Minggu berganti minggu. Gangguan telepon sudah berhenti. Tesa merasa lega walaupun dia tidak tahu bahwa dia sebenarnya mesti berterima kasih pada Bos.
Hidup berlangsung biasa lagi. Iklan penjualan rumah Shakira sudah dimuat. Peminatnya banyak. Tapi yang berhasil membelinya adalah ayah Shakira sendiri. Pada suatu hari Shakira menelepon Tesa di rumahnya, lalu bercerita panjang- lebar. Tesa, ayahku sudah membaca iklan yang kaupasang itu. Setelah dia tahu Goffar sudah mihggat rupanya dia jadi kasihan pada nasib anak-anakku. Katanya dia bersedia membeli rumah itu dan kami kemudian diperbolehkan tetap tinggal di sini tanpa harus membayar kontrak, tapi ada syaratnya. Aku harus bercerai dengan Goffar!"
Tesa menahan napas. Celaka. Bisa rumit, nih.. Goffar beristri saja sudah sulit dihalaunya, apa-lagi Goffar tanpa istri! Tentu pikirnya tak ada halangan lagi bagiku untuk kembali...!
"Lantas, kau mau?" tanya Tesa dengan was-was.
"Tentu saja! Dia sudah kabur meninggalkan diriku, buat apa aku pertahankan? Memang nya dia apa, sih? Laki- laki kan masih banyak di dunia ini, Tes! Hilang satu, ganti sepuluh! Apa-lagi dia kan enggak bertitel! Yang bertitel pun banyak yang naksir aku, kok. Misalnya, Dokter... Solem!"
Tidak salahkah pendengaranku? pikir Tesa kaget Tapi dia tidak sempat melamun lama-lama, sebab Shakira sudah bicara terus.
"Kau tahu sebabnya, Tes? Lantaran setiap orang kepingin punya mertua kaya! Ha, ha! Enggak terkecuali dokter!"
Shakira sudah tidak beres! pikirnya. Ketawa-nya yang begitu nyaring tidak enak didengar.
"Shak, barangkali kau belum tahu, nih?! Dokter Solem itu sudah punya istri, Iho! Dokter Pika namanya!"
Di luar dugaannya, Shakira ternyata tidak menjadi risau.
"Ah, pasti sudah cerai! Kalaupun belum, sekarang dia pasti sudah mau cerai! Setelah dia mendengar siapa ayahku, mana bisa dia tidur nyenyak lagi sebelum jadi menantunya? Ya, aku rasa, ah, pasti deh, mereka sudah cerai! Mau taruhan, enggak? Sebab kalau belum, pasti dia enggak begitu agresif, dong!"
Tesa makin tercengang mendengar ini. Pasha sekarang jadi agresif pada Shakira?! Yang benar!
Dia memang tahu betapa agresifnya laki-laki itu, tapi masa sih sama perempuan yang sudah berbuntut dua?! Seperti sudah tak ada perawan lain di muka bumi!
Eh, tapi kalau dikaji lebih lanjut, mungkin Shakira tidak terlalu salah, pikirnya dengan ke-cut. Bukankah beberapa waktu yang lalu Pasha gencar betul meneleponnya?! Kalau masih ada Pika, mana dia berani! Lalu, mungkin karena dia tidak meladeni, dia jadi beralih pada Shakira?! Dasar orang ini nasibnya selalu baik, keluhnya penasaran.
Shakira sebenarhya tidak jujur seratus persen. Ketika dia mengatakan Dokter Solem agresif, maksudnya caranya memaksa untuk mendapat info mengenai Tesa tempo hari. Tapi Tesa tentu saja mana tahu. Terlebih ketika mendengar Shakira bla-bla-bla terus mengenai hubungan-nya dengan dokter ganteng itu yang tampaknya sudah cukup erat juga, hatinya. rasa teriris sesayat-sesayat.
Tangannya terasa lemas sekali ketika dia me-letakkan kembali pesawat.
Aneh, dia tidak sampai pingsan, pikirnya sinis.
Shakira begitu asyik ngoceh sampai rupanya tak teringat sedikit pun olehnya untuk meng-ucap terima kasih apalagi mengembalikan ong-kos pasang iklan serta biaya anaknya masuk rumah sakit! Tesa sebenarnya ingin menagih, tapi gimana ya, lidahnya sudah keburu kelu mendengar serentetan petualangan Pasha yang terbaru. Kok harus dengan Shakira, keluhnya kesal. Apakah Pasha sudah lupa bahwa Goffar dulu- juga direbut oleh perempuan binal itu?! Dalam sengitnya, dia telah menamakan teman-nya itu binal!
Ah, kalau memang cuma sebegitu moral dan karakter Pasha, dia juga tak usah merasa penasaran mendengar segala sepak terjangnya. Dia tak perlu menyesal tidak berhasil menjadi pasangan abadinya. Buat apa laki-laki seperti itu dirindukan! Bah!
Tapi, uang yang dipinjamkannya pada Shakira kan bukan didapatnya dari lotre. Itu kan hasil keringatnya sendiri! Sudah sepantas-nya kalau ditagihnya. Tapi bagaimana ya, cara-nya?!
Jangan-jangan dikira Shakira, semua itu ter-masuk kewajibannya! Sebab dia telah membuat Goffar lari ke luar negeri! Mungkin karena berpikir demikian
Shakira sama sekali tidak me-nyinggung masalah utangnya. Celaka dua belas kalau begitu!
Untunglah sebelum dia mengambil tindakan apa-apa, pada suatu hari datang orang suruhan ayah Shakira mengantarkan amplop berisi uang pengganti biaya iklan serta ongkos rumah sakit. Ayahnya rupanya tahu bahwa anaknya sama sekali tak punya uang lagi, jadi ditanyakannya dari mana semua biaya itu.
***
Tesa pun kembali tenggelam dalam dunia ke-seharian yang tak punya ragam. Semua serba rutin, Kadang dia merasa jenuh, tapi tak tahu mesti lari ke mana.
Shakira tidak lagi menelepon. Rupanya sedang asyik dengan pacar baru, pikir Tesa sinis.
Supaya ibunya tidak banyak bertanya ini-itu, Tesa sengaja menyibukkan diri dengan tugas kantor. Beberapa kali seminggu dia pulang agak malam. Alasannya, lembur. Sebenarnya itu bukan paksaan. Bos kebetulan menawarkan agar dia mau lebih lama mengetik surat-surat dengan mesin prosesor. Tidak terduga-duga Tesa langsung bersedia! Maka Bos pun jadi ikut keripuhan mencari-cari alasan agar bisa tinggal lamaan di kantor, sebab kesempatan berduaan begini tentunya langka sekali.
Sekarang sudah mulai musim hujan. Hampir tiap sore langit membuka diri membasahi bumi. Ketika Tesa mulai pilek-pilek, ibunya mencoba melarangnya lembur.
"Ah, saya cuma pilek sedikit, biasa kan, Mam. Nanti juga baik," kilah yang dilarang.
Sebenarnya Tesa resah kalau pulang terlalu sore, di rumah tak tentu apa yang akan dikerja-kannya. Dulu dia masih senang membaca novel, tapi sejak Shakira "menjambret" Dokter Solem, hobi itu mendadak jadi tidak menggairahkannya lagi.
Pada suatu kali, ketika hujan amat lebat, mobil Tesa mogok. Untung masih dalam garasi, sehingga dia tidak sampai kebasahan. Terpaksa dibiarkannya Bos mengantarnya pulang. Dan se-isi rumah yang sudah menunggu nya sejak tadi di teras depan, kini bangun semua dari kursi mengawasi laki-laki yang begitu sopan mengangguk pada mereka.
