maklum tak sempat berolahraga, tubuhnya tidak terlatih.
Mendapat pesan yang begitu dto, tentu saja Suster Rani bersiaga penuh. Maka begitu ada orang muncul dan menyatakan diri sebagai ibu dari pasien di kamar tiga, perawat itu terbirit-birit mencari atasannya.
Setelah jogging di lorong hampir sepuluh menit, barulah yang dicari ketemu. Sementara itu napasnya sudah hampir putus, maklum tak sempat berolahraga, tubuhnya tidak terlatih.
"Dokter... Solem...," serunya terengah-engah,
"yang mau ketemu sudah datang!"
"yang mau ketemu sudah datang!"
"Ibunya Pasha?!"
"Dia sih menyebut nama lain, tahu apa deh, saya tidak menangkap. Tapi dia bilang kamar tiga, jadi enggak salah, deh! Kan kamar itu saat ini cuma dihuni pasien muntaber satu itu!"
Maka dokter pun cepat-cepat mengikuti perawatnya. Hatinya yang sejak tadi pagi sudah kempas-kempis, kini betul-betul dag-dag-dug-dug macam palu tukang besi. Namun harapannya yang sempat mekar menjadi kuncup kembali ketika dia melihat perempuan yang bersolek macam pemain panggung itu tengah duduk di depan mejanya.
"Nyonya Goffar?" tanyanya dengan perasaan campur aduk. Di satu pihak dia khawatir salah. Sebab Nyonya Goffar kan Tesa, bukan?! Dan dia tahu perempuan yang dandanannya seperti pemain Kabuki itu bukan Tesa. Di lain pihak, dia berharap wanita itu betul istrinya. Berarti, Tesa tidak kembali pada yang lama. Tapi kalau begitu, lantas kenapa Tesa membawa anak itu kemari?!
"He... eh...," sahut Shakira dengan kenes sambil melirik manja.
"Oh!" Dokter Solem mendadak jadi gugup sampai terbatuk-batuk. Tapi dia tak dapat menyembunyikan kelegaannya.
"Ah, Dokter kelihatan begitu lega, kenapa, sih?" tanya Shakira dengan berani.
"Oh, ah... anu... saya sangka semula Ibu Goffar adalah seseorang yang saya pernah kenal," sahutnya lalu cepat-cepat mengambil kartu status dan mulai mernbolak-baliknya untuk me-nutupi gugupnya. Agresif betul perempuan ini, pikirnya resah. Lebih cepat kuusir pulang, lebih aman!
"Oh, begitu! Jadi Dokter ini kenal sama..."
Wah, suaranya makin intim! Apa-apaan, nih?! pikir Dokter Solem.
"Anu, siapa yang membawa anak ini kemari?" tanyanya memotong kalimat yang berbahaya itu.
Shakira ketawa genit dan meriah. Tangannya diletakkannya di atas meja, makin lama makin ke dalam, mendekati tangan dokter.
"Teman saya, Dokter. Waktu itu saya di luar kota," jawabnya sambil meremas-remas saputangan di atas meja.
"Siapa namanya?" tanya Dokter Solem sambil berlagak mau menulis seakan itu pertanyaan yang rutin saja.
"Lantaran itu saya juga enggak pernah be-zoek," Shakira melanjutkan tanpa mendengar apa yang ditanyakan. Kepalanya bergoyang-goyang, sebab dia tahu dari cermin bahwa sikap begitu baginya kena betul. Hiasan rambutnya akan terombang-ambing seperti jentera kapal.
"Ini juga baru kemarin pulang. Saya bertugas mewakili Ayah untuk meresmikan kantor cabang salah satu perusahaan kami. Ayah sendiri sedang sibuk di New York membicarakan pinjaman modal. Dokter lulusan mana?"
"Australia," sahutnya singkat sambil memandang Nyonya Goffar sekilas. Hm.
Kalau dilihat-lihat, beruk ini memang boleh juga.
Sementara itu Shakira sudah berpikir: Australia?!
"Di kota apa, Dokter?"
"Perth. Begini, Bu, saya akan menulis...."
Hm. Perth?! Hm. Pasti kenal! Mungkin juga lebih dari sekadar kenal!
"Dia sih menyebut nama lain, tahu apa deh, saya tidak menangkap. Tapi dia bilang kamar tiga, jadi enggak salah, deh! Kan kamar itu saat ini cuma dihuni pasien muntaber satu itu!"
Maka dokter pun cepat-cepat mengikuti perawatnya. Hatinya yang sejak tadi pagi sudah kempas-kempis, kini betul-betul dag-dag-dug-dug macam palu tukang besi. Namun harapannya yang sempat mekar menjadi kuncup kembali ketika dia melihat perempuan yang bersolek macam pemain panggung itu tengah duduk di depan mejanya.
"Nyonya Goffar?" tanyanya dengan perasaan campur aduk. Di satu pihak dia khawatir salah. Sebab Nyonya Goffar kan Tesa, bukan?! Dan dia tahu perempuan yang dandanannya seperti pemain Kabuki itu bukan Tesa. Di lain pihak, dia berharap wanita itu betul istrinya. Berarti, Tesa tidak kembali pada yang lama. Tapi kalau begitu, lantas kenapa Tesa membawa anak itu kemari?!
"He... eh...," sahut Shakira dengan kenes sambil melirik manja.
"Oh!" Dokter Solem mendadak jadi gugup sampai terbatuk-batuk. Tapi dia tak dapat menyembunyikan kelegaannya.
"Ah, Dokter kelihatan begitu lega, kenapa, sih?" tanya Shakira dengan berani.
"Oh, ah... anu... saya sangka semula Ibu Goffar adalah seseorang yang saya pernah kenal," sahutnya lalu cepat-cepat mengambil kartu status dan mulai mernbolak-baliknya untuk me-nutupi gugupnya. Agresif betul perempuan ini, pikirnya resah. Lebih cepat kuusir pulang, lebih aman!
"Oh, begitu! Jadi Dokter ini kenal sama..."
Wah, suaranya makin intim! Apa-apaan, nih?! pikir Dokter Solem.
"Anu, siapa yang membawa anak ini kemari?" tanyanya memotong kalimat yang berbahaya itu.
Shakira ketawa genit dan meriah. Tangannya diletakkannya di atas meja, makin lama makin ke dalam, mendekati tangan dokter.
"Teman saya, Dokter. Waktu itu saya di luar kota," jawabnya sambil meremas-remas saputangan di atas meja.
"Siapa namanya?" tanya Dokter Solem sambil berlagak mau menulis seakan itu pertanyaan yang rutin saja.
"Lantaran itu saya juga enggak pernah be-zoek," Shakira melanjutkan tanpa mendengar apa yang ditanyakan. Kepalanya bergoyang-goyang, sebab dia tahu dari cermin bahwa sikap begitu baginya kena betul. Hiasan rambutnya akan terombang-ambing seperti jentera kapal.