"Pacarmu, Kak Tesa?" tanya Aster lugu ketika bos sudah pergi.
"Huss! Anak kecil!" sergah Ibu, namun Tesa melihat perempuan itu berbinar matanya dilamun harapan. Ketika dirasanya tak ada yang mendengar, dia berbisik, "Siapa tadi, Tes?"
"Bos saya, Mam. Ganteng, ya?" tukas Tesa dengan ketawa penuh arti membuat hati ibunya mencak-mencak kegirangan.
Dan perasaan itu makin membubung ketika hujan masih sering datang. Tesa beberapa kali lagi terpaksa diantar pulang oleh Bos. Pada kali yang terakhir, ibu Tesa memberanikan diri dan menahan jejaka itu untuk makan malam ber-sama.
"Ini sebagai tanda terima kasih kami atas per-hatian Anda pada Tesa. Coba kalau tidak diantar, mana hujan begini deras!" kilah ibunya, tapi Tesa lebih arif. Dia tahu jebakan apa yang sedang dipasang oleh ibunya, namun dia berlagak bodoh. Cuma dalam hati dia meringis, ngeri bercampur lucu.
Sejak makan malam itu, "resmi'lah Bos ditahbiskan sebagai pacar Tesa oleh saudara-saudara-nya. Yang bersangkutan merasa geli, tapi tidak membantah. Pikirnya, biarlah kalau itu bisa menyenangkan Mami.
Saat itu di kantor sudah banyak karyawan yang kena flu. Rupanya udara AC tidak membuat tubuh lebih kuat menahan invasi virus. Dan Tesa yang memang sudah pilek. pun ikut roboh. Dua hari dia masih bertahan masuk kantor walaupun dengan mantel dan syal. Tapi pada hari ketiga dia tidak sanggup bangkit dari tempat tidur. Kepalanya pusing, tubuhnya demam, dan tenggorokannya seperti terbakar, pedihnya bukan main.
Sorenya ada yang menjenguk. Siapa lagi, tentunya Bos! Dari jauh Aster sudah mengenali mobil merahnya, lalu berlari ke kamar kakak-nya.
"Kak Tesa, pacarmu datang! Ayo, berlagak tidur, dong, nanti dikira Kakak bukan sakit betulan!" katanya sok mengajari.
Tak usah disebut lagi betapa senang dan ber-syukurnya hati sang ibu. Namun Tesa kelihatan tidak gembira. Bagaimana dia mau senang, badannya terasa sakit dan ngilu semua. Obat flu yang ditelannya ternyata cuma membuat jan-tungnya berdebar dan ngantuk. Tapi demam dan pusingnya tidak hilang. Esoknya malah ditambah dengan batuk kering yang membuat dadanya terasa sakit. Bunyinya kong-kong seperti kodok bangkong. Esok sorenya Bos kembali datang. Dengan rasa khawatir dia menyarankan agar dipanggil-kan dokter.
"Oh, tak usah!" bantah Tesa terkejut.
Kalau anak-anak lain takut setan, maka sejak ketil cuma dua hal yang ditakutinya. Pergi ke 'dokter umum dan dokter gigi! Dia takut sekali disuntik.
"Dua hari lagi juga baik! Pusingku sudah hilang, kok sambungnya berdusta. "Tapi demammu masih tiga puluh delapan lebih!" tukas ibunya menimbrung. Sebenarnya sejak kemarin-kemarin dia sudah mau diajak ke dokter, namun tak mau. Katanya, biar tunggu Markus pulang saja. Abangnya saat itu kebetulan sedang ke Jawa Tengah meninjau beberapa puskesmas.
Mendapat bantuan tenaga dari ibu Tesa, Bos jadi makin berani. "Pokoknya kau harus ke dokter, Tesa. Kalau besok aku datang kau belum juga ke dokter, nanti aku yang akan membawamu ke sana!" ancamnya dan Tesa tahu, ancaman itu tak bisa diremehkan.
Esok paginya ketika ibunya kembali menimbulkan soal "pergi ke dokter", Tesa berdalih dia takkan kuat berdiri dan berjalan ke luar rumah.
"Kalau begitu, nanti sore panggilkan saja Dokter Yusuf/ kata ayahnya. Dokter Yusuf adalah tetangga mereka. Rumahnya nomor lima belas, sedangkan rumah mereka nomor dua puluh enam.
Karena sakitnya tidak juga mendingan, Tesa tidak lagi membantah ketika sorenya ibunya mau menelepon ke seberang. Sudah tiga kali dia berganti obat, tapi tidak juga sembuh. Sedangkan Markus belum juga balik.
Shakira tidak lagi menelepon. Rupanya sedang asyik dengan pacar baru, pikir Tesa sinis.
Supaya ibunya tidak banyak bertanya ini-itu, Tesa sengaja menyibukkan diri dengan tugas kantor. Beberapa kali seminggu dia pulang agak malam. Alasannya, lembur. Sebenarnya itu bukan paksaan. Bos kebetulan menawarkan agar dia mau lebih lama mengetik surat-surat dengan mesin prosesor. Tidak terduga-duga Tesa langsung bersedia! Maka Bos pun jadi ikut keripuhan mencari-cari alasan agar bisa tinggal lamaan di kantor, sebab kesempatan berduaan begini tentunya langka sekali.
Sekarang sudah mulai musim hujan. Hampir tiap sore langit membuka diri membasahi bumi. Ketika Tesa mulai pilek-pilek, ibunya mencoba melarangnya lembur.
"Ah, saya cuma pilek sedikit, biasa kan, Mam. Nanti juga baik," kilah yang dilarang.
Sebenarnya Tesa resah kalau pulang terlalu sore, di rumah tak tentu apa yang akan dikerja-kannya. Dulu dia masih senang membaca novel, tapi sejak Shakira "menjambret" Dokter Solem, hobi itu mendadak jadi tidak menggairahkannya lagi.
Pada suatu kali, ketika hujan amat lebat, mobil Tesa mogok. Untung masih dalam garasi, sehingga dia tidak sampai kebasahan. Terpaksa dibiarkannya Bos mengantarnya pulang. Dan se-isi rumah yang sudah menunggu nya sejak tadi di teras depan, kini bangun semua dari kursi mengawasi laki-laki yang begitu sopan mengangguk pada mereka.
"Pacarmu, Kak Tesa?" tanya Aster lugu ketika bos sudah pergi.
"Huss! Anak kecil!" sergah Ibu, namun Tesa melihat perempuan itu berbinar matanya dilamun harapan. Ketika dirasanya tak ada yang mendengar, dia berbisik, "Siapa tadi, Tes?"
"Bos saya, Mam. Ganteng, ya?" tukas Tesa dengan ketawa penuh arti membuat hati ibunya mencak-mencak kegirangan.
Dan perasaan itu makin membubung ketika hujan masih sering datang. Tesa beberapa kali lagi terpaksa diantar pulang oleh Bos. Pada kali yang terakhir, ibu Tesa memberanikan diri dan menahan jejaka itu untuk makan malam ber-sama.
"Ini sebagai tanda terima kasih kami atas per-hatian Anda pada Tesa. Coba kalau tidak diantar, mana hujan begini deras!" kilah ibunya, tapi Tesa lebih arif. Dia tahu jebakan apa yang sedang dipasang oleh ibunya, namun dia berlagak bodoh. Cuma dalam hati dia meringis, ngeri bercampur lucu.
Sejak makan malam itu, "resmi'lah Bos ditahbiskan sebagai pacar Tesa oleh saudara-saudara-nya. Yang bersangkutan merasa geli, tapi tidak membantah. Pikirnya, biarlah kalau itu bisa menyenangkan Mami.
Saat itu di kantor sudah banyak karyawan yang kena flu. Rupanya udara AC tidak membuat tubuh lebih kuat menahan invasi virus. Dan Tesa yang memang sudah pilek. pun ikut roboh. Dua hari dia masih bertahan masuk kantor walaupun dengan mantel dan syal. Tapi pada hari ketiga dia tidak sanggup bangkit dari tempat tidur. Kepalanya pusing, tubuhnya demam, dan tenggorokannya seperti terbakar, pedihnya bukan main.
Sorenya ada yang menjenguk. Siapa lagi, tentunya Bos! Dari jauh Aster sudah mengenali mobil merahnya, lalu berlari ke kamar kakak-nya.
"Kak Tesa, pacarmu datang! Ayo, berlagak tidur, dong, nanti dikira Kakak bukan sakit betulan!" katanya sok mengajari.
Tak usah disebut lagi betapa senang dan ber-syukurnya hati sang ibu. Namun Tesa kelihatan tidak gembira. Bagaimana dia mau senang, badannya terasa sakit dan ngilu semua. Obat flu yang ditelannya ternyata cuma membuat jan-tungnya berdebar dan ngantuk. Tapi demam dan pusingnya tidak hilang. Esoknya malah ditambah dengan batuk kering yang membuat dadanya terasa sakit. Bunyinya kong-kong seperti kodok bangkong. Esok sorenya Bos kembali datang. Dengan rasa khawatir dia menyarankan agar dipanggil-kan dokter.
"Oh, tak usah!" bantah Tesa terkejut.
Kalau anak-anak lain takut setan, maka sejak ketil cuma dua hal yang ditakutinya. Pergi ke 'dokter umum dan dokter gigi! Dia takut sekali disuntik.
"Dua hari lagi juga baik! Pusingku sudah hilang, kok sambungnya berdusta. "Tapi demammu masih tiga puluh delapan lebih!" tukas ibunya menimbrung. Sebenarnya sejak kemarin-kemarin dia sudah mau diajak ke dokter, namun tak mau. Katanya, biar tunggu Markus pulang saja. Abangnya saat itu kebetulan sedang ke Jawa Tengah meninjau beberapa puskesmas.
Mendapat bantuan tenaga dari ibu Tesa, Bos jadi makin berani. "Pokoknya kau harus ke dokter, Tesa. Kalau besok aku datang kau belum juga ke dokter, nanti aku yang akan membawamu ke sana!" ancamnya dan Tesa tahu, ancaman itu tak bisa diremehkan.
Esok paginya ketika ibunya kembali menimbulkan soal "pergi ke dokter", Tesa berdalih dia takkan kuat berdiri dan berjalan ke luar rumah.
"Kalau begitu, nanti sore panggilkan saja Dokter Yusuf/ kata ayahnya. Dokter Yusuf adalah tetangga mereka. Rumahnya nomor lima belas, sedangkan rumah mereka nomor dua puluh enam.
Karena sakitnya tidak juga mendingan, Tesa tidak lagi membantah ketika sorenya ibunya mau menelepon ke seberang. Sudah tiga kali dia berganti obat, tapi tidak juga sembuh. Sedangkan Markus belum juga balik.
"Dokter Yusuf sedang cuti, Seriin baru prak-tek lagi," kata ibunya sehabis menelepon. "Tapi ada asistennya. Dia akan datang sebentar lagi. Kata susternya, sekarang masih terlalu banyak pasien."
"Kenapa enggak tunggu dia saja, Mam? Nanti asistennya enggak becus, lagi...."
"Sekarang baru Jumat, Tes. Besok tak ada dokter yang buka. Apa kau sanggup menunggu sampai Senin?"
Tesa terpaksa mengakui dalam hati kebenaran pendapat ibunya. Dia merasa tidak sanggup lagi menunggu satu jam pun. Tapi sang asisten ternyata baru datang setelah hari gelap. Sambil tersipu-sipu dia minta maaf pada orangtua Tesa, menyalahkan pasien yang berjubel dan tak bisa ditinggalkan semenit pun. Kalau dia boleh terus terang, sebenarnya sang dokter mau bilang bahwa sejak sore tadi dia sudah kepingin ke kamar kecil, namun ditahan-tahannya.
"Dok, enggak bisa ke seberang sekarang, Dok," kata suster tadi. "Pasien masih terlalu banyak. Semua maunya masuk cepat-cepat, tapi kalau sudah di dalam tidak mau keluar-keluar, maunya sih membeber riwayat hidup sama dokter! Iya kan, Dok? Kalau nunggu kelamaan sedikit saja sudah menggerutu. Apalagi kalau dokter tinggal ke seberang, wah, bisa-bisa mereka-mengadu ke LBH! Pasien-pasien zaman sekarang, waduh, galaknya!"
Sang dokter cuma ketawa kecil mendengar kebijakan perawatnya. Kini, setibanya di rumah seberang, dia baru teringat bahwa kebutuhan-nya ke kamar kecil belum terpenuhi. Kira-kira sopan enggak ya, kalau permisi sekarang?!
"Syukurlah akhirnya Dokter bisa datang juga," sambut ibu Tesa dengan manis, lalu mengajaknya ke kamar putrinya. Sang dokter pun terpaksa menangguhkan niataya.
"Tesa!" serunya dari luar kamar. "Ini dokter-nya sudah datang."
Pintu dibuka. Ibunya masuk diikuti... Tesa terpana bagaikan melihat ular kobra me-luncur masuk. Seketika itu dia langsung ingin menyuruh dokter itu keluar lagi, tapi suaranya tidak berbunyi. Cuma bibirnya saja yang ter-buka seperti orang kaget.
Sementara itu ibunya telah menutup pintu, lalu berdiri di kaki ranjang. Sedangkan sang asisten sudah meletakkan tasnya di atas meja kecil dan mulai sibuk mengeluarkan perkakasnya.
Entah kelupaan atau sengaja, sang dokter tidak menyebutkan namanya ketika bersalaman tadi. Demi kesopanan, Tuan dan Nyonya Rodan pun segan menanyakan. Namun Tesa yakin matanya belum rabun. Laki-laki yang tengah menarik keluar stetoskop dari tas hitam itu adalah Dokter Solem! Pasha
Solem. Dan mau apa dia di sini?!
Kini dia sudah menghampiri ranjang, lalu duduk di pinggiran tanpa permisi. Dengan terpaksa Tesa menggeser ke dalam sedikit. Gerahamnya dikatupkannya erat -erat saking jengkel. Huh! Kalau saja ada caranya bagaimana dia bisa meletupkan perasaannya saat ini! Tapi tak ada! Dia bahkan harus berlaku sopan dan menuruti setiap perintah dokter...! Huh! Dokter apa!
Kunyuk hidung belang begini, apa betul mahir mengobati?! Bikin hancur, itu dia mahir! Huh! Berani-beranian datang ke sini!
Tanpa menunjukkan bahwa dia mengenali pasiennya, dimintanya Tesa membuka baju.
Ini sudah betul-betul keterlaluan! Rasanya dia ingin berteriak atau menangis! Tapi ibunya mengulangi perintah itu dengan otoritas penuh.
Sambil mengatupkan kembali bibirnya dan menggertakkan gigi, Tesa terpaksa menurut, sebab ibunya ada di situ mengawasi. Dia tidak mau menimbulkan kecurigaan tentu saja.