"Ini juga baru kemarin pulang. Saya bertugas mewakili Ayah untuk meresmikan kantor cabang salah satu perusahaan kami. Ayah sendiri sedang sibuk di New York membicarakan pinjaman modal. Dokter lulusan mana?"
"Australia," sahutnya singkat sambil memandang Nyonya Goffar sekilas. Hm.
Kalau dilihat-lihat, beruk ini memang boleh juga.
Sementara itu Shakira sudah berpikir: Australia?!
"Di kota apa, Dokter?"
"Perth. Begini, Bu, saya akan menulis...."
Hm. Perth?! Hm. Pasti kenal! Mungkin juga lebih dari sekadar kenal!
"Ayah juga punya real estate di Australia. Kalau lulusan luar negeri seperti
Dokter ini, mestinya cari istri yang sama-sama hebat dong, Dok. Maksud saya, yang pintar, yang terkemuka, yang mapan, yang orangtuanya kaya..."
"Ehem!" Dokter Solem berdehem sambil ter -senyum kecil. Pandai betul nyonya muda ini bersilat lidah! Entah ke mana jatuhnya nasihat itu.
"Yah! Tapi manusia tak bisa mendapat semua yang dikehendakinya, bukan, Dok?! Contohnya ayah saya. Sedikit banyak. Ayah termasuk salah satu jutawan yang ngetop di republik ini. Pergaulannya dengan orang-orang atasan melulu. Bulan kemarin Ayah mendapat piala bergilir kejuaraan golf di antara para menteri serta usahawan kelas kakap. Bulan sebelumnya, dia juara jogging dalam perlombaan antar -presdir-presdir bank nasional dan asing se-Jakarta. Karena itu dia selalu sibuk dan saya yang harus mewakili dalam urusan-urusan penting. Tapi meskipun ayah saya begitu kaya, satu impiannya enggak bisa terkabul. Dia ingin punya menantu dokter! Dan saya ini anak tunggalnya..."
Dokter ini, mestinya cari istri yang sama-sama hebat dong, Dok. Maksud saya, yang pintar, yang terkemuka, yang mapan, yang orangtuanya kaya..."
"Ehem!" Dokter Solem berdehem sambil ter -senyum kecil. Pandai betul nyonya muda ini bersilat lidah! Entah ke mana jatuhnya nasihat itu.
"Yah! Tapi manusia tak bisa mendapat semua yang dikehendakinya, bukan, Dok?! Contohnya ayah saya. Sedikit banyak. Ayah termasuk salah satu jutawan yang ngetop di republik ini. Pergaulannya dengan orang-orang atasan melulu. Bulan kemarin Ayah mendapat piala bergilir kejuaraan golf di antara para menteri serta usahawan kelas kakap. Bulan sebelumnya, dia juara jogging dalam perlombaan antar -presdir-presdir bank nasional dan asing se-Jakarta. Karena itu dia selalu sibuk dan saya yang harus mewakili dalam urusan-urusan penting. Tapi meskipun ayah saya begitu kaya, satu impiannya enggak bisa terkabul. Dia ingin punya menantu dokter! Dan saya ini anak tunggalnya..."
Bukan main perempuan ini! pikir Dokter Solem, geli bercampur kesal. Waktunya yang berharga seenaknya dibuang-buangnya!
"Bu Goffar, anak Ibu akan kami pulangkan hari ini, tapi sebenarnya dia masih harus dirawat lebih lanjut. Tubuhnya kekurangan gizi yang sudah kronis."
"Mana mungkin!" prates Nyonya Goffar dengan keras.
"Bu Goffar, anak Ibu akan kami pulangkan hari ini, tapi sebenarnya dia masih harus dirawat lebih lanjut. Tubuhnya kekurangan gizi yang sudah kronis."
"Mana mungkin!" prates Nyonya Goffar dengan keras.
"Anak saya tak mungkin kekurangan gizi! Kami kan orang kaya! Kakeknya..."
"Tapi Ibu kan selalu sibuk, jadi anak itu rupa-nya cuma diserahkan ke tangan pembantu! Betul, kan? Tentu saja pembantu tidak betul-betul melek -gizi seperti... Ibu, misalnya," Dokter Solem menjelaskan sambil menatap tamunya.
"Tapi Ibu kan selalu sibuk, jadi anak itu rupa-nya cuma diserahkan ke tangan pembantu! Betul, kan? Tentu saja pembantu tidak betul-betul melek -gizi seperti... Ibu, misalnya," Dokter Solem menjelaskan sambil menatap tamunya.
Dan tiba-tiba dilihatnya betapa kurusnya perempuan itu. Kulimya kusam dan wajahnya sudah disinggahi keriput, padahal usianya kelihatan masih muda. Apakah dia sendiri juga buta-gizi?! Dokter itu menggeleng dalam hati.
"Yah! Mungkin pembantu saya sembarangan saja memberi makan anak-anak!"
"Yah! Mungkin pembantu saya sembarangan saja memberi makan anak-anak!"
"Seharusnya memang anak ini masih dirawat di sini, tapi kami kekurangan tempat tidur untuk pasien-pasien yang betul-betul membutuhkan. Selain itu, perawatan di rumah pun saya rasa cukup memadai, sebab ada ibu dan ayah nya...."
"Oh, kami sudah mau cerai kok, Dokter!" potong Shakira dengan lirikan maut.
Samar-samar sang dokter mulai mencium bau yang tidak enak. Barangkali perempuan ini masih penasaran kenapa ayahnya yang begitu kaa..yaa.. kok tidak bisa punya menantu dokter!
Tapi dia berlagak tidak mendengar. Tidak bisa dong meladeni masalah pribadi orang yang tak ada sangkut pautnya dengan dinasnya!
"Suster akan memberikan pedoman gizi untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan anak itu. Dan saya akan menuliskan resep yang harus Ibu beli di luar. Siapa nama anak itu?"
"Rino."
Em. Jadi "Pasha" itu cuma ciptaan Tesa belaka! Kenapa justru nama itu yang disebutkannya? Apa dia tidak tahu nama anak tersebut? Mungkin. Seingatnya, Goffar itu dirampas oleh temannya sendiri. Jadi rasanya tak mungkin dia akan bersahabat terus dengan perempuan ini! Tapi kenapa dia sudi mengantarkan anak mereka ke sini?!
Diraihnya boks resep dari pinggir meja. Dia ingin sekali mendapat alamat Tesa. Ditatapnya sekilas tamunya. Kalau dia sendiri sudah mulai naksir sang dokter, mustahil dia akan rela memberikan alamat perempuan lain yang dulu pernah menjadi saingannya. Yah, apa boleh buat, terpaksa dibohonginya perempuan ini.
Kertas resep tidak jadi ditulisi. Diambilnya kartu merah, lalu dipelajarinya.
"Oh, kami sudah mau cerai kok, Dokter!" potong Shakira dengan lirikan maut.
Samar-samar sang dokter mulai mencium bau yang tidak enak. Barangkali perempuan ini masih penasaran kenapa ayahnya yang begitu kaa..yaa.. kok tidak bisa punya menantu dokter!
Tapi dia berlagak tidak mendengar. Tidak bisa dong meladeni masalah pribadi orang yang tak ada sangkut pautnya dengan dinasnya!
"Suster akan memberikan pedoman gizi untuk memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan anak itu. Dan saya akan menuliskan resep yang harus Ibu beli di luar. Siapa nama anak itu?"
"Rino."
Em. Jadi "Pasha" itu cuma ciptaan Tesa belaka! Kenapa justru nama itu yang disebutkannya? Apa dia tidak tahu nama anak tersebut? Mungkin. Seingatnya, Goffar itu dirampas oleh temannya sendiri. Jadi rasanya tak mungkin dia akan bersahabat terus dengan perempuan ini! Tapi kenapa dia sudi mengantarkan anak mereka ke sini?!
Diraihnya boks resep dari pinggir meja. Dia ingin sekali mendapat alamat Tesa. Ditatapnya sekilas tamunya. Kalau dia sendiri sudah mulai naksir sang dokter, mustahil dia akan rela memberikan alamat perempuan lain yang dulu pernah menjadi saingannya. Yah, apa boleh buat, terpaksa dibohonginya perempuan ini.
Kertas resep tidak jadi ditulisi. Diambilnya kartu merah, lalu dipelajarinya.
"Hm," katanya seakan merenung, lalu mengangkat muka dan menatap Shakira.
"Map ini belum lengkap. Co-ba Ibu sebutkan nama dan alamat orang yang mengantarkan sang pasien tempo hari!" Perintah itu dibebaninya dengan wajah serius dan mata yang menatap tanpa kedip.
Shakira menggoyang kepalanya beberapa kali. Menurut dia, pasti dokter itu akan lumer semangatnya. Ketika ternyata tidak, dia mengeluh manja, "Ah, perlukah?"
"Ya!"
Melihat takkan ada kompromi, dengan tampang amat terpaksa perempuan itu menyebutkan nama dan alamat Tesa, yang dicatat oleh dokter di atas kertas lain.
"Nomor telepon?" Perintah itu demikian tegas, sehingga Shakira tidak sempat berpikir untuk menanyakan apa gunanya. Tergesa-gesa di-keluarkannya buku catatan telepon dari tasnya.
Setelah puas mendapatkan semua yang diper-lukannya, Dokter Pasha Solem pun menuliskan resep. Lalu diberikannya pada Nyonya Goffar.
Lalu dia berdiri dan siap meninggalkan tamunya.
"Terima kasih, Dokter," ucap Shakira tersenyum mencoba rayuan terakhir, lalu menambahkan dengan suara memelas.
Shakira menggoyang kepalanya beberapa kali. Menurut dia, pasti dokter itu akan lumer semangatnya. Ketika ternyata tidak, dia mengeluh manja, "Ah, perlukah?"
"Ya!"
Melihat takkan ada kompromi, dengan tampang amat terpaksa perempuan itu menyebutkan nama dan alamat Tesa, yang dicatat oleh dokter di atas kertas lain.
"Nomor telepon?" Perintah itu demikian tegas, sehingga Shakira tidak sempat berpikir untuk menanyakan apa gunanya. Tergesa-gesa di-keluarkannya buku catatan telepon dari tasnya.
Setelah puas mendapatkan semua yang diper-lukannya, Dokter Pasha Solem pun menuliskan resep. Lalu diberikannya pada Nyonya Goffar.
Lalu dia berdiri dan siap meninggalkan tamunya.
"Terima kasih, Dokter," ucap Shakira tersenyum mencoba rayuan terakhir, lalu menambahkan dengan suara memelas.
"Kalau saya perlu apa-apa, masih boleh menemui Dokter lagi,bukan?"
"Tentu saja!" sahut Dokter Solem, tiba-tiba mengedip sambil ketawa lebar, sehingga jantung Shakira nyaris putus. Dia tidak tahu bahwa kegembiraan itu bukan disebabkan olehnya, melainkan oleh catatan tertentu pada kertas yang tadi cepat-cepat diamankannya dalam saku!!
"Tentu saja!" sahut Dokter Solem, tiba-tiba mengedip sambil ketawa lebar, sehingga jantung Shakira nyaris putus. Dia tidak tahu bahwa kegembiraan itu bukan disebabkan olehnya, melainkan oleh catatan tertentu pada kertas yang tadi cepat-cepat diamankannya dalam saku!!
==========
"Halo, selamat sore. Boleh saya bicara dengan Nona Tesa?"
"Ini dari siapa, ya?" tanya Nyonya Rodan, ibu Tesa.
"Halo, selamat sore. Boleh saya bicara dengan Nona Tesa?"
"Ini dari siapa, ya?" tanya Nyonya Rodan, ibu Tesa.
"Dari Solem, Bu."
"Begini Pak Solem, anak saya kebetulan sedang di kamar mandi. Berikan
saja nomor Bapak, nanti dia akan call balik."
Karena Pasha Solem punya rencana proyek jangka panjang, tentu saja dia tidak berani berbuat salah walau sekecil kutu apa pun misalnya dengan berlaku tidak sopan mengatakan, "Tak usah, saya akan bel kembali!"
Maka seperti remaja lugu disebutkannya nomornya satu per satu dengan jelas dan Nyonya Rodan mengulangi, juga satu per satu sambil menuliskannya ke atas notes.
Sampai malam Pasha melek menunggu panggilan, tapi telepon tidak juga berdering. Esoknya pagi-pagi dicobanya sekali lagi. Tak mungkin Tesa sudah berangkat, pikirnya. Tapi kenyataan-nya memang demikian.
"Tesa sudah ke kantor setengah jam yang lalu. Katanya khawatir macet kalau kesiangan. Ini dari mana?"
"Solem yang kemarin, Bu."
saja nomor Bapak, nanti dia akan call balik."
Karena Pasha Solem punya rencana proyek jangka panjang, tentu saja dia tidak berani berbuat salah walau sekecil kutu apa pun misalnya dengan berlaku tidak sopan mengatakan, "Tak usah, saya akan bel kembali!"
Maka seperti remaja lugu disebutkannya nomornya satu per satu dengan jelas dan Nyonya Rodan mengulangi, juga satu per satu sambil menuliskannya ke atas notes.
Sampai malam Pasha melek menunggu panggilan, tapi telepon tidak juga berdering. Esoknya pagi-pagi dicobanya sekali lagi. Tak mungkin Tesa sudah berangkat, pikirnya. Tapi kenyataan-nya memang demikian.
"Tesa sudah ke kantor setengah jam yang lalu. Katanya khawatir macet kalau kesiangan. Ini dari mana?"
"Solem yang kemarin, Bu."
"O ya, Pak Solem, sudah Ibu beritahukan nomor telepon Bapak padanya. Heran, kenapa Tesa sampai lupa menelepon balik? Sebenarnya ada urusan apa, ya?"
"Ah, cuma urusan bisnis sedikit, Bu."
"Baiklah kalau begitu. Nanti sore akan Ibu katakan padanya."
"Ah, cuma urusan bisnis sedikit, Bu."