Nah! Puaskanlah mata keranjangmu! kutuk-nya dalam hati tanpa sudi memandang ke arah sang dokter.
Selama terbaring di ranjang, tentu saja Tesa tidak mengenakan penutup dada di balik baju tidurnya. Setelah kancingnya dibuka, dia tak punya pertahanan apa-apa lagi. Dia merasa begitu tidak berdaya, sampai rasanya betul-betul ingin menangis. Dasar nasibnya selalu jelek. Dalam keadaan sengsara begini pun, dia masih kena hinaan juga! Musuhnya yang menolong! Atau, kalaupun bukan musuh sungguhan, paling tidak, laki-laki ini sudah kelewat sering me-lukai hatinya.
Dia tahu, dia tak pernah dianggap sebagai sesama manusia oleh Pasha. Ketika Pika memerlukannya, dengan mudah saja dia telah dicampakkannya, seolah dia sama sekali tak bisa patah hati. O ya, Tesa mana punya perasaan! Dia kan cuma boneka dungu belaka! Manis untuk dipandang, sedap untuk diajak main.
Nah, kalau dulu saja tidak dianggap, apalagi sekarang. Dia tidak lebih dari seorang pasien! Tak perlu disapa! Apalagi diakui sebagai kenalan lama! Terlebih jangan mimpi, dia akan berteriak kegirangan, "Ai, Tes, kita ketemu lagi!" Huh! Padahal rasanya baru kemarin dia bilang cinta! Huh! Cinta?! Omong kosong! Cinta mo-nyet barangkali, itu mungkin benar! Heran, kenapa dia bisa kebetulan sedang menggantikan Dokter Yusuf, sih?! Ah, dasar nasibku jelek terus!
Dengan lagak seorang dokter yang serius sekali, laki-laki itu menguak gaun tidur yang sudah terlepas kancingnya, lalu seperti seorang ahli jantung jempolan diletakkannya stetoskop pada beberapa tempat tertentu di dada.
Tesa yakin jantungnya sehat dan penyakitnya sekarang ini sama sekali tidak menyerang kesana, namun entah kenapa, Dokter Solem men-dengarkan denyutanya begitu laaama! Matanya yang menunduk tak bisa dilihatnya, sehingga dia tidak bisa menerka apa yang tengah diperhatikan atau dipikirkan olehnya. Untuk mengajukan protes, dia segan. Nanti dianggap sok tahu. Selain itu, ibunya kan masih berdiri di ujung ranjang, jadi tak ada alasan baginya untuk menuduh dokter itu kurang ajar atau yang bukan-bukan lainnya.
Dengan terpaksa ditahannya siksaan itu. Lama-lama dia menjadi keki. Pandanglah sepuasmu, pekiknya dalam hati. Sebab semua itu takkan pernah
menjadi milikmu! Nanti bisa kaubandingkan dengan Pika! Atau, kini sudah dengan Shakira?!
Emosi seperti itu tentu saja membuat denyut jantungnya bertambah. Dokter Solem mengerutkan kening.
"Debar jantungmu kencang sekali," cetusnya tidak pada siapa-siapa, lalu tiba-tiba menoleh pada si sakit. Dirabanya sejenak dahinya.
"Hm. Tidak terlalu demam!"
Karena Tesa memang tengah melotot mengawasinya, dia tidak sempat lagi membuang muka. Sesaat mereka bertatapan. Tapi Dokter Solem cepat mengalihkan matanya seakan tak ada apa-apa.
"Anak Ibu memang cukup serius sakitnya!" katanya, kali ini menoleh ke kaki ranjang. "Kenapa baru panggil dokter sekarang?"
Nyonya Rodan jadi gemetar ketakutan. Ucap-an seperti itu biasanya berarti buruk. Dengan gagap dia menyahut, "Anaknya... ban... del, Dokter. Eng... gak... mau... te... rus... dia... jak... bero... bat.
"Hm. Kenapa? Takut dijeksi?!" Dokter menatap sekilas pasiennya. Tentu saja Tesa mana sudi meladeni, apalagi menyahuti. Kaukira lu-cu? pikirnya. Huh! Tak usah, ya!
"Betul, Dokter. Anak saya ini sejak kecil paling takut sama jarum suntik!" kata Nyonya Rodan mengiakan.
"Hm. Coba tarik napas panjang, keluarkan. Sekali lagi. Terus. Sekali lagi. Sekali lagi. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Tarik, keluarkan. Taaarik.-" Tapi lalu sang dokter lupa memberi perintah keluarkan.
Tesa terus menarik napas sepanjang mungkin sampai rasanya tak tertahan lagi. Namun aba-aba keluarkan tidak juga terdengar. Dadanya sudah serasa mau meledak. Dia malah jadi sesak napas, akhirnya terbatuk-batuk.
Dokter Solem menatapnya, lalu. dengan tenang berkata, "Dikeluarkan, dong, napasnya, jangan ditahan begitu!"
Brengsek! kutuk Tesa dalam hati. Kenapa enggak mau bilang dari tadi?! Rupanya stetoskop masih belum memberi Info yang cukup, sehingga Dokter
Solem merasa perlu menggunakan jari-jarinya untuk ketuk-ketuk sana-sini. Aduh, merinding bulu badan.
Tesa bersentuhan seperti itu. Dia langsung ter-ingat keindahan musim panas di bulan Desember serta ketenteraman musim dingin, berduaan duduk di depan jendela....
"Tesa!"
Tiba-tiba dia kaget mendengar panggilan ibunya. Oh! Rupanya dokter mau memeriksa teng-goroknya dan sejak tadi menunggunya buka mulut. Spatelnya siap di ujung bibir.
Tesa menganga selebar-lebarnya, berharap akan bisa batuk keras-keras agar bisa menyemprot Pak Dokter. Tapi Dokter Solem rupanya sudah bisa menduga adanya iktikad jail, atau mungkin juga dia sudah kelewat berpengalaman, tak mungkin bisa dipermainkan.
Begitu Tesa menggerakkan lidah mau batuk, spatel sudah ditarik ka luar dan dokternya berdiri. Setelah membuang spatel kayu itu ke tong sampah dekat meja, dia kembali ke ranjang. Lalu dengan tenang, seakan itu termasuk tugasnya, dikancingkannya kembali gaun tidur pasiennya satu per satu. Mula-mula Tesa ingin menolak, tapi entah kenapa akhirnya dibiarkan-nya.
"Nah, pemeriksaan sudah selesai! Sekarang saya mau menulis resep," katanya tidak pada siapa-siapa.
Seakan itu kata sandi untuk menyuruhnya keluar, ibu Tesa langsung berlalu. Pintu kamar dibiarkannya terbuka. Begitu ibunya lenyap dari lapangan pandang, medan pun segera berubah suasana. Ketika Dokter Solem meraih pergelang-annya untuk menghitung denyut nadi, dengan berang dikibaskannya tangannya. Wajahnya yang sejak tadi tidak mencerminkan emosi apa pun, kini menatap dengan garang.
"Nah, setelah puas menghinaku, pulanglah le-kas pada istrimu! Pika pasti sudah tidak sabar menunggumu"
Dokter Solem malah ketawa menghadapi pe-nolakan tadi. Dengan tegas ditangkapnya kembali lengan Tesa, lalu digenggamnya dan dihitung denyutnya. Setelah selesai, dia memandang Tesa seraya tersenyum.
"Tidakkah kau mau berterima kasih padaku, sebab tidak menyuntikmu?"