"Baiklah kalau begitu. Nanti sore akan Ibu katakan padanya."
Malamnya di meja makan, Nyonya Rodan teringat janjinya tadi pagi pada Pak Solem.
"Tes, tadi pagi ada telepon."
"Dari siapa, Mam?"
"Itu, Pak Solem yang kemarin sore itu!" Aneh. Wajah Tesa langsung mendung, tapi untung cuma dilihat oleh ibunya, sebab yang lain sedang asyik makan semangka. Hm, pikir Tesa. Untung dia cukup tahu diri, tidak mau pakai titel di luar jam dinas! Soalnya, ibunya agak gandrung terhadap jenis titel yang satu itu. Lihat saja, setelah Markus, pasti Daniel juga akan dituntunnya masuk FK!
"Mam, kalau orang itu telepon lagi, tolong katakan selalu, saya enggak di rumah! Saya ogah deh berurusan dengan segala macam salesmanl Baru datang ke kantor sekali, sudah mau maksa jual barangnya!"
"Jualan apa, sih?" tanya Markus.
"Itu, lho! Panci ajaib! Sudah aku bilang, aku belum kawin, enggak perlu panel!" kata Tesa dengan serius, sehingga kesebalannya terlihat sungguhan.
"Terus dia bilang, kawin saja dengan nya, nanti dikasih panci!" sambung Markus terkekeh, membuat adiknya mendelik keki.
"Tapi orangnya kedengaran sopan, Tes", kata ibunya lagi.
"Ah, Mami! Di mana sih ada orang jualan yang enggak sopan, enggak manis, enggak pintar merayu? Pendeknya, supaya barangnya laku, apa juga akan dilakukannya! Kalau sudah dibeli, nah, lain lagi sikapnya! Coba, misalnya kita mau tukar, pasti dia akan judes sekali!"
"Tapi katanya, urusan bisnis!" ibunya ngotot. "Penting!" Ini tambahan ibunya sendiri.
"Terus dia bilang, kawin saja dengan nya, nanti dikasih panci!" sambung Markus terkekeh, membuat adiknya mendelik keki.
"Tapi orangnya kedengaran sopan, Tes", kata ibunya lagi.
"Ah, Mami! Di mana sih ada orang jualan yang enggak sopan, enggak manis, enggak pintar merayu? Pendeknya, supaya barangnya laku, apa juga akan dilakukannya! Kalau sudah dibeli, nah, lain lagi sikapnya! Coba, misalnya kita mau tukar, pasti dia akan judes sekali!"
"Tapi katanya, urusan bisnis!" ibunya ngotot. "Penting!" Ini tambahan ibunya sendiri.
Perempuan itu sudah begitu khawatir melihat putri-nya tidak juga mendapat jodoh, sehingga setiap pria yang mendekat, rasanya mau diundangnya ikut makan!
"Nah, kalau benar-benar bisnis, suruh saja dia menghubungi saya di kantor, Mam. Bilang enggak usah datang, pakai telepon saja. Kalau dia belum tahu nomornya, berikan saja, Mam."
"Apa dia bukannya calon arjunamu yang mu-takhir?" nimbrung Daniel sambil menggigit se-mangka.
"Ala, kau! Sama saja dengan Mami! Pola sentralmu cuma jodoh melulu!"
"Nah, kalau benar-benar bisnis, suruh saja dia menghubungi saya di kantor, Mam. Bilang enggak usah datang, pakai telepon saja. Kalau dia belum tahu nomornya, berikan saja, Mam."
"Apa dia bukannya calon arjunamu yang mu-takhir?" nimbrung Daniel sambil menggigit se-mangka.
"Ala, kau! Sama saja dengan Mami! Pola sentralmu cuma jodoh melulu!"
"Laa, habis apa, dong?" sambut ayahnya.
"Kau kan sudah cukup umur." "Lewat malah!" cetus Daniel nyengir. "Jangan kurang ajar!" tegur Ibu.
"Jangan kurang ajar!" membeo si Aster kecil yang baru sembilan tahun.
"Ala, soal itu mah gampang, Pap!" tukas Tesa dengan anteng "Kalau sudah waktunya pasti akan datang sendiri, enggak ke mana-mana!"
***
"Jangan kurang ajar!" membeo si Aster kecil yang baru sembilan tahun.
"Ala, soal itu mah gampang, Pap!" tukas Tesa dengan anteng "Kalau sudah waktunya pasti akan datang sendiri, enggak ke mana-mana!"
***
Pasha tidak mau menyerah. Dia menelepon lagi.
"Pak Solem, anak saya berpesan, dia belum mau membeli panci ajaib Anda," kata Nyonya Rodan yang tidak tahu urusan, membuat yang mendengar jadi tersenyum sumir, meringis tak tentu ulah. Lelucon apa yang sedang dimainkan oleh Tesa ini?! pikirnya.
"Tapi kalau Bapak memang sangat ingin bicara dengannya, katanya disilakan menghubungi dia di kantor saja. Ini nomornya, harap dicatat baik-baik."
"Anu, Bu, boleh saya tahu juga nama dan alamat kantornya?"
"Oh, boleh. Boleh," sahut Nyonya Rodan lalu menyebutkan yang diminta.
"Pak Solem, anak saya berpesan, dia belum mau membeli panci ajaib Anda," kata Nyonya Rodan yang tidak tahu urusan, membuat yang mendengar jadi tersenyum sumir, meringis tak tentu ulah. Lelucon apa yang sedang dimainkan oleh Tesa ini?! pikirnya.
"Tapi kalau Bapak memang sangat ingin bicara dengannya, katanya disilakan menghubungi dia di kantor saja. Ini nomornya, harap dicatat baik-baik."
"Anu, Bu, boleh saya tahu juga nama dan alamat kantornya?"
"Oh, boleh. Boleh," sahut Nyonya Rodan lalu menyebutkan yang diminta.
"Terima kasih, Bu. Selamat pagi."
"Kembali... eh, eh..." Nyonya Rodan mendadak tercekat seakan disengat lebah. "... eh, katanya pernah jualan ke kantor! Kok sekarang nanya di mana kantornya?!"
Tapi telepon sudah lama diletakkan oleh Pak Solem.
***
Telepon berdering di meja sekretaris. Tesa mengangkatnya lalu menyebutkan nama kantor: nya.
"Selamat siang!" seru suara di seberang sana dengan nada riang yang rasa-rasanya dikenal-nya.
Tapi telepon sudah lama diletakkan oleh Pak Solem.
***
Telepon berdering di meja sekretaris. Tesa mengangkatnya lalu menyebutkan nama kantor: nya.
"Selamat siang!" seru suara di seberang sana dengan nada riang yang rasa-rasanya dikenal-nya.
"Boleh saya bicara dengan Tesa?"
"Tesa yang mana?" tanyanya mempermain-kan.
"Tesa yang mana?" tanyanya mempermain-kan.
"Di sini ada dua Tesa."
"Tesa Rodan."
"Oh, Ibu Tesa sedang keluar, Pak. Mau titip pesan?"