"Huh! Tunggu kiamat dulu!" dengus Tesa dengan sebal.
"Tahukah kau? Wajahmu tambah memikat kalau marah!"
Lalu wajahnya menunduk lebih dekat, sehingga Tesa terpaksa melihat betapa bagus mata hitam Pasha. O, Tuhan, keluhnya. Laki-laki ini bisa tersenyum dengan matanya! Wajahnya yang putih dan tampan begitu terbuka. Ditambah dengan sepasang bola mata yang penuh binar, ah! Aku tak tahan ditatap seperti itu. Aku tak bisa memakinya walaupun dalam hati ingin banget!
"Sudahlah, Pas. Jangan bersandiwara lagi! Aku tak tahu kenapa kau bisa datang kemari sore ini! Kok tumben menggantikan dokter te-tanggaku?"
Pasha seakan ingin ketawa geli, namun melihat wajah Tesa belum menawarkan perdamaian, dia tidak jadi.
"Ini namanya keberuntungan, Tes. Biasanya Dokter Harun yang menggantikan Yusuf. Tapi mendadak dia kena apepe... anu, usus buntunya harus dipotong. Dokter Yusuf mesti cuti menengok ibunya di Jawa, kabarnya sedang sakit, sudah tua. Nah, aku tahu kau tinggal di jalan ini. Aku pikir, kalau aku praktek selama dua minggu, barangkali saja aku bisa melihatmu walau cuma sekali. Dari jauh! Hari ini sebenarnya dinasku berakhir. Sabtu kan tutup, dan Senin Dokter Yusuf sudah akan praktek lagi. Tapi dasar jodoh, eh, ibumu menelepon...."
Cis! Jodoh dari mana, pikir Tesa sengit. Dasar laki-laki! Di rumah sudah beristri, di luaran mengaku masih cari-cari jodoh!
"Sudahlah, Pas. Cepat tuliskan aku resep. Setelah itu kau boleh pulang."
Lalu wajahnya menunduk lebih dekat, sehingga Tesa terpaksa melihat betapa bagus mata hitam Pasha. O, Tuhan, keluhnya. Laki-laki ini bisa tersenyum dengan matanya! Wajahnya yang putih dan tampan begitu terbuka. Ditambah dengan sepasang bola mata yang penuh binar, ah! Aku tak tahan ditatap seperti itu. Aku tak bisa memakinya walaupun dalam hati ingin banget!
"Sudahlah, Pas. Jangan bersandiwara lagi! Aku tak tahu kenapa kau bisa datang kemari sore ini! Kok tumben menggantikan dokter te-tanggaku?"
Pasha seakan ingin ketawa geli, namun melihat wajah Tesa belum menawarkan perdamaian, dia tidak jadi.
"Ini namanya keberuntungan, Tes. Biasanya Dokter Harun yang menggantikan Yusuf. Tapi mendadak dia kena apepe... anu, usus buntunya harus dipotong. Dokter Yusuf mesti cuti menengok ibunya di Jawa, kabarnya sedang sakit, sudah tua. Nah, aku tahu kau tinggal di jalan ini. Aku pikir, kalau aku praktek selama dua minggu, barangkali saja aku bisa melihatmu walau cuma sekali. Dari jauh! Hari ini sebenarnya dinasku berakhir. Sabtu kan tutup, dan Senin Dokter Yusuf sudah akan praktek lagi. Tapi dasar jodoh, eh, ibumu menelepon...."
Cis! Jodoh dari mana, pikir Tesa sengit. Dasar laki-laki! Di rumah sudah beristri, di luaran mengaku masih cari-cari jodoh!
"Sudahlah, Pas. Cepat tuliskan aku resep. Setelah itu kau boleh pulang."
"Aku diusir, nih?" tanyanya dengan mata masih penuh senyum.
"Aku menghargai kau!" katanya pelan setengah mengeluh.
"Aku menghargai kau!" katanya pelan setengah mengeluh.
"Janganlah menjadi laki-laki yang tidak setia!"
"Kalau kau cuma menghargai aku, aku malah mencintaimu! Janganlah menuduh sembarang! Pika sudah baikan lumpuhnya. Dia kini bisa menggunakan kursi roda dan..."
"Syukurlah," potong Tesa tak sabar.
"Kalau kau cuma menghargai aku, aku malah mencintaimu! Janganlah menuduh sembarang! Pika sudah baikan lumpuhnya. Dia kini bisa menggunakan kursi roda dan..."
"Syukurlah," potong Tesa tak sabar.
"Tapi maaf, aku tidak berminat untuk mendengar tentang istrimu!"
"Kau harus mendengarnya! Tesa, dia sudah lama menikah dengan Michael dan menetap di Perth!"
"Oh???!" Tesa nyaris melongo saking heran.
"Begitu Michael sudah sembuh dan bisa me-nolongnya, aku disepaknya! Rupanya aku ini tak pernah dibutuhkan olehnya!"
"Kasihan!" ejek Tesa mencibir.
Pasha lebih mendekatkan wajahnya. "Jadi siapa yang mau kau tuduh enggak setia? Coba ulang sekali lagi! Jangan sok mengejek, ya!"
Dengan sikap mengancam diterkamnya kedua pergelangan tangan Tesa, lalu digenggam dan diacung-acungkannya. Tanpa setahu mereka, Aster sudah menyelinap masuk. Melihat kakak-nya terdiam saja sementara Dokter Solem kelihatan begitu mengancam, anak itu berlari kembali mendapatkan ibunya seraya berseru, "Mami! Mami! Kak Tesa bergulat sama Dokter!"
"Kalau dengan Shakira bagaimana?" tanya Tesa setengah berbisik.
Kedua orang itu tidak mendengar kepanikan Aster, sehingga mereka tidak menyadari bahwa di ambang pintu sudah berdiri dua orang penonton.
"Shakira yang mana, sih?!" tanya Pasha sambil meraih kertas resep dan mencari bolpen. Dipukul-pukulnya setiap saku. "Astaga! Rupanya bolpenku masih ketinggalan di kamar Dokter Yusuf! Pinjami aku, Tes." Ibu Tesa mengerutkan kening mendengar nama anaknya. Kayaknya kok
seakan dokter ini sudah biasa betul memanggil nama itu?!
Tesa menunjuk ke atas meja di samping ranjang tanpa bergerak untuk mengambilkan. Sikap ini juga membuat penonton di ambang pintu
kembali mengerutkan kening.
Di atas tumpukan buku dan majalah terdapat bolpen, pensil, serta karet penghapus.
"Suka mengisi teka-teki silang, nih?" tanya Pasha sambil menarik bolpen.
Tesa tidak menanggapi. Ibunya makin berkerut keningnya.
Apa-apaan anak ini?! Enggak biasa-biasanya enggak sopan begitu!
Sebaliknya dari menjawab, didengarnya Tesa bertanya makanan apa yang
harus dipantangnya. Dokter menyebutkan beberapa macam yang terlarang.
Aneh. Tesa kedengaran geli bercampur jengkel.
"Itu semua kan kesukaanku, Pas! Tega kau!"
Aduh, nadanya! pikir ibu Tesa. Dia baru tahu, anaknya punya bakat manja! "Dan aku kok masih ingat ya apa yang kau sukai!" Mata yang hitam itu kini menatap dengan tajam. Senyum di sana sudah lenyap walaupun kehangatannya masih terasa.
"Kalau kue dadar bagaimana?" tanya Tesa, tahu-tahu jadi ingin manja sungguhan.