"Tak usahlah. Ehem, kapan dia akan kembali?"
"Wah, kurang tahu ya, Pak. Mungkin jam tigaan, gitu."
"Baiklah. Terima kasih. Nanti saya akan bel lagi."
Ketika jam setengah empat telepon berbunyi lagi, Tesa minta tolong rekannya untuk menjawab.
"Tesa Rodan."
"Oh, Ibu Tesa sedang keluar, Pak. Mau titip pesan?"
"Tak usahlah. Ehem, kapan dia akan kembali?"
"Wah, kurang tahu ya, Pak. Mungkin jam tigaan, gitu."
"Baiklah. Terima kasih. Nanti saya akan bel lagi."
Ketika jam setengah empat telepon berbunyi lagi, Tesa minta tolong rekannya untuk menjawab.
"Ssst, Kleopat, tanyakan siapa. Kalau namanya Solem, bilang Ibu Tesa belum balik. Enggak tahu kembali jam berapa. Enggak tahu ke mana. Suruh bel lagi besok!"
"Ini dari siapa?" tanya Kleopatra.
"Ini dari siapa?" tanya Kleopatra.
"Oh, Pak Solem?" Dia melirik Tesa sambil tersenyum.
"Ibu Tesa belum balik, Pak. - Tahu ya - jam berapa - Mau titip pesan? - Enggak usah? - Baiklah - Telepon saja lagi besok - Oh, ini sekretarisnya - Ya, ya. Kembali."
Mereka cekikikan berdua.
"Kenapa enggak diladenin saja, Tes? Kedengarannya seperti mau nangis, tuh!" kata Kleopatra geli.
"Huss! Sinting kau, Kleo! Orang sudah punya istri, kok!"
***
Mereka cekikikan berdua.
"Kenapa enggak diladenin saja, Tes? Kedengarannya seperti mau nangis, tuh!" kata Kleopatra geli.
"Huss! Sinting kau, Kleo! Orang sudah punya istri, kok!"
***
Esoknya, telepon kembali mengganggu. Kleopatra yang mengangkat.
"Oh, Pak Solem? Selamat pagi. Oh, Ibu Tesa? Wah, kebetulan Ibu sedang rapat dengan Bos. Wah, enggak tahu deh berapa jam lagi. Coba saja nanti istirahat siang. Ya, kembali."
Kleo mengerling Tesa sambil menggeleng.
Kleo mengerling Tesa sambil menggeleng.
"Ngotot betul, sih, Tes. Sambut saja, kenapa, sih?"
"Antepin saja. Nanti juga bosan sendiri!" sahut Tesa.
"Atau oper deh padaku!" seru Tiara yang barusan muncul. „
"Antepin saja. Nanti juga bosan sendiri!" sahut Tesa.
"Atau oper deh padaku!" seru Tiara yang barusan muncul. „
"Iiih, orang sudah punya istri, kok!"
"Siapa yang sudah punya istri?" tanya Bos yang tahu-tahu ada di situ.
"Siapa yang sudah punya istri?" tanya Bos yang tahu-tahu ada di situ.
"Ini jam pelajaran mendongeng atau jam kerja?!"
"Habis itu lho, Pak," kata Kleo.
"Habis itu lho, Pak," kata Kleo.
"Ada orang namanya Pak Solem. Dia mengganggu Tesa terus, deh. Hampir tiap hari dia menelepon!"
"Nagih janji, kali!" cetus Tiara. Bos menatap Tesa.
"Nagih janji, kali!" cetus Tiara. Bos menatap Tesa.
"Kau janji apa sama orang itu, Tes?"
"Iiih, enggak pernah janji apa-apa, Pak! Kenal pun tidak!"
"Hm." Bos meletakkan dikte yang mesti di-ketik, lalu berjalan balik menuju kamarnya. Di dekat pintu dia berhenti, lalu menoleh pada Tesa.
"Iiih, enggak pernah janji apa-apa, Pak! Kenal pun tidak!"
"Hm." Bos meletakkan dikte yang mesti di-ketik, lalu berjalan balik menuju kamarnya. Di dekat pintu dia berhenti, lalu menoleh pada Tesa.
"Eh, kalau tidak kenal, masa sih dia begitu ngotot? Dari mana dia tahu nomormu ?"
Tesa cuma mengangkat bahu sambil meringis dengan rupa higu. Bos merasa tidak pantas mengompesnya saat itu, sebab banyak orang. Tapi nanti...!
"Ah, biar saja, Pak. Nanti juga dia pasti bosan!" kata Tesa untuk menghilangkan kecurigaan Bos.
***
Tesa cuma mengangkat bahu sambil meringis dengan rupa higu. Bos merasa tidak pantas mengompesnya saat itu, sebab banyak orang. Tapi nanti...!
"Ah, biar saja, Pak. Nanti juga dia pasti bosan!" kata Tesa untuk menghilangkan kecurigaan Bos.
***
Dugaan Tesa keliru. Pasha tidak kenal bosan. Dia malah nekat mendatangi gedung kantor. Tapi di tingkat kedua puluh enam itu satpamnya tidak kenal kompromi. Di lantai dua belas mereka pernah kebobolan. Ada bahan peledak di bak tanaman, untung ketahuan sebelum meledak. Sekarang semua satpam di setiap tingkat menjadi lebih siaga.
Pasha tidak diizinkan masuk.
"Mau ketemu siapa, Pak? Sebut saja namanya, nanti kami panggilkan."
Sayang, satpam kembali dengan berita jelek.
Pasha tidak diizinkan masuk.
"Mau ketemu siapa, Pak? Sebut saja namanya, nanti kami panggilkan."
Sayang, satpam kembali dengan berita jelek.
"Yang dicari enggak masuk hari ini, Pak."
Pasha tidak percaya. Dia sangat tergoda untuk mengecek ke rumahnya, tapi dia teringat larangan menelepon ke Sana. Dia tidak mau bikin dosa terhadap... calon mertua!
Akhirnya tak ada jalan lain. Dia terpaksa me-nunggu di depan kantor sampai bubar.
Esoknya, dari rumah sakit dia tidak pulang ke rumah, tapi langsung piket. Karena dilarang parkir di pinggir jalan, terpaksa dia masuk ke garasi bawah tanah, lalu menunggu dalam mobil. Tentu saja ongkosnya lumayan mahal, sebab dihitung jam-jaman. Selain itu, tempat yang strategis sudah tak ada. Dia cuma kebagian pojok gelap yang susah dipakai sebagai pos pengamatan. Masih ada lagi kesulitan: dia tidak tahu pasti apakah Tesa naik kendaraan pribadi atau umum.
Yah, jalan satu-satunya: dia mesti keluar begitu selesai jam kantor. Maka tepat jam setengah lima, Pasha meninggalkan mobil lalu berjalan keluar, menunggu dekat pagar seperti pengangguran. Matanya disiapkan untuk mem-perhatikan setiap sosok manusia dan mobil.
Tapi kantor di gedung itu ada beberapa buah dan karyawannya sudah tentu buanyaaak sekali. Selain itu hampir tiap mobil kacanya gelap. Jadi, sulit sekali menemukan apa yang mau dicari.
Pasha mengeluh ketika menyadari kekeliruan-nya. Bagaimana dia akan melihat Tesa?! Manu-sia begitu berjibun seperti laron keluar dari sarang setelah hujan!
Makin banyak orang yang pulang, makin ciut semangatnya. Selain itu ha tinya mulai ragu. Betulkah dia belum mirip orang gila?! Sudah berapa kali dia menelepon ke kantor, selalu orang menyebut "Ibu Tesa". Apa artinya itu?! Bukankah dia masih terlalu muda untuk dipanggil begitu?! Kecuali... kalau dia sudah...! Apakah dia mengejar-ngejar bini orang?!
Matanya sudah pedih sebab sejak tadi tidak mengedip mengawasi orang serta barisan mobil yang antre mau keluar dari halaman gedung. Dia khawatir, kebetulan mengedip nanti Tesa lewat dan tak terlihat!
Jalur mobil di mulut garasi cuma dua, tapi di halaman jadi bertambah dua lagi, sebab halaman itu luas dan setiap pengemudi ingin lekas-lekas pulang.
Karena harus memperhatikan pejalan kaki dan pengemudi sekaligus, lama-lama Pasha jadi kewalahan. Kepalanya sampai terpaksa bergerak-gerak terus, nengok kiri nengok kanan. Tapi sampai mendekati setengah enam, belum ada orang yang mirip Tesa.
Dia mulai putus asa. Dilihatnya arloji. Sudah hampir waktunya untuk pulang, mandi lalu praktek. Dari arloji cepat-cepat matanya diangkat kembali. Mobil masih antre panjang. Sekarang mulai serabutan, sebab halaman maha luas, tapi pintu gerbangnya biasa saja.
Mendadak matanya hampir terloncat keluar.
Di seberang sana, dalam jalur keempat, dilihatnya seorang gadis di belakang setir. Jendela mobil kebetulan terbuka, jadi pandangannya tidak terhalang. Walaupun jarak mereka ada sepuluh meter, dia yakin itu siapa.
Cepat-cepat dia mencoba menyeberang. Tapi ternyata tidak gampang. Mobil-mobil itu tak punya belas kasihan untuk orang yang cuma punya dua kaki, mau mengemis jalan. Tak ada yang mau mengalah memberinya kesempatan menyelip sana-sini. Bisa meloncat sekali ke tengah jalan, lalu mesti menunggu lama sampai ada lagi pengemudi lain yang baik hati dan kebetulan sedang penuh humor, tidak me-nyumpah-nyumpah diselak orang lewat.
Dia berdiri di tengah jalan, terpaku seperti patung menunggu kesempatan.
Akhirnya ada mobil yang masih dua meter dari dia.
Pasha meloncat kembali. "Mampus kau!" maki sopir yang diselip.
Sekarang Pasha sudah makin ke tengah dan lebih mendekati jalur keempat. Tapi mobil makin semrawut. Pelan dikit saja yang di depan, sebelah belakangnya sudah ribut dengan klak-son.
Pasha berdiri di antara seliweran mobil-mobil, siap sedia meloncat begitu ada kesempatan. Sementara itu matanya memperhatikan jalur yang dituju. Sejenak dia panik. Honda Civic abu-abu tadi sudah tidak kelihatan! Matanya nyalang ke sana kemari. Kemudian dia bernapas lagi. Ah, itu dia. Sudah lebih ke depan, mendekati pintu gerbang.
Hm. Menilik mobilnya, pasti kedudukan Tesa amat bagus. Penghasilannya besar.
Tiba-tiba, tanpa diharapkan, ada mobil yang berhenti, lalu menyilakannya menyeberang. Pasha mengangkat tangan sambil mengangguk.
Sayang! Begitu dia tiba di seberang sana, mobil abu-abu itu pas meluncur ke jalan, lalu segera tancap gas. Pasha mengeluh kesal. Sampai lima menit diawasinya mobil itu, hingga lenyap di kejauhan. Lalu dengan kepala tunduk dia berdiri lagi di pinggir, siap untuk menyeberang ke tempat asal, kemudian dari sana turun kembali ke garasi mengambil mobil.
***
Pasha tidak percaya. Dia sangat tergoda untuk mengecek ke rumahnya, tapi dia teringat larangan menelepon ke Sana. Dia tidak mau bikin dosa terhadap... calon mertua!
Akhirnya tak ada jalan lain. Dia terpaksa me-nunggu di depan kantor sampai bubar.
Esoknya, dari rumah sakit dia tidak pulang ke rumah, tapi langsung piket. Karena dilarang parkir di pinggir jalan, terpaksa dia masuk ke garasi bawah tanah, lalu menunggu dalam mobil. Tentu saja ongkosnya lumayan mahal, sebab dihitung jam-jaman. Selain itu, tempat yang strategis sudah tak ada. Dia cuma kebagian pojok gelap yang susah dipakai sebagai pos pengamatan. Masih ada lagi kesulitan: dia tidak tahu pasti apakah Tesa naik kendaraan pribadi atau umum.
Yah, jalan satu-satunya: dia mesti keluar begitu selesai jam kantor. Maka tepat jam setengah lima, Pasha meninggalkan mobil lalu berjalan keluar, menunggu dekat pagar seperti pengangguran. Matanya disiapkan untuk mem-perhatikan setiap sosok manusia dan mobil.
Tapi kantor di gedung itu ada beberapa buah dan karyawannya sudah tentu buanyaaak sekali. Selain itu hampir tiap mobil kacanya gelap. Jadi, sulit sekali menemukan apa yang mau dicari.
Pasha mengeluh ketika menyadari kekeliruan-nya. Bagaimana dia akan melihat Tesa?! Manu-sia begitu berjibun seperti laron keluar dari sarang setelah hujan!
Makin banyak orang yang pulang, makin ciut semangatnya. Selain itu ha tinya mulai ragu. Betulkah dia belum mirip orang gila?! Sudah berapa kali dia menelepon ke kantor, selalu orang menyebut "Ibu Tesa". Apa artinya itu?! Bukankah dia masih terlalu muda untuk dipanggil begitu?! Kecuali... kalau dia sudah...! Apakah dia mengejar-ngejar bini orang?!
Matanya sudah pedih sebab sejak tadi tidak mengedip mengawasi orang serta barisan mobil yang antre mau keluar dari halaman gedung. Dia khawatir, kebetulan mengedip nanti Tesa lewat dan tak terlihat!
Jalur mobil di mulut garasi cuma dua, tapi di halaman jadi bertambah dua lagi, sebab halaman itu luas dan setiap pengemudi ingin lekas-lekas pulang.
Karena harus memperhatikan pejalan kaki dan pengemudi sekaligus, lama-lama Pasha jadi kewalahan. Kepalanya sampai terpaksa bergerak-gerak terus, nengok kiri nengok kanan. Tapi sampai mendekati setengah enam, belum ada orang yang mirip Tesa.