Sudah sintingkah anak ini, pikir ibunya. Sejak kapan dia suka kue dadar?!
Bukankah di rumah tak pernah dibuat kue itu?!
"Bikin boleh, makan jangan!"
Nah, nah! Sekarang dokternya pun ikut-ikut-an sinting!
"Ooi! Kau sentimen!" seru Tesa sambil memukul Pasha, membuat ibunya menahan napas saking heran. Apa-apaan ini?! Kok pasien dan dokter bercanda seperti teman sekolah?! Namun matanya langsung terbuka begitu dia mendengar ocehan Pasha selanjutnya.
"Dua belas kali aku menelepon, selalu ditolak! Eh, enggak tahunya malah bisa langsung masuk ke tempat peraduan tuan putri. Apa itu namanya bukan bintang terang?" tukas Pasha dengan suara girang.
Tahulah dia sekarang siapa dokter ini. Dia langsung menggenggam lengan si bungsu dan menyeretnya pergi. "Yuk, mari, Aster. Jangan kita ganggu mereka. Kakakmu tidak apa-apa. Dia sedang diobati." Dan pintu dirapatkannya.
"Jangan senang-senang dulu!" ancam Tesa.
"Hm. Kenapa? Tak mungkin kau akan bisa menolak diriku lagi. Apa alasanmu? Aku kan masih bujangan?! Dan belum pernah enggak se-tia!"
"Kalau dengan Shakira, gimana?" "Shakira lagi! Shakira lagi! Siapa sih monyet itu?"
"Itu, lho! Istrinya Goffar!"
"Oh, yang anaknya tempo hari kaubawa untuk opname? Yah! Kalau dia, gimana, ya?! Katanya dia sudah disuruh bercerai oleh ayahnya. Sang ayah ini katanya rindu sekali ingin punya menantu dokter. Terakhir, dia menawari aku kursi DPR. Ah, buat apa aku main-main di DPR? Kalau dia bisa menawarkan kursi direktur rumah sakit, nah, itu baru akan kupertimbang-kan dengan serius! Aku belum menolaknya, kok!"
"Memangnya peduli apa aku, kau menolaknya atau tidak!"
"Tentu saja kau tidak diharuskan peduli!" sahut Pasha kalem dengan alis terangkat tinggi, namun matanya masih tetap tersenyum.
"Kau harus mendengarnya! Tesa, dia sudah lama menikah dengan Michael dan menetap di Perth!"
"Oh???!" Tesa nyaris melongo saking heran.
"Begitu Michael sudah sembuh dan bisa me-nolongnya, aku disepaknya! Rupanya aku ini tak pernah dibutuhkan olehnya!"
"Kasihan!" ejek Tesa mencibir.
Pasha lebih mendekatkan wajahnya. "Jadi siapa yang mau kau tuduh enggak setia? Coba ulang sekali lagi! Jangan sok mengejek, ya!"
Dengan sikap mengancam diterkamnya kedua pergelangan tangan Tesa, lalu digenggam dan diacung-acungkannya. Tanpa setahu mereka, Aster sudah menyelinap masuk. Melihat kakak-nya terdiam saja sementara Dokter Solem kelihatan begitu mengancam, anak itu berlari kembali mendapatkan ibunya seraya berseru, "Mami! Mami! Kak Tesa bergulat sama Dokter!"
"Kalau dengan Shakira bagaimana?" tanya Tesa setengah berbisik.
Kedua orang itu tidak mendengar kepanikan Aster, sehingga mereka tidak menyadari bahwa di ambang pintu sudah berdiri dua orang penonton.
"Shakira yang mana, sih?!" tanya Pasha sambil meraih kertas resep dan mencari bolpen. Dipukul-pukulnya setiap saku. "Astaga! Rupanya bolpenku masih ketinggalan di kamar Dokter Yusuf! Pinjami aku, Tes." Ibu Tesa mengerutkan kening mendengar nama anaknya. Kayaknya kok
seakan dokter ini sudah biasa betul memanggil nama itu?!
Tesa menunjuk ke atas meja di samping ranjang tanpa bergerak untuk mengambilkan. Sikap ini juga membuat penonton di ambang pintu
kembali mengerutkan kening.
Di atas tumpukan buku dan majalah terdapat bolpen, pensil, serta karet penghapus.
"Suka mengisi teka-teki silang, nih?" tanya Pasha sambil menarik bolpen.
Tesa tidak menanggapi. Ibunya makin berkerut keningnya.
Apa-apaan anak ini?! Enggak biasa-biasanya enggak sopan begitu!
Sebaliknya dari menjawab, didengarnya Tesa bertanya makanan apa yang
harus dipantangnya. Dokter menyebutkan beberapa macam yang terlarang.
Aneh. Tesa kedengaran geli bercampur jengkel.
"Itu semua kan kesukaanku, Pas! Tega kau!"
Aduh, nadanya! pikir ibu Tesa. Dia baru tahu, anaknya punya bakat manja! "Dan aku kok masih ingat ya apa yang kau sukai!" Mata yang hitam itu kini menatap dengan tajam. Senyum di sana sudah lenyap walaupun kehangatannya masih terasa.
"Kalau kue dadar bagaimana?" tanya Tesa, tahu-tahu jadi ingin manja sungguhan.
Sudah sintingkah anak ini, pikir ibunya. Sejak kapan dia suka kue dadar?!
Bukankah di rumah tak pernah dibuat kue itu?!
"Bikin boleh, makan jangan!"
Nah, nah! Sekarang dokternya pun ikut-ikut-an sinting!
"Ooi! Kau sentimen!" seru Tesa sambil memukul Pasha, membuat ibunya menahan napas saking heran. Apa-apaan ini?! Kok pasien dan dokter bercanda seperti teman sekolah?! Namun matanya langsung terbuka begitu dia mendengar ocehan Pasha selanjutnya.
"Dua belas kali aku menelepon, selalu ditolak! Eh, enggak tahunya malah bisa langsung masuk ke tempat peraduan tuan putri. Apa itu namanya bukan bintang terang?" tukas Pasha dengan suara girang.
Tahulah dia sekarang siapa dokter ini. Dia langsung menggenggam lengan si bungsu dan menyeretnya pergi. "Yuk, mari, Aster. Jangan kita ganggu mereka. Kakakmu tidak apa-apa. Dia sedang diobati." Dan pintu dirapatkannya.
"Jangan senang-senang dulu!" ancam Tesa.
"Hm. Kenapa? Tak mungkin kau akan bisa menolak diriku lagi. Apa alasanmu? Aku kan masih bujangan?! Dan belum pernah enggak se-tia!"
"Kalau dengan Shakira, gimana?" "Shakira lagi! Shakira lagi! Siapa sih monyet itu?"
"Itu, lho! Istrinya Goffar!"
"Oh, yang anaknya tempo hari kaubawa untuk opname? Yah! Kalau dia, gimana, ya?! Katanya dia sudah disuruh bercerai oleh ayahnya. Sang ayah ini katanya rindu sekali ingin punya menantu dokter. Terakhir, dia menawari aku kursi DPR. Ah, buat apa aku main-main di DPR? Kalau dia bisa menawarkan kursi direktur rumah sakit, nah, itu baru akan kupertimbang-kan dengan serius! Aku belum menolaknya, kok!"
"Memangnya peduli apa aku, kau menolaknya atau tidak!"
"Tentu saja kau tidak diharuskan peduli!" sahut Pasha kalem dengan alis terangkat tinggi, namun matanya masih tetap tersenyum.