Dia mulai putus asa. Dilihatnya arloji. Sudah hampir waktunya untuk pulang, mandi lalu praktek. Dari arloji cepat-cepat matanya diangkat kembali. Mobil masih antre panjang. Sekarang mulai serabutan, sebab halaman maha luas, tapi pintu gerbangnya biasa saja.
Mendadak matanya hampir terloncat keluar.
Di seberang sana, dalam jalur keempat, dilihatnya seorang gadis di belakang setir. Jendela mobil kebetulan terbuka, jadi pandangannya tidak terhalang. Walaupun jarak mereka ada sepuluh meter, dia yakin itu siapa.
Cepat-cepat dia mencoba menyeberang. Tapi ternyata tidak gampang. Mobil-mobil itu tak punya belas kasihan untuk orang yang cuma punya dua kaki, mau mengemis jalan. Tak ada yang mau mengalah memberinya kesempatan menyelip sana-sini. Bisa meloncat sekali ke tengah jalan, lalu mesti menunggu lama sampai ada lagi pengemudi lain yang baik hati dan kebetulan sedang penuh humor, tidak me-nyumpah-nyumpah diselak orang lewat.
Dia berdiri di tengah jalan, terpaku seperti patung menunggu kesempatan.
Akhirnya ada mobil yang masih dua meter dari dia.
Pasha meloncat kembali. "Mampus kau!" maki sopir yang diselip.
Sekarang Pasha sudah makin ke tengah dan lebih mendekati jalur keempat. Tapi mobil makin semrawut. Pelan dikit saja yang di depan, sebelah belakangnya sudah ribut dengan klak-son.
Pasha berdiri di antara seliweran mobil-mobil, siap sedia meloncat begitu ada kesempatan. Sementara itu matanya memperhatikan jalur yang dituju. Sejenak dia panik. Honda Civic abu-abu tadi sudah tidak kelihatan! Matanya nyalang ke sana kemari. Kemudian dia bernapas lagi. Ah, itu dia. Sudah lebih ke depan, mendekati pintu gerbang.
Hm. Menilik mobilnya, pasti kedudukan Tesa amat bagus. Penghasilannya besar.
Tiba-tiba, tanpa diharapkan, ada mobil yang berhenti, lalu menyilakannya menyeberang. Pasha mengangkat tangan sambil mengangguk.
Sayang! Begitu dia tiba di seberang sana, mobil abu-abu itu pas meluncur ke jalan, lalu segera tancap gas. Pasha mengeluh kesal. Sampai lima menit diawasinya mobil itu, hingga lenyap di kejauhan. Lalu dengan kepala tunduk dia berdiri lagi di pinggir, siap untuk menyeberang ke tempat asal, kemudian dari sana turun kembali ke garasi mengambil mobil.
***
Entah bagaimana, pada suatu hari operator teledor. Ada telepon nyasar ke kamar Bos. Tapi sebenarnya diam-diam Bos sudah memberi memo pada operator : "Kalau ada Pak Solem menelepon, sambungkan langsung pada saya!" Tentu saja Bos tidak menyebut-nyebut soal gangguan terhadap Tesa.
"Halo, selamat pagi. Boleh saya bicara dengan Tesa?"
"Dari Solem! Pasha Solem!"
"Halo, selamat pagi. Boleh saya bicara dengan Tesa?"
"Dari Solem! Pasha Solem!"
"Hm. Begini, Pak Solem, saya tidak mau tahu apa masalahnya, tapi saya minta agar Saudara jangan sekali-kali menelepon lagi ke sini! Saudara mengganggu, tahu?!"
"Lho! Saya bicara dengan siapa ini?" "Dengan Presdir sendiri! Dan Nona Tesa sudah ada yang punya!"
"Oh, bukan dia yang saya tuju. Tapi satunya lagi, Ibu Tesa!"
"Ibu Tesa? Memangnya di sini ada berapa Tesa?" tanya Bos dengan geram.
"Lho! Saya bicara dengan siapa ini?" "Dengan Presdir sendiri! Dan Nona Tesa sudah ada yang punya!"
"Oh, bukan dia yang saya tuju. Tapi satunya lagi, Ibu Tesa!"
"Ibu Tesa? Memangnya di sini ada berapa Tesa?" tanya Bos dengan geram.
"Ya, Ibu Tesa itu! Tesa Rodan! Bukannya Nona Tesa yang sudah anu... ada anu..."
"Pak Solem!" potong Bos dengan murka.
"Pak Solem!" potong Bos dengan murka.
"Di sini cuma ada satu Tesa! Nona Tesa Rodan. Dia sekretaris saya dan juga calon istri!!!"
Brukkk! Sampai sakit telinga Pasha ketika telepon dibanting. Sekarang dia tak tahu akal lagi. Tempo hari dia pernah bicara dengan orang yang mengaku sekretaris. Tidak jelas sekretaris siapa. Dalam kantor besar, masing-masing kepala bagian mempunyai sekretaris pribadi memang. Entah ada berapa di kantor Tesa. Yang pasti, suaranya tidak mirip dengan suara Tesa. Tapi, setelah hampir empat tahun, apakah dia masih bisa ingat betul suaranya?!
Dan sekarang, bosnya sendiri yang bilang bahwa dia calon ratunya! Berarti dia tak usah mimpi macam-macam lagi. Tapi apakah itu bisa dipercaya?! Di manakah Tesa waktu bosnya marah-marah di telepon?. Apakah dia tengah duduk di sampingnya, mendengarkan sambil bermain-main dengan dasinya?!
Pasha menarik napas kesal. Ah, rasanya sebelum mendengar sendiri dari mulut Tesa, dia belum mau percaya! Dia tidak rela menyerah begitu saja.
Kepusingannya bertambah karena ulah Shakira. Nyonya Goffar ini jadi mendadak po-puler di klinik setelah teleponnya yang ketiga atau keempat Baik rekan mau pun paramedis, sama-sama menggoda Pasha. Kalau dia muncul pagi hari, terkadang Suster Rani, sudah siap menunggu.
"Dok, tadi Ibu Goffar menelepon. Katanya penting. Dokter dimintanya supaya menghubungi kembali!" Tentu saja tak pernah diladenirrya.
Brukkk! Sampai sakit telinga Pasha ketika telepon dibanting. Sekarang dia tak tahu akal lagi. Tempo hari dia pernah bicara dengan orang yang mengaku sekretaris. Tidak jelas sekretaris siapa. Dalam kantor besar, masing-masing kepala bagian mempunyai sekretaris pribadi memang. Entah ada berapa di kantor Tesa. Yang pasti, suaranya tidak mirip dengan suara Tesa. Tapi, setelah hampir empat tahun, apakah dia masih bisa ingat betul suaranya?!
Dan sekarang, bosnya sendiri yang bilang bahwa dia calon ratunya! Berarti dia tak usah mimpi macam-macam lagi. Tapi apakah itu bisa dipercaya?! Di manakah Tesa waktu bosnya marah-marah di telepon?. Apakah dia tengah duduk di sampingnya, mendengarkan sambil bermain-main dengan dasinya?!