"Perempuan itu memang hebat sekali. Sendirian ke mana-mana mewakili ayahnya yang rupanya kebanyakan cuma sibuk main golf dengan penggede."
"Eh?!"
"Waktu anaknya sakit tempo hari, untung sekali kebetulan ada kau! Dia sendiri katanya sedang di luar kota meresmikan kantor cabang, sedangkan ayahnya masih di New York untuk urusan bisnis juga. Dinamis sekali Shakira itu! Gesit! Sebat!"
"Oh?!" Tesa begitu tercengang mendengar cerita Pasha sampai untuk beberapa saat dia tak mampu berkata-kata. Sungguh hebat sekali lidah Shakira memutarbalikkan fakta sampai-sampai Pasha pun memuji dirinya! Gesit?! Hm
Kerja kantor tak mau, kerja di rumah pun ogah!
Mewakili ayah?! Hm. Hm. Siapa yang sudah-tidak diakui anak dulu itu?! Ketika akhirnya dia bisa bersuara, Tesa me-mutuskan untuk tidak
mengatakan perihal keadaan Shakira yang sebenarnya.
"Eh?!"
"Waktu anaknya sakit tempo hari, untung sekali kebetulan ada kau! Dia sendiri katanya sedang di luar kota meresmikan kantor cabang, sedangkan ayahnya masih di New York untuk urusan bisnis juga. Dinamis sekali Shakira itu! Gesit! Sebat!"
"Oh?!" Tesa begitu tercengang mendengar cerita Pasha sampai untuk beberapa saat dia tak mampu berkata-kata. Sungguh hebat sekali lidah Shakira memutarbalikkan fakta sampai-sampai Pasha pun memuji dirinya! Gesit?! Hm
Kerja kantor tak mau, kerja di rumah pun ogah!
Mewakili ayah?! Hm. Hm. Siapa yang sudah-tidak diakui anak dulu itu?! Ketika akhirnya dia bisa bersuara, Tesa me-mutuskan untuk tidak
mengatakan perihal keadaan Shakira yang sebenarnya.
"Jadi itu yang dikatakannya padamu? Dia enggak bilang kenapa aku sampai membawa anaknya ke rumah sakit?!"
"Ya, aku juga memang sudah lama ingin tahu sebabnya! Apa kau kebetulan sedang bertamu pada Goffar mumpung tahu istrinya di luar kota?!"
Tesa meringis mendengar tuduhan yang mirip fitnah itu.
"Nanti deh, aku ceritakan semua-nya! Sekarang aku lagi enggak ingin. Aku enggak bergairah
menjelek- jelekkan sesama perempuan! Salah-salah disangka orang, aku cemburu! Atau mau membuat engkau putus dengannya!"
"Astaga! Tesa, dungu betul kau ini! Kaukira aku belum menyadari siapa Shakira itu?! Perempuan itu mungkin agak sinting. Yang jelas, dia rupanya tergila-gila padaku! Hampir setiap pagi dia menelepon ke klinik, sampai-sampai aku jadi bulan-bulanan rekan-rekan dan perawat! 'Pas, apa kabar nonimu? Tadi pagi kata Suster Rani dia sudah hampir mewek di telepon mencari- cari kau! Sudah lama minggat, ya! Pulang dong, kan kasihan anak orang!' Uh! Macam-macam deh olok-olok mereka. Aku disangka ada main dengan janda kaya! Padahal sebenar-nya aku tak pernah meladeninya. Sekali pun belum pernah aku sambuti teleponnya! "
"Apa iya?" tanya Tesa mencibir.
menjelek- jelekkan sesama perempuan! Salah-salah disangka orang, aku cemburu! Atau mau membuat engkau putus dengannya!"
"Astaga! Tesa, dungu betul kau ini! Kaukira aku belum menyadari siapa Shakira itu?! Perempuan itu mungkin agak sinting. Yang jelas, dia rupanya tergila-gila padaku! Hampir setiap pagi dia menelepon ke klinik, sampai-sampai aku jadi bulan-bulanan rekan-rekan dan perawat! 'Pas, apa kabar nonimu? Tadi pagi kata Suster Rani dia sudah hampir mewek di telepon mencari- cari kau! Sudah lama minggat, ya! Pulang dong, kan kasihan anak orang!' Uh! Macam-macam deh olok-olok mereka. Aku disangka ada main dengan janda kaya! Padahal sebenar-nya aku tak pernah meladeninya. Sekali pun belum pernah aku sambuti teleponnya! "
"Apa iya?" tanya Tesa mencibir.
"Menurut dia sih, kau ini sudah naksir dia benaran, deh. Katanya, kau kepincuk oleh kekayaan ayahnya! Padahal seingatku, ayahnya sih kaya biasa-biasa saja. Artinya, enggak ada hubungan dengan DPR segala macam! Eh, kok aku jadi banyak mulut?! Salah-salah nanti dikira mau menjelek-kan orang lain!"
Pasha ketawa.
Pasha ketawa.
"Rupanya memang, ya!"
"Eh? Mau fitnah?"
"Habis! Menurut pengakuannya sendiri, ayahnya itu teman main menteri-menteri, bankir-bankir, dan orang-orang gedean lainnya. Ayahnya punya usaha juga di luar negeri. Pendek-nya, menurut dia, sang ayah itu salah satu juta-wan paling top di republik kita ini! Ha, ha, ha! Makanya dengan gampang dia tawarkan kursi DPR! Berapa saja mau, pasti dapat! Dan kau bilang... ha, ha, ha! Dia biasa-biasa saja?!"
Tesa ikut ketawa setelah mengerti maksud Pasha.
"Eh? Mau fitnah?"
"Habis! Menurut pengakuannya sendiri, ayahnya itu teman main menteri-menteri, bankir-bankir, dan orang-orang gedean lainnya. Ayahnya punya usaha juga di luar negeri. Pendek-nya, menurut dia, sang ayah itu salah satu juta-wan paling top di republik kita ini! Ha, ha, ha! Makanya dengan gampang dia tawarkan kursi DPR! Berapa saja mau, pasti dapat! Dan kau bilang... ha, ha, ha! Dia biasa-biasa saja?!"
Tesa ikut ketawa setelah mengerti maksud Pasha.
"Sudah, ah! Jangan mempercakapkan orang lain! Enggak baik. Aku sudah senang bahwa semua itu rupanya cuma khayalan Shakira belaka. Tadinya aku sangka, kau sudah..." Suara Tesa mengandung kelegaan.
"Sudah apa?" sambung Pasha menuntut. Tesa cuma menggeleng. Pasha tidak memaksa.
"Nah, jadi persoalan Shakira sudah terang. Urusan kita pun beres, bukan?"
"Nah, jadi persoalan Shakira sudah terang. Urusan kita pun beres, bukan?"
"Enggak segampang itu!" sahut Tesa pelan.
"Eh, kenapa lagi? Apa alasanmu masih mau menolak aku sekarang? Aku kan masih bujangan?
"Itu salahmu sendiri! Jangan salahkan aku! Nah, memang kenapa sih kau belum kawin?"
"Aku menunggumu. Sekarang setelah kita ketemu lagi, tentunya kita akan rujuk, bukan? Kau juga menungguku, kan?" .
"Ti... dak!" bantah Tesa gugup mendadak.
"Jangan bohong! Lalu kenapa kau belum juga menikah?"
Tesa mengelakkan tatapan yang menyelidik itu. Bibirnya tiba-tiba menggeletar seperti ngeri.
"Entahlah. Rasanya... aku... tak... berani... pa-caran lagi! Selalu jadi malapetaka. Aku rasa, aku tak sanggup pacaran denganmu lagi!"