Pasha menarik napas kesal. Ah, rasanya sebelum mendengar sendiri dari mulut Tesa, dia belum mau percaya! Dia tidak rela menyerah begitu saja.
Kepusingannya bertambah karena ulah Shakira. Nyonya Goffar ini jadi mendadak po-puler di klinik setelah teleponnya yang ketiga atau keempat Baik rekan mau pun paramedis, sama-sama menggoda Pasha. Kalau dia muncul pagi hari, terkadang Suster Rani, sudah siap menunggu.
"Dok, tadi Ibu Goffar menelepon. Katanya penting. Dokter dimintanya supaya menghubungi kembali!" Tentu saja tak pernah diladenirrya.
"Gimana tadi urusannya, Pas?" tanya rekan-nya kalau ketemu.
"Aku dengar nonimu tidak sabar lagi mencari-carimu! Katanya, kau suuudah lamaaa minggat, sampai dia kangen!"
"Apa dia mengaku masih noni? Buset! Anak-nya sudah dua!" pekik Pasha tersenyum pasrah seperti napi yang tak punya jalan kabur.
Soal Shakira, walaupun cukup membuatnya tobat, namun tidak diacuhkannya. Diinstruksikannya pada semua perawat yang kebetulan menerima telepon, agar mengatakan bahwa dia tidak di tempat.
"Oh, dia tidak percaya, Dok!" seru Suster Rani.
"Apa dia mengaku masih noni? Buset! Anak-nya sudah dua!" pekik Pasha tersenyum pasrah seperti napi yang tak punya jalan kabur.
Soal Shakira, walaupun cukup membuatnya tobat, namun tidak diacuhkannya. Diinstruksikannya pada semua perawat yang kebetulan menerima telepon, agar mengatakan bahwa dia tidak di tempat.
"Oh, dia tidak percaya, Dok!" seru Suster Rani.
"Katanya, 'Selalu tidak di tempat! Saya enggak percaya!"
"Biar deh tidak percaya! Toh saya bukan suaminya! Kenapa mesti dipercaya? Buat apa main-main dengan istri orang? Saya masih ingin hidup lama kok, Sus!"
"Aduh, kurus banget kau sekarang!" tukas seorang rekan yang lain. "Aku dengar kau ada affair sama... ssst... janda kaya, nih?! Sudah putus, ya? Bosan? Aku dengar, dia nguber-nguber terus, ya? Kau takut tertangkap basah? Apa karena itu kau jadi lidi begini? Eh, kenapa enggak kaucekoki saja koktil acetylcholine dicampur... anu..."
"Aku belum ingin, ah, jadi agen perjalanan ke neraka!"
Tapi kurusnya itu memang karena keruwetan pikiran. Cuma bukan Nyonya Goffar penyebabnya.
Setelah dipikir-pikir sampai bertambah uban, dia yakin tinggal satu jalan keluar. Mendatangi rumahnya! Walaupun kedengarannya mengerikan, tapi seperti orang yang punya utang kelewat banyak, dia tahu tak ada jalan lain. Harus nekat! Itu atau...!
Walaupun minta bantuan komputer sekalipun, dia percaya cuma satu itu penyelesaian kesulitannya. Namun, jalan keluar ini pun menimbulkan kesulitan baru.
Dia tahu, Tesa tak mau menemuinya, entah kenapa. Nah, bagaimana sikapnya nanti seandainya gadis itu mengusirnya mentah-mentah?! Apa yang akan terjadi sekiranya Tesa menyatakan.tak pernah mengenalnya, di depan sekalian anggota keluarga, pembantu, dan anjing-kucing-ya? Bisakah dia hidup terus setelah mendapat malu sebesar itu?! Apakah tidak lebih baik mempercayai omongan presdir itu saja, dan membiarkan masa lalu tetap berlalu?!
Bersambung #8
"Biar deh tidak percaya! Toh saya bukan suaminya! Kenapa mesti dipercaya? Buat apa main-main dengan istri orang? Saya masih ingin hidup lama kok, Sus!"
"Aduh, kurus banget kau sekarang!" tukas seorang rekan yang lain. "Aku dengar kau ada affair sama... ssst... janda kaya, nih?! Sudah putus, ya? Bosan? Aku dengar, dia nguber-nguber terus, ya? Kau takut tertangkap basah? Apa karena itu kau jadi lidi begini? Eh, kenapa enggak kaucekoki saja koktil acetylcholine dicampur... anu..."
"Aku belum ingin, ah, jadi agen perjalanan ke neraka!"
Tapi kurusnya itu memang karena keruwetan pikiran. Cuma bukan Nyonya Goffar penyebabnya.
Setelah dipikir-pikir sampai bertambah uban, dia yakin tinggal satu jalan keluar. Mendatangi rumahnya! Walaupun kedengarannya mengerikan, tapi seperti orang yang punya utang kelewat banyak, dia tahu tak ada jalan lain. Harus nekat! Itu atau...!
Walaupun minta bantuan komputer sekalipun, dia percaya cuma satu itu penyelesaian kesulitannya. Namun, jalan keluar ini pun menimbulkan kesulitan baru.
Dia tahu, Tesa tak mau menemuinya, entah kenapa. Nah, bagaimana sikapnya nanti seandainya gadis itu mengusirnya mentah-mentah?! Apa yang akan terjadi sekiranya Tesa menyatakan.tak pernah mengenalnya, di depan sekalian anggota keluarga, pembantu, dan anjing-kucing-ya? Bisakah dia hidup terus setelah mendapat malu sebesar itu?! Apakah tidak lebih baik mempercayai omongan presdir itu saja, dan membiarkan masa lalu tetap berlalu?!
Bersambung #8
Kabar baik!!!
BalasHapusNama saya teddy dan saya dari Jawa Tengah Indonesia dan alamat saya KP. KADU RT 10 RW 04 KEL SUKAMULYA KEC CIKUPA KAB TANGERANG BANTEN, Saya baru saja menerima pinjaman Rp 3 Miliar (Small Business Admintration (SBA) dari Perusahaan Pinjaman Dangote setelah membaca artikel dari Lady Jane Alice (ladyjanealice@gmail.com) dan Mahammad Ismali (mahammadismali234@gmail.com) tentang cara mendapatkan
pinjaman dari Perusahaan Pinjaman Dangote dengan tingkat bunga 2% tanpa lisensi atau biaya gurantor, saya baru saja melamar melalui email dan ikhlas selama prosesnya, awalnya saya takut mengira itu seperti penipuan perusahaan peminjaman sebelumnya, tetapi yang mengejutkan saya ini nyata bahwa saya juga berjanji akan memberi tahu lebih banyak orang, percayalah itu nyata 100%, pelamar lain dari negara lain juga dapat bersaksi.
Email Perusahaan Pinjaman Dangote Melalui email: Dangotegrouploandepartment@gmail.com
Email saya: teddydouble334@yahoo.com