"Tesa!" seru Pasha dengan tegas, lalu meme-gang dagunya untuk memaksa gadis itu menatapnya kembali. "Kita tidak akan pacaran!"
"Oh?!"
"Kita akan segera meni..."
"Kak Tesa," tiba-tiba terdengar suara Aster dari luar kamar, "pacarmu datang!"
Bersamaan dengan itu, daun pintu terkuak dan... Tesa serta Pasha sama-sama menoleh. Gadis itu melongo melihat Bos menyeruduk masuk dengan sebuah buket mawar merah dalam tangannya. Wajahnya seketika menjadi pucat.
Dia tambah gelisah ketika mendapati Pasha me-lirik Bos dan dirinya bergantian dengan tajam.
Hm. Jadi inikah gajah dungkul yang tempo hari memaki-maki aku di telepon?! pikir Pasha sambil mengukur orang itu dari atas sampai ke sepatu Bally di lantai. Hm. Dasinya sih memang ' bagus, sayang tubuhnya kegendutan, jadi kebanting dipakai olehnya. Rambutaya yang dibelah di tengah masih kelihatan rapi walaupun hari sudah malam, berkat Tancho atau pomade merek lain. Sayang kumisnya terlalu jarang seperti tanaman yang tidak terawat, masih lebih bagus kumis kucing!
"Halo, Tesa, sayangku! Bagaimana keadaan-mu hari ini? Aku lihat wajahmu cerah sekali! Ini mawar merah untukmu, tanda... eh, masih ada dokter!" Bos berseru heran seakan baru saja melihat ada orang lain di situ. Diletakkannya buketnya di atas meja, lalu dipandangnya Dokter Solem.
"Bagaimana keadaan tun... eh, keadaannya, Dokter... ehem?"
Pasha tidak mau menyebutkan namanya. Dia langsung saja mengatakan sepintas lalu mengenai penyakit pasiennya, seakan itu rahasia jabat-an yang tak berhak diketahui orang yang tidak jelas kepentingannya.
"Syukurlah. Jadi tidak berbahaya, kan?" kata Bos yang tidak menyadari bahwa orang. kurang senang padanya.
"Eh, kenapa lagi? Apa alasanmu masih mau menolak aku sekarang? Aku kan masih bujangan?
"Itu salahmu sendiri! Jangan salahkan aku! Nah, memang kenapa sih kau belum kawin?"
"Aku menunggumu. Sekarang setelah kita ketemu lagi, tentunya kita akan rujuk, bukan? Kau juga menungguku, kan?" .
"Ti... dak!" bantah Tesa gugup mendadak.
"Jangan bohong! Lalu kenapa kau belum juga menikah?"
Tesa mengelakkan tatapan yang menyelidik itu. Bibirnya tiba-tiba menggeletar seperti ngeri.
"Entahlah. Rasanya... aku... tak... berani... pa-caran lagi! Selalu jadi malapetaka. Aku rasa, aku tak sanggup pacaran denganmu lagi!"
"Tesa!" seru Pasha dengan tegas, lalu meme-gang dagunya untuk memaksa gadis itu menatapnya kembali. "Kita tidak akan pacaran!"
"Oh?!"
"Kita akan segera meni..."
"Kak Tesa," tiba-tiba terdengar suara Aster dari luar kamar, "pacarmu datang!"
Bersamaan dengan itu, daun pintu terkuak dan... Tesa serta Pasha sama-sama menoleh. Gadis itu melongo melihat Bos menyeruduk masuk dengan sebuah buket mawar merah dalam tangannya. Wajahnya seketika menjadi pucat.
Dia tambah gelisah ketika mendapati Pasha me-lirik Bos dan dirinya bergantian dengan tajam.
Hm. Jadi inikah gajah dungkul yang tempo hari memaki-maki aku di telepon?! pikir Pasha sambil mengukur orang itu dari atas sampai ke sepatu Bally di lantai. Hm. Dasinya sih memang ' bagus, sayang tubuhnya kegendutan, jadi kebanting dipakai olehnya. Rambutaya yang dibelah di tengah masih kelihatan rapi walaupun hari sudah malam, berkat Tancho atau pomade merek lain. Sayang kumisnya terlalu jarang seperti tanaman yang tidak terawat, masih lebih bagus kumis kucing!
"Halo, Tesa, sayangku! Bagaimana keadaan-mu hari ini? Aku lihat wajahmu cerah sekali! Ini mawar merah untukmu, tanda... eh, masih ada dokter!" Bos berseru heran seakan baru saja melihat ada orang lain di situ. Diletakkannya buketnya di atas meja, lalu dipandangnya Dokter Solem.
"Bagaimana keadaan tun... eh, keadaannya, Dokter... ehem?"
Pasha tidak mau menyebutkan namanya. Dia langsung saja mengatakan sepintas lalu mengenai penyakit pasiennya, seakan itu rahasia jabat-an yang tak berhak diketahui orang yang tidak jelas kepentingannya.
"Syukurlah. Jadi tidak berbahaya, kan?" kata Bos yang tidak menyadari bahwa orang. kurang senang padanya.
"Soalnya, Dok, Tesa itu………
Lalu seakan sudah kebiasaan, dia mau duduk di pinggir ranjang, tapi dengan sigap namun tak kentara. Pasha sudah mendahului. Dia pura pura mengambil kembali kertas resep yang terletak di samping Tesa. Di belakangnya. Bos menunggu dokter itu bangun untuk menulis resep di tempat lain. Namun dokter itu pun ngotot tak mau berlalu.
Ketika Bos masih juga berdiri mematung di situ, Dokter Solem akhirnya menoleh dan berkata dengan sopan namun tegas, "Silakan Anda menunggu di ruang tamu saja, Pak. Saya belum selesai memeriksa... ehem... calon... istri Anda!"
"O ya, ya, baik, baik!" Dengan patuh ayam jago itu menyingkir. Mana dia mimpi, bahwa untuk selamanya dia takkan punya izin lagi untuk masuk kembali ke situ?!
Begitu pintu sudah tertutup, Pasha mendesis garang dengan mata bersinar tajam.
Lalu seakan sudah kebiasaan, dia mau duduk di pinggir ranjang, tapi dengan sigap namun tak kentara. Pasha sudah mendahului. Dia pura pura mengambil kembali kertas resep yang terletak di samping Tesa. Di belakangnya. Bos menunggu dokter itu bangun untuk menulis resep di tempat lain. Namun dokter itu pun ngotot tak mau berlalu.
Ketika Bos masih juga berdiri mematung di situ, Dokter Solem akhirnya menoleh dan berkata dengan sopan namun tegas, "Silakan Anda menunggu di ruang tamu saja, Pak. Saya belum selesai memeriksa... ehem... calon... istri Anda!"
"O ya, ya, baik, baik!" Dengan patuh ayam jago itu menyingkir. Mana dia mimpi, bahwa untuk selamanya dia takkan punya izin lagi untuk masuk kembali ke situ?!
Begitu pintu sudah tertutup, Pasha mendesis garang dengan mata bersinar tajam.
"Aku tidak mau tahu bagaimana caranya! Tapi kau harus bisa melepaskan diri dari jago yang satu itu. Kalau perlu, Tes, sore ini juga kau berhenti kerja!"
Dan komando yang begitu eksplisit mana mungkin bisa dibantah?!
Dan komando yang begitu eksplisit mana mungkin bisa dibantah?!
---Sekian---
endingnya ngambang
BalasHapus